Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XVI. Menilik Hati

Selepas kepulangan para member, Chanyeol dan Emlyn ditugaskan menutup kafe, karena orang tuanya pulang terlebih dahulu. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, sementara kafe seharusnya tutup pukul sembilan malam. Beruntung Emlyn dan Chanyeol pulang ke alamat yang sama, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai Emlyn.

Tidak ada perbincangan antara Chanyeol dan Emlyn. Mereka membersihkan piring dan gelas kotor yang sudah dibantu pindahkan oleh Kyungsoo tadinya. Emlyn merasakan kecanggungan di antara mereka, meski ia tidak tahu letak kesalahannya di mana. Lelaki yang biasanya tertawa dan memperlakukannya dengan hangat, sekarang hanya berlaku diam dan sibuk bebersih.

Chanyeol menyuci semua piring, sementara Emlyn yang mengeringkannya dengan kain. Mereka bertindak begitu saja, tanpa instruksi, seolah sudah biasa melakukannya. Chanyeol juga melanjutkan dengan membersihkan meja, dan Emlyn yang menyapu lantai. Padahal, di Indonesia beredar mitos bahwa menyapu di malam hari dapat menghambat rezeki. Hanya saja Emlyn tidak punya pilihan lain, karena situasi diam antara mereka.

Tidak terima diam seperti ini, sisi bar-bar Emlyn keluar. Ia membanting sapu di lantai dan menarik kursi. Daripada saling diam, ia mengambil ponsel dan bertukar pesan dengan adik semata wayangnya. Sudah lama ia tidak bercengkrama dengan siswa yang terlalu cerdas itu. Emlyn penasaran ada hal konyol apa lagi yang dilakukannya selama mereka berpisah.

Chanyeol mengambil sapu yang dibantingnya tadi dan menyimpannya di tempat seharusnya, dan lanjut menggosok meja dengan kain. Situasi mereka saat ini seperti sepasang suami-istri yang sedang berselisih paham dan gengsi untuk memulai pembicaraan. Sebentar. Suami-istri kesannya terlalu jauh untuk menjadi perandaian. Anggap saja sepasang kekasih.

"Hey, sissy, where are you?" sapa Aqmar dari seberang saat panggilan video sudah tersambung. Emlyn mencoba mengabaikan Chanyeol yang sibuk bersih-bersih.

"Nggak perlu berlagak bule. Aku di masih di Asia, bukan di Amerika," cetusnya.

Aqmar tertawa di sana. "Di sana nggak ada bule, Kak? Oh iya, karena Kakak sedang di Korea, apa Kakak bertemu dengan idola Kakak itu? Yang fotonya terpajang sedinding kamar itu,"tanya Aqmar penasaran. Lelaki itu tampaknya sedang belajar, karena duduk di meja belajar dan beberapa buku sedang terbuka.

Emlyn sedang tidak selera membahas hal itu karena situasi canggungnya dengan Chanyeol sekarang. Andai mereka seperti biasa, mungkin Emlyn akan dengan semangat bercerita pada Aqmar dan mengenalkan lelaki itu pada adiknya. "Ini udah larut. Kamu masih belajar?" Emlyn mengalihkan pembicaraan.

"Aku besok ujian tengah semester. Aku masih harus mengingat beberapa rumus karena besok yang diujiankan adalah pelajaran Fisika."

"Kamu tetap butuh istirahat. Lebih baik kamu bangun awal esok hari, daripada harus tidur telat malam ini."

Selagi mereka berbincang, Chanyeol berjalan melewati Emlyn untuk mengambil stand banner di luar. Hal itu membuat Aqmar salah fokus, ia mendekatkan wajah pada ponselnya, dan menutup mulutnya yang terbuka lebar sebab tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Silakan Kakak jujur, bukankah itu dia? Aku memang sulit membedakan bahan dapur, tapi Kakak pasti tahu, ingatanku kuat jika mengenai wajah orang lain. Ceritakan padaku bagaimana kalian bisa bersama. Apa ini alasan sebenarnya Kakak nggak pulang? Oh My, kalau Mama tahu, aku yakin Perang Badar akan terulang,"cerocos Aqmar tanpa jeda.

Tidak ingin membuat adiknya salah paham dan melaporkan hal tersebut pada Danita, Emlyn menjelaskan secara ringkas kejadian yang menimpanya. Ia hanya menyampaikan poin-poin penting terkait ketersesatannya. Tidak lupa, ia meminta Aqmar untuk merahasiakan hal ini dari Danita. Seperti yang dikatakan Aqmar, jangan sampai Perang Badar terjadi.

"Apa Kakak yakin akan baik-baik aja tinggal di rumah mereka?" tanya Aqmar ragu dan sekilas khawatir.

"Berhubung sampai saat ini nyawaku masih ada, napas masih bisa kuhirup dengan baik, itu artinya mereka memperlakukanku dengan baik. Nggak perlu cemas, aku akan pulang minggu depan," jawabnya tersenyum.

Chanyeol yang sudah menyelesaikan segala pekerjaan, duduk dan memperhatikan Emlyn yang sedang berbicara melalui ponselnya. Saat ia lewat tadi, ia melihat sekilas lelaki muda yang berbicara dengan Emlyn. Meski tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, Chanyeol dapat menangkap bahwa Emlyn sedang melempar rindu pada orang di sana. Auranya berbicara sama seperti ia berbicara di kamar kemarin.

Melihat Emlyn mengakhiri pembicaraannya di ponsel, Chanyeol bangkit dan segera keluar dari kafe yang diikuti oleh Emlyn. Mereka masih tak saling berbicara, hanya mengikuti petunjuk-petunjuk alam untuk memahami kondisi.

Masih tak ada perkembangan, dalam perjalanan pun mereka tak berbicara. Hanya lantunan lagu mellow yang terdengar mengelilingi mereka.

Ini pertama kalinya aku kesal saat di dekat Chanyeol. Jika biasanya aku akan senyam-senyum, kali ini aku ingin mengamuk dan mencakar wajahnya. Pulang dengan mobil diiringi musik sendu seperti ini rasanya seperti aku pulang ke rumah nenek di kampung sana. Membosankan!

Sesampainya di depan rumah, Emlyn tidak turun dari mobil. Ia melipat tangan di dada, dan memasang wajah tak bersahabat. Ia pun tak menoleh pada Chanyeol yang diyakini sedang melihat ke arahnya, berharap dirinya turun segera. Ia menunggu lelaki itu membuka suara segera. Apa susahnya hanya bersuara saja? Bukankah lelaki itu berprofesi sebagai penyanyi yang selalu memperdengarkan suaranya pada khalayak ramai?

"Maaf." Satu kata itu berhasil lolos dari bibir tebal Chanyeol setelah Emlyn menunggu dan mengumpat dalam hati selama tujuh menit.

Emlyn mengernyitkan alis dan menatap Chanyeol. Ia benar-benar menatap tanpa mengedipkan mata. Lelaki itu menunduk dan memainkan jemarinya, seperti seorang anak kecil yang telah berbuat kesalahan besar.

"Aku tidak tahu apa yang membuatku kesal padamu tadi. Padahal kamu ingin pulang ke negaramu, bukankah semestinya aku turut bahagia?" Kini Chanyeol menolah ke arah Emlyn, membiarkan mata mereka beradu. Mata Chanyeol memerah. Bibirnya terkulum rapat, masih ada sesuatu yang ditahan.

"Aku ingin mendengarmu," ucap Emlyn dengan tenang. Ia tahu, ini bukan saatnya untuk mengamuk apalagi mencakar. Ini saatnya mendengarkan.

Chanyeol menarik napas berat dan kemudian mengempaskannya dengan berat pula. Seperti perjuangan seorang Ibu yang akan melahirkan anaknya ke dunia, begitulah kiranya perjuangan Chanyeol untuk bercerita malam ini.

"Aku tidak ingin kamu salah paham. Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Jika boleh jujur, ada rasa tidak senang saat aku mendengar kamu akan pulang pekan depan. Bukan karena kepulanganmu saja, tapi lebih karena kamu tidak memberitahuku lebih dulu. Kamu dengan gamblang mengatakan itu pada yang lain, sementara aku tidak tahu apa-apa. Aku merasa seperti orang bodoh," jabar Chanyeol.

Emlyn kita tahu titik permasalahannya. Emlyn harus mengakui kesalahannya. Ia memang tidak berpikir tentang hal itu sama sekali. "Aku yang harus meminta maaf jika memang itu yang kamu pikirkan. Aku tidak menyadari bahwa semestinya aku harus memberitahu tuan rumah terlebih dahulu tentang rencanaku. Aku pasti terlihat seperti manusia tidak tahu terima kasih. Maafkan aku," ucapnya penuh sesal, tanpa drama.

"Bukan. Bukan begitu maksudku," elak Chanyeol. Ia tidak tahu bagaimana mengatakannya.

"Aku tahu. Maksudmu, seharusnya aku mengabarimu dan orang tuamu dahulu, kan? Setidaknya kalau pun aku berbicara dengan orang lain tentang kepulanganku, kalian tidak akan terkejut. Iya, kan?" Emlyn masih mencoba menerjemahkan isi pikiran Chanyeol.

"Bukan," bantah Chanyeol.

"Lalu, apa??" Emlyn mulai menaikkan nada bicara karena jengkel.

Chanyeol diam sejenak, sebelum akhirnya bergumam, "Aku hanya berat melepas kepulanganmu."

Tak dapat disangkal, Emlyn menelengkan kepalanya dengan mulut terbuka. Ia memperhatikan Chanyeol dengan rasa tak percaya. Bukankah semestinya aku yang merasa begitu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro