I
"Ugh ...." Randy menggeliat, keningnya berkerut saat merasakan tangannya tak bisa digerakkan sesuai dengan keinginannya. Kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan penyebabnya, tangannya terikat. Randy menggeliat, berusaha melepaskan ikatannya. Jari-jarinya bergerak aktif mencari ujung dari simpul tersebut hingga ia mendengar erangan kecil dari sebelahnya.
"Sheira?" gumamnya tak percaya saat melihat Sheira, gadis yang dekat dengannya selama beberapa minggu terakhir, juga dalam keadaan terikat. "Shei? Kamu gak papa?" tanyanya panik.
Sheira yang baru saja sadar, hanya bisa mengerang kecil. Kepalanya sakit sekali seolah baru saja dihantam oleh palu besar. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu membulat sempurna saat menyadari ia bukan berada di dalam kamarnya.
"Shei!" Sheira menoleh dan mendapati Randy menatapnya bingung sekaligus panik. "Kamu gak papa?"
Sheira menggeleng, lalu mengerang lagi. Kepalanya benar-benar pusing. Setelah rasa pusingnya hilang, matanya meneliti ruangan temaram tersebut. "Ini di mana, Ran?"
"Gak tau. Tapi ... pertama-tama kita harus lepasin ikatan ini dulu," jelas Randy sambil memperlihatkan kedua tangannya yang bergerak aktif untuk melepaskan ikatan. Pergelangan tangannya terlihat berdarah akibat bergesekan terus dengan tali.
Sheira mengangguk tanda mengerti. Ia pun menuruti ucapan Randy. Sambil melepas ikatan, Sheira meneliti ruangan tersebut dengan saksama. Dilihat dari strukturnya yang masih belum dipoles dengan cat, dan juga hanya ada rangka yang berlapis semen. Sheira menarik kesimpulan bahwa mereka sedang berada di gedung terbengkalai. Apalagi jendela kecil yang menembuskan cahaya ke dalam hanya ditutupi oleh kertas bekas semen. Sheira menjadi semakin yakin dengan pemikirannya.
"Randy! Tolongin aku!"
Sheira mengerutkan kening. Itu bukan suaranya. Ia membalikkan badan dan mendapati Kirana dan yang lainnya juga ada di ruangan tersebut. "Kalian kenapa bisa ada di sini? Ini di mana?"
"Aku gak tau ini di mana. Waktu aku bangun, aku udah teriak minta tolong, tapi gak ada yang datang. Jangankan datang, yang dengar pun kurasa gak ada," jelas Kirana dengan suara serak.
Terdengar isakan kecil dari sudut ruangan. "Hei! Siapa pun! Tolong aku! Tolong! Mama! Papa! Aku takut. Tanganku sakit."
Sheira menatap iba pada Vivian yang mulai menangis. Ia mengerti karena ia juga takut. "Sudahlah, Vi. Menangis dan teriak pun percuma.
Lebih bagus simpan tenaga kamu aja buat lepasin ikatan ini."
"Kamu diam aja kalau gak mau bantuin teriak untuk cari pertolongan. Tolong! Tolong aku! Aku di sini. Siapa pun. Tolong aku!" Vivian berteriak semakin kencang. Ia bahkan tak peduli kalau suaranya sudah berubah serak.
"Hah .... Dasar bodoh! Kamu pikir aja sendiri. Sudah berapa lama kamu teriak? Apa ada satu pun orang yang datang buat nolongin kamu? Hah?! Bahkan tikus aja gak datang buat nolongin kamu! Pikir, dong! Gunain otak kamu! Jangan cuma bisa nangis dan teriak aja!" sergah Sheira berang. Ia gemas sekali melihat Vivian yang hanya bisa merengek dan menangis. Padahal yang terpenting sekarang bukan berteriak minta tolong, tetapi melepaskan diri dari ikatan tersebut.
"Shei! Kata-kata kamu keterlaluan. Kamu harusnya bisa bicara baik-baik padanya,"tegur Randy pelan. Kemudian, matanya beralih pada Vivian, "dan kamu, Vi. Benar apa kata Sheira. Lebih bagus kamu simpan energi kamu buat melepaskan ikatan kamu daripada teriak minta tolong. Seharusnya kamu tahu kalau di sini gedung terbengkalai dan pastinya jarang ada orang yang lewat. Kamu bisa nebak sendiri dari pendengaran kamu. Apa dari tadi kamu dengar suara lalu lalang kendaraan? Gak, 'kan?"
Vivian menggeleng pelan. Badannya mengkerut. Belum pernah ia melihat Randy yang ramah marah seperti itu. Walau Randy melontarkan kata-katanya dengan nada tenang, tetapi Vivian cukup tahu bahwa Randy sudah mulai naik pitam.
Bahu Randy naik turun seiring tangannya yang bergerak cepat untuk melepaskan ikatan. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Gimana bisa kita berakhir di sini? Ingatan terakhirku ... pesta! Pesta ulang tahun Sheira, ya, 'kan, Shei?"
Gerakan tangan Sheira terhenti. Ia berusaha menggali memori terakhirnya sebelum terbangun di ruangan temaram ini. Benar kata Randy. Ingatan terakhirnya hanyalah pesta ulang tahunnya. Ia ingat mereka sedang bercengkrama di pesta tersebut seraya menertawakan masa lalu.
18 jam yang lalu.
"Shei! Met ultah, ya." Kirana memeluk Sheira seraya memberikan kecupan singkat di pipi kanan dan kirinya.
Sheira tersenyum senang. "Makasih," balasnya seraya menerima sebuah paper bag berwarna pink dari tangan Kirana. Sheira mempersilakan Kirana untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau minum apa, Na?" tanya Sheira sembari berdiri, hendak memesan pada bartender. Namun, tangannya dicekal oleh Randy.
Randy tersenyum kecil. "Biar aku aja, Shei." Randy menarik Sheira agar duduk kembali. Ia menoleh pada Kirana. "Kamu pesen sendiri aja. Sana. Jangan manja!"
Kirana mencebik. Padahal ia mengira bahwa Randy benar-benar akan memesan untuknya, tetapi pemuda itu malah memintanya memesan sendiri. Tangannya terkepal kuat. Saat melewati Randy, Kirana sengaja memosisikan ujung tumit sepatunya di kaki Randy hingga pemuda itu mengerang kesakitan.
Sheira tertawa. "Kamu, sih! Udah tahu Kirana anaknya gimana, malah kamu jailin. Tau rasa 'kan kamu?"
Randy mengangkat bahunya tak acuh seraya meringis kecil. "Biar aja. Lagian kan udah pada gede, masa kudu dilayani dia? Enak, dong. Lagian kalau cuma disuruh pesan sendiri masih belum ada apa-apanya lah."
Sheira menggeleng. Ia kemudian berdiri untuk menyusul Kirana. "Na, kamu marah?"
Kirana berbalik dan menatap Sheira datar. "Buat apa marah?"
"Ya, mana tahu kamu marah. Oh, iya. Nanti makanannya kamu ambil sendiri aja, ya. Di sudut ruangan itu. Habis itu balik ke meja lagi, ya. Aku mau ngecek temen-temen yang lain dulu." Sheira langsung meninggalkan Kirana dan berjalan menuju Bagas dan Martin.
"Hai! Kalau gak cukup ambil aja lagi, ya," ujarnya sedikit kikuk. Ia memang jarang berbicara dengan kedua pemuda itu dan mereka juga tak begitu tertarik padanya hingga ia merasa sedikit canggung bila sedang bersama mereka.
Randy menumpukan lengannya di bahu Sheira. "Gas, tolong ambilin ikan asam manis sama udang goreng tepu, dong," pinta pemuda itu santai.
Bagas menoleh dan menatap Randy tajam. "Kamu gak punya tangan?" sinisnya. Walau begitu, Randy tak terlihat tersinggung sama sekali. Bagas pun, walau mengeluh, tetap mengambil ikan asam manis serta udang goreng tepung dan menaruhnya di piring yang berbeda.
Martin hanya menggeleng pelan. Ia berjalan menuju meja karena ia sudah mengambil makanan yang ia inginkan. Akan tetapi, langkahnya harus terhenti karena ia merasakan ada yang menarik ujung bajunya.
"Makanannya gak sesuai sama selera kamu, ya? Kamu mau makan apa? Biar aku bilangin ke kokinya," gumam Sheira sambil melirik isi piring Martin yang hanya berisi beberapa potong mini cake dan juga beberapa potong lapis legit.
Martin mengangkat sebelah alisnya heran. Makanannya tak sesuai dengan seleranya? Ia kemudian mengikuti arah pandang Sheira yang jatuh pada piringnya. Sebuah tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Gak, kok. Aku masih kenyang. Tadi sebelum ke sini disuruh makan dulu sama Mama. Soalnya masakannya gak ada yang makan kalau aku gak makan," jelasnya membuat Sheira mangut-mangut.
------------------
1077.01072021
Hai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro