XVIII
"Kirana! Cukup!" hardik Sheira. Tangannya gemetar hebat melihat kebrutalan Kirana yang masih terus menghujani Randy yang sudah lemas tak berdaya dengan tikaman anak panah.
Seolah baru saja tersadar akan kelakuannya, Kirana menatap kedua tangannya yang sudah berlumuran darah dengan pandangan kosong. Tak lama, ia berteriak histeris. "Apa yang sudah kulakukan?" isaknya seraya menatap Randy sendu.
Matanya bergantian menatap Randy yang susah bernapas, lalu ke tangannya yang berlumur darahnya Randy. "A-aku ... maaf," sesalnya membuat Randy tersenyum tipis.
"Kamu akan menyesal, Na. Aku jamin," lirihnya dengan napas terengah. Namun suara nadanya yang tegas terdengar seperti kutukan bagi Kirana.
Randy benar. Ia pasti akan menyesal. Seumur hidupnya. Ia tak akan pernah bisa melupakan dirinya yang membunuh Randy dengan begitu kejam dan membabi buta. Akan tetapi, baginya itu tak penting untuk sekarang. Ia sudah mengalahkan dalangnya.
Dengan tangan yang berlumur darah itu, Kirana merogoh setiap saku yang ada di pakaian Randy. Randy terkekeh pelan di ambang kesadarannya. "Kunci?" tawanya.
Kesinisan di dalam matanya, entah mengapa membuat Kirana merinding saat bertemu tatap. "Di mana? Di mana kamu nyembunyiin itu?" desak Kirana seraya terus merogoh setiap saku. Bahkan tanpa malu, ia meraba setiap inci tubuh Randy demi mencari kunci.
"Kalian benar-benar akan menyesal," bisik Randy sebelum matanya tertutup sempurna. Pergerakan pelan di dada pemuda putih dengan tinggi 174 cm itu terhenti. Tak ada lagi napas terengah yang terdengar di antara mereka.
Kirana meraung marah. Ia sudah merogoh setiap inci tubuh Randy, tetapi ia tak menemukan kunci sama sekali. Tangannya terkepal kuat. Benar kata Randy, ia menyesal. Bahkan sebelum Randy mati pun, ia sudah menyesali perbuatannya. Sekarang, hatinya semakin patah. Tak dapat kunci, ia malah harus kehilangan Randy.
Di saat pikirannya kusut, ia teringat bahwa masih ada satu tersangka lainnya. Ia segera menoleh dan mendapati Sheira sedang dalam posisi siaga. Kedua tangan gadis berkulit kuning langsat itu menggenggam pegangan martil dengan erat. Pandangan matanya penuh dengan kecurigaan.
"Kalau bukan Randy, pasti kamu, 'kan? Seharusnya aku mendengar ucapan Randy," ujar Sheira penuh sesal. Walau posisi siaganya terlihat kuat dan meyakinkan. Kirana bisa melihat tangan ramping itu gemetar hebat, begitu juga kakinya.
Tawa mengejek meluncur dari bibirnya. "Jangan sembarangan nuduh!" hardiknya tak terima. "Kamu 'kan juga bilang kayak gitu," lanjutnya lagi dengan geram.
Sheira menelan salivanya gugup. Pegangannya semakin dipererat. "Ka-kamu duluan yang mulai nuduh Randy. Aku cuma bilang kalau Randy juga pernah bilang kayak gitu ke aku," ujarnya membela diri.
Kirana mendengkus. "Jangan-jangan kamu sengaja mau pecah belah aku sama Randy? Kamu 'kan dalangnya." Kirana merangsek maju membuat Sheira mundur tanpa ia sadari.
Tawa mengejek keluar dari bibir Kirana. "Tapi mana mungkin anak kayak kamu bisa jadi dalang di balik semua ini. Kamu bahkan secara mengejutkan malah bisa bertahan sampai akhir. Padahal kamu gak bisa apa-apa. Cuma pintar doang," ejek Kirana membuat Sheira mengeraskan rahang.
"Diam!" hardiknya marah. Sheira melepaskan genggamannya pada gagang martil dan mengusapkannya pada celananya. Tangannya licin akibat keringan yang terus bercucuran.
Sheira menatap Kirana tajam. Setelah menelan ludahnya susah payah, gadis berkucir satu itu berucap tak percaya, "Jangan-jangan ... kamu, 'kan? Dalangnya itu kamu! Makanya kamu membunuh Randy. Kamu pasti gak yakin bisa membunuhnya sendirian makanya kamu minta aku kerja sama sama kamu, 'kan?"
Kirana mendecih. "Kamu kira aku selemah itu? Aku sendirian juga bisa ngalahin Randy. Dia bukan apa-apa. Kamu tadi sudah lihat sendiri, 'kan?" Kirana berkacak pinggang sambil menatap Sheira yang menatapnya dengan pandangan horor.
"Jadi benar? Kamu dalangnya?" tuntut Sheira semakin mengeratkan pegangannya pada gagang martil walau harus berkali-kali melepasnya demi mengeringkan keringat yang terus mengucur.
Kirana melongo. Mengapa Sheira bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Bukan itu inti dari percakapan mereka. Ia menatap garang pada gadis berkulit kuning langsat itu. "Bukan itu intinya! Kenapa malah aku yang jadi dalangnya?"
"Memangnya kalau bukan kamu siapa lagi? Di sini hanya ada kita berdua?" jelas Sheira. Suaranya terdengar bergetar. Jelas sekali gadis itu tengah kalut dan takut.
Kirana menghela napas lelah. Bagaimana pun ia pikirkan, Sheira bukanlah dalang dari semua ini. Ia sudah melihat bagaimana tingkah gadis itu. Sehebat apapun gangguan yang diberikan pada gadis berkucir satu itu, gadis itu akan tetap bergeming tanpa kata. Mau tak mau, ia harus mencoret gadis itu dari daftar tersangka.
"Apa dalang yang sebenarnya gak ada di sini?" gumam Kirana larut dalam pemikirannya sendiri.
Melihat Kirana tak memiliki niat untuk menyerang, Sheira sedikit mengendurkan pertahanannya. "Bisa jadi. Mungkin dia ingin kita mati tanpa harus membunuh kita secara langsung," gumam Sheira setelah memikirkan kemungkinan tersebut mungkin saja benar adanya.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sheira setelah mereka berdua terdiam cukup lama setelah memikirkan kemungkinan tersebut. Sheira menatap Kirana yang diam. Ia tak tahu apa yang ada di dalam kepala cantik itu.
Kirana menatap Sheira datar. Tak ada jawaban yang bisa ia berikan. Ia pun tak tahu harus bagaimana sekarang. Lalu, matanya beralih menatap mayat Randy yang sudah pucat. Darah di sekitar tubuh Randy sudah mulai ada yang mengering. Helaan napas berat ia embuskan.
Seandainya saja, pemikiran itu terlintas lebih cepat. Mungkin Randy tak perlu meregang nyawa dengan begitu menyakitkan. Sebulir kristal bening meluncur dari sudut mata Kirana. Seandainya saja, tetapi berandai-andai sekarang pun sudah percuma. Randy sudah pergi, pergi ke tempat yang jauh dan meninggalkannya sendirian.
Ia menyadari kebodohannya. Jika saja ia lebih mempercayai Randy, hal ini tak mungkin terjadi. Jika saja ia bisa sedikit lebih tenang, Randy tak akan meninggal karenanya. Kirana menatap tangannya yang berwarna merah penuh sesal.
"Menyesal sekarang pun, tak ada gunanya. Randy tak bisa hidup kembali."
Kirana mengangguk pelan, menyetujui ucapan itu. Setedik berlalu, ia mengangkat kepalanya dengan cepat. Ada yang aneh dengan nada suara itu. Nada suaranya sangatlah dingin seolah tak ada emosi di dalamnya. "Apa-apaan kamu?"
Sheira mengangkat bahu tak acuh. "Bukan apa-apa. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Aku tahu kamu menyesal karena sudah membunuh sepupumu, 'kan?" Sheira tersenyum tipis. Sinar matanya begitu sendu.
Kirana mengangguk membenarkan. "Kamu benar. Aku menyesal karena sudah membunuh Randy. Dia sebenarnya anak yang baik. Aku senang menjadi sepupunya," jelas Kirana. Matanya menggenang kembali. Teringat olehnya bagaimana hubungannya dengan sepupunya yang satu ini.
Ia ingat, sejahat apapun Randy pada orang lain. Randy tak pernah menjahatinya sama sekali. Randy bahkan selalu melindunginya. Randy sepupu dan teman yang baik. Ia mengakuinya. Namun, apa yang telah ia perbuat sekarang? Nyawa sepupunya habis di tangannya.
Setelah berbagai kenangan indah antara Randy dan dia berseliweran di otaknya. Mata Kirana membulat. Ia langsung berdiri dari duduknya dan menatap Sheira tajam. Sikapnya waspada. "Dari mana kamu tahu dia sepupuku?"
Sheira mengangkat bahunya tak acuh. "Apa itu sesuatu yang seharusnya dirahasiakan?" tanyanya seraya tersenyum manis. Akan tetapi, senyuman itu malah membuat Kirana merinding. Ada yang tak beres di sini.
"Kamu tahu, Na? Aku pikir kamu-lah dalang dari semua ini. Kamu begitu berambisi membunuh Randy. Dan juga, fakta kalau kamu adalah sepupu Randy. Aku rasa .... Kamu, 'kan?" tanya Sheira sembari mengambil posisi siap karena Kirana sudah menerjang ke arahnya.
----------------------
1138.18072021
Aku gak tau lagi lah ....
Mari baku hantam saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro