Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XV

Setelah membanting pintu putih itu hingga tertutup, Randy menyeret Sheira dan Kirana yang mematung akibat syok. Kedua gadis itu sekaku batu. Tak ada reaksi dari mereka saat diseret paksa memasuki ruangan di balik pintu hitam.

Selama beberapa saat, ketiga remaja itu terdiam—larut dalam pikiran masing-masing. Syok akibat kematian Styfan yang begitu mendadak dan tak terbayangkan mengguncang mental mereka. Randy yang tadi paling pertama beraksi pun masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Otaknya terus mencerna kejadian beberapa menit yang lalu. Walau tubuhnya bergerak karena refleks, ia masih belum paham betul apa yang terjadi saat ini.

Insting pemuda itulah yang membuatnya bergerak dengan cepat untuk menarik kedua gadis yang berharga baginya. Kepalanya sakit memikirkan kini mereka hanya sisa bertiga. Karena semakin sedikit orang yang tersisa, peluang pulang dengan selamat akan menjafi sangat kecil.

Randy menggeleng kuat, berusaha mengusir pikiran negatifnya agar bisa tetap mempertahankan kewarasannya. Ia harus tetap fokus agar bisa keluar bersama kedua gadis itu hidup-hidup. Ia menepuk kedua pipinya agar bisa lebih fokus.

"Shei? Na?" panggilnya pelan, tetapi tak ada respon dari kedua gadis itu. Keduanya masih mematung dengan pandangan kosong. Randy pun memutuskan untuk mengguncang kedua gadis itu pelan.

Sheira yang lebih dulu bereaksi. Gadis itu melenguh, lalu terisak. Bahunya berguncang hebat. Bayangan Styfan yang meregang nyawa di depan matanya terus menghantuinya setiap ia membuka atau pun menutup matanya. "Styf—"

"Lupain, Shei. Kamu harus fokus! Apa pun yang terjadi, kamu harus fokus. Yang udah gugur, jangan diingat-ingat lagi," tegasnya membuat Sheira menoleh padanya dan menatapnya ngeri. Ia sungguh tak mengerti mengapa pemuda itu bisa begitu tenang menghadapi kematian teman-temannya. Sementara, ia sendiri yang belum begitu dekat dengan mereka tak bisa bersikap sesantai itu. Walau begitu, sebagian dirinya tahu bahwa perkataan Randy masuk akal.

Ia adalah manusia yang hidup. Dan saat ini, tak fokus sedikit saja, nyawanya bisa melayang di saat itu juga. Setelah mengeraskan hatinya, ia mengangguk kaku. Ia memejamkan matanya dan menarik napas dalam, lalu membuangnya secara perlahan—berulang kali.

Randy mengalihkan perhatiannya pada Kirana yang masih gemetar hebat. Ia menepuk pundak gadis berambut sebahu itu pelan dan menariknya ke dalam pelukan. "Gak apa, Na. Gak apa. Bukan salah kamu, Na. Gak ada yang bisa salahin kamu. Kamu harus lupain itu dulu untuk sementara dan tetap bergerak maju ke depan, Na," bisik pemuda itu lembut di telinga Kirana.

Kirana meremas kaos putih Randy. Air mata yang sedari tadi mendesak keluar pun tumpah tak terkendali. Isakan pilu meluncur dari bibir tipis Kirana. "Styfan, Ran. Styfan. A-aku harus gimana, Ran?" Tangis gadis berkulit putih itu pecah di pelukan Randy.

Randy mengeratkan pelukannya dan menepuk-nepuk punggung Kirana pelan. "Gak apa, Na. Gak apa. Kamu bisa, Na. Kamu bisa," bisiknya lembut berulang kali. Setelah menangis berjam-jam, Kirana mengurai pelukan tersebut.

Ia menatap ruangan—yang di luar dugaan—berwarna putih itu dengan mata sembapnya. Kepalanya berputar. Kebingungan tercetak jelas di wajahnya. Tak lama, wajahnya memutih saat melihat tulisan berwarna merah di tengah-tengah dinding putih itu.

Permainan ini dibuat oleh salah satu dari kalian yang berhasil mencapai ruangan ini. Jika ingin selamat, coba kalahkan ia dengan cara apa saja, termasuk membunuhnya.

Begitulah isinya, mata Kirana langsung menatap Randy dengan amarah membara. "Kamu, 'kan?!" tudingnya berang. Ia sudah menduganya. Dari awal sekali, ia sudah menduganya bahwa itu semua adalah ulah Randy. Melihat tulisan itu, ia semakin yakin.

"Apa? Apa salah kita sampai-sampai kamu tega ngelakuin ini? Hah?! Kamu sadar apa yang kamu lakuin? Kamu itu udah membunuh teman-teman kita. Kamu pembunuh!" teriak Kirana seraya menatap tajam Randy. Wajahnya memerah, napasnya terengah. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya hingga buku jarinya memutih.

Randy menampilkan mimik kecewa. "Kamu salah! Bukan aku pelakunya," sanggah pemuda itu tenang. "Mereka memang mati dibunuh, tapi bukan aku. Mereka mati terbunuh oleh permainan gila ini," jelas pemuda berlesung pipi itu dingin.

"Kalau bukan kamu siapa? Hah?! Kamu kira aku lupa? Waktu kita kecil, kamu pernah punya ide mau bikin game ginian, 'kan?" Kirana menatap netra Randy tajam—menantang. Ia mendengkus kasar, lalu mendecih saat melihat Randy yang hendak menyanggahnya.

****

"Bosan," keluh bocah kecil seraya melempar potongan puzzle ke sembarang arah. Gadis kecil di depannya memukul dahinya keras dan menggembungkan pipinya sebal. Tanpa banyak kata, gadis kecil itu bangkit dari duduknya dan mengambil potongan puzzle tersebut.

"Na, kayaknya lebih seru kalau permainan yang sebenarnya. Kayak kita terkurung di satu ruangan terus di setiap ruangan itu ada rintangannya gitu. Rintangannya macam-macam. Kalau gagal atau salah langkah bisa bikin mati. Seandainya ada permainan yang kayak gitu, aku bakal ngajak kakak-kakakku buat main di sana," ujar bocah kecil itu seraya tersenyum lebar—memamerkan lesung pipinya.

Gadis kecil itu mendengkus sebal. Ia hanya bisa menggelengkan kepala melihat khayalan tingkat tinggi bocah tersebut. Ia memilih untuk tak menanggapinya dan kembali pada puzzle yang sudah ¾ selesai itu.

"Kirana!" rengeknya saat menyadari bocah perempuan itu memilih untuk mengabaikannya. "Kamu gak dengerin apa kata aku?" tuntutnya seraya menarik-narik kepangan rambut Kirana.

Kirana kesal, ia menepis kasar tangan bocah kecil itu. Saat mereka sedang bergelut, tiba-tiba pintu dibanting dengan keras.

"Randy!" teriak dua suara berbeda secara bersamaan membuat kedua bocah berusia 10 tahun itu mematung sempurna. Aura bocah lelaki yang dipanggil Randy otomatis menggelap. Sementara Kirana hanya bisa menghela napas lelah dan menatap iba pada Randy.

Pasti mau ngerjain Randy lagi. Senang banget ngerjain Randy, pikir Kirana sebal. Ia merasa wajar saja jika ingin memasukkan kedua kakaknya ke dalam rintangan-rintangan sulit hingga berharap mereka mati saja.

Kedua gadis tanggung itu menyeret bocah lelaki yang sudah memasang tampang masam itu dengan paksa. Randy diseret menuju kolam renang di belakang rumah Kirana. Rasa horror menjalar ke setiap inci tubuhnya.

Jangan-jangan mau ceburin aku ke kolam, pikirnya ngeri. Benar saja, kengerian itu terwujud. Kedua kakaknya mendorongnya hingga ia masuk ke dalam kolam yang dalam. Tak ada tempat untuknya berpijak. Ia bisa mendengar tawa senang yang meluncur dari bibir kedua kakaknya.

"Ran, kalung kakak tenggelam. Tolong ambilin, dong!" pinta salah seorang kakaknya dengan suara memelas. Akan tetapi, Randy tak peduli sama sekali. Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana caranya ia bisa mencapai permukaan dan keluar dari kolam renang ini. Ia sama sekali tak bisa berenang.

"Randy!" Kirana berteriak kaget saat mendapati Randy menggapai-gapai di tengah kolam. Ia segera berlari menuju ruang tamu dan memanggil kedua orang tuanya beserta orang tua Randy. "Mama! Papa! Randy—" ucapnya seraya menarik-narik tangan dua pasang orang dewasa itu.

Melihat Kirana yang heboh, kedua pasang orang tua itu pun mengikuti gadis kecil itu. Sesampainya di kolam renang, orang tua Kirana kaget. Sementara raut wajah orang tua Randy tak bisa ditebak sama sekali, tak ada kekagetan di sana. Wajah mereka hanya mengeras melihat hal itu.

Randy berhasil diangkat oleh ayah Kirana. "Kamu gak apa, Ran?" tanyanya seraya menepuk-nepuk punggung Randy agar air yang sempat terminum oleh bocah itu termuntahkan semua.

Randy mengangguk lemas seraya terbatuk-batuk. Ujung matanya melirik tajam pada kedua kakaknya yang sedang cekikikan. Ia melempar kalung yang berhasil ia genggam saat tenggelam di dasar kolam. "Makan tuh! Dasar iblis! Kalian sengaja, 'kan?" makinya kasar sebelum berlari meninggalkan tempat itu.

Saat hampir mencapai pintu, sebuah tangan besar menarik kerah bajunya. Ia menoleh dan langsung bertatapan dengan netra penuh amarah milik sang ayah. Bukannya takut, ia malah menentang manik tersebut. "Kenapa? Mau pukul lagi? Belain saja terus anak kalian yang bakal jadi calon pembunuh itu," ujarnya tenang membuat Kirana kaget bukan main.

Walau ia sudah sering melihat perseteruan antara Randy dan ayahnya yang sama-sama keras kepala, belum pernah ia melihat Randy menantang dengan sejelas itu. Kirana meremas kedua tangannya gugup. Ia melihat dengan jelas bagaimana bibir Randy sobek akibat tamparan kemurkaan sang ayah. "Om!" Kirana memeluk Randy sambil menangis.

Ia merasa bahwa ini semua salah. Ia tak tahu mengapa semua orang di keluarga Randy memperlakukan Randy seperti itu. Padahal, di matanya, Randy adalah anak yang baik. Walau ia sedikit aneh, tetapi itu bukanlah masalah besar hingga bisa membuat semua orang membencinya seperti itu.

"Sudahlah, Kak! Jangan pukuli Randy lagi! Kakak juga tahu, 'kan? Selama ini Randy gak pernah nyari masalah dulu," cegah ibu Kirana, menahan tangan ayah Randy yang sudah terangkat ke atas.



---------------------
1345.15072021
Wah! Udah setengah jalan 😭😭😭
Bangga pada diri sendiri dan juga perjuangan temen-temen yang menjalani ODOC
Makasih buat yang udah baca sama yang udah injekin bintang. Aku sayang kalian 😭😭😭
Dan juga..
Gak bosan-bosan aku ingatkan..
Dukung karya anak HMT lainnya ya. Bakal aku list di bawah ini.
1. Bloody Diary - Lynch_A
2. Elegi - Maharin
3. Save Me - MeltySari24
4. Mizu Secret - Uchiha_1723_Fara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro