Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 | Sepihak

Hari itu, Geni duduk dengan perasaan campur aduk di tengah-tengah pembicaraan keluarga Jane. Pembicaraan yang diluar dugaannya, pembicaraan yang tidak ingin dia dengar dan tidak bisa ia terima. Mulutnya terkunci, tapi hatinya seolah-olah menjerit saat keluarga wanita berparas cantik yang amat ia cintai itu dengan tatapan penuh binar dan senyum yang tidak pernah luntur dari wajah mereka itu, setiap kali menyebutkan nama pria, Arter.

Geni bahkan baru tahu ada pria itu dalam hidup Jane. Mengenai siapa dia, semua hal tentang Arter seolah asing ditelinganya. Sebagai seorang teman kerja yang dekat dengan Jane, sudah tentu membuat Geni tersinggung. Geni baru tahu kalau selama ini dia ternyata tidak sedekat itu dengan Jane.

"Permisi, mohon maaf kalau saya lancang, Om, Tante," sela Geni di saat tiba-tiba mereka mulai membicarakan perihal pernikahan Jane dan pria yang disebut wanita itu sebagai sosok Arter.

"Iya, Nak Geni, ada apa?" tanya Papa Jane.

"Begini, Om, Tante, saya minta maaf karena sepertinya saya nggak bisa lama, saya harus ke Jakarta," ucap Geni.

"Loh, kenapa tiba-tiba, Nak? Nggak jadi menginap di sini? Nanti Nak Geni dan Jane bisa pergi bersama ke Jakarta kan," ucap Papa Jane.

Geni tersenyum, lebih tepatnya memaksa untuk membuat sebuah garis lengkung di wajah tampannya. "Mungkin lain kali ya, Om. Geni benar-benar harus ke Jakarta, maaf," sesalnya.

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya, Nak." Papa tidak bisa menahan tamunya itu untuk lebih lama, sementara kentara sekali air wajah sang tamu sangat tidak nyaman.

Setelah itu tanpa basa-basi lagi, pria bertubuh jangkung itu pamit. Jane tahu betul arti diamnya, dan dia yakin kalau saat di Jakarta nanti dia harus menjelaskan kepada kedua sahabatnya tentang pria bernama Arter yang ia katakan sebagai kekasihnya kepada Mama dan papanya. Jane menyesal karena telah membuat wajah yang biasanya penuh senyum indah itu pergi dengan wajah yang ditekuk.

"Aku akan menjelaskan semuanya padamu saat di Jakarta, hum ... Hati-hati menyetir, Geni."

Jane melepaskan tangannya dari perut pria itu, dia hanya mencoba untuk membuat Geni tetap yakin kalau Jane berhutang sebuah penjelasan padanya, dan sebuah pelukan singkat bukanlah hal yang salah. Setidaknya itu yang ada dalam benak Jane. Sayang, pikiran sederhana Jane berarti lain dalam benak Geni. Tanpa sepatah katapun pria itu ke luar dari rumah Jane.

Kamu nggak akan pernah tahu, rasanya cinta sepihak, Jane. Geni berlalu tanpa melihat ke belakang.

"Jadi, gimana kalau kamu izin satu hari lagi kepada bosmu, Sayang?" Mama tiba-tiba berkata setelah belum lama Geni undur diri.

"Untuk hal apa, Mah?" selidik Jane, dia punya firasat tidak enak untuk izin yang dimaksud ibunya itu.

Wajah Mama masih penuh senyuman yang hangat. Tangan yang sudah mulai banyak muncul keriput itu membelai rambut putrinya, seraya berkata, "Mama mau kamu bawa Arter ke rumah," ucapnya, dan sukses membuat Jane merasa mual tanpa diminta.

"Mah, sudah dong, jangan desak Jane terus. Kasihan dia," ucap Papa saat mihat perubahan air wajah sang putri.

Pria yang sudah terlihat tidak muda lagi namun masih tetap tampan dan masih terlihat gagah itu tahu betapa putrinya sibuk, bahkan dia tahu beberapa kali sang bos menelepon di hari libur sang putri.

"Lain kali ya, Mah ... Jane sibuk soalnya, nanti saat ada waktu libur lagi, Jane janji akan bawa Arter bertemu dengan Mama." Jane lagi-lagi harus mengucapkan hal bohong kepada kedua orangtuanya.

Saat satu kebohongan terlontar, maka yakinlah kebohongan lain akan mengikuti di belakangnya. Secara alami kebohongan itu terlihat nyata dan manis. Meski kenyataannya, buah dari kebohongan tidak pernah manis. Jane menelan salivanya, ada sebuah rasa bersalah yang begitu besar yang merajai dalam hatinya.

Kedua tangan Jane mengepal, menahan diri untuk tetap kokoh dengan kebohongan yang baru saja ia mulai dan ia ciptakan. Setidaknya aku hanya perlu berbohong sebelum ketahuan, dan aku berharap nggak akan ketahuan.

Rasanya malam begitu panjang hari itu. Jane segera menghubungi Lemon water setelah obrolan melelahkan di ruang keluarganya.

Bermodalkan wajah tembok, Jane memberanikan diri menghubungi Lemon water. Meminta pria itu untuk datang ke alamat kantor di waktu senggangnya.

Anda: [Selamat malam, Lemon water, aku Jane, hai.]

Anda: [ Maaf kalau aku kurang sopan menghubungimu malam-malam. Aku hanya ingin memberitahukan, mungkin untuk seminggu kedepannya kita akan membahas naskahmu lewat chat dan email.]

Anda: [ Tapi kalau sewaktu-waktu memang dibutuhkan untuk bertemu, aku pasti siap, hubungi saja aku.]

Anda: [ Atau, kamu bisa mampir ke kantor di Jakarta saat liburan. Nanti aku bisa jadi guide kamu selama kamu main ke Jakarta.]

Anda: [ Mungkin itu saja. Terima kasih. Selamat malam.]

Pesan itu hanya dibaca tapi tidak dibalas. Jane tidak ambil pusing, dia segera mengirim pesan kepada Geni.

Anda: [ Kabari aku kalau sudah sampai ya.]

Pesannya masih belum dibaca, Jane yakin kalau pria itu masih berkonsentrasi menyetir. Segera setelah dia yakin kalau dia tidak salah kirim pesan, dia menyimpan ponselnya di atas meja di dekat tempat tidur. Jane mengambil buku harian miliknya, menulis satu hari penuh drama yang baru saja ia buat lewat kebohongannya yang ia beri judul pada bagian atas lembar putih di buku hariannya 'Kataku, Mataku, Rasaku'.

Setelah selesai dengan tulisan di buku harian miliknya, Jane memejamkan netranya yang sudah terasa berat.

*****

Di tempat lain, sebuah rumah megah dengan halaman yang luas lengkap dengan pepohonan yang rindang membuat rumah kediaman keluarga Masen terlihat begitu hijau dan cantik dengan bunga-bunga yang menghiasi di tamannya.

"Pesan dari siapa, Yuki?" tanya seorang wanita cantik berwajah mungil mengenakan piyama tidur bergambar kelinci berwarna merah muda, saat melihat adik laki-lakinya tiba-tiba tersenyum.

"Bukan." Pria tampan yang duduk di depan wanita itu menjawab, dia melepaskan kacamatanya.

"Bukannya sudah kubilang kalau aku dan Yuki putus?" Pria itu balik tanya.

Lawan bicaranya mengangkat bahu sambil lalu, dia lalu berkata, "Entah, setahuku sih, biasanya nyambung lagi."

Pria dengan kaus putih memperlihatkan lesung pipinya saat tertawa, dia lalu berkata, "Kali ini mungkin sungguhan, Kak."

"Aku sebagai kakakmu nggak yakin sih, kalau kamu bisa secepat itu move on dari Yuki, Zeff."

"Ah, masalah kerjaanmu, tolong jangan ganggu. Maksudku, kamu bisa kan bersikap profesional, jangan campur adukkan masalah asmaramu dengan Yuki yang rumit itu dengan kerjasama kita, oke?" Nada bicara wanita itu terdengar penuh ancaman.

Pria yang menjadi lawan bicaranya hanya mengiakan seraya mengacungkan jempol.

"Tidurlah, besok antar Kakak ke Jakarta," ucap wanita itu seraya melenggang menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.

"Omong-omong, Kak, kapan Kak Bisma datang?" Pertanyaannya berhasil membuat kakaknya berhenti melangkah.

"Minggu depan, kenapa?"

"Apa ... Apa Minggu itu Kak Ros dan Kak Bisma akan langsung ke Bali?"

"Tentu saja!" sahut wanita cantik berwajah mungil yang disebut Kak Ros seraya mengangguk mantap.

"Kamu mau ikut Kakak ke Bali?" tambah Ros.

"Aku hanya bosan suasana di sini, di Jakarta apalagi. Kalau nanti aku ikut, apa Kak Bisma nggak keberatan?"

"Ah, itu urusan Kakak. Nanti Kakak yang coba bilang."

Wajah tampan yang menjadi lawan bicara Ros tersenyum sekali lagi memperlihatkan lesung pipinya yang semakin membuat wajahnya terlihat mempesona dengan lesung pipi itu.

"Oh iya, ada hubungan apa kamu dengan Jane?" tanya Ros tiba-tiba teringat gadis cantik berpipi chubby itu.

"Ah, Jane ya?" celetuk pria berkaus putih, dia mendekat ke arah Ros menuju anak tangga.

"Kami rekan kerja, untuk saat ini," tambahnya seraya berjalan melewati sang kakak.

"Awas ya, Zefran, jangan permainkan dia. Kakak nggak mau kamu jadi pria berengsek kalau sampai kamu rusak Jane!" Nada bicara Ros masih sama, penuh dengan ancaman.

"Iya, iya, Kak Ros tenang saja!" seru Zefran mendahului sang kakak menunju kamar tidur yang letaknya berada satu lantai.

"Selamat malam, Kak!" tambahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro