XXXIII. Coffee Date
Pagi ini Emlyn ada janji dengan Nita dan Ettan untuk coffee date. Meski dirinya bukan pencinta jenis minuman yang banyak mengandung kafein ini, tapi sesekali untuk nongkrong dengan dua temannya, tidak masalah untuk minum kopi. Di antara mereka bertiga, tidak ada yang maniak kopi. Nita lebih senang minuman berjenis squash, sedangkan Ettan lebih menikmati teh. Sejak dekat satu sama lain, mereka pun membuat agenda seminggu sekali untuk coffee date, dan murni harus minum kopi. Ide tersebut dicetus oleh Ettan guna menjalin kedekatan antar mereka. Sekaligus di waktu seperti itu mereka bisa saling berbagi cerita atau keluhan dan saling tanggap. Benar saja, kegiatan mereka berdampak baik untuk ketiganya. Mereka tidak perlu frustrasi akut saat diterpa tekanan, karena akan ada support satu sama lain. Serta mereka bisa lebih membangun solidaritas yang kuat.
Benda yang wajib dibawa Emlyn kemana pun ia bepergian adalah laptop. Benda pusaka itu harus ikut serta ke mana pun ia pergi. Sebab, pasti akan ada kesempatan untuknya menulis walau hanya satu paragraf. Hal ini pulalah yang membuatnya terus terikat kerja sama dengan Alaric, karena lelaki berkepala empat itu percaya pada kerja keras dan ketekunan Emlyn yang bisa mewujudkan kesuksesan bagi mereka bersama.
Emlyn berencana akan naik bus saja di halte yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, sekitar 2 kilometer. Namun, ternyata di depan rumah telah terparkir sebuah mobil Audi hitam yang mengilap. Emlyn tidak yakin siapa pemiliknya hingga pintu mobil terbuka dan memperlihatkan secara jelas sosok yang datang pagi ini.
"Anka?" sapa Emlyn dengan nada bertanya kenapa pagi-pagi sudah di depan rumahnya.
"Saya nggak punya nomor ponsel kamu, jadi saya menghubungi tante Danita untuk menemuimu. Katanya, pagi ini kamu ada pertemuan dengan rekan kerja. Mau saya antar?" Anka yang rapi dengan setelan kerjanya menawarkan jasa yang ingin ditolak oleh Emlyn. Pasalnya, mereka hanya baru sekadar tahu nama dan perkenalan mereka baru sehari. Namun, tolakan itu tidak terwujud dikarenakan pintu mobil yang telah dibuka oleh Anka untuk mempersilakan Emlyn masuk. Akan sangat tidak sopan jika membiarkan Anka menutup mobil tanpa Emlyn di dalamnya.
"Kamu tidak senang dengan kedatangan saya?" tanya Anka untuk memecahkan keheningan di antara mereka.
Sejak berkendara, Emlyn tidak berkata satu kata pun. Tatapannya lurus ke depan, memperhatikan jalanan yang macet dengan berbagai jenis kendaraan. Wajar saja, ini hari Senin, orang-orang sibuk berkegiatan yang dominannya di luar rumah.
"Ini senin, kamu nggak sibuk?" tanya Emlyn balik. Sedikit tidak masuk logikanya, di hari sibuk sedunia ini, seorang lelaki yang baru sekali tatap muka meluangkan waktu untuk menjemputnya, bahkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
"Saya sibuk. Ada rapat jam sepuluh nanti. Tapi, tidak akan terhalang karena mengantarmu," balasnya yang memahami maksud dari pertanyaan Emlyn.
Emlyn mengangguk singkat. Ia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Bukan sesuatu yang penting untuk dibahas hingga bertele-tele.
Sebuah pesan masuk di ponselnya. Dari Ettan yang menanyakan keberadaannya dan apakah membutuhkan jemputan? Begitulah Ettan, siap sedia untuk Emlyn. Mungkin sebagian orang akan salah paham dengan keduanya jika melihat kedekatan mereka satu sama lain. Akan tetapi, mereka sendiri menyadari tidak ada perasaan lebih untuk masing-masing, dan hubungan mereka murni sebagai sahabat. Bagaimana lelaki dan perempuan bisa bertahan sahabatan tanpa membawa perasaan? Mereka lebih mengeratkan diri dengan tali persaudaraan. Tidak sulit sama sekali bagi keduanya, dikarenakan mereka yang memang memiliki dasar kepribadian cuek.
"Temanmu?" tanya Anka, mencoba kembali membuka obrolan.
Emlyn bergumam dengan anggukan. "Mereka udah nunggu dan nggak akan memesan apa pun sebelum aku datang," jawabnya tanpa mengalihkan pandang dari ponsel. Jemarinya terus bermain di atas keyboard, membalas pesan Ettan yang terus masuk.
"Setia sekali mereka."
Tiga kalimat itu memalingkan perhatian Emlyn pada Anka, matanya sedikit melebar. Setia? Kamu nggak tahu aja mereka meninggalkanku di negeri asing seorang diri dengan dalih pekerjaan. Huh. Lagi-lagi aku mengingat kejadian yang membuat aku kesal pada mereka, umpatnya dalam hati.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Ucapanku benar, kan?" Anka memastikan pertanyaannya tidak salah ketika mendapati tatapan menyangkal dari Emlyn. Ia yang tidak mengetahui apa pun, merasa aneh ditatap demikian.
Secepat mungkin Emlyn menarik bibir membentuk senyuman paksaan, "Nggak salah sama sekali." Emlyn lantas menunjuk gedung abu-abu yang berada tepat di pinggir jalan. "Turunkan aku di sana."
Mobil milik Anka terparkir tepat di depan coffee shop minimalis dengan desain interior yang dominan pada warna krem. Dindingnya dipenuhi dengan mural kopi dan beberapa bingkai tentang filosofi kopi menggantung di sana.
Sebelum turun, Anka meminta nomor ponsel Emlyn agar mudah berkomunikasi. Emlyn tidak berpikir panjang untuk memberikan nomornya, sebab jika dilihat dari dua kali pertemuan ini sepertinya tidak mungkin Anka akan mengganggu layaknya anak SMP yang mau PDKT.
Emlyn melangkahkan kakinya dengan gontai memasuki ruang persegi yang tidak terlalu luas ini. Tidak perlu masuk terlalu jauh untuk menemui kedua temannya. Mereka tepat duduk di samping pintu dekat jendela. Pasti mereka melihat Emlyn turun dari mobil Anka, jelas terlihat dari ekspresi mereka yang penuh curiga dan tanda tanya. Ditambah lagi senyuman nakal yang ditunjukkan oleh Nita.
"Kenalan," jawab Emlyn pada keduanya untuk menanggapi kecurigaan mereka.
"Masih sebatas kenalan udah antar kamu pagi-pagi gini? Fix dia tipikal bucin," sahut Nita dengan rasa sok tahunya.
"Kenal di mana?" tanya Ettan lebih jauh.
"Anaknya teman mama. Tahu, kan, mama aku itu ngebet banget minta aku nikah. Dia kesal banget pas yang waktu itu aku tinggal gitu aja ke bandara. Lagian, nggak ada salahnya juga kalau aku ikuti kemauan mama. Kata mama, kalau misal aku nggak suka pas kami coba untuk dekat, aku bisa menolak, kok. Jadi bukan seperti perjodohan jaman dulu yang mau nggak mau harus mau," jelas Emlyn pada keduanya. Nita dan Ettan mengangguk paham, meski sebenarnya mereka tidak yakin pada Emlyn yang bersedia membuka hati untuk lelaki lain.
Sejak mereka mengenal Emlyn, belum pernah mereka mendengar Emlyn menceritakan tentang seorang lelaki pada mereka, kecuali Chanyeol. Bahkan beberapa lelaki yang mendekatinya pun hanya ditanggapi ala kadar. Alasan inilah yang membuat mereka hanya sekadar mengangguk tapi tidak mempercayai bahwa Emlyn akan bertahan lama dengan lelaki yang mengantarnya. Paling juga ujung-ujungnya berakhir sebagai teman biasa.
"Udah sejauh mana naskah itu kamu tulis?" tanya Ettan setelah mereka memesan kopi pada pelayan. Bahkan pelayan saja sudah tahu apa yang akan mereka pesan, jadi mereka cukup mengatakan "seperti biasa" makan pelayan akan segera membawa pesanan.
"Aku nggak yakin dua bulan bisa kelar. Udah mulai mulai konflik, sih, tapi aku rasa penyelesaiannya akan panjang. Dikarenakan kita mengangkat tema perbedaan, maka harus menggunakan berbagai macam metode untuk menyatukan perbedaan itu. Di situ, sih, yang bikin panjang. Mungkin nanti aku akan ngomong sama Pak Alaric untuk menambah waktu. Mungkin sekitar sebulan ke depan, kalau memang aku yakin nggak akan selesai sesuai deadline," paparnya detail tapi singkat.
Ettan dan Nita kembali mengangguk. Di lihat dari ekspresinya, sepertinya Ettan juga ada beban yang hendak dibagi pada kedua temannya. Ia mulai bersuara ketika tiga cangkir kopi disajikan di atas meja.
"Aku sepertinya dalam seminggu ini harus lembur, karena jadwal tayang udah mepet. Kalian tahu hal bodoh apa yang aku lakukan? Aku telah menyunting beberapa bagian, lalu aku tertidur tepat di atas keyboard. Aku nggak tahu tombol apa aja yang tertekan, karena saat aku bangun hasil penyuntingan yang belum aku simpan itu udah lenyap. Aku harus mengulang kembali," urai Ettan dengan menarik bibir secara paksa.
Nita yang mendengar kisah kedua temannya tertawa cekikikan. "Sungguh malang nasib kalian. Kalian memang ditakdirkan untuk bekerja keras. Fighting!!!" Demi menyemangati kedua temannya ia mengangkat tangan tinggi-tinggi ke udara.
"Kamu nggak ada masalah apa pun?" tanya Ettan penasaran.
Nita menggeleng. "Para artis damai sentosa, mereka nggak ada keluhan apa pun," jawabnya enteng.
Di saat seperti ini ingin rasanya Emlyn menjadi seorang penata rias seperti Nita, tapi apalah daya, untuk merias wajahnya sendiri saja ia tidak mempunyai kemampuan yang baik. Untung ada lipstik yang bisa membantu mencerahkan wajahnya agar tidak pucat.
Mereka melanjutkan cerita-cerita seperti keseharian dan pekerjaan lainnya. Namun, dering ponsel Emlyn menghentikannya bercengkrama. Lagi, nomor yang tidak dikenal, tapi kali ini bukan Suho, karena ia telah menyimpan nomor lelaki seputih kapas tersebut.
Walau ada rasa ragu, Emlyn mengangkat panggilan tersebut, dan langsung terdengar teriakan yang tidak asing di telinganya. "Hello, my little girl...."
"Baekhyun?" tanyanya yang mendapatkan atensi dari Nita juga Ettan.
"Wah wah wah, kamu tidak sopan padaku. Saat berbicara dengan Suho hyung kamu memanggilnya Oppa, lantas bersamaku kamu langsung menyebutku Baekhyun? Pilih kasih ternyata kamu," protes Baekhyun dari seberang.
Tidak membawa keluhan Baekhyun ke dalam hatinya, Emlyn malah tertawa mendengar lelaki itu berceloteh. Tidak dapat ditampik bahwa ia merindukan keceriaan lelaki itu. Bagi para penggemar, pastilah Baekhyun menjadi mood booster terbaik yang dalam keadaan apa pun kehadirannya pasti ditunggu.
"Apa aku mengganggumu? Aku ingin mengajarimu menyanyi, seperti yang diucapkan Suho hyung kemarin malam."
Emlyn baru teringat bahwa semalam Suho memintanya untuk mengambil beberapa bagian dalam lagu mereka bersama. Karena sudah tidak ada waktu untuk menolak, maka Emlyn hanya bisa menjawab waktu luangnya pada lelaki tersebut. "Nanti sore? Atau malam? Aku luang di atas jam empat sore, atau kalau di Korea itu jam enam. Gimana?"
"Setuju. Aku akan menghubungimu jam tujuh malam."
Emlyn terdiam. Ia sedang menimang sesuatu untuk ditanyakan. ada rasa ragu untuk mengajukan pertanyaan tersebut, tapi rasa ingin tahunya telah sangat tinggi. "Baekhyun Oppa," panggilnya lembut.
"Oppa? Apa kamu butuh sesuatu hingga memanggilku Oppa?" Seperti bisa menebak isi pikiran Emlyn, benar saja pertanyaan tersebut membuatnya malu.
"Jika aku bertanya satu hal padamu, apa kamu akan menjawabnya?" tanya Emlyn gusar. Ia tidak memiliki kedekatan apa pun dengan member XO, tapi ia memberanikan diri untuk bertindak lebih jauh.
"My little girl, aku tahu kamu cemas, tapi percayalah, semua telah dihandle dengan baik di sini. Kamu jaga kesehatan dan jangan berpikir terlalu jauh ya. Makanlah yang banyak dan istirahat yang cukup." Baekhyun sepertinya memang benar-benar tahu apa yang hendak ditanyanya. Ia langsung menjawab tanpa harus mendengar pertanyaan dari bibir Emlyn. Caranya menjawab sungguh tulus dan membuat Emlyn jauh lebih tenang. Merasa bersyukur jika memang idolanya di sana baik-baik saja setelah diterpa kabar miring itu.
Kini Emlyn dapat bernapas lebih lega dan bisa menjalani hari seperti biasanya. Ia yakin jika apa yang dikatakan Baekhyun barusan adalah benar adanya. Tidak ada untungnya juga jika lelaki tersebut harus membohonginya, bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro