Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXI. Melepas Kepergianmu

"Apa kamu akan kembali lagi untuk mengunjungi kami di sini?" Pertanyaan tersebut terlontarkan dari bibir Mama Park begitu mereka tiba di bandara. Mama Park sudah meminta keduanya untuk menginap malam ini, tetapi Harry harus menghadiri rapat besok siang dengan beberapa dewan direksi rumah sakit.

"Jika aku diberi waktu dan kesempatan, aku pasti akan kembali. Sungguh, tinggal bersama kalian seperti aku tinggal bersama keluargaku sendiri. Kalian tidak memperlakukanku seperti orang asing. Terima kasih untuk seminggu ini," balas Emlyn dengan mata berkaca-kaca.

Waktu seminggu bukan waktu yang lama bagi Emlyn. Dalam enam hari ini ia mendapatkan banyak kejutan dan pengalaman baru; sesuatu yang sangat berharga. Walau di negeri asing, tapi ia tetap diperlakukan dengan baik seperti berada di rumah sendiri, sungguh ini bukan sesuatu di luar dugaannya. Ketersesatan ini memberikannya menjalani hidup sebagai orang yang berbeda. Ia bisa lepas dari pekerjaan yang membuat sakit kepala. Ia bisa bebas melakukan apa yang dia suka tanpa harus mendapat cibiran atau kekangan dari orang yang tak suka. Ia benar-benar menjadi diri sendiri ketika berada di negeri ini. Kecuali satu hal, saat berhadapan dengan para lelaki tampan itu.

Tiba-tiba pipi Mama Park ditetesi sebulir air bening. "Ah, kenapa aku menangisi kepulanganmu? Kamu anak yang sangat menyenangkan. Aku pasti akan sangat merindukanmu," ucapnya sambil mengusap air mata di pipi.

Emlyn pun tak kuasa untuk tidak menangis. "Tolong jangan berkata begitu. Ini juga berat untukku. Kita bisa saling berkomunikasi. Kita punya nomor satu sama lain," hibur Emlyn sebisanya.

Ia memeluk perempuan yang sedikit lebih tua dari ibunya itu dengan erat. Ketiga lelaki yang berdiri di samping mereka tidak berani untuk mengganggu kekhusyukan mereka saling melepaskan rasa.

"Sayang, dia harus pulang. Pesawatnya akan berangkat sebentar lagi." Papa Kim menarik tubuh istrinya, dan mengusap pucuk kepala Emlyn. "Terima kasih telah hadir dalam kehidupan kami, Emlyn," ucap Papa Kim.

Harry yang menyadari anaknya akan berlarut jika sudah menangis, meregam kedua pundaknya. Emlyn bukan perempuan kuat yang sanggup menahan tangis saat berhadapan dengan situasi seperti ini. Dia akan sangat sensitif jika sudah berkaitan dengan namanya kekeluargaan. Terlebih, selama di sini keluarga Chanyeol lah yang menemaninya dan menghabiskan banyak waktu dengannya. Sungguh, percayalah, ini tidak mudah.

"Emlyn ..." Chanyeol menyebut namanya, tapi terlalu lama menjeda sebelum kembali berucap, "nanti kamu akan tahu, kenapa kami selalu menyebutmu berbeda. Aku pasti akan memberitahumu."

Emlyn bergeming. Sebenarnya ia ingin mendengar hal ini segera. Sekarang juga. akan tetapi, waktu memang tidak sepakat dengan keinginannya. Ia harus segera pergi sebelum pesawat meninggalkan mereka. Tanpa berjabat tangan, ia pergi melangkah meninggalkan Chanyeol; lelaki yang selama ini diidolakannya, dan bisakah ia berharap untuk pertemuan mereka berikutnya?

------------------------

Sudah tengah malam, dan masih saja terdengar petikan gitar dari kamar Chanyeol. Ini hal yang sudah biasa dilakukan putra Papa Kim. Hanya saja, kali ini petikannya terdengar menyedihkan. Baik Papa Kim maupun Mama Park, tak ada satu pun yang mau mengganggu Chanyeol. Mereka seolah paham apa yang sedang dilalui anaknya, dan memutuskan untuk membiarkan.

Namun, tidak demikian dengan Yoora. Ia baru pulang ke rumah dengan niat mengunjungi orang tuanya, tapi ia malah mendapati kabar kepulangan Emlyn. Memang, ia hanya sekali bertemu dengan perempuan itu saat hari pertama Emlyn dibawa ke kafe mereka. Akan tetapi, entah bagaimana, ada rasa kehilangan di ujung hatinya. Ia bergegas menemui adiknya yang menyendiri di kamar.

"Kamu menyembunyikannya?" Pertanyaan tersebut dilontarkan Yoora sebagai bentuk sapaan begitu ia membuka pintu kamar Chanyeol.

Chanyeol tampak terkejut dengan kedatangan Yoora. Ia tidak mendapat pesan bahwa kakaknya akan pulang hari ini. "Kenapa tidak mengabariku kalau Kakak akan pulang?" Chanyeol meninggalkan gitarnya dan beranjak untuk menghampiri sang kakak.

"Semestinya jangan disembunyikan jika kamu akan sangat kehilangan." Yoora mengabaikan pertanyaan Chanyeol dan tetap fokus dengan apa yang ingin disampaikannya.

Chanyeol merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar yang kosong. Hampa. Ia menghela napas panjang. Mengerjapkan mata beberapa kali. Terakhir, ia mengukir senyum tipis di bibir tebalnya. "Jika pun aku lakukan, itu takkan mengubah semuanya. Ia tetap akan pergi, kan?"

Yoora turut merebahkan tubuhnya di samping Chanyeol. Menemani sang adik mengeluarkan isi hati. "Setidaknya ia mengetahui sebuah fakta. Bagaimana jika dia menunggumu mengatakannya?"

"Bagaimana jika sebaliknya?" serang Chanyeol. "Kita tidak saling kenal. Kita hanya saling tahu. Maka, kita tidak bisa langsung menyimpulkan sesuatu. Aku akan memilih menunggu lebih lama, asalkan itu dapat memberiku keyakinan lebih bahwa langkah yang akan kuambil adalah putusan yang tepat. Ini bukan sesuatu yang harus dilakukan dengan gegabah."

Yoora tersenyum mendengar jawaban Chanyeol yang menurutnya bijaksana. "Kamu tahu, aku hanya melihatnya sekali hari itu, tapi hatiku nyaman dengannya. Dia pribadi yang menyenangkan meski kami tidak banyak bicara. Aku juga mendengar ibu dan ayah merasakan hal yang sama padanya. Kuyakin, kamu lebih dari itu. Sebab, kamu yang selalu menemaninya, kan? Kamu bahkan meninggalkan banyak kerjaan karena dia. Kamu tahu berapa kali manajermu menelponku hanya untuk bertanya kamu di mana dan kenapa susah dihubungi?" ujar Yoora sambil melototi adiknya.

Chanyeol tertawa mendengar keluhan kakaknya. Namun, memang benar apa kata mereka, Emlyn memberi kenyamanan bagi siapa yang ada di sekitarnya dengan tingkahnya yang lucu. "Mulai besok aku dia tidak akan menghubungi kakak lagi, karena aku sudah tidak perlu lagi kabur dari kerjaan." Ia kembali menarik napas dalam, seakan ada sesuatu yang tertahan di dalam sana.

"Apa kamu berharap kalian akan bertemu lagi?" tanya Yoora memandangi adiknya yang masih saja menatap langit kamar.

Bukan menjawab, adiknya hanya diam dan mengulas senyum lebar sebagai tanggapan. Yoora sangat mengenal adiknya. Walau hanya seulas senyum, ia tahu makna di baliknya. Yoora bisa membaca adiknya meski hanya sebatas gerakan. Ia pun kini hanya bisa mendoakan keinginan adiknya dapat didengar dan dikabulkan oleh langit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro