Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXII

"Non? Non, bangun. Sudah jam 8 lewat, Non." Gedoran halus disertai dengan panggilan lembut membuat gadis yang tengah bergelung di dalam selimut menggeliat kecil.

Kedua kelopaknya berkedut. Tak lama, kedua kelopak itu terbuka sejenak, lalu memicing guna menghalau sinar matahari yang dengan tak sopannya menyapa. Erangan pelan lolos dari bibir pink tersebut.

Sekali lagi tubuh kurus itu menggeliat. Lima detik berlalu, ia mengambil posisi duduk—masih dengan mata terpejam. Rasa malas menggerogoti setiap syaraf yang ada di tubuhnya. Seluruh ototnya ingin kembali bergelung di bawah selimut, tetapi otaknya memerintahnya untuk segera bangkit.

"Non? Non Sheira?"

Sekali lagi, panggilan lembut disertai ketukan halus pada pintu putihnya memaksanya kembali ke realita. Ia mengedipkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Satu buah kuap besar lolos dari bibir pink tersebut.

"Iya, Bi. Shei sudah bangun," balasnya sopan. Ia berjalan menuju daun pintu dan memutar kuncinya sekali agar pintu terbuka.

Ijah melotot tak percaya. "Oalah! Non! Sudah jam delapan lewat tiga puluh, Non. Cepet mandi. Non sudah telat banget ke sekolah," ujarnya seraya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Padahal biasanya gadis itu pukul 6 tepat sudah selesai siap-siap. Entah apa yang tengah merasuki nona majikannya ini hingga melewatkan satu jam mata pelajaran dengan tidur nyenyak.

"Shei pengen bolos," gumam gadis berambut acak-acakan itu seraya menyambar handuk.

Tangan Ijah yang sedang menyiapkan seragam untuk nona majikannya itu terhenti. Sebuah kerutan tercipta di wajahnya yang mulai berkeriput. Tak biasanya nona majikannya ingin bolos. Biasanya, gadis itu paling senang ke sekolah. Katanya, di rumah sesak karena tak ada sang ayah. Jika ayahnya ada, malah bertambah sesak.

Melihat nona majikannya sudah masuk ke dalam kamar mandi. Ia pun hanya bisa menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang dipikirkan oleh gadis berusia 15 tahun itu. Ia juga tak tahu apa yang dirasakan oleh gadis yang sudah ia temani selama 15 tahun itu. Bibir gadis itu selalu terkunci rapat. Apalagi setelah kejadian 9 tahun silam. Gadis itu menjadi semakin tertutup.

"Non mau sarapan di rumah aja atau beli di sekolah aja?" tanya Ijah saat Sheira keluar dari kamar mandi.

Gadis yang tengah mengeringkan rambutnya itu menoleh sekilas. "Beli aja, Bi," jawabnya disertai senyuman tipis. Saat melihat Ijah hampir keluar dari kamarnya, ia berkata, "Oh, iya, Bi. Bisa tolong siapin 2 butir obat maag? Takutnya nanti Shei gak sempat sarapan," lanjutnya lagi. Kali ini sambil cengar-cengir.

Ijah hanya mengangguk patuh. Walau bibirnya terasa gatal ingin menasihati nona majikannya itu, ia terpaksa harus mengurungkan niatnya karena tak ingin menahan gadis itu lebih lama lagi. Kini, jarum panjang jam sudah menunjuk ke angka 9 dan jarum pendek berada di antara angka 8 dan 9. Yang mana berarti Sheira sudah melewatkan hampir 2 mata pelajaran.

Sheira turun ke bawah dan langsung menyambar 2 butir obat maag yang telah disiapkan oleh Ijah. Ia segera berlari menuju jalan besar untuk menaiki angkot. Beruntung, begitu sampai angkot yang menuju ke sekolahnya tiba juga—dan kebetulan sekali sedang kosong. Tanpa pikir panjang, gadis itu pun segera melompat masuk. Lima belas menit perjalanan, ia sampai di sekolah.

Sembari menunggu 10 menit terakhir mata pelajaran kedua, gadis itu mampir ke warung yang ada di dekat sekolah. Tangan kurusnya mengambil dua bungkus roti rasa coklat dan sebotol teh rasa lemon. Melihat warung tersebut kosong, ia pun memilih untuk duduk di sana sejenak sembari menghabiskan makanan dan minumannya setelah membayar.

Dari tempatnya, ia mendengar bel tanda berakhirnya pelajaran. Setelah mengucapkan terima kasih. Ia mengayunkan langkah menuju gerbang sekolah. Dilihatnya pos satpam yang kosong, ia pun segera melenggang masuk. Koridor yang ramai dengan murid-murid kelaparan memudahkannya untuk membaur tanpa takut ketahuan terlambat.

Sesampainya di kelas, ia hanya bisa menghela napas lelah. Lagi-lagi ini terjadi. Tanpa banyak kata ataupun protes. Ia menyeret kursi yang hanya memiliki tiga kaki itu menuju gudang yang ada di lantai satu. Kakinya melangkah masuk ke dalam gudang yang penuh debu. Setelah kursi rusak itu bergabung dengan teman-temannya yang lain. Sheira mengitari gudang guna mencari kursi yang layak pakai.

Hampir semua kursi yang ada di bagian depan gudang ini tak layak pakai. Sheira pun berjalan agak masuk ke dalam sambil berharap setidaknya ada satu kursi yang bisa ia pakai. Kakinya membawanya menuju ujung ruangan, matanya meneliti dengan saksama. Dapat! Satu kursi yang masih lumayan bagus. Akan tetapi, kursi itu tertindih benda-benda lainnya sehingga membutuhkan usaha ekstra untuk mengeluarkannya.

Tepat saat ia berhasil mengeluarkan kursi itu. Terdengar suara 'blam' yang cukup keras hingga ia pun terlompat. Di detik pertama, ia memutuskan untuk tak mengacuhkan suara tersebut. Namun, detik selanjutnya matanya membelalak lebar.

"Mampus! Jangan-jangan ...." Kakinya segera ia pacu menuju pintu. Tangannya memutar hendel pintu gusar. Benar saja dugaannya. Ia terkunci. Tangan kurusnya memukul-mukul daun pintu berharap ada yang lewat dan mendengarnya.

"Halo? Ada orang di luar?" teriaknya sekuat yang ia bisa. "Halo? Hei! Tolong, dong! Di sini ada orang. Tolong bukain pintunya!" teriaknya lagi.

Samar-samar, indra pendengarannya menangkap suara cekikikan dari luar. Suara orang ber-high five ria pun tertangkap samar-samar oleh indra pendengarannya. Tangannya terkepal kuat. "Kirana?"  Walau nada suaranya terdengar ragu, tetapi hati dan pikirannya yakin bahwa itu memang benar adalah Kirana.

Terbukti dengan balasan yang datang setelah satu menit penuh menunggu. "Kamu di dalam aja dulu, Shei. Lagian tadi kamu udah bolos di mata pelajaran pertama dan kedua, 'kan? Jadi, nikmati bolosmu itu dulu, ya. Dadah."

Seiring dengan kata 'dadah', terdengar langkah kaki yang menjauh dari gudang tersebut. Sheira menggemeretakkan giginya geram. Tangannya terkepal kuat, lalu digebuknya daun pintu dengan sekuat tenaga.

"Na! Kirana! Bukain, Na! Kirana! Jangan bercanda kayak gini, Na! Habis ini ujian fisika. Na!" teriak gadis berkucir satu itu penuh permohonan. Tangannya yang ia gunakan untuk menggebuk pintu mulai sakit. Ia pun menendang pintu dengan kuat. Akan tetapi, semua hanya berakhir sia-sia. Ia tak bisa keluar dari gudang, malah tangan dan kakinya harus merasakan kesakitan.

Helaan napas lelah lolos dari bibir pinknya. Ia akhirnya kembali ke tempat ia menemukan kursi layak pakai itu dan mengeluarkannya dari timpaan barang-barang tak terpakai. Sheira menggeser kursi tersebut ke dekat pintu dan duduk di sana. Gudang ini terasa pengap karena tak memiliki jendela untuk sirkulasi udara. Selain itu, debu-debu yang tebal pun tak kalah membuat sesak.

Sembari menunggu, Sheira mulai menghitung agar mengurangi rasa bosannya. Hitungannya berhenti di angka 7.568 karena perutnya tiba-tiba terasa perih. Ia tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam sini. Namun, sepertinya jam makan siang telah lewat, perutnya lapar. Cacing-cacing peliharaannya telah berdemo sejak hitungan yang ke 6.132.

Tangan kurusnya merogoh saku celananya saat tanpa sengaja mengelap keringat, ia merasakan sesuatu yang mengganjal di balik saku roknya. Begitu dikeluarkan, seulas senyum tipis tercetak di bibirnya. Ini bisa digunakan untuk meredakan nyeri di perutnya. Tanpa pikir panjang, ia membuka bungkusan obat itu dan langsung mengunyahnya.

Sembari menunggu efek obatnya bekerja, Sheira mengira-ngira berapa lama lagi ia bisa keluar dari sini. Mengingat hari ini adalah hari Rabu dan mereka hari ini memiliki kelas sampai jam 5 sore. Sheira langsung menggeleng kuat. Gila! Jangan sampai!

Sheira tak tahu sudah berapa lama ia di dalam sini. Ia haus. Entah sudah berapa kali bel berbunyi, ia pun sudah tak ingat. Badannya lemas. Ia benar-benar butuh asupan sekarang. Entah itu air atau makanan. Ia benar-benar membutuhkannya. Namun, sayang, tas yang ia pakai sama sekali tak memiliki kedua barang yang ia butuhkan saat ini.

Saat Sheira berpikir ia akan pingsan, pintu terbuka dan menampilkan wajah cerah Kirana. "Gimana acara bolosnya?" sambutnya seraya tertawa senang.

Sheira yang sudah terlalu lemas memilih mengacuhkannya. Dengan langkah terseok, ia keluar dari gudang dan meninggalkan Kirana yang tengah tertawa puas dengan teman-temannya. Sebelum benar-benar meninggalkan sekolah, Sheira melirik jam yang tergantung di pos satpam terlebih dahulu karena heran dengan langit yang sudah mulai berwarna jingga. Jarum pendek menunjuk angka 6 dan jarum jam menunjuk ke angka 12.

Edan! Kirana gila! umpat gadis berkucir satu itu dalam hati. Matanya terbelalak lebar. Pantas saja ia lapar dan haus hingga hampir mati. Ia terkunci seharian di dalam gudang yang panas dan pengap serta penuh debu.


--------------------
1328.22072021
Siapa nih yang pernah kekunci di gudang? Hayuk acung!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro