LX. Usai Sudah
Danita ingin segera mengonfirmasi terkait jati diri Anka setelah melihat foto yang diperlihatkan oleh Emlyn. Namun, Emlyn dengan cepat melarang Danita menghubungi ibu Anka. Emlyn berniat dirinyalah yang terlebih dahulu berbicara pada Anka. Setidaknya, kalau pun semua meleset dari dugaan—walau ia tidak yakin seratus persen—Danita tidak akan malu karena duluan menyerbu keluarga Anka.
Di sinilah Emlyn berada. Di sebuah kafe mini yang belum banyak pengunjung. Mungkin karena masih pagi atau karena cuaca yang terlalu terik sehingga banyak yang malas untuk keluar rumah. Pun, ini akhir pekan, pasti banyak yang lebih senang menghabiskan waktu di rumah dibanding harus membakar diri di bawah terik matahari.
Emlyn baru menyadari, setiap keduanya membuat janji temu, Emlyn lah yang selalu menunggu. Bukan karena Emlyn tidak sabaran atau takut dianggap sebagai perempuan yang agresif, tapi setelah melihat kejadian di hotel kemarin, ia jadi berpikir, apa sebelum bertemu dengannya Anka berpamitan dulu pada lelaki itu? Uh, tubuh Emlyn merinding sendiri membayangan hal menggelikan tersebut.
"Hai, Em. Maaf saya telat," ucap Anka begitu tiba dan duduk di kursi depan Emlyn.
Tidak ingin memperlihatkan betapa sebenarnya Emlyn tidak ingin dekat-dekat dengan Anka, ia pun memilih untuk mengulas senyum simpul seperti biasanya. "Aku udah pesan untuk diriku sendiri. Kamu mau pesan apa?" tanyanya sekadar basa-basi.
"Ah, saya udah sarapan tadi. Saya juga sepertinya nggak bisa lama, karena ada hal lain yang harus saya kerjakan. Maaf sekali, di waktu seperti ini saya malah sibuk," sahut Anka dengan wajah penyesalan.
Emlyn mengernyitkan dahi. Akhir pekan sibuk? Dengan lelaki itu, kah? Huh, aku merasa gerah. Dia seperti ini karena orang lain dan itu adalah laki-laki? Aku merasa terkhianati. Bukan karena aku punya perasaan untuknya, tapi karena dia menipuku juga keluargaku.
Semua umpatan itu hanya dicecar dalam hatinya saja. Sementara yang dilontarkan dari mulutnya sangatlah berbeda. "Pekerjaanmu sepertinya nggak mengenal hari libur. Atau kamu yang sebenarnya gila kerja?" Emlyn berkata tanpa memandang Anka. Penglihatannya hanya menjurus pada gelas berisikan jus jambu segar yang sedang diaduk-aduknya.
"Ada masa di mana saya harus menggunakan hari libur untuk bekerja, terlebih jika itu mendesak," jawab Anka seadanya. Entah itu memang jawaban yang dimaksud, atau asal keluar dari mulut. Emlyn tidak berniat untuk ambil pusing.
Emlyn menarik napas berat dan meregangkan otot sebentar. Ia bereaksi seperti akan memulai pertarungan di atas ring saja. "Baiklah, karena kamu buru-buru, aku akan langsung pada pokok permasalahan." Emlyn pun menyodorkan foto yang dipotretnya kemarin.
Emlyn yang memang sengaja menitikkan atensi pada wajah Anka, dapat melihat secara jelas keterkejutan pada paras tampan tersebut. Namun, seolah sudah biasa, Anka segera menghilangkan reaksi itu dengan sebuah senyuman dan berlagak tidak tahu.
"Ada apa dengan foto ini?" tanyanya dengan menunjuk foto pada ponsel Emlyn.
Emlyn pun segera menarik kembali ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celana bahannya. "Cuma ingin tahu pendapatmu aja."
"Kamu mengajak saya bertemu cuma untuk itu? Em, apa nggak ada yang lebih penting lagi?" Anka yang selama ini diketahui Emlyn selalu berbicara sopan, kali ini menaikkan intonasi dengan raut wajah tidak suka. Hal ini semakin membuat Emlyn yakin dengan apa yang dilihatnya. Bukti sudah jelas, tapi Anka masih saja mengelak.
Masih berusaha mengontrol emosinya karena tidak ingin terbawa suasana dengan Anka yang mulai resah, Emlyn berujar dengan santainya. "Jadi kita hanya bisa bertemu kalau ada sesuatu yang penting? Sepertinya dulu kamu menjemputku ke rumah dan mengantarku bertemu teman-temanku bukanlah sebuah hal yang penting. Kita juga pernah beberapa kali bertemu hanya untuk sekadar makan tanpa obrolan penting, yaa walau pun setelah itu kamu buru-buru pergi lagi. Lantas, kenapa hari ini kamu berkata sebaliknya?" Emlyn menarik dua sudut bibir membentuk sebuah senyuman datar tanpa binar di mata.
Menyadari reaksinya berlebihan, Anka segera mengklarifikasi dengan senyum yang jelas dibuat-buat. "Bukan begitu maksud saya, Em. Saya hanya kaget, kamu tiba-tiba mengajak bertemu dan meminta pendapat mengenai foto itu," jawabnya gelagapan.
"Kenapa nggak kasih pendapat? Karena itu hal yang memalukan? Menggelikan? Nggak patut dikomentari? Atau karena kamu sadar yang di dalam foto itu adalah kamu." Kini Emlyn tidak mau mengulur-ulur lagi permainan bahasanya. Ia harus segera memasuki babak penting dan menyelesaikan perkara mereka.
Anka tercekat. Namun, ia tetap berusaha mengelak dengan sunggingan senyum samar. "Kamu menuduh saya?"
"Kita pernah membahas tentang hubungan sesama jenis kala itu. Jawabanmu memang sedikit pro ke arah mereka. Apa itu karena kamu bagian dari mereka? Aku nggak butuh dalih A, B, C dari kamu. Aku cuma mau kamu jujur aja. Sulit? Ya, aku tahu pasti nggak mudah bagi kamu mengakui sesuatu yang bertentangan dengan masyarakat kita. Tapi, apa kamu mau merusak kepercayaanku dengan segala kebohongan ini? kamu menganggapku apa sebenarnya?"
Emlyn berkata dengan ketus tapi tetap mengontrol nada bicaranya. Meskipun kafe ini tidak ramai, tetap saja tidak etis membuat pertengkaran hebat di tempat umum. Emlyn tidak menyukai cara tidak elegan tersebut.
"Em, saya selama ini—"
"Gini, deh," Emlyn memotong omongan Anka dengan cepat seraya mengangkat tangan kanannya, meminta Anka berhenti. "Bukti udah jelas. Bahkan kalau pun aku tanya pada orang asing sekarang, mereka pasti bisa tahu itu wajah kamu. Aku mau, kamu kasih tahu aku alasan kamu nutupi ini semua dari aku. Kamu mau menjebak aku dengan perjodohan itu, kan?"
Anka merasa sangat gerah dengan rentetan kalimat Emlyn yang menyudutkannya. Sayang, ia sendiri yang menolak memesan minuman tadi.
"Maaf, karena mengecewakanmu." Itulah jawaban yang terlontar dari bibir Anka, alih-alih memberi jawaban yang diminta oleh Emlyn.
Emlyn mengempaskan tubuhnya bersender pada kursi sembari mengembuskan napas berat. Sungguh, menyebalkan sekali situasi ini. Lebih menyebalkan dibanding ketika ia menanti secara tidak jelas tentang perasaannya dan Chanyeol.
"Apa sedari awal kamu mikir gimana perasaanku andai tahu semua ini? Atau kamu berpikir aku akan selamanya bisa kamu bodohi? Kamu kepikiran nggak, apa pun yang kita tutupi dengan niat nggak baik, nggak akan bertahan lama. Pasti akan terbongkar. Kamu contohnya.
"Sedari tadi aku memberi kamu kesempatan untuk bicara dan menjelaskan dengan baik padaku, tapi kamu mengelak dan menyia-nyiakannya begitu aja. Jujur, itulah yang buat aku kecewa. Itu yang buat aku merasa kamu selama ini memang seniat itu untuk menipuku. Kalau kamu memang nggak bisa menjalin hubungan dengan perempuan, kenapa kamu nggak minta tolong dengan baik-baik sejak awal. Kita bisa memberi alasan yang lebih logis pada orang tuamu dibanding harus menyakiti seperti ini.
"Jalan yang kamu ambil sekarang, dengan berani aku simpulkan, adalah caranya pengecut. Kamu ingin mendapatkan hasil yang maksimal, tapi usahamu minimal. Kamu menggunakan cara terlicik yang pernah ada. Demi apa pun, aku bersyukur mengetahui ini semua lebih awal, jauh sebelum aku menerima pertunangan kita. Bersyukur aku nggak terikat tali pernikahan dengan lelaki seperti kamu. Bukan karena penyakitmu, tapi karena caramu!"
Emlyn tidak menunggu lama atau pun memberi kesempatan Anka untuk berbicara lagi. Anka benar-benar kehilangan kesempatan. Emlyn segera beranjak dari duduknya dan keluar dari kafe, mengabaikan teriakan Anka yang menyerukan namanya.
Emlyn tidak akan ambil pusing lagi tentang laki-laki itu. Semua telah semakin terang sekarang. Perjodohan tidak selamanya baik, walau pun kedua orang tua mereka berteman baik. Siapa yang tahu tentang sifat sang anak selain anak itu sendiri? Ini memberi pelajaran yang berarti untuk dirinya, agar ke depan semakin cermat dalam melihat diri seseorang. Sopan saja tidak cukup, mana tahu ia menyembunyikan sesuatu yang berbahaya di balik itu semua. Dunia sekarang memang tidak baik-baik saja. Beragam macam orang menjadi penghuninya dengan segala tipu daya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro