II
Sheira menyeruput minumannya dengan tenang. Tangannya mencomot sebuah mini cake, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Ia menatap Randy dan Kirana yang bisa mengobrol santai bersama yang lainnya dengan tatapan iri. Memang benar, kini mereka sudah berteman. Akan tetapi, ia masih tetap merasa canggung berada di lingkungan pertemanan tersebut.
Sekali lagi, tangan Sheira terulur untuk mencomot mini cake. Namun, ia harus menelan kecewa saat mendapati piring tersebut telah kosong. "Ran, aku mau lewat, dong. Mau ngambil cake lagi."
Randy berdiri guna memberi jalan pada Sheira. Baru saja gadis itu mengambil tiga langkah dari tempatnya, tiba-tiba lampu padam membuat Vivian dan Kirana berteriak kaget. Sementara, Sheira yang sudah berdiri hanya bisa mematung sempurna.
"Shei, kamu masih di sana? Mending kamu diam di tempat kalau gak mau kesandung sesuatu," saran Randy seraya meraba-raba kursi yang ia duduki tadi. Setelah menemukannya, Randy pun mendaratkan bokongnya dengan santai.
Sheira mengangguk pelan. Sesaat kemudian, ia menyadari kebodohannya dan langsung menjawab, "Iya, kok, Ran. Ini aku lagi diam di tempat."
Beberapa menit berlalu, lampu pun kembali hidup. Dan Sheira pun memilih untuk kembali duduk saja, tak jadi mengambil kue. Baru saja bokongnya melekat pada empuknya sofa, perkataan Vivian membuatnya menegang.
"Kita main game aja, yuk! Bosan banget kalau cuma makan sama minum doang. Emang ini ultahnya anak TK?" protes Vivian membuat wajah Sheira memerah akibat malu.
Sheira meremas jemarinya gugup. "Maaf," gumamnya tak enak.
Sadar akan kesalahannya, Vivian pun meringis kecil. "Sorry. Bukan maksudnya pesta kamu ngebosenin, tap—"
"Emang ngebosenin, 'kan?" potong Bagas dengan tampang tak berdosa.
Sheira semakin mengerut di tempat duduknya. Randy yang menyadari hal tersebut langsung menegur temannya, "Gas! Kalau ngomong disaring dulu kenapa? Besok-besok beli filter, ya! Kalau ngomong suka gak filter, bikin orang sakit hati aja."
Sheira menyentuh telapak tangan Randy dan menggeleng pelan pada pemuda itu. "Jangan berantem! Emang bener, kok, yang dibilang Bagas. Biar gak bosan, kalian tentukan aja permainannya. Aku gak tahu permainan apa yang seru karena ini pertama kalinya aku punya teman," jelas Sheira tenang.
Kirana tersenyum puas. Ia menepuk kedua tangannya untuk menarik perhatian. "Gimana kalau kita main truth or dare? U—"
"Bosan! Tiap kumpul mainannya itu mulu. Ganti lah!" sela Styfan dengan tampang bosan.
Kirana yang tak terima pun melempari Styfan dengan tisu bekas. "Kampret! Nyela aja! Ya, udah. Dare or dare, deh." Kirana menatap wajah satu per satu temannya dengan seringaian licik.
Sheira menggigut bibir dalamnya kalut, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi. Dan benar saja, moncong botol—yang entah didapat dari mana—yang diputar oleh Martin mengarah ke arahnya. Ia pun hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Sementara Martin tersenyum kecil seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai permintaan maaf.
Sheira mengangguk dan tersenyum kecil. "Oke! Jadi dare-nya apa? Jangan yang aneh-aneh, loh!" ucapnya memperingati. Gadis itu menelan salivanya susah payah. Tangannya berkeringat dingin.
"Tembak Randy di depan cafe sana," balas Kirana cepat sambil tersenyum lebar membuat Sheira melongo tak percaya. Lantas, gadis itu berdiri dan juga menarik yang lainnya berdiri. Ia menggiring Randy keluar cafe, sedangkan Vivian menyeret Sheira keluar cafe.
Sesampainya mereka di pelataran parkir. Kirana dan lainnya berdiri mengelilingi Sheira dan Randy sebagai pusatnya. Kelakuan mereka tentu saja menarik perhatian orang-orang yang ada di jalan. Bahkan ada beberapa pengendara sepeda motor berhenti untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Randy memelototi Kirana. "Na, stop, deh! Jangan kekanakan gini," pintanya pelan.
Kirana menggeleng tegas. "Ayo, dong, Shei! Sheira! Sheira! Sheira!"
Melihat Kirana yang bersorak memanggil nama Sheira, Vivian, Styfan, Bagas, dan Martin pun mengikutinya. Senyum puas tercetak di wajahnya. Berbanding terbalik dengan ekspresi kecut milik Sheira.
Sheira meremas jemarinya gugup. Kepalanya tertunduk. "Ra-Ran, ka-kamu ... pacar," lirihnya dengan suara yang sangat kecil. Walau begitu, teman-temannya masih bisa mendengarnya.
Vivian terkikik. "Hah? Kamu bilang apa, Shei? Gak denger tau! Suaranya gedean, dong."
Sheira menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan, menetralkan kegugupannya. Ia kemudian menatap ke dalam netra Randy. Menarik napas panjang sekali lagi. "Randy, kamu mau gak jadi pacar aku?" ucap Sheira dengan suara yang lebih keras dibanding yang ia maksudkan. Mendengar teriakan tersebut, sorak-sorai memenuhi pelataran parkir.
"Iya, aku mau," jawab Randy seraya menarik Sheira masuk kembali ke dalam cafe. Entah jawaban itu diberikan agar Sheira tak malu, atau memang jawaban itu diberikan dari lubuk hati Randy yang paling dalam. Sheira tak tahu. Yang jelas, saat ini ia berharap bahwa lantai yang dipijaknya sekarang berlubang dan menelannya.
Randy menghidupkan TV dan mengambil mic. "Mending sekarang kita karaoke aja," ucapnya seraya melemparkan satu buah mic ke arah Martin yang diterima pemuda itu dengan mulus.
Mereka pun bernyanyi ria, berteriak, dan bersenang-senang hingga suara mereka berubah serak. Satu jam penuh menarik pita suara, ketujuh remaja itu pun merasakan lelah. Mereka duduk bersadar pada sofa.
"Aku senang karna sekarang kita berteman dan udah berbaikan," ungkap Sheira sambil menampilkan senyum manisnya.
Kirana mengangguk pelan. "Aku juga senang. Oh, iya, soal kelakuan kita di masa lalu. Jangan terlalu diambil hati, ya. Kita cuma main-main, kok. Bercanda. Kamu tahu, 'kan?"
Sheira memaksakan seulas senyum. Hatinya terasa getir saat melihat Kirana bisa mengatakan bahwa perundungan yang ia alami selama 2 tahun belakangan hanyalah candaan belaka.
"Capek banget, gak, sih? Aku ngantuk banget, loh," komentar Vivian membuyarkan lamunan Sheira. Dan saat itu, ia pun mulai merasakannya. Matanya terasa berat dan tubuhnya terasa lemas. Ia pun terkulai di kursinya menyusul Vivian dan Kirana yang sudah terlelap lebih dulu. Begitu pula dengan para cowok, mereka terlelap di kursi masing-masing.
Tak berapa lama, beberapa orang bersetelan hitam, memasuki cafe. "Kami datang untuk menjemput Nona dan teman-temannya. Apakah Nona sudah selesai bermain?" tanya pria botak berbadan kekar pada salah seorang pelayan.
Pelayan tersebut melirik sejenak ke arah Sheira berserta teman-temannya yang tertidur. "Sepertinya mereka kelelahan karena terlalu banyak bermain," jelas pelayan itu tenang.
Pria itu mengangguk paham. "Baiklah. Kalau begitu kami akan membawa Nona dan juga teman-temannya pulang. Terima kasih sudah menjaga Nona dan teman-temannya. Kalau begitu, kami permisi."
Keempat pria berbadan besar itu mulai mengangkat satu per satu remaja tersebut. Mereka memindahkan mereka ke dalam mobil dengan hati-hati. Setelah semuanya dimasukkan ke dalam mobil, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju daerah pinggiran yang terdapat sebuah proyek gedung apartmen yang sedang mangkrak.
Satu per satu remaja tersebut digotong ke dalam gedung dan dimasukkan ke sebuah ruangan yang memiliki dua buah pintu yang memiliki warna berlawanan. Sebelum pria-pria itu meninggalan mereka, pria-pria itu mengikat kaki dan tangan para remaja dengan tali yang sudah mereka bawa sebelumnya.
"Ikat yang kuat," titah pria botak berbadan kekar. Matanya kemudian beralih pada Randy. "Ah! Yang itu ikatannya agak dilonggarkan aja."
--------------------
1095.02072021
:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro