III
Bulir-bulir keringat menuruni pelipis Randy, kedua bahunya bergerak naik dan turun saat tangannya berusaha melepas ikatan. Luka lecet yang dideritanya semakin banyak, tetapi ia tak peduli sama sekali karena ia bisa merasakan ikatannya mulai melonggar. Ia harus bisa melepaskan ikatan ini apapun yang terjadi. Harus.
Jantung Randy berdegup dengan cepat. Sedikit lagi, ia bisa bebas. Dan benar saja. Ia bebas beberapa menit setelahnya. "Lepas," desahnya lega. Setelah itu, ia melepaskan ikatan di kakinya. Kemudian, ia menghampiri Sheira yang ada di dekatnya dan membantu gadis itu.
Sheira memutar pergelangan tangannya yang terasa sakit begitu ikatannya terlepas. Ia segera bergerak untuk melepaskan ikatan yang lainnya. Kini, ketujuh remaja itu sudah bebas dari ikatan. Mereka mulai mengelilingi ruangan. Di sana, mereka melihat ada dua pintu dengan warna yang berlawanan, hitam dan putih.
"Ini ... apa?" tanya Styfan sambil mengusap daun pintu berwarna hitam. Di sana, terdapat sebuah aksara asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya, 死. Tangan Styfan terulur hendak membuka pintu, tetapi tertahan oleh teriakan Sheira.
"Tunggu!" Wajah Sheira memucat. "Itu sǐ, 'kan?" Sheira memandang berkeliling meminta persetujuan yang lainnya. Bahunya merosot saat melihat semua menggeleng pelan. Sheira memandang semuanya frustrasi.
"Itu aksara mandarin. Artinya mati," ungkapnya pelan. "sebaiknya kita jangan sembarangan buka pintunya. Firasatku gak enak," lanjutnya lagi sebelum memainkan jarinya dengan gelisah.
Netra Sheira kemudian beralih pada pintu putih. Sesuai dugaannya, di pintu putih itu tertempel aksara mandarin 生 (shēng), yang berarti hidup. Sheira mengepalkan jemarinya kuat, lalu memukul pintu putih itu kesal. "Dasar jahat!" makinya.
"Kalau yang itu mati, berarti yang ini hidup?" tanya Vivian ragu-ragu.
Sheira mengangguk lemas. "Tapi kita gak tahu apa tujuan dari pintu ini. Kita gak tahu ada apa di balik pintu ini. Mungkin sebaiknya kita pikirkan dulu baik-baik mau buka pintu yang mana. Perasaanku benar-benar gak enak," jelas Sheira sembari menatap satu per satu wajah temannya penuh permohonan.
Randy mengangguk setuju. "Benar kata Sheira, kita gak boleh gegabah. Mending sekarang kita cari tahu apa di sekitar sini ada petunjuk atau gak," ungkap Randy membuat teman-teman yang lain mengangguk setuju.
Mereka semua berpencar ke setiap sudut ruangan dan memperhatikan semuanya dengan teliti. Sheira dan Kirana bekerja sama di sudut pojok kanan ruangan. Mereka berdua berjongkok dan meraba-raba lantai yang kasar serta penuh pasir. Tak ada yang bisa mereka temukan di lantai, hanya terdapat pasir dan beberapa pecahan plastik.
Martin dan Bagas mengelilingi ruangan dan memperhatikan dinding yang baru dipoles semen itu. Tangan mereka terulur, meraba dinding untuk mencari keanehan pada dinding tersebut. Akan tetapi, nihil. Tak ada yang mencurigakan dari dinding-dinding tersebut.
Vivian dan Randy yang bertugas di sebelah kiri ruangan pun melakukan hal yang sama. Dan tak ada yang bisa mereka temukan, kecuali pecahan plastik dan juga pasir serta kerikil-kerikil kecil.
Randy berdiri dan menepuk kedua tangannya, menyingkirkan debu yang menempel. Helaan napas berat ia embuskan. Ia kembali ke tengah ruangan dan menatap teman-temannya dengan tatapan "apa kalian menemukan sesuatu?".
Sheira menggeleng lemas. Begitu pula dengan Kirana, Bagas, Vivian dan Martin. Melihat Styfan yang tak memberikan respons dan hanya menatap sudut kanan atas ruangan tersebut dengan tatapan serius, semua pun mengarahkan pandangan ke arah tersebut.
"Itu ... bukan timer penghitung waktu mundur, 'kan?" Bagas menyuarakan pikiran teman-temannya dengan ragu.
Napas Sheira tercekat. Mau diperhatikan bagaimanapun, itu memang timer penghitung waktu mundur. Dengan sangat amat menyesal, ia harus mematahkan harapan teman-temannya. "Itu benar timer penghitung waktu mundur. Karena waktunya gak banyak, sebaiknya kita gak usah denial."
Vivian langsung berteriak histeris, "Gila! Aku gak mau di sini lagi! Ini gila! Aku gak bisa. Aku takut. Mama! Papa! Aku mau pulang." Vivian berjongkok dan mulai menangis seperti anak kecil.
Bagas menghela napas lelah. Ia menarik Vivian berdiri dan meletakkan kedua tangannya di bahu gadis itu. "Aku tahu kamu takut. Kita semua juga takut. Tapi, tolong, jangan nangis dan bikin kita pusing. Memangnya kamu kira kalau kamu nangis semua masalah bakal selesai? Hah?! Gak! Mending kamu diam daripada bikin kita tambah pusing," omelnya galak.
Vivian hanya bisa tercekat. Ia membekap mulutnya untuk menghentikan isakannya. Walau tak sepenuhnya berhasil. Kirana melihat hal itu dan langsung mendekatinya. Meremas pundaknya pelan, memberi gadis itu sedikit ketenangan.
"Jangan takut, kita bertujuh pasti bisa mencari jalan keluarnya," bisiknya pelan sambil menepuk punggung Vivian.
Vivian mengangguk patuh. "Tapi waktunya gak banyak, Na. Kita hanya ada waktu lima menit kurang. Sekarang kita harus gimana?" tanya Vivian sendu.
Sheira mendekati kedua gadis itu. Seulas senyum manis ia berikan. "Kita pasti bisa nyari jalan keluarnya. Mending sekarang, kita pikirkan baik-baik pintu mana yang akan kita pilih."
Mata Sheira beralih ke satu per satu wajah yang ada di hadapannya. Semuanya terlihat bingung dan kalut.
"Aku pilih 'hidup'," ucap Martin tiba-tiba, "coba kalian pikir, karna kita mau hidup. Kita harus pilih 'hidup', 'kan?"
Sheira, Kirana, dan Vivian mengangguk setuju. Bagas dan Styfan pun terlihat mulai mempercayai logika Martin.
Randy menggeleng tegas. "Justru itu yang dipikirkan oleh orang yang membawa kita ke sini. Menurutku, 'mati' lebih tepat. Jangan mikir dari sisi kita, tapi kita harus mikir dari sisi orang yang membawa kita ke sini. Sudah jelas karna kita mau hidup, jadi kita bakal pilih 'hidup'. Gimana kalau di balik 'hidup' malah ada jebakan yang gak bisa kita duga?"
Sekali lagi, semua menjadi bimbang.
"Benar juga kata Randy. Kalau aku jadi orang yang bawa kita ke mari, pasti aku bakal mikir kayak Randy," ungkap Styfan menyetujui pemikiran Randy.
Kirana menggeleng. Ia menggigit jemarinya cemas. "Gimana kalau dia jadi kita dan mikir kita bakal milih 'mati' karna 'hidup' itu udah pasti jadi pilihan kita. Jadi di 'mati' ada jebakan yang gak terduga?" sanggahnya membuat semua orang yang mulai memihak Randy menjadi goyah.
Vivian meremas kedua jemarinya gelisah. Kakinya terus menghentak lantai dengan suara yang mengganggu.
"Vian," geram Randy yang terusik ketenangannya. Ia menggigit bibir bawahnya gusar. Waktu mereka tak banyak lagi. Hanya tersisa 50 detik. Dan mereka masih belum menemui titik terang pintu mana yang harus mereka pilih.
Vivian terdiam. Ia melirik timer, lalu menatap wajah teman-temannya. Berulang kali. Hingga akhirnya, ia tak tahan lagi. Waktunya sisa 30 detik dan mereka masih belum menemukan jawabannya.
"Aku gak tau lagi. Aku mau hidup," ungkap Vivian pasrah. Ia berlari dan membuka pintu hidup dengan mata tertutup, lalu masuk ke dalamnya. Akan tetapi, perkataan Randy benar.
"Ahhhhh!"
Tubuh mereka menegang. Tanpa mengikuti Vivian pun, mereka tahu bahwa pintu itu adalah jebakan.
Boom!
Kirana dan Sheira jatuh terduduk saat mendengar suara keras itu. Mereka tak ingin membayangkan apa yang terjadi pada Vivian. Akan tetapi, mereka menyadari satu hal. Permainan hidup dan mati telah di mulai. Dan sepertinya, tak akan ada yang lolos dari permainan maut ini.
-------------------
1092.03072021
Yo! Semangat berjuang buat teman-teman lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro