X
Seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun menggeliat di balik selimutnya. Tangan-tangan kecilnya ia gunakan untuk mengucek matanya yang masih enggan terbuka—menyingkirkan kotoran mata yang membuat matanya lengket. Bibir kecilnya menguap lebar. Ia bangkit terduduk dengan nyawa yang masih belum terkumpul sempurna. Setelah beberapa saat, ia langsung berdiri dan berlari menuju kamar luas yang berada tak jauh dari kamarnya.
"Mama!" panggilnya riang dan segera melompat ke dalam pangkuan seorang wanita dewasa berusia sekitar pertengahan tigapuluhan. Wanita itu tersenyum hangat seraya mengelus puncak kepala gadis itu membuat gadis itu merasa senang. Walau wanita yang ia panggil dengan sebutan mama ini bukanlah ibu kandungnya, tetapi ia tetap merasa senang karena wanita ini menyayanginya.
Kepala kecilnya mendongak ke atas, menatap wajah hangat itu cerah. "Hari ini kita mau bikin apa, Ma?" tanyanya bersemangat. Ia berdiri seraya menarik tangan wanita itu agar ia bangkit dari duduknya.
Kening wanita manis bergingsul itu berkerut dalam seolah tengah berpikir keras. "Hmmm ... enaknya bikin apa, ya?" gumamnya—pura-pura—bingung. Ia berjongkok dan menatap gadis kecil itu dengan mata berbinar.
Gadis kecil dengan mata sipit itu menatap sang ibu dengan gelisah. "Itu ... Ila ... Papa—" Kepalanya tertunduk dalam, ia mengetuk-ngetukkan ujung kakinya pada lantai dengan kedua tangan yang meremas ujung gaun tidurnya dengan gelisah.
Stephanie tersenyum lebar. Ia paham apa yang diinginkan gadis kecil itu. "Baiklah! Hari ini kita bikin kue tart untuk ulang tahun Papa. Bagaimana?"
Senyum cerah langsung terukir di wajah mungil itu. Hari ini adalah hari ulang tahun ayahnya, ia ingin menyenangkan hati ayahnya yang tak pernah tersenyum saat melihatnya itu. Sekali saja, dalam hidupnya, ia ingin melihat senyum hangat sang ayah untuknya. Mungkin jika ia membuatkan kue ulang tahun untuk sang ayah, itu akan membuat sang ayah bahagia.
Beberapa jam berlalu, Sheira berhasil memberikan hiasan terakhir pada kue tart buatannya. Rasa bangga memenuhi rongga dadanya. Ia menatap Stephanie riang dan memeluk wanita itu dengan erat. "Papa pasti akan suka 'kan, Ma?" tanyanya penuh harap.
Wanita bergingsul itu tersenyum manis dan mengangguk tegas. "Tentu saja. Pasti Papa bakal suka. Sekarang kamu mandi gih. Habis itu kita makan siang," ujarnya membuat gadis kecil itu memberikan hormat ala tentara.
Dengan riang gadis kecil itu berlari menuju lantai dua dan menyambar baju bersih, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Setelah ia bersih dan wangi, ia pun keluar untuk mencari sang mama. Ia membuka pintu kamar orang tuanya, tetapi kamar tersebut kosong. Kaki kecilnya pun membawanya ke ruang baca dan benar saja sang mama ada di dalam sana.
"Ma?" panggilnya pelan. Stephanie menoleh, tetapi kali ini tatapannya tak hangat seperti beberapa saat yang lalu. Tatapan bengis yang penuh dengan kebencian diarahkan pada Sheira hingga membuat gadis kecil itu mematung gemetaran di ambang pintu.
Walau alarm bahaya dalam kepala kecilnya menyela, tetapi kakinya mengkhianati perintah dari otaknya. Kakinya menjadi kaku, tak bisa digerakkan. Rintihan kecil meluncur dari bibirnya setelah tubuhnya terpelanting dari tempatnya berdiri. Pipi kanannya memerah membentu sebuah cap tangan.
Stephanie berjalan mendekati gadis kecil yang tak berdaya itu. "Gara-gara kamu!" tudingnya marah. Ia menarik kasar rambut panjang gadis kecil itu hingga membuat sang gadis kecil terpaksa mendongak.
"Sakit, Ma. Ila salah. Maafin, Ila, Ma. Ila nakal," isaknya seraya meringis menahan sakit. Walau begitu, Stephanie tak menghentikan penyiksaannya begitu saja. Ia mendorong kepala Sheira hingga membentur dinding. Cairan hangat mengalir ke belakang punggung Sheira.
Belum cukup sampai di sana. Stephanie mengangkat kakinya tinggi-tinggi, lalu menghentakkannya tepat di perut Sheira. Sheira terbatuk-batuk karenanya. Rasanya sakit dan sesak. Ia meringkukkan badan kecilnya, kedua tangannya melindungi wajahnya. Injakan kaki Stephanie bukannya berhenti, malah semakin intens.
'Tahan, Ila. Tahan sebentar lagi. Sebentar lagi. Mama nanti pasti akan balik kayak biasanya. Lindungi tubuh kamu yang bisa terlihat jelas biar nanti Mama gak marah lagi,' batin gadis kecil itu takut. Seluruh tubuhnya sakit, pandangannya pun sudah mulai kabur. Ia tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, tetapi saat inilah waktunya.
Stephanie yang sedang kelelahan tak memperhatikan Sheira yang beringsut pelan-pelan keluar ruang baca. Ia masih belum menyadarinya hingga Sheira tak sengaja tersandung kakinya sendiri dan terjatuh hingga menimbulkan suara.
"Beraninya kamu kabur dariku!" teriak Stephanie murka. Sheira yang merasakan akan datangnya bahaya besar segera memaksakan dirinya berdiri. Ia memaksa kaki-kaki kecilnya terus berjalan dengan tertatih-tatih.
Tangga! Jika turun ke bawah, bibi akan membantunya keluar dari situasi ini. Ia harus turun. Ia memejamkan mata seraya merapalkan kata cepat di dalam hatinya seolah-olah dengan begitu kakinya akan bisa bergerak dengan lebih cepat lagi.
"Sheira! Dasar anak kurang ajar!" hardik Stephanie dengan suara menggelegar.
Sheira menoleh ke belakang dan mendapati Stephanie hampir bisa menggapai rambutnya. Tidak! Sedikit lagi. Ia memohon dalam hati agar bisa mencapai tangga. Akhirnya, ia berhasil memegang pegangan tangga. Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya bukanlah hal yang ia harapkan.
Stephanie tersandung kakinya sendiri sehingga ia terjatuh dan mendorong Sheira. Mereka yang memang sudah di ujung tangga pun terguling ke bawah. Begitu kepalanya menghantam lantai, semua pandangannya menjadi gelap. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Stephanie dan apa yang akan terjadi nantinya.
Samar-samar, tercium aroma asing di hidungnya. Namun, mata Sheira enggan terbuka—terlalu berat. Walau begitu, ia bisa mendengar sekelilingnya dengan lebih jelas lagi sekarang. Ia mendengar suara "bip-bip-bip" yang begitu dekat di telinganya. Ia juga menangkap suara orang yang tengah berbicara. Walau ia tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan.
"Dilihat dari luka yang diderita anak Bapak, sepertinya anak Bapak disiksa oleh istri Anda. Saya sudah memeriksanya, tetapi sepertinya ini bukan yang pertama kalinya anak Anda mendapatkan kekerasan fisik. Kami mendapatkan hasil bahwa beberapa tulang rusuk anak Anda sudah pernah kali patah dan sembuh kembali," jelas suara bariton yang tak pernah Sheira dengar sebelumnya.
Sheira berusaha membuka mulutnya, tetapi usahanya tak berhasil dengan baik. Ia pun memilih untuk menyerah saja. Lagi pula, saat ini ia sedang mengantuk. Lebih baik ia tidur saja dulu.
Entah sudah berapa lama ia tertidur. Kali ini ia kembali terbangun. Namun, lagi-lagi kelopak matanya tak mau menuruti keinginannya. Hanya indra penciuman dan pendengarannya yang masih setia melakukan fungsinya.
"Kasihan, ya? Padahal masih kecil banget," ujar seorang wanita dengan nada rendah.
"Iya. Aku gak tahu harus bersyukur untuknya atau merasa sedih karena ibunya meninggal di insiden itu. Lalu aku juga dengar, katanya ibunya itu sakit. Mental illness gitu deh, kalau aku gak salah katanya bipolar. Kasihan banget deh. Kecil-kecil udah disiksa sampai begini, lalu jadi gak punya ibu," balas seorang wanita yang suaranya lebih cempreng.
"Emm .... Ayah anak ini juga. Dingin banget. Masa cuma datang sekali doang buat ngurus administrasi sekalian ngobrol sama dokter. Setelahnya dia gak pernah datang lagi. Bahkan mengutus orang datang pun tidak. Hanya memberi perintah kalau anak ini sudah boleh pulang baru mengabarinya. Kejam sekali, sih." Wanita yang suaranya rendah itu mencebik pelan.
Si cempreng pun tak mau kalah. Ia mendengkus pelan. Kekesalannya sudah tak bisa dibendung lagi. Ia mengusap lembut pipi gadis kecil penuh lebam itu dengan lembut. "Kasihan sekali kamu, Dek," ujarnya. "Tadi siapa namanya? Namanya cantik, loh," komentarnya penuh semangat.
"Sheira. Namanya Sheira Agnesia Wirawan," balas si nada rendah dengan sendu.
------------------
1
162.10072021
Yuhuuuu
Hari ini, Randy, Styfan sama Kirana cuti dulu, ya. Besok mereka bakal hadir lagi kok.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro