IV
"Ahhhhhhh." Lengkingan teriakan Vivian memenuhi gendang telinga mereka semua.
Boom!
Rasa penasaran mendorong kaki Randy untuk membuka pintu dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Randy langsung terjengkang begitu mendapati bahwa setelah pintu terbuka, tak lagi terdapat lantai untuk berpijak. Dan jauh di bawah sana, terdapat tubuh Vivian yang berceceran akibat menghantam lantai dengan kuat.
Randy segera bangkit dari posisinya dan menutup pintu tersebut. "Cepat!" teriaknya panik dan langsung membuka pintu hitam itu.
Sheira, Kirana, Bagas, Martin, dan Styfan hanya mengikuti Randy dalam diam. Mereka sama sekali tak penasaran dengan apa yang terjadi pada Vivian. Satu hal yang mereka ketahui, Vivian telah tewas. Hanya dengan mengetahui kenyataan itu saja, jantung mereka mulai bermarathon ria.
Begitu masuk ke dalam, mereka langsung jatuh terduduk di lantai. Kepergian Vivian yang mendadak menjadi pukulan besar untuk mereka. Kirana mulai terisak kecil diikuti oleh Sheira. Kedua tubuh gadis itu gemetar hebat.
"Vian—" Sheira tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Ia hanya bisa menatap Randy dengan berlinang air mata.
Randy mengangguk lemah. Masih segar di ingatannya bagaimana bentuk tubuh Vivian di bawah sana. Ia yakin kaki dan tangan gadis itu patah, belakang tengkorak gadis itu pun sudah pasti hancur mengingat betapa banyaknya darah yang merembes ke seluruh sisi tubuhnya. Pintu 'hidup' yang mereka kira merupakan jawaban, malah menjadi pintu maut untuk mereka.
Ia benar-benar tak menyangka bahwa di balik pintu itu sama sekali tak terdapat tempat untuk berpijak. Pintu itu, tak menuju ke ruangan mana pun, hanya menuju ke luar gedung. Satu fakta yang bisa ia dapatkan, kini mereka sedang berada di gedung bertingkat dan berada di lantai atas. Pintu 'hidup'—bukan, mungkin seharusnya itu adalah jendela yang diperlebar—telah membuka matanya lebar-lebar bahwa mereka benar-benar harus berhati-hati dalam bertindak di gedung ini. Salah sedikit saja, nyawa salah satu dari mereka bisa melayang.
Randy mengusap wajahnya frustrasi. "Tenanglah! Sekarang bukan saatnya kita kayak gini," ungkap Randy tegas. Ia menatap ke dalam netra satu per satu temannya serius. "ini bukan main-main lagi. Orang yang membawa kita ke sini sepertinya benar-benar ingin membunuh kita. Dengan tewasnya Vian sekarang, kita harus lebih hati-hati dan fokus," lanjut Randy serius.
Kirana menatap Randy dengan berurai air mata, sebuah gelengan enggan ia berikan pada pemuda itu. "Aku ... gak bisa, Ran. Aku takut. Gimana kalau nanti kita berakhir sama dengan Vian?"
Randy meremas kedua pundak Kirana kuat. "Gak, Na! Kita harus tetap maju dan bersama biar kita gak berakhir sama kayak Vian. Kita harus tetap fokus dan tenang. Harus, Na! Kita gak bakal pisah dan bakal sama-sama terus. Dengan begitu, presentase kematian kita bakal kecil. Kamu paham, 'kan?"
Bagas, Martin, dan Styfan menghampiri Kirana dan mengangguk tegas. "Bener apa kata Randy, Na. Kalau kita gak mau berakhir kayak Vian, kita harus tetap fokus dan keluar dari sini secepatnya," sambung Styfan tenang. Kirana menatap ragu pada teman-temannya, melihat keseriusan di sana. Hatinya menjadi sedikit tenang.
"Shei, menurut kamu gimana?" lirih Kirana menatap Sheira. Ia merasa tak enak karena semua hanya berkumpul dan memperhatikannya. Padahal ia tahu kalau Sheira juga sama syoknya dengannya.
Sheira mengangkat wajahnya. Seulas senyum miris ia berikan pada Kirana. Dari tatapannya, terpancar kepasrahan yang amat sangat. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang. Benar apa yang dikatakan Randy dan Styfan. Jika tetap di dalam gedung ini, juga bukan solusi yang bagus. Akan tetapi, jika melanjutkan permainan maut ini, itu juga bukanlah solusi yang benar. Tak ada jalan keluar untuk masalah ini, kecuali mati.
"Aku gak tahu, Na. Di satu sisi, aku ingin berhenti saja karena takut, tapi aku gak tahu cara berhentinya gimana. Apa aku harus keluar lewat pintu 'hidup' kayak Vivian tadi, atau tetap di sini dan menunggu kematian. Di sisi lain, aku gak mau mati. Benar apa kata Randy dan Styfan. Kalau di sini terus sepertinya kita juga akan mati. Jadi, kita harus bergerak biar bisa keluar," ungkap Sheira bimbang.
"Tenang aja, kita kan berenam. Masa enam kepala gak bisa nyelesaiin semua masalah ini dan keluar dengan selamat," seloroh Bagas berusaha menetralkan suasana. Walau di sudut hatinya, ia merasakan akan ada sesuatu yang besar yang terjadi. Akan tetapi, untuk sementara ini, ia harus menyatukan mereka semua agar bisa tetap berpikir jernih.
Randy mengulurkan tangannya dan diterima oleh Kirana. Ia menarik gadis itu berdiri. Sementara, Martin membantu Kirana berdiri. Styfan dan Bagas menatap sekeliling ruangan dengan pandangan bingung. "Apa ini?" tanya Bagas.
Kirana mendengkus kesal. Padahal, beberapa detik sebelumnya Bagas terlihat percaya diri sekali bisa keluar dari gedung ini dengan selamat. Kirana menatap banyak sekali daun pintu yang terbuka dan di setiap daun pintu yang terbuka, terdapat simbol dan angka.
"Kita disuruh ngapain sama simbol dan angka matematika ini?" tanya Martin tak mengerti. "Apa kita disuruh ngehasilin angka pakai angka-angka ini?" lanjutnya lagi seraya mengusap bawah dagunya. Keningnya berkerut, matanya terfokus pada setiap simbol dan angka yang ada di sana.
"Sebentar, ini simbol apa?" tanya Bagas seraya menunjuk simbol "^" yang ada di dekatnya. "Ini kan tambah,"—Bagas menunjuk simbol "+", lalu kakinya bergerak menuju simbol "-"—"Kalau yang ini kurang,"—Telunjuk Bagas diarahkan pada simbol "÷"—"yang ini bagi, dan yang itu kali," lanjutnya seraya menunjuk simbol "×".
"Kamu kurang satu simbol, Gas. Ini simbol akar," jelas Martin seraya menatap simbol "√". "Kalau ini ada akar, berarti di sana itu simbol apa, Gas?" lanjutnya seraya menatap Bagas dengan sebelah alis terangkat.
Bagas menggeleng tak paham. Ia sama sekali tak tahu itu simbol apa. Martin menghela napas lelah.
"Bagas bego! Tadi kamu yang paling pede bisa nyelesaiin semuanya. Waktu ditanya ini symbol apa aja gak tahu. Gimana caranya kamu bisa nyelesaiin permainan gila ini?" sergah Randy gemas. "Ini tuh simbol buat pangkat. Makanya, besok-besok kalau ke sekolah jangan cuma nongkrong di toilet doang. Otak kamu keluar kan jadinya," omelnya membuat para cewek menggeleng tak percaya.
Bisa-bisanya para cowok di saat genting seperti ini malah berseloroh ria. Mereka sungguh tak paham dengan jalan pikiran para cowok. Akhirnya, Sheira dan Kirana memutuskan untuk melihat angka yang tersedia saja. Ada angka 20, 2, 4, 10, 8, dan 12. Mereka saling menatap dengan bingung.
"Kamu ngapain?" teriak Sheira panik saat melihat Bagas menutup semua pintu yang tersedia. Akan tetapi, saat semua pintu tertutup tak ada yang terjadi sama sekali. "Kamu udah gila, ya?" sungut Sheira seraya membuka kembali semua pintu yang ada dibantu oleh teman-teman lainnya.
"Aku kan cuma pengen tahu apa yang akan terjadi. Lagian, kita juga gak tahu, 'kan, kita disuruh ngapain sama pintu-pintu ini. Kayaknya si penculik penggila pintu, deh. Dari tadi kita cuma disuruh buka tutup pintu aja," keluh Bagas, lalu ia duduk bersila di atas lantai.
Randy memipimpin mereka duduk melingkar di dekat Bagas. Matanya masih tetap memandang simbol dan angka itu dengan tajam. "Apa mungkin angka yang mereka mau kita bentuk itu sesuai dengan jumlah orang kita sekarang?" gumamnya membuat semua mata tertuju padanya.
--------------------
1122.04072021
Wah! Sudah gugur satu peserta nih. Kira-kira, nanti bakal ada yang gugur lagi gak, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro