I. Kabar Gembira
Hujan turun dengan deras. Padahal sudah menjelang siang, tapi tidak ada tanda-tanda matahari akan muncul memberi kehangatan. Seorang perempuan berhoodie hitam yang diperkirakan berusia dua puluh enam tahun turun dari bus dengan memeluk sejumlah buku di dadanya. Sesekali ia mendorong kacamatanya yang turun dari pangkal hidungnya yang berbentuk button. Katanya, dari bentuk hidungnya ini dapat diketahui bahwa dia adalah pribadi yang imajinatif, peduli sekitar, optimis dan baik hati. Meski demikian, dia tergolong dalam orang yang sulit mengendalikan emosi. Tidak ada yang salah dari perkataan tersebut, karena dapat dipastikan perempuan ini memang demikian adanya.
Ia berlari kecil di bawah guyuran hujan menuju gedung tinggi di seberang jalan. Jika diperkirakan jaraknya sekitar setengah kilometer. Tanpa takut hujan ini membuatnya terserang penyakit, ia terus berlari agar sampai di tujuan tepat waktu. Baginya, tepat waktu adalah hal paling penting dalam hidup. Karena itu, ia selalu menjadwalkan hal-hal yang akan dilakukannya. Dalam ponselnya dapat ditemukan sebuah memo yang berisikan hal-hal yang harus dilakukan beserta jadwalnya.
Kakinya tepat berhenti di gedung yang memiliki lima puluh lantai. Wajahnya menengadah melihat ke pucuk gedung. Sangat tinggi. Alam imajinasinya mulai bermain; berpikir suatu hari ia akan menjadi pemimpin gedung setinggi ini, memiliki ratusan atau bahkan ribuan karyawan yang akan ditanggungjawabi olehnya. Indah sekali imajinasinya hingga berhasil mengembangkan senyuman manis di wajahnya yang basah karena hujan. Meski demikian, ia tahu, ia tidak akan mencapai hal tersebut, sebab itu bukanlah tujuannya.
Ia bukan seorang yang bekerja di bidang manajemen, marketing, operasional, teknisi, apalagi pejabat tinggi. Namun, pekerjaannya sekarang bisa menciptakan siapa pun bekerja di bidang tersebut. Ia adalah seorang pencipta.
"Emlyn...." Seseorang menepuk pundaknya.
Seorang lelaki menyapanya sambil menampakkan deretan gigi putihnya. Tampilannya tak jauh berbeda dengan perempuan yang dipanggil dengan nama Emlyn. Lelaki ini hanya menggunakan jaket dongker dengan dalaman kaos hitam, serta jeans senada.
"Hai, Ettan," balas Emlyn.
"Kamu sudah dengar kabar bahwa kita akan duduk bersama setelah syuting hari ini berakhir?" tanya Ettan. Mereka mulai memasuki gedung bersama, menuju lift yang letaknya sekitar lima belas meter dari pintu utama. Emlyn menepuk-nepuk hoodie yang basah terkena hujan serta mengelap bagian wajahnya juga kacamatanya yang berembun.
"Aku mendapat pesannya pagi tadi. Aku tidak menyangka bahwa syuting ini telah usai," ungkap Emlyn, mengembangkan sudut bibirnya.
"Apa kamu tahu bahwa produser akan memberi kejutan pada kita semua?"
Kini mereka sudah berada dalam lift dan Ettan menekan tombol dua puluh. Tidak hanya mereka di kotak besar ini. Ada beberapa karyawan lain yang turut berada dalam lift menuju lantai tujuan mereka masing-masing.
"Kejutan apa? Apakah dia memutuskan menikah di usianya yang sekarang sudah empat puluh dua tahun itu?" canda Emlyn.
"Jangan sampai dia mendengar pertanyaanmu, Em. Bisa-bisa jatah makan siangmu ditarik sama dia," balas Ettan cekikikan.
"Aku heran, di usianya yang sudah kepala empat masih saja belum menikah. Dari yang aku dengar, bukankah banyak perempuan yang dekat dengannya?" tanya Emlyn ingin tahu.
"Lebih tepatnya perempuan itu mendekatinya. Bagaimana tidak? Dia adalah orang terkaya di bagian ini. Semua film yang diproduksinya sudah dapat dipastikan akan sukses. Duit terus mengalir dalam rekeningnya. Itu pula sebabnya ia tidak kunjung menikah. Ia tahu bahwa para perempuan itu hanya mengincar isi rekeningnya," papar Ettan seolah tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Lift terbuka. Mereka telah tiba di lantai dua puluh. Mereka kembali mengambil langkah berjalan lurus, setelah dua puluh tapak mereka belok kanan, lalu sekitar tujuh tapak mereka harus belok kiri. Di ujung jalan sudah terdapat para kru dan artis yang sedang bekerja.
"Hai, Em. Akhirnya kamu tiba. Kita sedang menyelesaikan take adegan terakhir," serbu Nita, seorang penata rias.
"Apa aku sangat terlambat? Aku pikir syuting baru akan dimulai," tutur Emlyn seraya melihat arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Tidak masalah. Kamu bisa langsung menemui sutradara untuk melihat hasil syuting hari ini."
Emlyn menitipkan barang bawaannya pada Nita dan segera mendatangi sutradara yang sedang duduk di kursi lipatnya.
"Siang, Mas. Maaf, aku telat," sapanya sambil membungkuk sedikit sebagai tanda penghormatan.
"Oh, tidak apa, Em. Aku memang sengaja tidak memberitahumu bahwa kita akan melanjutkan syuting pagi ini. Kamu pasti lelah karena pulang larut semalam," jawab Barra, seorang sutradara yang berusia tiga puluh tiga tahun.
"Seharusnya kasih tahu saja, Mas. Ini juga merupakan bagian dari tanggung jawabku," balas Emlyn merasa tidak nyaman.
"Kamu memang penulis yang bertanggungjawab. Baiklah, kalau begitu mari kita selesaikan dengan mulus akhir dari film ini," ajak Barra.
Emlyn langsung saja mengembangkan senyumnya dan duduk di samping Barra. Mereka menyaksikan tiga aktor sedang beradegan di depan sorotan kamera.
Emlyn baru bergabung dalam dunia perfilman sejak dua tahun terakhir. Selama itu pula sudah ada tiga film yang ditayangkan hasil dari garis tangannya. Awalnya ia hanya seorang penulis biasa yang menyalurkan imajinasi melalui tulisan. Namun, imajinasinya dihargai dengan tawaran penerbitan bahkan difilmkan. Sungguh, ia tidak pernah berpikir akan ada di posisi sekarang. Bisa menulis di sela pekerjaannya saja sudah sangat membuatnya merasa bahagia.
Dalam hal perfilman, ia selalu digandeng oleh Barra, sutradara ternama di tanah air. Sama halnya dengan sang Produser, Alaric, hasil garapan mereka menjadi hal yang sangat dinantikan oleh masyarakat, terutama oleh kalangan pemuda. Film yang mereka produksi selalu berhasil memberikan pesan tersirat dan penuh makna.
Sama halnya dengan kali ini, film yang mereka produksi menceritakan tentang seorang pemuda desa yang berhasil membangun perusahaan besar di pusat ibu kota. Film ini ditujuankan untuk membangkitkan semangat para pemuda dalam mewujudkan cita-cita menjadi nyata.
----------------------
Seperti yang diberitahukan sebelumnya, bahwa mereka akan mengadakan pertemuan setelah syuting berakhir. Barra sudah memesan tempat untuk mereka membincangkan hal penting. Ia memilih restoran seafood yang sudah dijamin rasa masakannya.
Lebih dari dua puluh kursi diduduki oleh para kru. Mereka merasa lega dan senang karena menyelesaikan tugas dengan baik. Hanya para editor yang tersisa untuk menyelesaikan tugas penting mereka.
"Terima kasih atas kerja keras kalian. Kalian sungguh luar biasa. Saya yakin film ini akan sukses," ungkap Alaric yang disambut meriah tepuk tangan para kru.
"Silahkan nikmati segala hidangan yang disajikan. Kalau ada yang ingin menambah pesanan juga dipersilahkan. Kalian bisa makan sepuasnya," tambah Barra dengan senyum lebarnya.
Tidak ada seorang pun yang mengabaikan kalimat tersebut. Semua dengan lahap menikmati makanan yang ada di depan mata. Di antara mereka ada pula beberapa yang bercengkrama dengan teman di sampingnya.
"Katamu tadi akan ada kejutan. Apakah makanan ini kejutannya?" bisik Emlyn pada Ettan yang duduk di sampingnya.
"Bukan. Kalau makanan ini udah jadi kewajiban, bukan kejutan. Aku yakin, kalau Kak Alaric kasih tahu kejutannya, kamu akan girang bukan main. Bisa jadi kamu akan lompat-lompat sampai nemplok dinding," ujar Ettan cekikikan.
"Kak? Kamu memanggil beliau Kakak?" selidik Emlyn. Selama ia mengenal Ettan, ini kali pertama ia mendengar Ettan memanggil Alaric dengan sebutan 'Kak'. Pasalnya, Alaric adalah sosok paling tua di semua kru, serta yang lain menghormatinya dengan panggilan 'Bapak'.
Ettan menyengir datar saat ditanya Emlyn. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Emlyn seraya berkata, "Sebenarnya dia itu kakak sepupuku."
Emlyn menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia menatap Ettan tak percaya. "Apa ini sebabnya kamu tahu bahwa akan ada kejutan malam ini?"
Ettan mengangguk mantap. "Kamu percaya saja sama aku. Kamu yang akan paling bahagia malam ini saat mendengar pengumuman itu."
Emlyn mengalihkan pandangannya pada piring yang berisi kepiting saus padang. Melihatnya saja sudah sangat menggugah selera. Setelah menarik kedua lengan hoodie-nya, tangannya mulai merambah ke dalam piring dan menikmati daging kepiting satu per satu.
"Saya mau memberitahu kalian hal yang menyenangkan. Kalian semua telah bekerja keras selama tiga bulan belakangan. Karena itu saya mau membayar keringat kalian dengan liburan ke negeri Ginseng," ungkap Alaric yang ditanggapi dengan sorakan bahagia para kru.
Emlyn yang sedang makan kepiting pedas pun tersedak mendengar pengumuman dari Alaric. Ia terbatuk-batuk dan merasa perih di bagian kerongkongan. Ettan dengan segera menyodorkan minuman untuknya.
"Apa kamu sebahagia itu?" tanya Ettan cekikikan.
"Emlyn, bukankah kamu sangat menyukai negara itu? Saya rasa kamu yang paling senang dengan kabar ini," tanya Alaric.
Emlyn tidak sanggup berkata. Antara rasa perih di kerongkongan dan teriakan bahagia di hatinya. Demi apa, dia seorang perempuan yang selama sepuluh tahun ini mengagumi keindahan negeri Ginseng akan menapaki kaki di negara tersebut. Ia tidak dapat mengekspresikan rasa bahagianya saat ini. Ia sangat senang hingga tak bisa bersuara.
Apa takdir memang sedang berpihak padaku? jerit hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro