XX
"Aku pasti akan membunuhmu," desis Kirana penuh amarah.
Sheira mengangkat bahunya tak acuh. Ia mengambil posisi siap begitu Kirana menerjangnya dan membawa seluruh kemurkaannya. Sheira menghindari serangan Kirana tepat pada waktunya.
Kirana berdecih. Ia menyadarinya, Sheira yang sekarang adalah Sheira yang berbeda dengan biasanya. Gadis berkucir satu itu telah berubah. Ia bisa menghindari semua serangannya dengan gerakan yang tepat dan ringan. Ternyata, selama ini Sheira menyembunyikan kemampuannya. Pantas saja, gadis itu terlihat percaya diri ketika melewati rintangan papan tersebut.
"Sheira! Kalau berani lawan aku, jangan menghindar aja," teriaknya marah. Kekesalannya memuncak. Berapa kali pun ia menyerang, Sheira hanya mengelaknya dengan tampang santai.
Tahu bahwa ia tak akan bisa menjatuhkan Sheira, ayunan langkah Kirana pun terhenti. Napasnya memburu. Ia menatap Sheira dengan amarah yang membara. Otaknya sibuk memutar, mencari strategi apa yang bisa ia gunakan untuk menumbangkan Sheira. Jika saja Randy ada di sini bersamanya, mereka bisa mengalahkan Sheira dengan mudahnya.
Jantung Kirana berdenyut nyeri seolah baru saja dihantam dengan kuat. Lagi-lagi, ia memikirkan sesuatu yang bodoh. Ingin rasanya ia menjedotkan kepalanya ke tembok begitu menyadari kesalahannya.
"Ah! Menyesal sekarang juga percuma, Na. Gimana rasanya bunuh Randy dengan tangan kamu sendiri? Aku rasa kamu sangat menikmatinya loh. Sayang banget gak ada yang bawa HP. Kalau ada, pasti aku rekam, nih." Sheira berjalan berputar mengelilingi Kirana yang terlihat lesu.
Gadis berkulit putih itu menggeram marah. Benar, menyesal sekarang juga percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Randy sudah mati. Dan ia tak bisa menghidupkannya lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang.
"Gimana kalau kamu bunuh diri aja, Na? Biar kerjaan aku lebih cepat selesai. Aku rasa kamu kayaknya pengen nyusul Styfan atau Martin, 'kan?" tanya gadis berkucir dengan senyuman manis yang terlihat berbahaya.
Lagi-lagi, Kirana tak menjawab. Hanya menggeram marah bak hewan buas yang tengah murka. Sheira tertawa kecil. Lucu rasanya melihat orang yang biasa menginjak-injaknya terlihat tak berdaya saat ini. Sebenarnya, ia sangat ingin mengabadikan momen ini. Akan tetapi, apa daya? Ia tak memiliki kamera atau pun ponsel.
"Kamu benar-benar—" Gadis berambut sebahu itu berjongkok tak berdaya. Kekecewaan dan ketidakpercayaan menguasai dirinya. Ia benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa Sheira yang lemah merupakan dalang dari semua ini.
"Benar. Aku tak akan berbicara berputar-putar lagi. Aku sudah cukup bersenang-senang. Jadi, aku akan mengakuinya sekarang. Toh, semua sudah berjalan sesuai rencanaku. Semua hal yang sudah kuperhitungkan tepat," jelasnya membuat Kirana terperangah.
Kirana mendongak dan menatap tajam Sheira. "Apa maksudnya itu?"
Senyum kecil terbit di bibir pink Sheira. Ia melompat senang bak seorang bocah kecil yang baru saja mendapat mainan baru. Kemudian, duduk bersila di hadapan Kirana dengan mata berbinar. " Kamu tahu?" tanyanya memulai percakapan.
Gadis berambut sebahu itu menggeleng pelan. Apa yang ia tahu? Tak ada. Justru karena tak ada yang ia tahu makanya semua temannya bahkan sepupunya tewas.
Tawa senang meluncur dari bibir Sheira. "Kematian Vivian di pintu putih itu sudah kuperhitungkan," kenangnya sambil tersenyum manis.
Mata Kirana melotot. "Kamu gila!" semburnya tak terima.
Sheira menjambak rambut Kirana yang terurai hingga kepala Kirana mendongak ke atas. "Dengerin aku sampai selesai dulu kenapa?" desisnya tak senang.
Kirana menelan salivanya gugup. Sebuah anggukan kecil ia berikan membuat senyum senang di bibir tipis itu tercetak.
"Kamu tahu, 'kan? Kalau Vivian itu penakut. Saat ada dua pintu, satu hidup dan satu mati. Lalu ada timer buat penghitung waktu mundur. Pasti penakut kayak dia bakal milih hidup karena tekanan waktu mundur itu. Padahal, timer itu hanya timer biasa. Bukan timer apa-apa. Kalian lucu, ya?" Tawa Sheira meledak saat otaknya memutar kembali bagaimana ekspresi ketakutan Vivian saat melihat waktu mereka tinggal sedikit lagi hingga ia memutuskan untuk memilih pintu hidup.
Kirana menatap Sheira tajam. Ia kehabisan kata-kata. Memaki saja, tak cukup untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini. Satu hal yang ia yakini, Sheira sakit jiwa.
"Kamu boleh anggap aku sakit jiwa," ungkap Sheira tiba-tiba membuat Kirana tersentak kaget. "Aku gak bisa baca pikiran kamu, semua tertulis jelas di ekspresi kamu," jelas Sheira lagi membuat Kirana semakin membatu.
Gadis berkucir satu itu menepuk tangannya sekali untuk mengembalikan atensi Kirana padanya. "Untuk Martin, sebenarnya, aku sedikit kaget karena kukira yang bakal mati di sana itu Bagas. Tapi tak apa. Hanya urutan kematian mereka yang terbalik. Dan berkat itu, aku bisa mendengar Bagas menangis dari balik tembok itu. Walau sebenarnya aku ingin melihatnya secara langsung, tapi itu akan jadi sangat mencurigakan. Aku tersentuh pas dia milih buat mati aja karena lihat tangan kalian berdarah. Sweet banget gak sih dia menjelang kematiannya?"
Kedua telapak Sheira saling beradu dengan hebohnya. Binar mata gadis itu terlihat sangat amat senang. Tawa pun tak pernah lepas dari bibir pink tersebut.
"Kamu gila! Sakit jiwa!" desis Kirana pelan. Matanya memindai seluruh ruangan dengan saksama. Ia memilih untuk berusaha mencari jalan keluar di saat Sheira fokus mengenang kematian teman-temannya satu per satu.
"Kalian! Kalian yang buat aku begini! Kalian yang ingin bermain dan aku hanya menyediakan wahanannya. Bukan salahku, jika ada yang gugur dalam permainan ini. Itu salah kalian! Salah kalian yang tak becus menyelesaikan rintangan yang ada," sembur Sheira menuangkan segala amarahnya.
Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Kenangan-kenangan menyakitkan menyeruak—mendesak untuk keluar—tanpa bisa ia cegah. Silih berganti, memori saat ia ditindas, saat ia menangis, dan saat ia meratapi hidupnya terputar di otaknya. Tumpang tindih hingga membuat kepalanya sakit.
Sheira meraung. Sebulir bening kristal jatuh dari sudut matanya. Disusul dengan bulir-bulir lainnya hingga tercipta sungai kecil di kedua pipinya. "Kalian ... kalian yang memaksaku untuk melakukan ini semua," isaknya membuat Kirana membeku.
Apa lagi maksudnya itu? Mereka yang membuat Sheira mengambil tindakan seekstrim ini? Mereka yang ingin bermain dan ia hanya menyediakan wahananya?
"Maksud kamu apa? Kalau ada yang mau kamu bilang, katakan dengan jelas! Jangan berputar-putar!" hardik Kirana tak mengerti.
Sheira tersenyum tipis. Sinar matanya kini penuh dengan luka. Luka yang sudah ada bertahun-tahun lamanya. Luka yang bukannya semakin mengering, malah menjadi semakin dalam dan lebar. Bahkan hingga bernanah dan membusuk.
"Kamu gak paham? Atau pura-pura gak paham?" sarkas gadis berkucir satu itu pedas.
Kening Kirana terlipat. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud dari perkataan Sheira. Bagaimana bisa ia yang meminta permainan sinting ini dilakukan? Jika memang benar itu adanya, dia juga merupakan orang sakit jiwa.
"Kalau aku yang meminta permainan ini berarti aku juga sudah sakit jiwa kayak kamu," bisik Kirana membuat Sheira terkekeh geli.
Sheira menggeleng pelan. "Yah ... kalian memang tak meminta secara jelas mau permainan yang kayak gimana. Cuma sepupumu tercinta itu, yang memberikan ide ini. Kupikir, daripada ide briliannya dibuang begitu saja. Mungkin lebih baik aku wujudkan saja," jelas Sheira pelan.
Sheira berdiri dari duduknya. Tangan rampingnya menepuk-nepuk pasir yang menempel pada celananya. Tatapan tajam menghujam ke dalam manik Kirana. "Coba kamu pikirkan baik-baik. Kesalahan apa yang sudah kamu perbuat hingga kamu memaksaku untuk menyeretmu ke sini," desis Sheira tenang. Namun, desisan itu malah mengantarkan rasa ngeri hingga ke setiap sudut syaraf Kirana.
-----------------------
1141.20072021
Apa sih kesalahan fatal yang sudah Kirana lakukan sampai Sheira milih jalan ekstrim untuk menghukum mereka semua?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro