
9. Get so hard
Jean menunggu Prav di mobil van, AMI Awards kali ini di gelar di Senayan City. Tidak khawatir bagi Jean karena ada Adji yang mendampingi Prav di back stage. Pria itu pasti akan mendapatkan awards nya malam ini, jika dipikirkan sedari tadi Jean hanya bisa menahan kekesalannya saja pada Prav.
Prav memiliki sifat mendominasi yang tinggi, jika Jean tidak punya pendirian mungkin Prav akan melupakan acara awards malam ini dan menelanjanginya. Sangat gila!
Mengambil tas Louis Vuitton backpack-nya, Jean selalu mengantongi rokok Marlboro menthol yang selalu ia siapkan. Tidak ada yang tahu, tapi Jean melihat beberapa asbak di ruang studio dan berpikir bahwa Prav juga sama sepertinya perokok.
Jean tidak seaktif itu dalam merokok, hanya saja ketika pikirannya kalut dalam emosi seperti saat ini yang ia butuhkan adalah zat nikotin.
Jean menyimpan satu batang rokok tersebut di mulutnya, menyalakan korek dengan lihai dan menghisap rokok tersebut dengan tenang. Kakinya ia sandarkan pada dashboard mobil van manajemen HG. Masa bodoh jika ada yang melihatnya, toh ia pernah membuat masalah yang lebih heboh ketika bersama Malik Adams. Ketahuan menjadi wanita perokok, dan lagi manager seorang Pravinda sepertinya tidak akan ada salahnya.
Beberapa hisapan ia hisap kuat dan memandangi langit malam kota Jakarta yang penuh dengan polusi. Ia tertawa melihatnya seperti ini, Bundanya pasti akan marah karena Jean menyukai pekerjaan yang merepotkan, membantu orang lain?
Mungkin iya, menjadi lulusan Yale University dan mengambil jurusan Criminal Law, itu yang Jean pikirkan ketika mengambil jurusan hukum. Ia ingin terlibat lebih jauh dalam kasus kriminal, departemen kriminologi yang ia inginkan sedari dulu.
Bundanya tidak pernah menyetujuinya, selain berbahaya bundanya malah meminta agar Jean menjadi notaris saja, dan melanjutkan pendidikan S2 kenotarisan di Indonesia. Tapi Jean tidak menginginkannya. Lebih dari itu, ia mau bekerja sebagai manager artis karena ia perlu uang banyak untuk melanjutkan LL.M atau—gelar Magister of Law from Yale University yang akan ia kejar. Ia lulusan Yale, dan akan tetap melanjutkannya kembali di Yale.
Kuliah kriminologi yang ia rindukan, banyak hal yang Jean pelajari disana. Mungkin ketika ia bisa fokus pada psikologi individu, atau ikut berkecimpung bersama tim forensik, mengidentifikasi mayat, Jean ingin melakukan hal itu.
Dan menjadi manager Pravinda, Jean mendapatkan bayaran yang sangat lumayan untuk ia kumpulkan. Sejak bersama Malik Adams pun Jean tak pernah menghamburkan uangnya secara cuma-cuma. Butuh waktu dua bulan lagi bagi Jean agar mundur dan berangkat melanjutkan sekolahnya ke Yale.
"LO MEROKOK?!" teriak suara berat dan bariton itu mengejutkan Jean yang tengah melamun.
Jean membalikkan tubuhnya dan melihat Prav dan Adji yang sudah berdiri di sisi mobil. "Sudah beres?" tanya Jean santai dan membuang sisa rokoknya yang setengah batang dan menginjaknya.
Adji tersenyum, "Iya, Mbak.. Mas Prav dapat album of the year sama netizen people choice awards."
Jean mengangkat bahunya dan tersenyum paksa menatap Prav. "Well, congrats."
"Mbak Jean tadi lagi merokok, ya? Maaf kayaknya ganggu banget, tadi lagi enak saya lihatnya."
Jean mengangguk, masih menatap wajah Prav yang terlihat malas dan Jean malah membuka bungkus rokok tersebut da menawarkannya pada Adji.
"Lo mau, Dji? Mungkin lo juga butuh nikotin?" tawar enteng Jean.
Prav mendesis kesal dan tajam, jadi Jean kini mengabaikannya? "Pulang sekarang,"
"Yoi, jam satu malam kita on the way Bandara. Ada dua jam buat lo istirahat lumayan." kata Jean pada Prav.
Prav memasuki mobil van dan tidak banyak berbicara. Sejak awards tadi ia mengharapkan Jean ada disana bersama Adji dan melihatnya dengan bangga karena ia mendapatkan awards penting malam ini.
Well, Prav ingin Jean melihatnya malam ini karena kemarahan wanita itu membuatnya semakin gemas. Tapi yang Jean lakukan adalah diam di parkiran dan menikmati rokoknya?
Jean menyetir mobil van dengan tenang, sementara disisinya ada Adji yang tengah mewawancarai dirinya, bagaikan anak SMA polos, Adji bisa dikatakan anak yang baru lahir. Tidak mengerti kenapa masih ada lelaki polos layaknya Adji.
"Mbak Jean sejak kapan ngerokok?" tanya Adji penasaran.
Jean terkekeh pelan, "Penasaran banget, Dji?"
"Iya lah, saya kira Mbak tuh bukan cewek perokok."
Jean kembali tertawa, mulai memasuki jalan tol karena kantor HG Entertainment berada di Thamrin. "Uhm, sejak SMA? Lupa gue, Dji."
"Wah udah lama dong," jawab Adji kaget.
"Biasa aja kali, Dji. Lagian udah berhenti lama, sejak kuliah sempat berhenti dan bisa nahan eh sekarang malah lanjut lagi."
Adji memiringkan tubuhnya, melihat Prav yang tampak acuh tak acuh mendengarkan obrolan mereka. "Oalah, memang Mbak Jean kuliah dimana dulu? Anak UPH? Atau Binus?"
Jean mengangkat bahunya, "Apa gue kelihatan seperti anak UPH dan Binus, Dji?"
"Nggak, cuman ya cewek keren kayak Mbak Jean kalau bukan jebolan UPH, Binus paling banternya UI."
Jean menggelengkan kepalanya tak percaya, ia disebut keren oleh Adji? "Gue nggak keren ah, Dji. Gue albino dan gue berbeda dari yang lain, dibandingkan keren gue punya kulit pucat yang bikin orang mandang gue aneh."
Adji menggelengkan kepalanya tak setuju, "Nggak, Mbak.. Mana ada kayak gitu, tanya aja sama Mas Prav, Mbak Jean itu unik ya, Mas?" tanya Adji kini pada Prav.
Prav tak menjawabnya, ia lebih baik membalas pesan dari Selena daripada menjawab pertanyaan Adji. "Gue nggak sekeren itu, Dji."
Adji memberenggut kesal, "Lah, Mas Prav mah begitu gengsi nggak mau jawab!"
Prav menatap Adji tajam, sedangkan Jean memperhatikan wajah pria itu dari kaca spion. "Mood bos lo lagi acak-acakkan, Dji. Dia nggak dapat partner tidurnya malam ini."
Adji terperangah, "Maksud Mbak Jean apa, ya?"
"Tsk, dasar anak polos.. Udah-udah jangan dilanjut," jawab Jean frustasi.
Tapi Adji malah semakin penasaran, "Daritadi pertanyaan saya nggak ada yang dijawab sama Mbak Jean. Jadi, Mbak Jean alumni mana?"
"Mau apa sih, Dji? Mau cari gue di kampus? Kan gue udah lulus." jawab Jean dengan bodoh.
"Bukan itu maksud saya, cuman pengen tahu aja kenapa Mbak Jean memilih jadi manager daripada kerja kalau memang sudah sarjana?"
Jean tertawa lalu memukul lengan Adji, "Bener juga lo. Bodo ya gue?"
"Eh, nggak," jawab Adji gelagapan, "Bukan itu maksud saya."
"Terus?"
"Cuman ingin tahu Mbak Jean lulusan kampus mana, kan bisa jadi rekomendadi buat saya."
Jean membulatkan matanya antusias, "Oh, lo mau kuliah?"
"Iya, Mbak.. Pengennya ambil arsitek tapi bingung dimana."
"Columbia aja," jawab Jean enteng.
Prav mendengus mendengarnya, "Lo salah orang nanya pendapat sama dia, Dji." cetus Prav yang membuat Jean menggeram kesal.
"Iya benar, bukan gue orangnya. Coba tanya bos lo lulusan mana?"
Adji membalikkan tubuhnya menatap Prav, "Mas Prav kan pernah kuliah dua tahun di luar negeri? Saya lupa jurusan apa."
Prav tersenyum jumawa, "Gue?"
"Iya, Mas... Mbak Jean nggak jawab daritadi."
"Gue anak lulusan UPH Arsitek, lo tahu kalau itu, kan?"
Adji mengangguk, "Gue lanjut ambil Magister in Real Estate Development Columbia University. Seperti yang lo katakan tadi, lo ingin jadi arsitek, makanya gue nyaut. Fyi, jangan tanya sama si Elsa, dia nggak bakalan tahu apa-apa."
Jean memutarkan bola matanya malas, ia harus cari tahu apa itu Elsa dan Frozen yang selalu Prav jadikan ledekan untuknya.
"Keren banget Mas Prav, iya ya.. Mas Prav punya usaha real estate, jadi pasti otomatis Mas Prav ambil bidangnya."
"Ya, dan kalau lo mau ambil arsitek jangan di UPH. Ada yang lebih baik dari UPH, gue waktu itu hanya asal-asalan saja, yang penting kuliah. Tapi ternyata kuliah arsitek nggak seburuk itu buat gue."
Prav tersenyum mengingat masa-masa kuliahnya di Columbia. "Terus kenapa Mas Prav nggak lanjut S3?"
Prav mendengus kesal menatap Adji, "Apa menurut lo gue masih ada waktu untuk melanjutkan kuliah?"
"Kalau memang Mas Prav mau, kenapa nggak?"
Prav membenarkan dalam hati, "Terus Mbak Jean lulusan kampus mana? Nggak di jawab terus daritadi!" ujar Adji kesal.
Jean masih fokus menavigasi mobil van, "Kan tadi lagi bicara sama bos lo, kalau sama gue mah jadinya out of the box, Dji. Sesuai apa kata bos lo, gue nggak bakalan nyambung."
"Dih, kan saya pengen tahu, bisa aja tahu jurusan kuliah Mbak Jean saya jadi tertarik."
Jean menggelengkan kepalanya tak percaya, "Dasar anak labil! Lo kuliah itu karena keinginan lo yang kuat, dan lo menentukan passion lo sendiri."
"Iya, tinggal jawab aja Mbak Jean lulusan mana?!"
Pertanyaan yang Adji lontarkan terkesan sangat penasaran. Jean menghela napasnya pasrah, "Yale University,"
"Yale? Yale yang itu? Dimana sih Mas Prav?" tanya Adji kembali pada Prav.
Prav berdeham karena cukup terkesan mengetahui bahwa Jean lulusan Yale. Encer juga otaknya si Frozen. "New York, Dji."
"Waw, Mbak Jean..." ujar Adji terpukau.
Jean memasuki kantor HG dan mulai memanuver mobil van tersebut. "Biasa aja, Dji.. Jangan lebay!"
"Oh tentu saja itu harus di apresiasi! Jurusan apa, Mbak?"
Jean mengulum bibirnya, memastikan mobil van tersebut terparkir dengan baik. "Lawyer."
"Buser, Mbak Jean anak hukum?!"
"Iya, makanya lo jangan macem-macem sama gue, Dji," ancam Jean dengan nada bercanda.
"Nggak mungkin lah saya macem-macem,"
Jean menatap Adji sambil tersenyum, "Ya takutnya, lo sama seperti manusia yang ada di belakang, melecehkan wanita dengan ucapan verbalnya? Dan menanyakan ke-virgin-an seorang wanita? Well, beradab sekali."
Merasa bahwa dirinya di sindir, Prav menatap Jean dalam diam. "Duh, susah ya ngomong sama anak hukum, harus hati-hati saya." ujar Adji takut.
Jean menepuk bahu Adji sambil tertawa, "Bercanda Dji.."
***
"Lo marah sama gue?" tanya pria itu penasaran pada Jean karena wanita itu lebih banyak diam.
Sejak sindiran yang terjadi di mobil tadi, kini Jean dan Prav sudah berada di pesawat first class dengan nasib sial dimana Jean menjadi teman duduk sampingnya. Adji, dan staf yang lain berada di bangku belakang mereka. Tanpa menghiraukan pertanyaan Prav, Jean hanya mendelik acuh. Omongan Prav soal merendahkan harga dirinya itu memang keterlaluan, tadinya ia akan mengikuti dengan baik permainan Prav yang ingin berusaha menyingkirkannya.
Di balik senyuman yang Jean tampilkan, ia hanya ingin menonjok wajah Prav yang sangat dekat dengannya saat ini. Prav terlalu banyak menelisik wajahnya, alih-alih memerhatikan Jean sengaja akan berbuat tidak peduli dan menyerahkan segalanya pada Prav dan biarkan Prav melakukan apapun sesukanya, ia tidak akan banyak melarang sekarang. Toh, itu bukan yang Prav benci? Karena merasa ia dikekang dan banyak dilarang.
"Lo nggak jawab gue? Kenapa? Lo tersinggung dengan ucapan gue kemarin siang?" ya karena teknisnya sudah terjadi waktu siang kemarin.
Jean masih tak menjawab, penerbangan ini akan memakan waktu banyak dan Jean rasanya tidak akan sanggup jika harus duduk berdekatan dengan Prav. Entah, rasa marahnya pada pria itu lebih besar dibandingkan tadi siang, siang tadi bisa ia katakan bahwa Jean menyembunyikan rasa marahnya dengan menantang pria itu kembali.
"Jean!" panggil pria itu padanya.
"Apasih? Bisa nggak lo jangan berisik, Prav. Orang banyak yang mau istirahat dan lo mengoceh terus, gue nggak marah sama lo, puas?!" jawab Jean kesal.
Prav mengernyitkan wajahnya sebentar lalu mengangguk, "Oke, soal ucapan gue yang─
"Demi Tuhan, gue tidak mau membahasnya lagi Prav," timpal Jean malas.
Jika bisa mengatakannya dengan lantang, Jean kesal karena apria itu mengajaknya mengoceh. Ia lelah ternyata seharian ini ia sudah menggunakan energinya habis-habisan. Dan manusia paling menyebalkan bagi Jean kini malah banyak bertanya.
"Oke, gue asumsikan lo masih marah pada gue, gue minta maaf. Gue nggak ada maksud untuk kurang ajar seperti itu, gue kesal sama lo karena lo menyebalkan dan banyak mengatur gue."
Jean hanya menjawabnya dengan dehaman, "Jadi lo beneran maafin gue, kan?"
Jean menggeleng lalu menolehkan wajahnya pada Prav, "Gue akan memaafkan lo setelah konser di LA berakhir."
Prav menganga, ia terkejut mendengar pernyataan wanita itu, "Ada ya orang mau maafin pake jatuh tempo segala?"
"Ya itu gue, kalau lo nggak butuh maaf dari gue juga nggak apa-apa, toh gue nggak rugi ini kok. Dari awal dan sudah tiga minggu hampir empat minggu ini bersama lo, gue rasa tidak ada waktu baik diantara kita yang bisa dibilang berteman. Anggap saja penjajakan ini gagal dan lo memang tidak bisa bekerja sama dengan gue."
Prav terkekeh pelan mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Jean, "Fine, lo sensi banget hari ini. Sorry mungkin memang bukan waktunya gue main-main dengan lo seperti biasanya,"
"Jadi lo anggap penjajakan ini main-main, bukan? Finally, lu mengakuinya bastard. Jadi, begini saja, karena lo sangat ingin gue menyerah jadi manager lo, gimana kalau lo tambahin gaji gue empat kali lipat, dan dalam waktu dua bulan gue akan minggat jadi manager lo, gimana?
"Lo mencoba memeras gue?"
Jean mengangkat bahunya, "Tentu saja tidak, itu hanaya sebagai bayaran agar gue cepat pergi dari kehidupan lo dan nggak jadi manager lo yang super bawel, bukan?."
"Jadi lo ingin yang seperti itu?"
Jean mengangguk, tawaran ini sepertinya akan berjalan dengan baik. Ia harus memiliki cukup banyak uang untuk melanjutkan studinya. Sepertinya itu akan menjadi ide yang bagus. Yang pertama, uang yang ia kumpulkan atas jerih payah menjadi manager sudah cukup memuaskan. Dan lagi, saat Halim menawarkan dirinya untuk menjadi manager Prav ia sudah diberikan patok gaji dua kali lipat dari sebelumnya. Katakan lah Jean benar-benar akan meraup untung jika ada dua bulan berjalan lancar bersama Prav, dan uang yang ia pikirkan di otaknya itu bisa ia belikan apartemen sederhana dekat kampus Yale.
"Gimana? Setuju, nggak? Gue nggak bakalan masang tarif lebih kencang kok udah cukup segitu saja."
Prav menggelengkan kepalanya ragu, masalah uang tentu bukan apa-apa baginya. "Kenapa lo harus betahan selama dua bulan kalau sekarang saja gue bisa memberi lo uangnya?"
Jean menggaruk lehernya yang sama sekali tak gatal, masa saja ia harus menceritakan cita-citanya pada Prav? Tidak lucu sekali. "Karena ada hal yang ingin gue lakukan untuk tiga tahun ke depan."
"Apa itu?"
"Kok lo jadi kepo?!" tanya Jean tak terima Prav banyak sekali bertanya.
Prav berdeham dan mengedarkan pandangannya pada yang lain. Mata Heterochromia itu sangat indah jika dilihat sangat dekat, terutama mata biru Jean yang seolah menjadi sangat terang dan hidup saat ini. "Oke,"
"Deal, ya? Setelah itu gue benar-benar tidak akan mengganggu lo bastard."
Jean memberikan senyuman nakalnya dan Prav menghela napas frutasi mendengar nama panggilan baru dari Jean untuknya. Bastard. Memang tidk ada yang lebih baik apa? Ia memang akan mengakui sifat kurang ajarnya pada Jean.
Tsk, apa yang gue pikirkan mengajak dia jadi teman tidur gue?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro