XLV. Satu Pesan
Emlyn sengaja mengajak Anka bertemu dengan dalih minta ditemani menulis naskah. Padahal, Emlyn paling senang menulis dalam keheningan tanpa harus menggubris orang lain berbicara. Semua ini dilakukan karena rasa penasarannya dengan apa yang diucapkan Ettan tempo hari. Jika memang benar Anka lelaki yang 'belok', maka ia harus segera berbicara pada mamanya untuk menghentikan semua ini sebelum terlalu jauh.
"Biasanya saya yang selalu memulai untuk mengajakmu keluar. Ada apa dengan hari ini?" tanya Anka penasaran. Wajahnya berseri semangat karena ajakan Emlyn.
"Kerjaanmu nggak terganggu dengan ajakanku?" Emlyn membalas pertanyaan dengan pertanyaan. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari layar laptop.
"Sebenarnya saya hari ini ada pertemuan, tapi dibatalkan karena dari pihak klien mengalami masalah."
Emlyn mengangguk-angguk paham. Emlyn mengambil minuman yang disajikan oleh pramusaji. Matanya mengarah ke Anka sesaat. Dilihatnya lelaki itu sedang fokus dengan makanannya, sepertinya belum sarapan sama sekali karena sangat lahap saat menyuapi sendok ke mulutnya.
"Gimana menurutmu tentang hubungan sesama jenis?" Pertanyaan yang dilayangkan Emlyn berhasil membuat Anka tersedak hingga ia mencari-cari minuman.
Emlyn sama sekali tidak merasa bersalah telah menyebabkan sedakan tersebut. Ia memperhatikan tingkah Anka yang gelagapan, antara cemas dengan pertanyaan Emlyn dan rasa sakit yang menggerogoti kerongkongannya.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?" tanya Anka selepas melegakan tenggorokannya dengan minuman kaleng yang diambil dari meja sebelah.
"Aku hanya ingin tahu pandanganmu tentang hal itu, tapi sepertinya aku menanyakan hal yang salah," sahut Emlyn. Jika awal tadi ia tak mengalihkan pandangan dari laptop, maka kini pandangannya tak beralih sedikit pun dari Anka. Semakin diperhatikan semakin mencurigakan. Penampakan tersebut membuatnya condong untuk mempercayai Ettan.
Anka mengatur napas, memperbaiki posisi duduknya. Nafsu makan sepertinya telah enyah sejak beberapa waktu lalu. Ia telah mengasingkan piring ke sisi kirinya. Kini, ia bersiap untuk menjawab pertanyaan Emlyn yang tidak diketahui tujuannya untuk apa. "Kamu pasti tahu, masyarakat kita menentang hal tersebut. Hubungan semacam itu tidak pernah dibenarkan dalam segi apa pun. Bahkan di negara luar juga banyak yang menentang. Jadi, saya tidak memiliki pendapat yang berbeda dengan mereka." Anka akhirnya berhasil mengeluarkan pernyataan dengan santai seperti biasanya.
Emlyn mengangguk-angguk. "Karena itu mereka memilih hubungan di balik layar?"
"Itu pilihan mereka. Ada yang bermain di balik layar, ada pula yang berani untuk terang-terangan. Mereka siap dibenci oleh banyak orang, tapi jujur tentang jati diri," tanggap Anka sangat hati-hati. Pembahasan yang dibawa oleh Emlyn bukanlah pembahasan yang mudah. Sampai kini, LGBT tetap menjadi permasalahan yang mengandung beragam kontroversi.
"Mereka yang main belakang berarti nggak jujur tentang jati diri dong?" simpul Emlyn cepat berdasarkan pernyataan Anka.
"Nggak bisa langsung menggarisbawahi demikian. Mungkin ada beberapa pertimbangan kenapa mereka masih menutupi."
Lidah aku gatel, mau nanya, kamu sendiri kenapa ditutupi? Duh, sabar, Em. Ini semua gara-gara Ettan. Otakku dipenuhi dengan hubungan sesama jenis, sampai harus berdebat dengan orang ini, batin Emlyn bergejolak.
"Kamu mau nulis tentang gay ya?" tanya Anka ketika melihat tak ada tanggapan apa pun dari Emlyn yang sedari tadi menyahuti omongannya.
Emlyn yang tidak menyiapkan alasan apa pun dibuat termangu dengan pertanyaan itu. Isi kepalanya masih meraba-raba harus menjawab apa sementara Anka sudah menantinya. "Aku hanya penasaran."
Jawaban paling aman berhasil keluar dari bibir Emlyn. Jawaban tersebut tidak salah pula. Ia memang penasaran. Penasaran tentang Anka yang penyuka sesama jenis atau bukan.
"Kalau di keluargamu ada yang demikian, kamu akan memaafkannya?" tanya Emlyn lebih lanjut.
"Rasa penasaranmu sampai mengibaratkan salah satu keluarga saya?" tanya Anka kembali dengan ekspresi tersinggung.
"Maaf, aku nggak bermaksud menuding. Kalau kuibaratkan dia sebagai teman, pasti akan ada pemakluman di dalamnya, karena kita nggak punya hak bebas atas diri teman kita," sahut Emlyn cepat.
Anka mengangguk-angguk paham, walau ekspresinya sudah kesal dengan Emlyn yang seakan tidak mau berhenti membahas tentang LGBT. Emlyn bukannya tidak ingin berhenti, tapi rasa haus akan fakta sebenarnya belum puas dia dapatkan. Bahkan bisa dikatakan ia tidak mendapatkan jawaban apa pun selain gelagat aneh di awal tadi. Selebihnya? Anka bisa menguasai diri dengan baik.
Tidak ingin memperkeruh suasana lebih jauh, Emlyn pun mengalah dengan meminta untuk mengakhiri pertemuan mereka. Ia berdalih bahwa ada pertemuan dengan Alaric—padahal Alaric sedang berada di luar daerah sekarang.
"Mau saya antarkan?" tawar Anka yang sedikit canggung karena perdebatan mereka beberapa menit lalu.
Emlyn tidak mungkin menerima tawaran itu. Ia berencana untk pulang ke rumah. Kalau Anka harus mengantarnya, itu berarti ia harus ke perusahaan dan akan jauh dua kali lipat untuk pulang ke rumah. Menambah berat ongkosnya saja.
Sebelum Emlyn menolak tawaran tersebut, ponselnya berdering. Mata kecoklatannya melebar dengan pelupuk yang memanas. Pipinya turut memerah panas. Perasaannya yang sedari tadi biasa saja kini bergemuruh. Satu nama yang selama ini dihindarinya, kini tiba-tiba muncul di layar ponsel. Tidak. Emlyn tidak punya keberanian untuk mengangkat panggilan tersebut. Emlyn tidak punya alasan untuk mendengar suara itu sekarang. Emlyn sama sekali tidak menyentuh ponselnya yang masih saja berdering.
"Nggak mau diangkat?" tanya Anka yang bahkan suaranya saja tak terdengar oleh Emlyn. Kini kepala Emlyn tidak lagi berfungsi dengan baik. Semua memori indah di negeri Ginseng berputar di kepalanya, menutupi kenyataan bahwa ia sudah tak lagi di sana.
Nada dering itu mati. Tidak ada panggilan berikutnya. Namun, sebuah pesan pun masuk dari nomor yang sama. Pesan yang tak berani dibuka, hanya berani dibaca melalui pop up.
Dangsin-eul mannago sip-eoyo (Aku ingin menemuimu).
Satu kalimat yang meruntuhkan pertahanan Emlyn. Sia-sia sudah ia berusaha melupakan selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro