Randy terbangun dari tidurnya saat mendengar suara pekikan kaget. Walau begitu, ia masih belum tersadar sempurna hingga sebuah teriakan nyaring menyapa gendang telinganya. Suara yang sangat amat familiar di indra pendengarannya. Ia pun segera menyisir ruangan yang di tempatinya dengan mata.
"Sheira!" serunya tanpa sadar kompak dengan kedua temannya. Ia segera bangkit dari posisinya dan berlari menuju asal suara.
"Shei!" pekiknya kaget saat melihat Sheira bergelantungan di lubang tempat Bagas jatuh kemarin. Ia segera menggenggam tangan gadis berkucir itu dan menariknya naik.
"Pegang yang kuat!" tegasnya membuat gadis itu mengangguk pasti. Tentu saja, ia tak ingin membuang nyawanya dengan konyol karena terjatuh di lubang. Apalagi alasannya sungguh bisa membuat orang terbahak hingga meninggal.
Jatuh ke lubang dan meninggal akibat dikagetkan oleh tikus. Sungguh tak lucu. Bahkan penghuni neraka akan mengoloknya tanpa ampun selama seribu tahun lebih. Dan jika ia bergentayangan nantinya, maka akan tersemat nama "Hantu Konyol" pada dirinya. Membayangkannya saja sudah membuat kesal.
Styfan dan Kirana terpatung melihat posisi Sheira yang mengingatkan mereka pada keadaan Bagas. Kaki mereka terasa kaku, tak sanggup melangkah ke depan. Namun, permohonan permintaan Sheira membuat mereka tersadar. Saat ini berbeda dengan kemarin. Kali ini, mereka bisa dan harus menolong Sheira.
Dengan pemikiran bahwa mereka bisa dan harus menolong gadis berkucir itu, kaki mereka pun melangkah. Kirana dan Styfan memegang tangan kanan Sheira, sedangkan Randy memegang tangan kiri Sheira—ketiga remaja itu bekerja sama untuk menarik Sheira. Dalam waktu tiga menit, Sheira sudah terduduk lemas di atas lantai.
Napas gadis itu terengah, wajahnya pucat dengan tangan yang masih gemetar. Walau begitu, ia merasa beruntung karena masih selamat. Senyum miris terukir di wajahnya. Padahal kemarin malam ia sudah sesumbar bahwa mati saat ini pun tak masalah, tetapi ketika dihadapkan pada maut ia malah merasa takut Sungguh menggelikan.
Setetes bening kristal jatuh dari pelupuk mata gadis itu. Perlahan-lahan membentuk sebuah sungai kecil yang merembes di kedua pipinya. Melihat Sheira menangis tersedu-sedu seperti itu, ketiga remaja itu pun panik bukan main.
Kirana segera berjongkok dan menatap wajah Sheira yang menunduk. Gurat khawatir dan panik terlihat jelas di wajah gadis berambut sebahu itu. "Kamu kenapa, Shei? Ada yang sakit? Ada yang luka? Coba bilang, jangan nangis," paniknya seraya menyusut air mata Sheira.
Sheira menggeleng pelan. Randy yang gemas pun menarik tangan gadis itu dan memeriksanya dengan teliti. Tak ada luka serius di sana, hanya ada beberapa luka lecet akibat tergesek semen kasar. Styfan yang melihat kekasaran Randy pun sedikit kaget dan langsung menahan tangan pemuda itu.
"Kalau kamu kasar gitu, nanti kalau lukanya makin sakit gimana?" tegur Styfan pelan.
Sedetik berlalu, mereka dikejutkan dengan tawa geli yang meluncur dari bibir Sheira. "Aku gak apa," ujarnya di sela-sela tawanya. Tangannya sibuk menyusut air mata yang terus-menerus mengalir tanpa tahu malu.
"Kalau gak apa kenapa kamu nangis?" tanya Randy tak mengerti.
Sekali lagi, tawa Sheira meluncur. "Aku hanya merasa ini menggelikan. Kemarin, aku dengan pedenya bilang kalau aku gak masalah mati sekarang, gak ada penyesalan sama sekali. Tapi kamu tau apa? Waktu tadi aku melihat malaikat mau mau dating ke aku, aku malah takut. Lucu, 'kan?"
Kirana menggeram. Ia pun menabok punggung Sheira dengan kuat. "Jangan bercanda soal kematian!" desisnya tajam. Biasanya, kata 'mati' bisa dengan mudah meluncur dari bibir gadis berkulit putih itu. Akan tetapi, setelah menyaksikan tiga kematian temannya secara langsung, ia menjadi tak menyukai kata tersebut—bahkan benci.
Sheira mengaduh. "Maaf, tapi aku gak lagi bercanda. Aku hanya ... ini rasanya menjijikkan aja. Tingkahku berbanding terbalik dengan ucapanku. Jadi, aku merasa sangat buruk," jelasnya pelan.
Styfan menepuk pundak Sheira pelan. "Gak menjijikkan, kok. Aku rasa itu wajar. Aku juga waktu belum masuk ke sini, aku rasa mungkin kematian itu akan lebih menenangkan. Tapi waktu kematian itu benar-benar menghampiri, aku rasa aku mau kabur aja saking takut dan gak siap. Jadi, jangan merasa sedih. Kamu manusia, jadi kalau punya perasaan takut itu wajar, Shei," ungkap Styfan memberi pengertian.
Sheira mengangguk setuju—atau mungkin hanya terlihat dari luar saja ia setuju. Setelahnya, ia bangkit dari duduknya dan menatap ketiga temannya dengan padangan lesu. "Aku udah keliling," ucapnya. Memorinya kembali memutar kejadian beberapa puluh menit yang lalu. Namun, saat memori ia menghampiri ruangan kosong tempat Martin meninggal, ia menggelengkan kepalanya kuat.
Melihat Sheira menggeleng kuat seperti itu, raut khawatir tercetak di wajah teman-temannya. "Udah, gak usah dipikirkan," ucap Randy tak senang.
Sheira tersenyum tipis. "Bukan. Aku udah keliling. Aku gak menemukan apapun yang spesial. Mungkin satu-satunya tempat yang punya barang yang membantu kita adalah ruangan check point," jelas gadis itu. Ia sengaja menutupi penemuan palu dan alat pemotong kawat yang ia temukan di kotak mencurigakan tersebut. Ia pikir, lebih baik ia menyimpan rahasia itu saja daripada mengungkapkannya malah akan menjadi luka baru bagi mereka bertiga.
"Kalau gitu, kita balik aja ke ruangan check point," ajak Randy seraya menarik tangan Sheira. Di belakangnya, Kirana dan Styfan pun mengekori dalam diam.
"Aku tadi udah periksa waktu kalian tidur, gak ada apa-apa lagi di sini," ujar Sheira saat Randy menariknya berkeliling ruangan.
Randy berbalik dan menoleh. "Gak ada salahnya buat ngecek sekali lagi. Bisa aja ada yang luput dari penyelidikan kamu," jelas Randy membuat Sheira mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, Randy berbalik kembali menatap Sheira dengan pandangan heran. "Kamu kenapa ngikutin aku?"
"Hah?" Hanya itu saja yang bisa Sheira keluarkan. Kesal rasanya, ia yang diseret ke mana-mana, ia pula yang dituding mengekori pemuda berlesung pipi itu. Beruntung, ia bukan gadis yang lebih mendahulukan kekerasan. Jika iya, bisa ia pastikan saat ini Randy sudah terkapar di tanah dan babak belur.
Kirana mendengkus. "Kamu yang nyeret dia ke sana ke mari, malah kamu yang bilang dia ngikutin kamu. Sok kegantengan banget pengen dingintilin ke mana-mana," hardik gadis berkulit putih itu, lalu menggenggam tangan Sheira yang satunya dan menarik gadis itu menjauh dari Randy.
Namun, karena genggaman Randy kuat, langkah Kirana terhenti karena tak bisa menarik Sheira. "Lepas gak?" sengitnya pada Randy. Randy hanya mengangkat bahu tak acuh, lalu menarik kuat Sheira ke arahnya sehingga kedua gadis itu terhuyung ke arahnya. Kirana hampir saja terjatuh kalau Styfan tak menahannya, sementara Sheira menghantam tubuh Randy kuat.
"Kalian jangan kekanakan, deh. Mending beres-beres, lalu segera ke ruangan selanjutnya," tegas Styfan membuat kedua remaja itu malu bukan kepalang. Sementara, Sheira harus meringis perih karena kedua pergelangan tangannya memerah akibat kelakuan Randy dan Kirana.
Randy menururuti keinginan Martin, ia mencari bungkus bekas semen yang bersih dan masih bisa dipakai. Kemudian, ia memasukkan sisa roti dan minuman serta kotak P3K ke dalam bungkus tersebut. Keempat remaja itu berjalan maju terus ke depan. Seiring langkahnya semakin ke depan, dentuman di jantung mereka pun semakin meningkat.
Sheira berjalan paling belakang. Tanpa sepengetahuan teman-temannya, ia mengambil martil dari kotak kayu tersebut dan menyembunyikannya di balik bajunya. Setelah itu, ia buru-buru menyusul ketiga temannya yang sudah berada agak jauh.
---------------
1124.12072021
Hola! Randy di sini. Ada yg request kalau Randy gak boleh sama siapa-siapa, nih. Soalnya katanya Randy lebih cocok sama Kak Alfa dari cerita sebelah.
Penasaran? Mari diintip karya Kak Lynch_A di lapak Bloody Diary.
Sebelum pamit, Randy mau ngucapin makasih buat dukungan kalian..
Makasih banyak..
ありがとう
谢谢
Thank you
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro