XIV
"Apa ini? Lagi?" tanya Kirana tak terima. Amarahnya membuncah saat melihat ruangan yang lagi-lagi menyediakan dua pintu—putih dan hitam. Kenangan mengenai kematian Vivian kembali menyapa keempat remaja tersebut bak video yang terputar kembali di depan mata mereka.
Rasa kesal membuat Kirana tak kuasa menahan umpatannya. Sungguh, saat ini bukan lagi rasa takut akan kematian yang merayap di benaknya, melainkan rasa muak pada dalang dari semua ini. "Sumpah demi apa pun! Aku akan membunuhmu! Dasar sialan!" umpat gadis itu berang.
Styfan menepuk bahu gadis itu pelan. "Tenanglah! Ini memang mengesalkan, tapi aku bersyukur apa yang aku khawatirkan gak terjadi. Setidaknya, ini masih ujian keberuntungan. Atau ini memang ada polanya tersendiri?" ujarnya sambil berpikir dalam tentang pintu-pintu ini.
Randy dan Sheira mengangguk menyetujui. Mereka juga sama bersyukurnya dengan Styfan karena tak harus melewati ujian kepercayaan karena mereka semua tak saling mempercayai. Hal itu tentunya akan membuat mereka terpecah belah dengan mudahnya.
"Tapi ... apa benar ada polanya?" Sheira menggigit bibirnya seraya menatap tajam kedua pintu tersebut.
Randy dan Kirana mengangkat bahu tak mengerti. "Mungkin ada, mungkin tidak," jawab keduanya secara bersamaan membuat Sheira dan Styfan memandang keduanya takjub. Baru kali ini, setelah masuk ke dalam sini, dua remaja itu sekompak ini. Di mata mereka, ini adalah hal yang sangat luar biasa. Tentunya pemikiran ini sangat berbanding terbalik dengan pemikiran Randy dan Kirana.
Kedua remaja itu mendengkus kesal. "Apa ikut-ikut?" salak keduanya—lagi-lagi secara bersamaan.
"Kamu yang ikut-ikutan!" tuding keduanya secara bersamaan. Tak lupa dengan telunjuk yang saling menunjuk, lalu bertolak pinggang secara bersamaan. Jika dilihat, mereka berdua bak cermin dan bayangannya.
Tiga kali melakukan percakapan yang sama dengan nada dan gestur yang sama pula membuat kedua remaja itu merasa dongkol bukan main. Randy yang pertama kali menyudahi "permainan cermin" tersebut dengan segera berbalik dan membuang muka. Sementara itu, Kirana menggerundel karena terlihat kompak dengan Randy.
Sheira sampai bertepuk tangan karena saking takjubnya. Ia menatap keduanya dengan mata berbinar seolah meminta siaran tambahan lagi. Sadar akan tatapan Sheira, Kirana dan Randy pun memelototi gadis berkucir satu itu tajam hingga ia menciut.
"Kalian ini. Kompak berantem. Silang pendapat pun berantem," tegur Styfan membuat Randy dan Kirana menatapnya tak terima.
"Dia duluan!" Randy menujuk Kirana dan Kirana pun menunjuk Randy. Menyadari lagi-lagi keduanya melakukan kekompakan secara tak sengaja, keduanya hanya bisa mendengkus kasar.
Styfan menggeleng pasrah. Ia sudah capek menghadapi tingkah di luar nalar dari kedua temannya itu. Lebih baik ia berdiskusi dengan Sheira saja. "Shei, menurut kamu gimana?"
Sheira memfokuskan pandangannya pada Styfan. Ia menatap Styfan, lalu kembali memelototi kedua pintu itu. Menatap Styfan lagi, lalu memelototi pintu lagi. Kegiatan itu, ia lakukan berulang kali hingga Randy yang tak tahan pun menekan kepala Sheira agar tak menunduk dan mendongak terus.
"Kamu! Bisa berhenti gak, sih? Risi liatnya," sergah pemuda berlesung pipi itu gemas.
"Ah, maaf." Kini gadis itu menggenggam tangannya dan menaruhnya di atas dagu—berpikir keras.
Setelah yakin kepala Sheira tak akan bergerak-gerak lagi dan membuatnya pusing, Randy melepaskan tangannya. Randy pun ikut memandang pintu itu dengan tajam seolah jika ditatap dengan begitu sang pintu akan menjawab segala pertanyaan yang sedang berseliweran di otaknya.
"Bisa-bisa jebol tuh pintu," seloroh Styfan saat menyadari Randy menatap pintu dengan membara.
Randy tersenyum kikuk. Helaan napas berat meluncur bebas dari bibirnya. Otaknya mumet. Ia pun memilih duduk bersila di atas lantai. Melihat Randy yang duduk, Kirana dan lainnya pun mengikuti.
"Sekarang kita harus gimana?" tanya Kirana. Ada setetes aura putus asa di nada suaranya.
Randy menggeleng pelan. Ia benar-benar bingung. Tak tahu harus bagaimana. Setidaknya, pintu hidup dan mati kali ini tak lagi memiliki timer yang menempelinya. Sehingga ia dan teman-temannya masih bisa berdiskusi dengan bebas tanpa tekanan mental. Ah, untuk yang terakhir, pemikirannya salah. Tekanan mental tetap ada, tetapi tak sebesar saat ada waktu yang ikut mengejar.
Styfan menatap kedua pintu dengan bimbang. "Gimana kalau kita coba buka pintu putih alias pintu hidup dulu?" usulnya membuat teman-temannya menatapnya heran. Berani sekali pemuda berkacamata itu coba-coba untuk hal yang berhubungan dengan nyawa.
"Kamu udah gila, ya?" hardik Kirana kesal. Bisa-bisanya Styfan mengusulkan hal yang tak masuk akal seperti itu. Mau dipikirkan bagaimanapun, keputusan yang diambil pemuda itu sepertinya adalah keputusan yang diambil akibat rasa putus asa yang menumpuk.
Sheira menepuk pelan punggung tangan Styfan dan menatapnya iba. "Kamu seputus asa itu, ya? Sampai mau coba-coba? Kamu tahu, 'kan? Salah sedikit aja nyawa kita melayang, loh!" Sheira memperingatkan Styfan hingga membuat pemuda itu bergidik ngeri mengingat konsekuensinya.
Styfan menggaruk wajahnya kikuk. Ia merasa malu karena putus asa, ia malah hendak mendorong teman-temannya menemui malaikat maut. Beruntung jika malaikat maut itu hanya datang menyapa. Bagaimana jika malaikat maut itu datang untuk menyeret mereka pergi ke neraka melalui jalur ekspress? Bisa gawat nantinya mengingat mereka masih sering menebar dosa di mana-mana.
"Kamu kalau mau mati, sendiri aja, ya. Jangan ngajak-ngajak," bisik Randy pelan seraya menepuk punggung Styfan.
Styfan hanya bisa meringis pelan. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Setelah yakin dengan argumen yang ia siapkan tak akan mendapatkan bantahan, Styfan pun memulai pidatonya.
"Sekarang, coba kalian pikir. Awal masuk kemarin, kita kan udah milih pintu item alias mati. Dan makin ke sini, udah makin banyak yang gugur, 'kan? Jadi, kurasa kali ini pintu putih atau yang hidup yang tepat. Nanti kita buka aja dulu pintunya, tapi jangan masuk. Kita berdiri di depan pintu dan lihat situasinya aja dulu. Gimana?" usulnya membuat teman-temannya sedikit goyah.
Randy, Kirana, dan Sheira saling melirik. Terlihay mereka mulai goyah dengan argumen dari Styfan. Rencana Styfan terdengar bagus. Membuka pintu, lalu menilai keadaan. Jika aman, mereka akan masuk. Namun, jika sebaliknya, tinggal menutup pintu lagi. Rencananya simpel. Akan tetapi, bisa saja pelaksanaannya gak sesimpel itu.
Karena tak terpikirkan rencana apapun dan juga rencana tersebut lumayan bagus. Mereka pun sepakat menjalankan rencana itu. Styfan yang mempimpin karena ia yang mengusulkan rencana itu. Dengan yakin, tangannya memutar kenop pintu putih dan menariknya hingga terbuka.
Sudah satu menit berlalu, tetapi tak ada yang terjadi. Styfan pun melongokkan kepalanya jauh ke dalam. Tubuh mereka menengang saat mendengar bunyi "bip". Tak lama setelah itu, terdengar bunyi "syut" berulang kali. Belum sempat keempat remaja itu mencerna apa yang terjadi. Mereka dikagetkan dengan tubuh Styfan yang ambruk dengan panah yang menancap sempurna di jidat mulusnya.
Pemuda berkacamata itu tewas tanpa bisa memprotes apa-apa. Ia bahkan masih belum sempat mencerna apa yang terjadi. Kirana dan Sheira berteriak panik. Randy yang kaget sempat mematung selama beberapa menit sebelum akhirnya ia menarik tubuh Styfan menjauh dari daun pintu dan membanting pintu hingga tertutup karena panah yang dilancarkan—oleh entah siapa, tetapi mungkin adalah mesin—masih terus menghujan ke luar ruangan.
--------------------------
1104.14072021
Yak! Styfan pun gugur sama seperti Juli yang gugur di cerita "Elegi" karya Maharin
Kira-kira, ruangan di balik pintu hitam itu ada apa, ya?
Kalau penasaran jangan lupa ditunggu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro