BAB 8 | Semar mesem?
Bisakah kau lupakan saja, semua hal gila yang sudah kulakukan?
Ini pertama kalinya kita berjumpa, bukan? Lantas, bagaimana jika kamu pura-pura tidak pernah mendengar apapun yang ku ucapkan, juga apapun yang ku lakukan.
Semua hal yang seharusnya dimulai dengan cantik, nyatanya tidak. Semuanya berawal dengan menyebalkan dan berakhir dengan malang yang masih menimpaku.
... ☘️
Inginku terlihat indah layaknya warna pelangi sehabis hujan.
Nyatanya, bahkan hanya ada air bah dengan semua permasalahannya.
Inginku melenggang indah secantik peragawati di karpet merah dengan sepatu indahnya.
Nyatanya bahkan di balik sepatu itu ada tumit yang melepuh dan berdarah seiring langkah anggun nan menawan.
... ☘️
Jane menutup buku hariannya, menghela napas dan mengembuskan perlahan-lahan. Wanita berkaus putih lengan pendek itu menunduk di atas meja salah satu tempat makan sebuah mall yang merupakan pusat perbelanjaan tertua di Bandung.
"Bagaimana bisa aku sesial ini, sih?" gerutunya masih dengan posisi yang sama.
"Jane?" Suara seorang pria yang ia kenal memanggil namanya.
Wanita itu menengok, tersenyum sebentar sebelum akhirnya garis lengkung indah itu berganti menjadi garis lurus datar yang kentara di wajahnya yang kusut.
"Hai, kamu kenapa, hm ...?" Pria itu menghampiri wanita cantik dengan rambut pendek sepundak yang kucirnya mulai terlihat tidak beraturan.
Pria itu mengelus punggung Jane, mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. Dia membawa tubuh Jane mendekat dengan posisi merangkul dari samping.
"Kamu boleh cerita itupun kalau kamu mau. Aku siap jadi pendengarnya," ucap pria dengan setelan kemeja polos berwarna dark grey, celana chino panjang berwarna krem, plus topi putih menutupi rambutnya yang hitam dengan potongan rambut semi gondrong di baliknya.
Jane masih membatu di tempatnya. Matanya mulai berawan, pipi putihnya terlihat memerah layaknya warna buah strawberry. "Aku mau pindah ke Mars saja," celetuknya tanpa basa-basi.
Jane masih merasakan betapa malu hingga ubun-ubun kejadian di salah satu hotel Setia Budhi bersama dengan pria yang bahkan baru dia kenal. Pria yang seharusnya menjadi mitra dalam pekerjaannya, antara editor dengan penulis buku. Pria yang bahkan dia tidak tahu siapa nama aslinya, Lemon water, hanya itu informasi yang ia punya tentang pria tampan berlesung pipi itu.
"Mau aku temani ke Mars-nya, Jane?" sahut pria tampan yang sedang mencoba membuat wanita cantik berpipi chubby itu kembali tersenyum lagi.
"Tunggu sebentar ya, aku pesankan dulu tiket pesawatnya," ucapnya lagi masih mencoba melenyapkan awan kelabu di wajah lawan bicaranya.
"Memangnya ada? Kamu pikir bercanda kamu ini lucu?" semprot Jane dengan sebal.
"Loh, aku salah ya? Maaf, maaf ... Maafin aku ya, Jane," kata pria yang terlihat lebih muda dari Jane.
"Atas nama Jane?" tanya seorang pelayan menghampiri meja Jane dan temannya, yang segera diiakan oleh Jane dan Pria di sebelahnya dengan anggukan.
"Kak, ini pesanannya," ucap seorang gadis dengan pakaian khusus pelayan dari salah satu tempat makan dengan menu ayam krispi sebagai andalannya.
"Tolong simpan saja, Mbak," sahut pria tampan di sebelah Jane, mewakili wanita cantik yang masih saja bertampang tidak bersahabat itu.
"Oh, iya, Kak," tambah si pelayan.
"Terima kasih, Mbak." Sebuah senyum bertengger di wajah tampan pria itu, detik berikutnya si pelayan senyum-senyum sendiri.
"Kak kalau boleh tahu, pesan pelet di mana ya, Kak?" tanya pelayan dengan air wajah penasaran.
"Maksudnya?" Kali ini pertanyaan si gadis pelayan berhasil membuat Jane bereaksi.
Pelayan itu lagi-lagi tersenyum, dia bahkan terang-terangan terlihat mencuri pandang kepada pria tampan dengan garis wajah tegas di sebelah Jane.
"Maksudnya, kalau boleh tahu, Kakak pakai dukun di mana, kok peletnya bagus sampai-sampai dapat pacar berondong cuakep gini!" seru si pelayan yang dengan percaya dirinya mencolek dagu pria tampan yang berhasil menyita perhatian para pengunjung di sana.
Jane menepuk jidatnya sambil lalu, dia berkata, "Oalah Mbak ... Sini, sini aku kasih tahu alamat dukun langganan aku, ya!" Tiba-tiba tercuat ide gila di kepala Jane.
Air wajah pelayan itu terlihat sumringah, dengan cepat dia mengangguk. "Mau, Kak. Mau banget!" serunya dengan girang.
"Ada kertas dan pulpen? Biar aku tuliskan alamatnya," ucap Jane.
Tanpa diminta dua kali, pelayan itu mencari selembar kertas kosong seukuran nota, yang ia berikan kepada Jane. Tidak sampai satu menit, Jane menuliskan sebuah alamat rumah, yang ia tulis sebagai alamat dukun.
"Ini alamat dukun langganan aku, Mbak. Namanya Mama Euis, dia terkenal di kawasan Lembang. Mbak tinggal bilang saja, mau ke rumah Mama Euis, pasti oleh tukang ojek langsung diantar ke tempat." Jane dengan wajah tanpa dosa berhasil mengelabui pelayanan dengan seragam kerja kaus berkerah berwarna merah.
"Mbak tinggal bilang saja, mau pelet Semar mesem, yah walau budget peletnya lumayan mahal sih ... Tapi ya menurutku setimpal kok dengan hasilnya, Mbak," tambah Jane dengan raut wajah yang terlihat meyakinkan.
"Terima kasih banyak, Kak."
Jane manggut-manggut. "Semoga beruntung ya Mbak. Kalau beruntung, aku yakin sih, Sehun Exo juga kalah dari pacar aku mah," lanturnya seraya menunjuk Geni dengan sukunya.
Jane tertawa setelah pelayan itu menghilang dari pandangannya.
"Konyol banget deh!" desisnya.
"Kamu cantik kalau ketawa, Jane," ungkap pria tampan itu seraya mengelus pipi putih Jane.
Sentuhan singkat yang hanya lewat tiga detik itu berhasil membuat wajah Jane kembali memerah. Bukan karena marah, tapi karena malu.
"Geni Adipati," panggil Jane pada teman mengobrolnya.
"Hm, apa?" tanya empunya nama.
"Aku sudah bertemu dengan Lemon water," ucap Jane akhirnya.
"Wah bagus dong! Dia cantik nggak? Lemon water itu orangnya asyik nggak buat diajak kerjasama?" todong Geni.
Jane tertawa lagi, dia lalu berkata, "Mana ada cantik, orang dia laki-laki kok!"
"Jadi, Lemon water itu laki-laki?" Nada suara Geni meninggi, dia terdengar tidak percaya.
Jane mengangguk, dia kembali berkata seraya tangannya meraih gelas berisi minuman soda berwarna cokelat.
"Dia cakep?" tanya Geni lagi, dan Jane hanya manggut-manggut.
"Cakep mana sama aku?" Sekali lagi Geni melempar tanya, wajahnya terlihat begitu serius.
"Jelas cakep dia atuh! Kamu mah cakep saja, kalau dia itu cakep banget! Ya ... Satu dua lah sama Chanyeol mah." Goda Jane, susah payah dia mengontrol wajahnya agar tidak langsung menyembur tawa.
Wajah cerah ceria Geni berubah menjadi layu. "Kamu serius, Jane?" tanyanya memastikan kalau wanita cantik yang merupakan pujaan hatinya itu tidak berbohong.
Sekali lagi Jane mengangguk mantap. "Sayang sekali tadi aku lupa untuk foto bareng!"
"Nggak usah, nggak perlu!" Cepat-cepat Geni berkata, dia lalu menyumpal telinga dengan earphone miliknya.
"Kalau kamu masih mau cerita tentang si Lemon water, aku nggak mau dengar," ucap Geni, wajahnya ditekuk.
"Aduh ada yang merajuk nih," kata Jane seraya menarik turunkan alisnya.
Geni tak bergeming, dia sibuk mainkan ponselnya, mencari sebuah lagu yang akan ia putar kalau Jane benar-benar bercerita tentang laki-laki lain yang katanya lebih tampan. Pria itu hanya tidak dapat terima Jane akan memuji pria tampan selain Chanyeol Exo yang digadang-gadang sebagai pria tertampan seantero muka bumi versi Jane Natalie.
Jane terkekeh geli sendiri melihat reaksi Geni yang sesuai dengan dugaannya. Geni Adipati seorang pria tampan dengan tubuh tinggi layaknya model yang melenggang di karpet merah, pria yang selalu dianggap adik oleh Jane itu merajuk.
"Jadi, kamu sebenarnya mau tahu ceritaku atau nggak, sih ...?" tanya Jane pura-pura berbalik marah kepada lawan bicaranya.
Terima kasih sudah baca sampai bab ini ... Semoga suka dengan ceritanya ya. Mohon dukungannya 🥰🙏☺️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro