"Bagas!" seru Sheira kaget. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Bagas akan tiba-tiba terperosok ke dalam lubang seperti itu. Mendadak, makanan yang tadi ia makan memaksa ingin keluar mengingat kejadian beberapa waktu silam. Kedua kakinya melemas. Hampir saja ia terjatuh, jika Styfan tak menopang tubuhnya.
Randy duduk di atas lantai untuk memeriksa keadaan Bagas. "Gas, kamu gak apa?" tanyanya memastikan.
Terdengar ringisan kecil dari bawah sana. "Sakit banget. Sialan!" umpatnya membuat Randy tiduran di lantai untuk memastikan keadaan Bagas. Tanpa sadar ia meringis tatkala melihat tubuh Bagas terlilit kawat silet.
"Aww ... pasti sakit," komentar Randy tak penting. Kirana segera maju ke depan untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Rahang bawah gadis berambut sebahu itu terpisah dari rahang atasnya setelah melihat kondisi Bagas yang berlumur darah. Dan satu hal yang paling mengganggu pikirannya adalah, "Itu perangkap hewan, 'kan?"
Randy mengangguk. Styfan yang penasaran pun menuntun Sheira maju dan melihat kondisi Bagas. Karena kaget, Styfan tanpa sadar mundur selangkah. Ia tak bisa membayangkan seberapa ngilu rasanya terlilit kawat silet seperti itu.
Sedetik kemudian, ia tersadar. Bukan waktunya mereka menganggumi perangkap hewan berukuran jumbo itu atau memikirkan seberapa ngilu rasanya terlilit kawat silet. "Buruan keluarin Bagas dari sana," cetusnya membuat semua teman-temannya tersadar.
Sementara Bagas yang di dalam sana hanya bisa sibuk memikirkan hal lain untuk meredam rasa sakitnya. Kirana dan Styfan mencoba menarik tutup perangkap yang sudah terkunci sempurna.
"Ini cara bukanya gimana?" keluh Kirana sesekali meringis akibat tangannya yang tersayat oleh kawat silet.
Randy berjongkok, lalu menarik tutup perangkap dengan paksa. Akan tetapi, bukannya perangkap tersebut terbuka malah lilitan kawat pada tubuh Bagas menjadi semakin erat hingga pemuda itu melolong kesakitan. Lolongan yang membuat mereka yang mendengarnya ikut merasakan perihnya.
Luka terbuka yang masih mengucurkan darah segar dialiri oleh peluh yang menetes deras akibat menahan sakit membuat luka tersebut menjadi semakin perih. "Stop! Stop! Aku gak kuat! Stop! Please!" mohon pemuda bermulut pedas itu.
Bagas benar-benar sudah tak kuat menahan rasa sakitnya. "Kalian pergi aja ninggalin aku. Jangan buka perangkap ini lagi," ujarnya pasrah.
"Kamu gila?!" maki Randy geram. Pemuda berlesung pipi itu memutar otaknya dengan cepat. "Kalian semua tunggu di sini. Aku bakal cari sesuatu yang bisa dipake untuk motong besi-besi sialan itu," titahnya, lalu meninggalkan teman-temannya.
Sheira menarik jemari Randy. "Aku ikut," pintanya pelan. Randy tak menjawab hanya mengangguk tegas.
Kirana dan Styfan menatap kepergian Randy serta Sheira penuh harap. Mereka berdua kembali beralih pada Bagas. "Gas, kamu bertahan, ya. Bentar aja. Kamu percaya 'kan sama kita?" tanya Kirana mulai terisak kecil.
Bagas hanya bisa merintih pelan. Bukannya ia tak percaya pada teman-temannya. Namun, rasa sakit yang ia rasakan sudah melebihi dari yang bisa ia tanggung. Saat ia menunggu ajalnya, samar-samar ia mendengar suara "sret" yang tak begitu jauh dari telinganya. Ia mendongak dan mendapati tali katrol yang menyangga perangkap ini hampir putus sepertinya akibat terpotong oleh kawat saat Kirana dan Styfan mencoba membuka perangkap.
"Styf! Talinya," seruan Kirana membuat mata Bagas yang hampir terpejam kembali terbuka. Matanya menangkap telapak tangan Kirana dan Styfan mulai berlumur darah akibat mencoba menahan perangkap yang menahannya.
"Pegang talinya. Jangan sampai Bagas jatuh!" tegas gadis itu membuat Styfan mengangguk paham. Kening keduanya berkerut saat merasakan perihnya teriris kawat silet.
"Lepasin aja, Na, Styf. Tangan kalian pasti sakit. Aku gak apa, kok. Lagipula, aku juga pasti bakal mati karena ini," lirih pemuda itu pasrah.
Kirana menggeram. "Diam!" bentaknya membuat Bagas dan Styfan kaget. Matanya mulai berkaca-kaca membuat Bagas merasa bersalah. Tak seharusnya ia membuat Kirana menangis.
"Jangan nangis, Na! Ini bukan salah kamu, kok. Beneran. Ini salah aku yang teledor," jelas Bagas di sela-sela napasnya yang mulai terengah. Ia benar-benar mengantuk.
Sepintas, ia berpikir kalau mati seperti ini juga tak buruk. Entahlah, dibandingkan kematian Vivian dan Martin yang pasti harus merasakan ketakutan yang amat sangat terlebih dahulu. Mati setelah merasakan kesakitan yang amat sangat, menurutnya itu lebih baik.
"Gak! Gak!" mohon Kirana yang sudah berurai air mata. Tangannya yang sudah berlumuran darah sangatlah licin sehingga tak kuat menahan tali. Apalagi, kawat silet itu pun juga giat mengiris tali setiap bersinggungan.
Kirana menoleh ke belakang. Matanya berusaha mencari Randy. Ia sangat berharap Randy dan Sheira cepat sampai dan membantunya dan Styfan. Setidaknya, mereka harus menganggkat Bagas terlebih dahulu.
"Randy! Randy! Shei! Sheira!" panggil gadis itu putus asa. Perangkap itu semakin turun karena Styfan dan Kirana tak kuat menahannya.
Walau Styfan tak mengatakan apapun, Kirana yakin pemuda berkacamata itu merasakan sakit yang amat sangat di telapak tangannya. Benar, pemuda itu tak hanya menarik tali katrol yang menahan perangkap, tetapi juga mengurai kawat silet yang meliliti penutup perangkap agar tak terus-menerus mengiris tali.
"Aku gak apa, Na," ungkap Bagas. Napas pemuda itu terdengar berat. Seulas senyum ia berikan pada teman-temannya yang sudah berusaha keras. "Makasih karena udah mau berteman sama aku sampai akhir, ya. Kalian teman yang berharga. Aku harap kita bisa tetap jadi teman di kehidupan selanjutnya. Aku hutang budi sama kalian. Styf, lepas aja. Gak apa. Toh aku emang gak bakal bisa bertahan, kok. Makasih banget, ya."
Setelah berucap seperti itu, Bagas menggerakkan tubuhnya susah payah hingga membuat kawat silet ikut bergerak dan memotong tali katrol. Dalam waktu singkat, tali terputus dan perangkap yang berisikan Bagas pun terjatuh.
"Tidak! Bagas!" teriak Kirana. Tangannya terulur ke bawah. Separuh tubuhnya masuk ke dalam lubang. Jika saja Styfan tak menahannya, mungkin saja ia sudah jatuh ke bawah seperti Bagas.
Mendengar teriakan pilu Kirana. Randy yang baru mencapai ambang pintu pun merosot lemas. Ia terlambat. Sebulir bening kristal jatuh dari sudut matanya. Lagi-lagi, ia harus kehilangan temannya. "Sial!" geramnya marah. Tangannya terkepal kuat.
"Bagas!" Isakan Kirana masih saja terus berlanjut membuat Randy tersadar dari lamunannya. Ia berjalan ke arah Kirana dan menarik gadis itu berdiri.
Rahangnya mengeras. "Sudah! Jangan nangis lagi! Simpan tenaga kamu buat lanjutin permainan gila ini. Setelah itu, kita harus balas dendam," tegasnya dingin membuat Kirana merinding.
Styfan yang mendengar hal itu pun hanya bisa menelan salivanya gugup. Tak pernah ia melihat Randy segeram itu dan itu membuat ketakutannya naik ke permukaan. Ia yakin, Randy pasti sanggup untuk membunuh siapapun dalang di balik ini semua. Pasti.
Sheira mendekat dan memeluk Kirana. Ia menyobek ujung bajunya, lalu melilitkannya pada telapak tangan gadis itu. "Maaf. Kami terlambat," bisiknya penuh sesal.
----------------------
1035.08072021
MC : Halo! Halo! Test! 123! Berjumpa lagi dengan aku, Martin yang sudah tak bermain lagi di karya ini karena tewas di chapter sebelumnya. Saat ini, aku datang untuk membisikkan sesuatu untuk kalian. Psst .... Kalau kalian bosan dan gak ada kerjaan, boleh kali mampir-mampir ke cerita
1. Mizu Secret - Uchiha_1723_Fara
2. Elegi - Maharin
3. Bloody Diary - Lynch_A
4. Save Me - MeltySari24
Ah! Lalu satu lagi. Aku mau ngucapin makasih buat kalian yang udah dukung karya ini. Jangan bosan, ya. Walau aku udah gak main. Hahaha
Sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro