XXIII
Kapok terkunci seharian di gudang, memaksa gadis kurus berkucir itu berangkat lebih pagi daripada anak sekolahan lainnya. Pagi ini, ia sudah selesai siap-siap pukul 5 pagi hingga membuat Ijah kaget bukan main. Walau ia sering bangun pagi, tetapi ia belum pernah siap berangkat sekolah saat pukul 5 pagi.
"Loh? Non? Kok udah selesai siap-siapnya? Apa gak kepagian?" Ijah yang hendak memasak membelalak kaget mendapati nona majikannya telah duduk manis di meja makan seraya mengunyah roti dan ditemani oleh segelas susu.
Sheira menggeleng pelan. Seulas senyum tipis ia berikan pada wanita paruh baya yang sudah menemaninya seumur hidup gadis itu. "Bibi mau masak apa hari ini? Shei mau bawa bekal aja," ujarnya seraya menanti penuh harap.
Sekali lagi, mata Ijah membelalak. "Non mau bawa bekal?" serunya tanpa menutupi kekagetannya sama sekali. Pasalnya, gadis itu sudah berhenti membawa bekal sejak umur 12 tahun. Dan hari ini, secara tiba-tiba, ia meminta bekal dengan mata berbinar.
"Non Shei gak salah makan 'kan kemarin?" tanyanya memastikan.
Gadis itu menggembungkan pipi kesal. "Ya gak lah, Bi. Emang aneh banget, ya, kalau Shei bawa bekal?"
Ijah menggeleng kuat. "Ndak, kok, Non. Bibi hanya kaget saja. Biar bekalnya ga dingin, nanti bibi suruh Pak Tono aja anter ke sekolah. Gimana? Nanti Pak Tono titip ke satpam sekolah," usulnya senang. Ia merasa sangat terharu nona majikannya ingin membawa bekal makan siang yang ia masak lagi.
Sheira terdiam, berpikir sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya pelan. "Boleh, deh, Bi. Kalau gitu Shei pergi dulu, ya," pamitnya membuat Ijah lagi-lagi melotot kaget.
"Non! Ini baru jam 5 lewat 15," ujarnya seraya mengejar nona majikannya yang aneh. Kemarin malas berangkat sekolah, hari ini malah kepagian.
Jalanan masih sepi, tak banyak kenderaan yang berlalu lalang. Akan tetapi, banyak angkot yang sudah penuh dengan ibu-ibu yang hendak ke pasar. Beruntung, Sheira mendapat tempat duduk terakhir. Udara yang masih terbilang cukup dingin membuat Sheira merapatkan jaket putihnya.
Begitu sampai, satpam yang ia buat kaget. "Loh? Kok cepet banget nyampenya, Dek? Ada acara apa gimana?" tanya Sulisman—satpam sekolah—sambil memainkan kumis tebalnya.
Sheira memamerkan senyum tipis. "Kepagian bangunnya, Pak. Karena di rumah sudah tidak ada kerjaan, lebih baik saya ke sekolah saja, 'kan?" selorohnya membuat Sulisman mengangguk puas. Matanya berbinar seolah mengatakan 'beginilah harusnya anak muda'. Setelah berbasa-basi sedikit dan mengatakan bahwa nanti siang ia akan menitipkan makan siang, Sheira pun berjalan gontai menuju kelas.
Sesuai dengan prediksinya. Kelas masih kosong bahkan lampu belum dinyalakan. Suasananya terasa agak horor. Walau begitu, Sheira tetap melangkah masuk. Tangannya mencari saklar lampu dan menghidupkannya. Lalu, dengan langkah mantap ia duduk di bangkunya. Hari ini, bangkunya bagus, tanpa cacat. Entah diganti kembali oleh Kirana atau bagaimana, ia tak tahu. Karena masih cukup pagi—pukul 05.40—Sheira memutuskan untuk membaca buku seraya menyumpal telinganya dengan earphone.
Ia tak tahu berapa lama ia terlarut dalam bacaannya. Tahu-tahu, begitu sadar, suasana kelas telah ramai. Bahkan guru pengampu mata pelajaran Matematika telah masuk. Di sebelah wanita paruh baya itu berdiri seorang pemuda dengan senyum ramahnya. Terlihat dua buah kolam kecil di kedua pipinya menambah kesan manis serta ramahnya.
"Perkenalkan dirimu, Nak," pinta Bu Juli tegas. Matanya menatap tajam pada semua murid perempuan yang melihat pemuda itu dengan tatapan buas.
"Perkenalkan, nama saya Randy Setiawan. Semoga kita semua bisa berteman baik. Lalu, saya mohon bantuan kalian untuk ke depannya," ujar pemuda itu ramah. Senyum manis tak pernah meninggalkan wajahnya.
"Minta nomer HP, dong, Ran! Ganteng banget, sih," celutuk sebuah suara cempreng yang berasal dari sudut kelas membuat suasana menjadi riuh.
"Randy udah punya pacar belum? Kalau belum aku mau, loh," tambah sebuah suara genit membuat suasana menjadi semakin meriah.
Para cowok bersorak kesal dan meneriakkan kata 'norak' berkali-kali. Sementara para cewek bersorak ria, menggoda Randy. Akan tetapi, objek ledekan malah terlihat tersenyum malu dan memilih diam menanggapi godaan tersebut.
Sebuah gebrakan keras di papan tulis membuat suasana hening seketika. Mulut-mulut nakal yang tadinya sibuk berbisik dan bersorak ria, terkunci rapat. Sheira tertawa dalam hati. Tak habis pikir dengan kelakuan teman-teman sekelasnya. Sudah tahu Juli segalak singa, malah kelasnya dibuat seperti pasar. Jelas saja mereka bakal kena damprat.
"Kalian ini! Sudah kelas XI bukannya tahu diri sedikit. Belajar sana yang banyak. Bukannya malah godain cowok. Jangan ribut!" hardik Juli pada kelas yang sudah senyap bak kuburan. Mata tajamnya langsung menatap Randy yang mulai menciut. "Kamu. Cari tempat duduk kosong yang bisa kamu duduki," titahnya membuat Randy segera bergerak tanpa perlu menunggu diteriaki kedua kalinya.
Langkahnya mantap menuju deretan belakang di baris paling tengah kelas. Ayunan kaki itu berhenti tepat di sebelah Sheira yang sedari tadi menatap Juli saja, tak melirik dirinya sama sekali. "Permisi," ujarnya membuat Sheira menoleh padanya.
Seulas senyum tipis ia hadiahkan sebelum bertanya, "bangku ini kosong, 'kan?"
Sheira mengangguk sekali. Namun, detik berikutnya menggeleng cepat membuat kening Randy berkerut dalam. "Jadi?" tanya pemuda berlesung pipi itu bingung. "Di sini gak kosong?" lanjutnya lagi seraya mengedarkan pandang ke seisi kelas. Semua kursi telah penuh. Memang sisa bangku sebelah Sheira yang masih kosong.
"Maaf, tapi saya lebih suka duduk sendiri," tegas Sheira. Sebenarnya, ia hanya tak ingin anak baru itu terkena dampak dari perundungan yang dialaminya. Lihat saja tatapan Kirana. Gadis berkulit putih itu menatapnya tajam seolah ingin mencabik-cabiknya saat itu juga.
"Sheira! Jangan egois. Cuma bangku di sebelah kamu yang kosong. Biarkan teman kamu duduk," tegur Juli membuat Sheira menatapnya memelas.
"Tapi, Bu," bantah gadis itu masih berusaha bernegosiasi.
Juli memukul meja dan memelototinya hingga nyalinya pun ciut. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk pasrah—mempersilakan murid baru itu duduk di sebelahnya. Sepanjang pelajaran, Sheira tak fokus akibat merasakan tatapan tak senang milik Kirana. Ia bergerak gelisah di bangkunya seolah bangku yang didudukinya memiliki duri. Randy memperhatikan hal tersebut. Ia yakin, ia sudah membuat teman sebangkunya menjadi tak nyaman.
"Nanti waktu istirahat aku bakal cari tempat duduk baru," bisiknya membuat Sheira menoleh cepat ke arahnya. Gadis itu meringis malu sebelum mengangguk cepat.
Namun, sampai jam pulang pun, Randy tak mendapatkan tempat duduk baru. Sheira pasrah saja sambil berdoa dalam hati agar pemuda tersebut tak terseret ke dalam perundungan yang dialaminya. Kasihan kalau jauh-jauh pindah dari luar kota malah menjadi korban perundungan.
Tepat bel pulang berbunyi, Sheira bangkit dari duduknya dan bergerak menuju koridor dekat toilet di mana sapu dan alat pel terletak. Tangan kurus itu tergerak mengambil satu buah sapu, lalu kembali ke dalam kelas. Helaan napas panjang meluncur bebas dari bibir pinknya. Selalu begini, jika ia yang menjadi petugas piket. Entah mengapa kelas selalu lebih berantakan dari biasanya. Dan yang lebih parahnya lagi, teman piketnya adalah ....
"Oi! Ranking satu!" Sheira memutar bola matanya malas sebelum berbalik. Sebuah alat pel terlempar ke arahnya. "Aku dan teman-temanku sibuk. Kamu beresin kelas sendiri, ya," pinta gadis berambut sebahu itu, lalu meninggalkan kelas dengan cepat—tanpa memberi waktu Sheira untuk memprotes.
Randy yang kebetulan belum pulang pun melihat hal tersebut. Kakinya bergerak ke arah Sheira tanpa sadar. "Hei. Mau ku—"
Belum sempat Randy menyelesaikan kalimatnya. Kerah bajunya ditarik dari belakang hingga ia tercekik. Sheira yang melihatnya hanya bisa menganga lebar. Bisa-bisanya Bagas mencoba membunuh anak baru karena ingin membantunya. "Tidak usah. Terima kasih," tolak Sheira tegas sebelum terjadi pertumpahan darah.
Kirana yang entah muncul dari mana, tiba-tiba menyela, "Tuh! Denger kan, Ran? Mending kita main aja. Sekalian kenalan," ujar gadis berkulit putih itu seraya memimpin jalan.
Randy menatap Sheira tak enak, lalu tersenyum tipis sebagai permohonan maaf. Ia pun pergi setelah diseret paksa oleh Bagas yang mengekori Kirana. Sheira menghela napas lelah. Untung saja anak baru itu tak terkena getahnya. Ia pun membersihkan ruang kelas XI IPA 1 sendirian dengan tenang.
---------------------
1257.23072021
Ayey! Siapa nih yang gak pernah beres" rumah tapi malah harus beres" ruang kelas? Yuk! Acung!
Jangan malu-malu, nah. Shei juga gitu kok. Gak pernah beres" rumah, tapi harus beres" ruang kelas. Sendirian pula.
Gimana nih menurut kalian? Jahat gak sih Kirana? Atau B aja karena orang" juga pada gitu?
Makasih buat yang udah mampir. Jangan lupa mampir ke lapak HMT lainnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro