XXII. Welcome Home
Akhirnya, Emlyn kembali bisa menghirup udara segar di ibu kota. Meski udaranya berbeda dengan di Korea, tetap saja negara sendiri merupakan tempat paling nyaman dibanding yang lain. Senyum tak henti-henti diumbarnya, karena sudah tidak ada lagi cemas akibat takut tersesat atau salah alamat. Di Indonesia, jika ia kehilangan arah ia bisa menggunakan maps atau menghubungi orang terdekat.
Kini, setelah disadari, pengalaman hidupnya yang sangat berharga, telah usai begitu ia tiba di Indonesia. Kini, ia harus kembali menjalani hidup sebagai penulis dan anak yang hendak dijodohkan. Membayangkan satu kata terakhir itu membuat Emlyn bergidik ngeri. Ia bisa membayangkan wajah Danita yang nanti akan menyambutnya di rumah. Wajah tanpa senyum dan tatapan tajam yang mematikan. Siapa pun tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya dari Danita selain dirinya sendiri. Harry tidak bisa dijadikan pelindung jika sudah berkaitan dengan emosi Danita. Ia penguasa rumah.
"Kamu siap bertemu Mama?" tanya Harry begitu mereka tiba di depan rumah.
Emlyn menarik napas, lalu kemudian membuangnya. Ia mengulang kegiatan itu sebanyak tiga kali, tapi tidak juga menemukan ketenangan batin. "Apa pintu samping dikunci dari dalam? Papa nggak bawa kunci serap?" tanya Emlyn yang masih tidak berani bertemu mamanya.
"Kunci serap, kan, cuma kamu dan Mama yang punya. Kalian dua penguasa rumah yang seperti kucing dan tikus kalau sudah bertengkar. Giliran akur aja seolah nggak akan ada yang bisa misahin kalian," cetus Harry sambil merapikan pakaiannya yang kusut.
"Papa menyindirku? Mengatakan aku mirip Mama?" tanya Emlyn tidak terima.
"Salahkah? Dia Mamamu, wajar kalian mirip. Kalau nggak mirip malah aneh. Udah, nggak perlu banyak deg-degan, masuk sekarang. Papa harus istirahat sebentar sebelum pergi ke rumah sakit."
Harry lekas mengambil langkah tanpa peduli anaknya yang masih saja berdiri malas. Menyiapkan mental kuat, Emlyn pun berjalan tepat di belakang Harry, dengan isi pikiran, hal ini bisa menutupi tubuh kecilnya agar tidak terlihat oleh Danita. Namun nahas, ia tidak seberuntung itu untuk dilewatkan oleh Danita.
"Senang sekali hidupmu di negeri orang sampai harus bersembunyi saat bertemu orang tua?" sindir Danita yang sedang mengulen adonan roti.
Menanggalkan tasnya di lantai, Emlyn berlari menghampiri Danita dan memeluknya dari belakang. Ia merebahkan kepala di atas pundak Danita yang membuat mamanya kegelian. Aqmar yang melihat aksi itu hanya geleng-geleng kepala sebab tahu kakaknya sedang berusaha mengambil hati.
Danita bersikap tak acuh pada Emlyn, padahal jujur saja ia sangat merindukan anaknya ini. Ia ingin anaknya ini berkomentar pada makanan yang dia buat, tapi ternyata hal tersebut ditutupi oleh gengsi yang lumayan tinggi.
"Mama tahu nggak, aku di sana mencoba makanan-makanan khas Korea. Aku pikir akan aneh di lidahku yang nggak biasa makan makanan mereka, tapi aku salah. Lidahku cocok dengan masakan mereka," ucapnya memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana.
"Apa kamu tahu yang mereka masak? Gimana kalau itu diracik dari bahan yang haram untuk kita makan? Kamu nggak boleh sembarang terima masakan mereka," cetus Danita sambil memukul paha Emlyn.
Emlyn tersenyum, ternyata keahliannya untuk mencairkan kekakuan Danita masih berfungsi dengan baik. "Mama tenang aja. Mereka menghormatiku yang beragama Islam. Bahkan di saat mereka ingin minum bir, karena ada aku, mereka memilih minuman lain yang nggak ada alkoholnya. Mereka menghargaiku. Mama harusnya berterima kasih pada mereka yang sudah menolongku dan menjagaku hingga aku bisa pulang lagi bertemu Mama."
Danita memutar badannya hingga terlepas pelukan Emlyn. "Kamu tahu betapa khawatirnya Mama dengan kehidupanmu seorang diri di sana? Tapi, setelah melihat kebahagiaanmu hari ini, sepertinya percuma saja Mama khawatir. Kamu pasti sangat menikmati kehidupanmu di sana. Apa kamu berencana akan kembali dan melanjutkan hidup di sana?" sindir Danita seraya menelengkan kepala menatap anak sulungnya.
"Bolehkah?" tanggap Emlyn dengan mata berbinar seolah dapat lampu hijau untuk kembali ke negeri Ginseng.
Sebuah pukulan kembali mendarat di tubuhnya. "Kamu masih berani untuk pergi ke negeri orang setelah mengalami kejadian ini? Nggak akan ada lagi izin untuk kamu ke luar negeri," pungkas Danita.
"Yah, Mama," Emlyn melengkungkan bibirnya ke bawah. "Kalau ntar kerjaan aku mengharuskan aku ke luar negeri gimana?" tanya Emlyn cemas.
"Nggak ada kerja ke luar negeri. Paling jauh cuma boleh antar pulau. Itu juga harus dipastikan kamu dikawal ketat. Mama kayaknya harus ketemu Ettan dan Nita. Bisa-bisanya mereka ninggalin kamu tanpa tanggung jawab." Emosi Danita kembali muncul karena mengingat nasib anaknya ditinggal di negeri orang seorang diri.
"Memang keterlaluan mereka itu. Akan aku omeli mereka begitu ketemu," tambah Emlyn yang juga kesal dengan sikap tak bertanggung jawab kedua temannya.
Danita kembali mengulen adonan rotinya. Sepertinya ia akan membuat citarasa baru dengan bahan utama cokelat. Dapat dilihat dari beberapa kotak cokelat dengan merek berbeda yang tergeletak di atas meja.
"Kamu nggak mau menceritakan tentang orang yang membantumu?" tanya Danita membuat Emlyn menutup mulut.
Bagaimana ia harus mendeskripsikan keluarga Chanyeol? Danita bisa mengamuk jika tahu idol kesayangannya lah yang telah menolongnya. Pikiran Danita akan menjurus ke hal-hal yang bahkan tidak terpikir oleh Emlyn untuk dilakukan. Memiliki orang tua overthinking memang menjadi tekanan tersendiri bagi Emlyn.
"Aku udah pernah bilang, kok, kalau aku ditolong oleh ibu-ibu yang punya cafe," jawab Emlyn ala kadar setelah mengingat jawaban yang pernah diberikannya pada Harry saat mereka pertama kali bertelepon sepulangnya dari Hanok Village.
"Hanya itu? Nggak ada hal lain? Yakin nggak menutupi sesuatu dari Mama?" tanya Danita datar yang berhasil mengejutkan Emlyn. Danita bertingkah seolah ia mengetahui sesuatu. Emlyn teringat satu hal. Aqmar. Adiknya itu pernah melihat Chanyeol saat mereka melakukan panggilan video. Mungkinkah adiknya itu melapor pada Danita? Tatapan tajamnya terarah pada Aqmar yang sedang duduk santai di sofa.
Emlyn kembali mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlihat jelas bahwa ia menyembunyikan fakta luar biasa yang dapat menyebabkan perang besar antara mereka. "Apa yang bisa kusembunyikan dari orang paling tahu seperti Mama?" Emlyn merasa itu adalah jawaban paling aman untuk saat ini. Jawaban dalam bentuk pertanyaan yang menyiratkan sesuatu yang ambigu.
"Mama akan tetap mempercayaimu karena kamu anak Mama. Jadi, jaga kepercayaan itu dengan baik. Kamu tahu, kan, saat kepercayaan itu dihancurkan, maka akan sulit untuk mengutuhkannya kembali." Danita memberikan peringatan pada putrinya dengan sangat hati-hati. Emlyn hanya mengangguk-angguk sebagai bentuk respons sopannya.
Ponsel pemberian Chanyeol berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk. Dari Nita. Demi apa pun, ia sedang malas membuka pesan dari temannya itu. Rasa marah dan kecewa masih saja bersarang di hatinya untuk mereka yang tega meninggalkannya begitu saja tanpa adanya usaha.
Aku dapat kabar dari Aqmar, katanya kamu udah tiba di Indonesia. Mari kita bertemu. Aku sangat merindukanmu.
Pesan yang terlihat tulus tapi tidak bisa menepis kekecewaan dari Emlyn. Ia segera menutup pesan itu tanpa membalasnya. Ia harus beristirahat setelah perjalanan panjang yang dilaluinya. Tubuhnya lelah, merindukan kasur kesayangannya di kamar yang terletak di sudut lantai satu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro