Chapter 2
Hari baru mulai tersingkap. Tidurku tak begitu nyenyak, mungkin karena memaksakan diri terlelap dalam keadaan perut kosong. Akibatnya aku bangun mendahului sebelum ayam berkokok.
Hawa dingin yang masuk dari sela-sela ventilasi terasa menusuk kulit. Kembali tidur pun rasanya percuma, aku sudah sepenuhnya sadar.
Sudahlah, lebih baik mandi dan bersiap diri. Lagi pula semalam aku lupa tidak mempersiapkan untuk ulangan hari ini. Mumpung ada waktu sebelum berangkat sekolah, setidaknya bisa kugunakan untuk belajar sebentar.
***
Pagi ini aku tidak berniat untuk sarapan, tapi aku tetap ke dapur untuk menemui Bibi Nilam. Saat kuhampiri, ternyata sedang menyiapkan bekal untukku. Tahu saja kalau aku tidak mau sarapan.
Benar-benar seperti sosok ibu.
“Jangan lupa dimakan, ya, Tuan Muda. Bibi takut Tuan Muda pingsan lagi di sekolah.” Tak sungkan dia mengusap kepalaku lembut. Seperti inilah Bi Nilam, selalu mengkhawatirkan diriku melebihi keluargaku sendiri.
“Masakan Bibi kan enak, mana mungkin tidak aku habiskan, hehehe…”
Setelah itu aku pamit berangkat sekolah. Berbeda dengan Api yang diantar oleh sopir atau kadang kali oleh Ayah, aku terbiasa berangkat sekolah dengan naik bus.
Meski kita kembar, tapi kita berbeda sekolah. Api sengaja Ayah daftarkan di sekolah favorit, sedangkan aku hanya bersekolah di SMA biasa.
Selalu saja diperlakukan berbeda.
***
Jadwal ulangan hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris. Untuk hitungan, aku merasa agak kesulitan dan jujur saja tak begitu kusukai pelajaran yang berhubungan dengan angka. Membuat pusing saja.
Lain cerita kalau Bahasa Inggris, dalam beberapa menit kertas jawaban sudah terisi penuh. Karena memang dari kecil aku sudah menyukai bahasa Inggris dan sedikit-sedikit mulai mempelajarinya. Memang sih aku tidak langsung bisa, tapi karena ada tetangga baik hati yang mengajariku. Sayangnya mereka kini sudah pindah ke London dengan membawa anaknya sekali, Yaya.
Meski sulit, selama ulangan berlangsung, aku berusaha untuk menjawabnya sebaik mungkin. Siapa tahu dengan aku dapat juara kelas, akan ada kalimat pujian yang terdengar di telingaku.
.
.
Dalam keluarga itu seharusnya saling mendukung bukan? Saking lamanya waktu berlalu, aku tak ingat kapan terakhir kali mendapatkannya. Mau itu sedang drop ataukah sedang dalam kesenangan.
“Bunda untuk kali iniii saja, bisakah Bunda datang ke sekolahku untuk pengambilan raport?” pintaku penuh pengharapan.
“Kau lupa, Air? Bunda harus ke sekolah Api, kalian kan beda sekolah,” tutur Bunda datar.
“Kalau Ayah?”
Ayah yang tengah membaca koran pun tak memalingkan fokusnya padaku. “Tidak bisa, aku ada rapat penting di kantor. Biasanya juga sama Bibi Nilam. Jangan jadi manja!”
***
Teman-teman sekolah tak ada yang menahu tentang Ayah dan Bunda. Mereka juga tak mempertanyakan siapa yang mewakiliku— Bi Nilam untuk pengambilan raport.
Kendati begitu, aku berhasil meraih rangking 1.
Sayangnya sampai rumah tak ada sambutan, mereka tertawa lepas tanpa mengindahkanku. “Aku dapat rangking 1, loh.”
“Oh …”
Hanya begitu?
Aku hapal kok kalau Ayah juga datang ke sekolah Api, tidak ada namanya rapat penting. Semua demi dia, saudara kembar dengan satu ginjal. Benar, semua kemanjaan milik Api karena dia sering sakit-sakitan.
“Juara paralel di sekolahmu sama saja dengan rangking terendah di seluruh angkatan sekolahku,” ejek Api kemudian tergelak keras, layaknya ucapanku sebuah lelucon.
Ia kemudian berdiri dengan gaya menantang. “Ingat, ya! Aku tidak mungkin kalah dari pecundang sepertimu.”
“Lebih pecundang mana dengan orang yang rutin ke rumah sakit?” balasku tak kalah berani.
“Air, jaga ucapanmu!”
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang ku raih tak pernah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar. Selama dua hari pun tak ada yang peduli. Semua orang di rumah hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tak terkecuali Bi Nilam yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar.
.
.
.
Di hari ketiga aksi diamku di kamar, tiba-tiba rumahku terdengar suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Yaya sudah tiba di Kuala Lumpur untuk berlibur bersama keluarga kami.
"Yaya? Aku merindukanmu." Ucapku dengan tertunduk lesu di kamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenci dan menjauhiku. Aku sendirian di rumah, Bi Nilam pulang ke kampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam di hotel.
Dan aku? Tertinggal di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro