LXXIII. Chanyeol dan Hatinya
Emlyn beruntung memiliki ayah seperti Harry. Lelaki yang selalu menepati janji dan punya solusi atas setiap masalah yang dihadapi. Mungkin karena itu Harry bisa menghadapi Danita yang mudah emosi tanpa harus membalas dengan kalimat-kalimat menyakitkan hingga berujung dengan pertengkaran sengit. Selama menjadi anak mereka, Emlyn tidak pernah melihat Harry bermain tangan atas Danita. Tidak pernah melihat Harry menjelek-jelekkan istrinya tersebut pada orang lain, termasuk anak-anaknya. Tidak pernah melihat Harry memarahi Danita dengan emosi yang meluap. Semarah-marahnya Harry, lelaki itu akan berdiam diri di belakang rumah sembari membaca artikel-artikel tentang pekerjaannya.
Kini pun sama, Harry membuktikan pada Emlyn untuk kesekian kalinya bahwa lelaki itu yang dipegang adalah omongannya dan dibuktikan melalui tindakan. Sekarang mereka telah tiba di sebuah rumah dua lantai serta berhalaman luas. Jaraknya tergolong jauh dari perumahan Emlyn. Butuh waktu tiga jam untuk bisa tiba di tempat ini.
Sepanjang perjalanan Emlyn sibuk beristighfar dan meminta kemantapan hati ia tidak akan menyesal menempuh jalan ini. Kalaupun ia harus menyesal, dia akan ikhlas nantinya. Emlyn perlu tahu kabar Chanyeol agar bisa mengabari keluarga lelaki itu di Korea sana serta melegakan dirinya sendiri.
"Papa yakin Chanyeol di sini?" tanya Emlyn begitu melihat sekitar. Tempatnya menenangkan dengan banyaknya tumbuhan di sekeliling taman, termasuk beberapa kolam kecil melengkapi pemandangan rumah ini.
Di sebelah kanan ada sebuah rumah panggung. Ada sekita enam laki-laki yang sedang membolak-balik buku dengan fokus tanpa memperhatikan sekitar. Di bagian teras belakang ada pula yang sedang membuat kerajinan, entah itu menganyam atau pun melukis di atas kanvas.
Hal yang menarik perhatian Emlyn, di tempat ini semuanya laki-laki. Sedari tadi ia tidak menemukan sosok perempuan seorang pun. Bahkan yang menyediakan minuman untuk mereka pun laki-laki yang bisa diperkirakan berusia tiga puluhan.
"Ini tempat apaan, sih, Pa?" tanya Emlyn kembali karena Harry tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
Harry menarik napas berat dan bangkit untuk melambaikan tangan pada seseorang yang berlari kecil menghampiri mereka. Emlyn tercekat saat melihat siapa yang datang. Begitu pula dengan lelaki kurus tersebut, senyumnya yang mengembang seketika menjadi simpul dan kaku.
"Om Harry ... Emlyn ..."
Lama tidak Emlyn dengan suara itu menyebut namanya. Getaran yang dirasa masih sama, ketukan dan iramanya. Tidak berubah sama sekali.
"Gimana keadaanmu. Senang tinggal di sini, Chanyeol?" tanya Harry sembari menepuk pundak lelaki yang sama tinggi dengannya.
Chanyeol membungkuk berterima kasih dan ikut bergabung duduk dengan keduanya. "Terima kasih sudah merekomendasikan tempat ini, Om. Saya merasa lebih tenang dengan mereka."
"Pa, ini pesantren?" tanya Emlyn masih saja penasaran dengan tempat ini.
Harry membolakan mata saat mendengar pertanyaan putrinya. Bahkan Chanyeol pun tersenyum mendengar pertanyaan itu. Emlyn berpikir terlalu jauh sepertinya.
"Ini rumah istirahat punya teman Papa. Dia membuka rumah ini untuk orang-orang yang benar-benar butuh istirahat. Pulang ke rumah nggak selamanya bisa istirahat, kan? Bisa jadi badan lelah, pikiran kalut, eh sampai di rumah kena omel atau malah disuruh ini-itu. Kita nggak selamanya bisa menanggung permasalahan dalam kondisi rumah yang kacau balau. Makanya teman Papa membuka tempat ini untuk membantu mereka mengistirahatkan pikiran dan tubuh mereka," sahut Harry sambil menatap satu per satu orang yang sedang beristirahat dengan cara yang mereka mau.
"Tempat pelarian?" simpul Emlyn dengan gampangnya. "Kenapa laki-laki semua?"
"Kalau bergabung malah nggak sehat nantinya, Em," gurau Harry menimbulkan kemerahan di pipi tembam Emlyn.
"Kalian ngobrol dulu berdua ya. Papa mau ketemu teman Papa dulu. Dia juga kayaknya lagi istirahat," ucap Harry yang sengaja memberi waktu untuk keduanya. Memang itulah tujuannya membawa Emlyn bertemu Chanyeol. Harry tahu, antar keduanya belum benar-benar selesai. Chanyeol sekilas telah memberitahunya. Emlyn memang egois.
"Kamu bahagia?" Bukannya menanyakan kabar kesehatan sebagaimana normalnya, Chanyeol mengajukan pertanyaan yang Emlyn tidak tahu menjurusnya kemana.
Emlyn mengangguk-angguk kecil. "Seperti yang terlihat."
"Kamu kurusan. Ada lingkar hitam di bawah mata. Senyummu juga tidak selebar biasanya. Kamu tidak begitu bahagia," urai Chanyeol mengutarakan analisanya.
Emlyn menatap Chanyeol lebih intens. Lelaki itu mengomentarinya, padahal lihatlah dirinya sendiri yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dinilainya pada diri Emlyn. Malah kini rambut lelaki itu kian memanjang.
"Kenapa tidak mengabari keluargamu?" todong Emlyn. Itu salah satu tujuannya ingin bertemu.
Chanyeol tersenyum menerawang. Sorot matanya sudah tidak lagi tertuju pada Emlyn. Berkeliaran memperhatikan hal-hal lain yang bisa mengalihkan.
"Kamu tahu, tinggal di tempat ini aku menemukan banyak hal yang kulewati. Atau lebih tepatnya kuabaikan. Mereka-mereka itu tinggal di sini lebih lama daripadaku. Ya, mereka tidak menetap sepertiku. Mungkin seminggu sekali, atau ada yang dua hari sekali pulang ke rumahnya. Tapi mereka tetap kembali ke tempat ini. Kenapa? karena mereka mendapatkan ketenangan di sini. Tidak ada yang bisa mengusik apa yang ingin mereka lakukan.
"Satu hal yang pasti, kami semua memiliki kesamaan. Kami mencari jalan tenang yang sebenarnya. Jika kamu perhatikan dengan baik, tidak ada orang yang benar-benar baik di antara kami. Ada pemabuk, pencuri, bahkan ada mantan narapidana, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Tapi semua di terima dengan baik di tempat ini. Tidak dipilah-pilah. Kami diperlakukan sama rata, asal kami memenuhi satu syarat."
Emlyn mengernyitkan dahi, penasaran dengan syarat tersebut. Ia sangat serius mendengar jabaran Chanyeol sampai tidak ingin bersuara karena takut mengganggu alur cerita.
"Setiap pagi kami harus mendengar murattal yang diputar tanpa menutup telinga ataupun tertidur. Murattal akan diputar selama dua jam. Selama dua jam kami tidak diperbolehkan melakukan apa pun. Hanya mendengar." Chanyeol tersenyum sesaat dan kembali melanjutkan, "Dua jam itu sangat penting dan memberi ketenangan seharian. Itu cara paling ampuh dari semua cara yang pernah kulakukan selama ini, Em. Kupikir berolahraga atau jalan-jalan berbelanja adalah cara terbaik untuk menyembuhkan segala penyakit hati dan pikiran, nyatanya ada cara yang lebih ampuh. Hanya perlu mendengarkan dengan tulus."
Emlyn bergeming. Ia tidak tahu harus merespons seperti apa kisah ini. Air mata menggenang di pelupuk mata. Terharu. Ada rasa yang membuncah di dadanya, bangga dengan apa yang dilakukan Chanyeol.
"Kamu tahu hal hebat apa selanjutnya dari hasil mendengarkan murattal itu? Mereka mulai menjalankan ibadah dengan rutin. Shalat lima waktu. Mengaji setelahnya. Dan berkarya sesuai bakat mereka. Semua dari mereka memiliki bakat yang luar biasa. Si pencuri yang aku sebut, dialah yang sedang melukis di sana. Setiap minggu pemilik tempat akan membawa lukisannya untuk dijual. Si pemabuk, kini dia lebih suka minum susu dan gemar menganyam rotan serta membagikannya pada penduduk tanpa mengambil upah. Dan si pembunuh? Dia luar biasa. Berdasarkan yang kudengar, dia paling lama berada di tempat ini, kisaran lima tahun. Dia sering mendengar ceramah dan diangkat jadi muazin mesjid daerah sini. Berada satu tempat dengan mereka, menjadi kebanggaan tersendiri untukku." Chanyeol bercerita penuh haru, bahkan matanya pun berkaca-kaca, menatap teman-temannya yang sedang sibuk dengan bangga.
Emlyn menyeka air matanya. Ini benar-benar kisah mengharukan yang ia dengar langsung. Beruntung pula ia bisa bertandang ke tempat ini dan melihat mereka meski tidak berbicara empat mata.
Setelah dapat menguasai diri setelah sekian menit, Emlyn bersuara, "Kamu harus tetap mengabari keluargamu. Mereka kesulitan karena kamu menghilang begitu saja."
"Maaf."
Satu kata dengan makna yang tidak dipahami Emlyn. Mengapa kata tersebut yang dipilih? Untuknya? Kenapa untuknya?
"Aku memberitahu mereka sejak awal apa yang kulakukan dan di mana keberadannku. Awalnya mereka menentang karena berpikir aku akan berubah dan menjauh dari mereka. Lambat laun, setiap hari kuberitahu apa yang kudapat, mereka kian mendukungku selama aku mendapat hal-hal positif. Coba tebak siapa yang paling senang melihat perkembanganku? Ibu. Dia tidak masalah sama sekali apa pilihanku, selama itu cocok dengan diriku dan membuatku menjadi lebih baik. Dia memberikanku dukungan penuh, padahal aku khawatir dirinya yang akan sangat menentang," ungkap Chanyeol terharu.
Emlyn mengangkat sebelah tangannya. "Sebentar sebentar ... maksudnya aku dibohongi saat telepon itu?" tuding Emlyn dengan nada tidak senang.
"Aku yang memintanya. Maaf. Sama sekali bukan salah mereka. Aku—"
"Kamu tahu betapa aku khawatir mendengar kamu menghilang? Mereka berbicara dengan sangat meyakinkan bahwa tidak tahu apapun tentangmu sejak kamu ke Indonesia. Aku merasa bersalah, mereka kehilanganmu karena kamu menemuiku di sini. Aku merasa bersalah atas tahun-tahun yang terjadi. Aku mengandai-andaikan segala hal yang semestinya tidak terjadi. Nyatanya, semua ini rekayasa?" Emlyn sungguh tidak terima dirinya yang mulai baik-baik saja tanpa Chanyeol, kembali kacau dan ternyata disengaja oleh lelaki itu.
"Hanya ini caranya aku bisa ketemu kamu, Em!" sanggah Chanyeol cepat, berhasil menarik atensi penuh dari Emlyn. "Kamu tidak memberiku kesempatan untuk mengungkapkan apa mauku saat itu. Kamu terlalu fokus pada dirimu sendiri dan pikiranmu yang mengarah pada kebaikan kita, padahal belum tentu baik untuk kita. Kamu lihat sendiri sekarang hasil keputusanmu? Tidak baik untuk kita berdua. Kamu tidak sepenuhnya bahagia, dan aku pun sama. Kenapa? Kita tidak mengomunikasikannya.
"Maaf jika aku terkesan menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Tapi kita memang harus instropeksi, Em. Aku bersyukur menceritakan kejadian malam itu pada Om Harry. Papamu orang yang sangat soluitif. Dia meminta waktu padaku untuk berbicara padamu, tapi katanya kamu selalu menghindar. Tidak membiarkan siapapun menyebut namaku. Bukankah kamu terlalu keras pada dirimu? Kamu memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya, Em. Semestinya kamu tidak lari. Semestinya kamu menyambut tangan yang aku ulurkan hari itu. Kita saling menggenggam dan berjalan bersama. Bukan mengambil jalan masing-masing.
"Aku menyampaikan ulang niatku pada Om Harry. Karena itu beliau mengantarkanku ke tempat ini. Beliau mencoba membuka mata hatiku. Aku akui, itu berhasil, meski belum kucapai seratus persen. Aku mulai tersentuh. Dan aku ingin kamu menjadi salah satu saksinya."
Chanyeol berkata dengan sungguh-sungguh. Emlyn mendengar dengan baik dan menelan setiap kata yang dituduhkan padanya. Ia tidak dapat mengelak, karena benar adanya. Ia termakan isi pikirannya sendiri, bahwa ini akan baik untuk mereka berdua tanpa bertanya pendapat Chanyeol. Tanpa ingin tahu isi pikiran Chanyeol. Tanpa memedulikan perasaan Chanyeol.
Terbata Emlyn bertanya, "S-saksi apa maksudmu?"
"Jadilah salah satu saksi aku bersyahadat minggu depan."
Deg!!! Emlyn merasa ada gangguan pada indera pendengarannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro