XXIV
"Ah! Gawat! Gawat!" teriak gadis berbaju putih dengan gambar kartun kucing berwarna biru itu seraya menyingkap selimutnya panik. Begitu hendak bangkit dari kasur, ia langsung tersungkur dengan suara 'bruk' yang cukup keras hingga membuat asisten rumah tangganya berjalan tergopoh ke kamarnya.
"Non? Non gak apa?" tanya wanita paruh baya itu khawatir dari luar pintu.
Sebuah lenguhan pendek meluncur bebas dari bibir pinknya. "Ya, Bi. Shei gak apa," balasnya seraya melepas lilitan selimut pada kakinya. Kebiasaan tidurnya benar-benar buruk. Bisa-bisanya ia melilitkan selimut ke kakinya hingga menyebabkan insiden memalukan ini. Jika saja kebiasaan buruk bisa diperbaiki dengan mudah, ia pasti sudah memperbaiki hal ini. Sayangnya, memperbaiki kebiasaan buruk tak semudah membalikkan telapak tangan.
Sebuah ringisan meluncur dari bibir pink tersebut saat berusaha bangkit berdiri. Di dalam kamar mandi, ia melepas bajunya untuk meneliti adakah memar baru yang ia dapatkan sebagai hadiah bangun terlambat. Setelah mendapati dua memar baru di bagian pinggul dan lutut, gadis itu mandi secara kilat.
Begitu selesai, ia langsung berlari turun dan menyambar roti bakar buatan Ijah. Tak lupa ia meneguk jus jeruk yang telah disediakan pula. "Shei berangkat, ya, Bi. Sudah telat," pamitnya membuat kening wanita paruh baya itu mengerut.
Ada-ada saja nona majikannya itu. Baru pukul 06.50 sudah dibilang telat. Padahal jam masuk sekolahnya pukul 07.30 dan jika dihitung jarak dari rumah menuju sekolah hanyalah 15 menit. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu setiap berangkat pagi-pagi ke sekolah.
*****
"Ah! Dasar! Benar-benar terlambat," desah Sheira begitu mendapati pintu coklat tersebut tertutup rapat. Firasatnya mengatakan, di balik pintu yang tertutup rapat itu pasti terdapat jebakan yang luar biasa—yang sudah disiapkan oleh Kirana dan teman-temannya—hingga bisa membuatnya malu sampai sekolah berakhir.
Sheira berjongkok di depan pintu seraya menyembunyikan wajahnya, tak peduli menjadi tontonan para murid yang masih berada di koridor. Yang lebih penting saat ini adalah apakah ia harus masuk sekarang atau menunggu sampai ada yang membuka pintunya. Beginilah nasibnya jika ia sampai di sekolah sesudah Kirana dan teman-temannya sampai. Kalau boleh, sebenarnya ia ingin kembali pulang saja. Akan tetapi, hari ini ada ulangan di mata pelajaran bahasa inggris sehingga ia tak boleh membolos.
"Sedang apa di sana?" Suara bariton bernada ramah itu menyapa indra pendengarannya secara tiba-tiba hingga gadis berkuncir itu terjengkang.
Dalam posisi duduk yang agak memalukan, Sheira mendongak dan langsung bersitatap dengan manik coklat milik Randy. Mata itu memandangnya teduh dan juga penasaran.
Malu bercampur kesal mendorong Sheira bangkit dan berjalan menuju pintu. "Tidak ada," balasnya singkat tanpa memandang pemuda berlesung pipi itu.
Tangan kurusnya terangkat dan mendarat pada hendel pintu. Sebuah tarikan napas dalam, lalu diembuskannya secara perlahan. Sekali lagi, ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia hanya mengulangi kegiatan tersebut selama satu menit penuh.
Kening Randy berkerut dalam. Apa yang sedang dilakukan oleh gadis yang ada di depannya ini? Ia terlihat sedang mengumpulkan keberanian. Lalu, mengapa anak sekelasnya yang lain bukannya masuk malah membelokkan langkah ke tempat lain terlebih dahulu seolah menunggu gadis itu membuka pintunya?
Rasa penasaran bercampur tak sabar membuat Randy mendekati gadis itu dan menyentuh pundaknya pelan. "Ada apa? Kamu gak mau masuk?"
Sheira berjengit kaget, lalu mengangguk dengan cepat. "Mau! Mau, kok! Mau!" jawabnya gugup. Matanya terpejam kuat, lalu menurunkan hendel pintu.
Tak tahu lah. Apa yang akan terjadi, terjadilah, batinnya pasrah. Pintu perlahan terdorong membuka. Kakinya terayun hendak melangkah ke depan.
Namun, tiba-tiba sebuah tarikan kuat membuatnya terjengkang ke belakang. Disusul dengan suara "Awas!" yang cukup membuatnya kaget.
Bukan kaget karena suara tersebut keras melainkan karena suara itu menyiratkan kekhawatiran. Baru kali ini, ia mendengar nada tersebut dari orang lain selain Ijah. Dan itu membuat hatinya sedikit menghangat.
"Kamu gak apa?" tanya sebuah suara bariton yang anehnya terdengar begitu dekat dengan telinga Sheira.
Gadis itu terdiam sejenak sebelum merasa aneh dengan lantai—yang entah mengapa—terasa empuk. Eh? Tunggu sebentar! Empuk? Sheira langsung menoleh ke belakang dan terlompat kaget. Bisa-bisanya ia meniduri murid baru yang sudah menolongnya. "Maaf," ucapnya malu. Wajahnya memanas hingga ke leher.
"Maaf?" ulang Randy bingung.
Sheira segera menyadari kesalahannya. "Bukan. Maksud saya terima kasih," ujarnya gelagapan.
Randy terkekeh pelan. Ia menatap ke arah pintu yang sudah banjir dengan air kotor, lalu menggeleng pelan. "Woi! Iseng banget, sih! Kalau mau bercanda jangan pakai ginian, dong!" tegurnya entah pada siapa seraya menendang tong yang sudah kosong.
Mimik yang menyayangkan Sheira tak menjadi korban guyuran pun tercetak jelas di wajah-wajah para murid yang sudah duduk manis di dalam kelas. Randy berdiri di depan kelas, menatap semua orang dengan tatapan tajam. "Kerjaan siapa, nih?" geramnya mengintimidasi teman sekelasnya.
Sheira segera menarik Randy menuju tempat duduk mereka. "Lupakan saja," ujarnya singkat sambil mendaratkan bokongnya pada bangku kayu tersebut.
"Enaklah, ya? Udah ada pangeran yang belain," sinis seorang gadis yang memakai bando berwarna pink. Matanya sibuk menatap pantulan dirinya di cermin kecil seraya membenarkan poninya.
Sheira melirik ke arah gadis itu sejenak sebelum akhirnya memilih bungkam. Ia membuka buku pelajaran bahasa inggris dan melahap isinya agar nilai ujiannya nanti sempurna seperti biasanya.
"Iya, nih, Vi. Sementang udah ada pangeran berkuda putihnya dianya jadi songong," tambah gadis berambut sebahu seraya memainkan ujung rambutnya. Seulas senyum sinis tercetak di wajah cantiknya.
Randy menatap Kirana dan Vivian tajam, lalu beralih pada Sheira yang masih sibuk menekuni bukunya tanpa merasa terganggu. Ia sungguh tak mengerti apa yang tengah terjadi di antara para gadis ini. Sudah seminggu ia bersekolah, ia bisa menilai bahwa hubungan mereka tak baik. Sheira selalu diganggu dan memilih diam saja dan Kirana yang merasa di atas angin terus-menerus mengganggu Sheira.
"Kalau kamu gak lawan mereka, mereka bakal nginjak kamu terus," bisik Randy pelan.
Namun, kata-kata itu malah terus mengusik benak Sheira hingga fokusnya tak lagi pada bukunya. Benar kata Randy. Mungkin karena dirinya tak melawan selama ini, makanya Kirana dan teman-temannya semakin semangat mengganggunya.
Bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, Sheira masih memikirkan perkataan Randy hingga ia dikejutkan dengan suara sesuatu yang jatuh. Fokusnya langsung beralih ke depan kelas, di mana Rossy—guru bahasa inggris—tergelincir akibat genangan air kotor yang hampir mengguyurnya.
Rossy berusaha berdiri dengan susah payah dan dibantu oleh beberapa siswa. Setelah berhasil berdiri tegak, wanita yang usianya hampir mencapai 30 tahun itu menggeram marah. "Kerjaan siapa ini?"
Seisi kelas hanya bisa saling melirik, tak terkecuali Sheira, Randy, dan Kirana. Sedetik kemudian, senyum licik tercetak di bibir tipisnya. Tangannya terangkat ke atas dan bibirnya terbuka.
"Sheira, Miss. Saya melihatnya. Tadi dia menyiram air itu ke lantai," ujarnya membuat Sheira melotot tak percaya. Rossy melempar pandang pada Sheira yang terlihat menghela napas lelah.
"Bohong! Itu semua ulah Kirana, Miss. Tadi dia berniat mengerjai Sheira," potong sebuah suara bariton membuat Kirana—dan juga Sheira—membelalak kaget. Gadis itu menoleh ke sumber suara.
"Jangan sembarangan nuduh kamu! Memangnya kamu punya bukti kalau aku yang naruh ember itu di atas pintu?" bantahnya gusar. Wajah gadis itu memerah, kedua tangan yang berada di atas meja terkepal kuat. Matanya menatap tajam pada Randy yang tersenyum manis
"Kalau bukan kamu, kenapa kamu bisa tahu kalau embernya ada di atas pintu awalnya?" tembak pemuda itu lagi seraya memamerkan senyum kemenangan. Kirana terdiam, menyadari kebodohannya yang telah membongkar rahasianya sendiri.
"Kirana! Kamu saya hukum! Bersihkan toilet yang ada di seluruh lantai 2 dan 3," tegas Rossy membuat Kirana menganga lebar. Begitu pula dengan teman-temannya.
Bagas menepuk punggung Kirana pelan dan berbisik, "Semangat, Na! Pasti bisa!"
Gadis berkulit putih itu mendecih pelan. Kakinya dihentakkan dengan kesal ke atas lantai. Karena tak ingin menjalani hukuman sendirian. Ia pun menyeret Bagas bersamanya. "Bagas juga, Miss. Dia yang bantuin saya," bebernya membuat Bagas melotot tak percaya.
Bagas berdiri seraya menggebrak meja tak terima. "Loh? Na? Kok kamu gitu?" protesnya.
Kirana tersenyum tipis. "Memang benar, 'kan?" tanyanya menyudutkan Bagas.
Memang benar Bagas-lah yang menaruh ember tersebut ke atas pintu karena Kirana tak cukup tinggi untuk melakukannya. Akan tetapi, masa Kirana ikut menyeretnya ke dalam hukuman melelahkan itu? Kirana benar-benar iblis. Bisa-bisanya ia menyeret paksa temannya saat ia terjatuh ke dalam neraka.
"Diam! Kalian berdua keluar jalani hukuman!" titah Rossy tak ingin dibantah.
-----------------------
1334.24072021
Ayey! 6 part lagi bakal habis nih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro