XIII
Randy memimpin barisan. Ia berhenti dengan kening berkerut dalam. Tak ada apapun di ruangan ini. Kosong dan bersih, hanya ada bebatuan kerikil dan pasir-pasir. Ia menatap teman-temannya bingung. "Gimana nih?"
Kirana mengangkat bahunya tanda tak mengerti. Ia juga sama bingungnya dengan Randy. Akan tetapi, ia merasa terlalu cepat untuk merasa senang sekarang. Entah bagaimana, firasatnya mengatakan bahwa mereka masih harus melewati beberapa tantangan lainnya. Tantangannya tak mungkin berhenti hanya di sini saja.
Sheira pun hanya menggeleng pelan. Ia sama sekali tak tahu-menahu apa yang harus dilakukan. Matanya mengikuti arah pandang Kirana dan Randy—menatap Styfan yang terdiam.
"Hah? Apa?" tanya Styfan saat merasakan semua tatapan mengarah padanya.
Kirana menghela napas dan menggeleng pelan. Bisa-bisanya temannya yang biasanya memperhatikan dan mempelajari situasi itu malah melamun. "Kamu ngelamunin apaan di saat seperti ini? Bukannya bantuin mikir ini harus gimana," cerca gadis berambut sebahu itu sebal.
"Gak, bukan apa-apa, kok. Bukan sesuatu yang penting." Styfan mengelak, lalu menatap sekeliling dengan gelagapan. Kebingungan kini melandanya, ia tak tahu ini ada di mana. Ia mengalihkan netranya pada Randy, meminta penjelasan.
"Kita udah jalan dari sono." Randy menunjuk ke pintu yang ada jauh di belakang Sheira, lalu menarik jemarinya dan menunjuk ke arah kaki Styfan berada. "Sampai sini," lanjutnya sedikit geram.
"Di sono ada apaan, Ran?" tanya Styfan bingung. Ia benar-benar tak tahu di ruangan sebelumnya ada apa. Ia bahkan tak tahu bagaimana bisa ia berjalan sampai sini. Ingatannya terakhir adalah saat ia melerai pertengkaran antara Randy dan Kirana.
Kirana gemas. Dicubitnya lengan Styfan sambil memelototi pemuda berkacamata itu tajam. "Kamu mikirin apa dari tadi? Sampai gak nyadar kalau kita udah jalan jauh," desaknya.
Styfan mengalihkan pandangan, menolak untuk menatap Kirana. Ia berdeham, lalu mendorong wajah Kirana yang mendekat padanya. "Su-sudah kubilang kalau itu bukan apa-apa," jelasnya. Terlihat sekali ia gugup dan sedang menutupi sesuatu.
Sheira mendengkus. "Bohong!" celanya. Ia yakin Styfan sedang berbohong. Biasanya Styfan sangat teliti memperhatikan sekitar dan juga suasana. Namun, saat ini terlihat jelas sekali bahwa otak pemuda itu sedang berkeliaran ke mana-mana.
"Sheira aja bisa tahu kalau kamu bohong, Styf. Kamu masih mau ngelak?" desak Kirana sambil terus menyudutkan Styfan ke sudut ruangan.
Randy hanya diam saja melihat Styfan disudutkan seperti itu. Sebenarnya, ia sama sekali tak penasaran. Walau begitu, ia sangat tertarik pada ekspresi Styfan saat disudutkan oleh Kirana yang keras kepala.
Styfan meletakkan telapak tangannya tepat di wajah Kirana dan mendorongnya pelan agar gadis itu tak terjengkang ke belakang. "Sudah kubilang bukan apa-apa," jelasnya. Kali ini, ketenangan kembali mendominasi warna suaranya.
Kirana mencibir pelan. Susah sekali mengorek informasi dari Styfan. Pemuda berkacamata itu tetap konsisten untuk tak mengumbar rahasianya. Dan itu membuatnya sedikit sebal.
Melihat Kirana yang mulai kesal, Randy pun mengambil alih. Ia takut suasana akan menjadi rusak, jika gadis itu mengamuk. "Ruangan belakang itu ada ruangan check point sama ruangan Bagas—" Randy menelan saliva susah payah karena telah salah memilih kata.
"Kita sudah lewati berbagai ruangan kosong dari sana. Terus kita juga udah turun dua lantai. Tapi belum ada apapun. Mau berhenti sama nyusun strategi dulu apa gimana?" lanjut Sheira membelokkan suasana yang sempat suram.
Styfan berdeham beberapa kali. Ia menatap ruangan di belakangnya, lalu menatap ruangan di depannya dengan kening terlipat. "Yang pasti ... kita harus maju ke depan. Kalau soal strategi, gak ada strategi yang bisa kita susun karena semua ruangan yang udah kita lewati itu random," jelasnya sebelum tiba-tiba terhenti seolah baru menyadari sesuatu.
"Tunggu-tunggu!" sergahnya heboh. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan itu seraya mengingat kembali rintangan apa saja yang sudah mereka lewati. "Keberuntungan. Kepintaran. Keseimbangan. Ketelitian. Apa ini ada hubungannya?" gumamnya seraya memutar kembali memorynya dengan cepat.
Mendadak, wajahnya berubah pucat. "Semoga bukan," lirihnya penuh harap.
Randy menahan bahu Styfan agar tak bergerak lagi. "Jelasin! Jangan cuma ngomong sendiri!" pintanya sedikit memaksa.
"Aku rasa, walau gak ada polanya. Dia kayaknya mau nguji kita sebagai individu. Entah apa alasannya. Aku gak tau. Tapi, satu hal yang aku khawatirkan, aku takut kali ini bakal ada ujian buat tim. Entah antara kekompakan kita atau kepercayaan kita yang bakal diuji." Styfan menyuarakan kekhawatirannya dengan kalut. Aura khawatirnya begitu kental hingga menular ke teman-temannya.
Sheira meremas kedua tangannya cemas. Jika saja uji kekompakan, itu bukanlah hal yang sulit, tetapi kalau itu kepercayaan. Ia yakin 1000% kalau itu adalah hal yang sangat sulit. Bukannya apa-apa, kini yang tersisa di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki krisis kepercayaan.
Styfan yang pintar dan selalu menilai suasana dengan cepat mungkin saja akan berbalik menyerang jika ada kesempatan. Randy yang tenang dan jarang menampakkan emosinya sangat sulit untuk ditebak. Kirana yang paling simpel, tetapi tak menutup kemungkinan untuk mengambil keputusan berkhianat. Sementara Sheira sendiri, ia baru dekat dengan mereka dan tak memiliki ikatan yang begitu kuat sehingga jika diharuskan untuk berkhianat, mungkin ia akan melakukannya.
"Kalau kekompakan, mungkin kita bisa. Tidak! Kita harus bisa," tegas Kirana dengan raut cemas. Ia tak yakin sepenuhnya. "Kalau untuk kepercayaan—" Ucapan gadis berambut sebahu itu terhenti.
Semuanya mengerti, mereka paham betul mengapa Kirana tak dapat menyelesaikan perkataannya. Mereka juga sama, di saat yang genting, mereka bisa mengkhianati satu sama lain.
"Biar nanti kita gak saling curiga, mending kalau ada apapun sekarang yang biasanya kita tutup-tutupin beberin aja semua di sini." Randy menatap satu per satu wajah teman-temannya—mengintimidasi.
Kirana mendengkus. "Di sini yang paling gak bisa dipercaya itu kamu," tuding gadis itu seraya menunjuk dada Randy.
Randy terkekeh pelan. "Kamu tahu kalau aku gak pernah bohong dari kamu, Na. Aku selalu ceritain semuanya ke kamu," bantah Randy tak terima.
Tawa mencemooh meluncur dari bibir Kirana. "Kamu yakin? Yang kamu ceritain itu semua yang kamu lewati, minus apa pemikiran kamu dan minus gimana perasaan kamu," ejek gadis itu membuat Randy mulai berang.
Kedua tangan Randy terkepal di setiap sisi tubuhnya, giginya gemeretak. Sheira dan Styfan melihat hal itu, takut akan terjadi hal yang buruk. Sheira bergerak menarik Randy dan Styfan bergerak menenangkan Kirana.
"Stop! Kalian tahu? Aku ngomong gini bukan buat kita bertengkar kayak gini. Lagian kecurigaan aku masih belum pasti. Daripada ribut gini, mending kita semua maju ke depan aja." Styfan berdiri di hadapan Kirana—menghalangi pandangannya ke arah Randy yang tengah ditenangkan oleh Sheira.
Sheira menepuk-nepuk punggung Randy pelan. "Sudahlah! Jangan berantem! Kenapa kalian sering banget berantem? Kayak pasangan suami istri yang udah nikah selama bertahun-tahun saja." Sheira mencoba untuk bercanda, tetapi mimik wajah Randy berubah menjadi tak enak.
Styfan menghela napas lelah. "Sekarang kita maju aja terus ke depan. Mungkin saja ruangan selanjutnya ada di depan," ajak Styfan dan menuntun mereka menuju ke ruangan selanjutnya. Benar saja, perkataan Styfan menjadi kenyataan. Akan tetapi, saat sampai di ruangan tersebut, mereka hanya bisa mematung heran.
"Apa ini? Lagi?" tanya Kirana tak terima.
---------------------
1114.13072021
Yuhu! Hayoloh! Apa sih yang dilihat sama mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro