Lantai ruangan 3x3 itu dipecahkan sehingga ruangan tersebut tak memiliki tempat untuk berpijak, kecuali ½ meter di masing-masing sudut ruangan. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah papan dengan ketebalan 4 cm, panjang 2 m, dan lebar 20 cm. Di lantai bawah ruangan tersebut, terdapat papan-papan yang tertancap paku serta bagian runcing dihadapkan ke atas.
Sheira menelan saliva susah payah saat mendengar perkataan tegas Randy. Benar, jika tak ingin nyawanya melayang di sini, ia harus ekstra hati-hati. Walau lebar papan sebesar 20 cm, itu tak menjamin bahwa ia bisa selamat sampai tujuan. Salah sedikit saja, papan tersebut bisa tergeser hingga ia pun akan terjatuh di kasur paku tersebut.
Sheira bergidik ngeri dengan pemikirannya. Ia menoleh pada Kirana yang terlihat pucat dan gelisah. Gadis itu mulai mengigiti kuku jarinya. Randy mendekati gadis itu dan menarik lembut jemarinya. Kedua tangan kekar itu meremas pundak Kirana.
Seulas senyum tipis yang diberikan Randy menular pada Kirana. "Kamu pasti bisa, kok. Jangan takut! Jangan lihat ke bawah juga! Okay?" ujar Randy menenangkan. Pemuda berlesung pipi itu menepuk pundak Kirana dua kali sebelum menjauhi gadis itu.
"Aku yang bakal jalan duluan. Habis itu Sheira, lalu Styfan dan Kirana. Terus yang paling belakang Bagas sama Martin. Gimana?" usul Randy yang hanya diacungi jempol oleh kelima remaja tersebut. Randy pun mulai menaiki papan tersebut dan berjalan pelan. Tak lupa ia berbalik dan mengulurkan tangannya membantu Sheira naik ke atas papan.
Setelah Randy dan Sheira berjalan cukup jauh, Styfan pun naik ke atas papan. Kemudian, ia membantu Kirana. Mereka berdua berjalan dengan pelan. Di belakang mereka, Bagas dan Martin pun sudah mulai menyusul.
Sesekali Kirana menoleh ke belakang, memastikan kedua temannya masih mengekorinya. Ia sudah berhasil mencapai setengah papan. Saat matanya tanpa sengaja melihat ke bawah. Ayunan langkahnya terhenti. Styfan yang menyadari hal tersebut, menoleh ke belakang.
"Na! Gak apa. Maju aja. Papannya lebar, kok. Kalau gak ceroboh, gak bakal jatuh. Tenang aja!" ujar Styfan membuat Kirana tersadar dari ketakutannya.
Kirana mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan demi menenangkan degup jantungnya yang semakin menggila. Kamu pasti bisa, Na. Kirana mengulang kalimat tersebut di dalam hatinya sebagai penyemangat diri.
Di ujung sana, Sheira menantinya dengan harap-harap cemas. Saat hampir sampai, Kirana tak sengaja tersandung kakinya sendiri. Tangannya menggapai ke depan dan langsung ditarik oleh Randy dan juga Sheira. Akan tetapi, saat hendak menyeimbangkan diri. Gadis itu tanpa sengaja menendang sebuah batu yang cukup besar yang ada di dekat papan tersebut.
Papan bergoyang, Bagas yang sudah dekat dengan ujung pun memilih untuk melompat saja. Styfan dengan sigap menangkap tubuhnya. Namun, Martin yang sibuk menyeimbangkan diri tak melihat sebuah karung besar sedang melaju ke arahnya dari kanan. Ia tak sempat menghindar dan terhempas.
"Martin!" teriak Styfan dan Bagas berbarengan. Akan tetapi, pemuda itu tak bisa memberikan jawaban apapun lagi. Tubuh atletis itu menancap sempurna pada paku dan darahnya merembes mengalir menutupi papan berpaku tersebut.
"Gak! Martin! Martin!" isak Kirana histeris. Tangisnya pecah. Akibat kecerobohannya, nyawa temannya harus melayang. Ia sungguh tidak berguna.
Kirana merangkak menuju ujung semen demi bisa melihat tubuh Martin yang sudah bersimbah darah. Jemari Martin bergerak pelan. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya yang berlumur darah. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Walau begitu, senyum tersebut masih tak lepas dari wajahnya seolah ingin memberitahukan Kirana bahwa itu bukanlah salahnya.
Kirana menggeleng tegas. Tangannya mencengkram kuat semen di bawahnya. Ini semua salahnya. Jika saja ia lebih berhati-hati, Martin tak akan meregang nyawa dengan menyakitkan seperti itu. Tangis Kirana semakin kencang tatkala mata Martin menutup sempurna. Dada pemuda itu tak lagi terlihat bergerak yang menandakan kalau pemuda itu telah pergi untuk selamanya.
Randy menarik Kirana dan memeluknya. "Bukan salah kamu, Na. Gak apa. Martin gak akan marah. Kamu tahu 'kan seberapa baiknya Martin itu? Dia pasti gak akan nyalahin kamu. Tadi dia pasti mau bilang itu. Gak apa, Na," bisik Randy pelan.
Kirana mengurai pelukan itu dan menatap Randy tajam. "Kamu gila, Ran. Martin meninggal. Dia meninggal gara-gara aku. Dan apa? Kamu bilang gak apa-apa? Hah?! Kamu sinting, Ran," seru gadis itu berang.
Ia sungguh tak mengerti jalan pikiran Randy. Mau seberapa keras pun ia berusaha melihat dari kacamata Randy, ia sama sekali tak mengerti. Sebagai manusia, Randy sangatlah dingin. Ia bahkan menganggap nyawa manusia—selain dirinya—itu bukanlah hal yang penting.
"Lalu kamu mau apa? Mau nyusul Martin di bawah sana? Sadar! Pikirin baik-baik! Orang yang masih hidup, hidupnya terus berjalan. Beda sama orang yang udah mati. Lebih bagus, sekarang kamu benahi pikiran kamu. Kita harus tetap lanjut buat ke ruangan selanjutnya kalau kita gak mau mati di sini," tegas Randy membuat teman-temannya memandangnya tak percaya.
Styfan mengambil alih perdebatan tersebut. "Udah! Jangan berantem! Mending kita ke ruangan selanjutnya aja dulu. Na, aku tahu kalau kamu merasa bersalah sama apa yang terjadi sama Martin, tapi kalau kamu diam di sini juga bukan solusi yang tepat. Benar kata Randy. Kita harus tetap maju apapun yang terjadi," ujar Styfan seraya meremas pundak Kirana pelan.
Sesaat kemudian, Styfan menatap Randy datar. "Kamu keterlaluan, Ran. Biar gimana pun, Martin tetap temen kamu. Kurasa kamu gak perlu sampai harus sekasar itu," ungkap Styfan pelan, tetapi Randy hanya menatapnya datar seolah ia tak bersalah sama sekali.
Bagas segera masuk ke suasana tak enak itu. "Yuk, maju! Untuk mayat Martin, kita pikirkan nanti setelah kita bisa keluar dari sini. Sebaiknya kita terus maju ke depan," ucap Bagas seraya memimpin jalan.
"Kalian sadar gak sih? Kalau semakin maju, kita rasanya semakin turun? Tapi, ruangan kali ini ada di depan. Kira-kira di depan kita ada apa, ya?" celoteh Bagas tiba-tiba. Randy menghentikan ayunan kakinya, lalu matanya melebar seolah menyadari sesuatu. Benar apa yang dikatakan Bagas, setelah berhasil melewati satu ruangan. Mereka akan bertemu dengan tangga menuju ke bawah. Akan tetapi, kali ini ruangannya hanya ada di sebelahnya saja.
"Eh? Apa nih?" tanya Bagas heran. "Check point?" lanjutnya bingung. Ia menatap nama ruangan yang tertulis di atas pintu keluar.
Sheira menatap sekeliling dengan cermat. Ruangan tersebut memiliki sebuah lemari tua. Entah apa yang ada di dalamnya, ia sama sekali tak penasaran karena menurutnya sudah pasti itu adalah jebakan. Di tengah ruangan, terdapat satu buah meja bundar dan di atas meja tersebut terdapat berpuluh-puluh bungkus roti dan juga satu dus minuman gelas.
Randy mengulurkan tangannya tanpa ragu dan membuka bungkusan roti tersebut setelah mengecek tanggal kedaluwarsa roti. Tanpa ragu, pemuda itu melahap roti tersebut. Baru sesuap, roti tersebut harus teronggok tak berdaya di atas lantai akibat ulah Sheira.
"Kamu benar-benar udah gila, ya? Kalau itu diracun gimana? Hah?!" omel Sheira gemas. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Randy akan mengendurkan kewaspadaannya hanya karena sebuah roti.
-----------------
1100.06072021
Angkanya bagus 🤭🤭🤭
Kira-kira, makanannya diracun gak, ya??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro