Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tisu dan Ibu Jari

Olin tidak ingat kapan ia jatuh terlelap. Ingatan terakhir sebelum ini adalah Olin sedang merebahkan diri di kamar setelah kelelahan melakukan photoshoot. Namun, ketika matanya terbuka, bukannya kamar, pemandangan tak lazim justru tersaji di depan mata. Kalau begitu ini pasti mimpi.

Olin mengerjap. Lagi-lagi mimpi buruk ini. Di antara sekian banyak mimpi, kenapa ia harus tersesat di mimpi buruk yang tak sudah ini?

Rasa takut mengungkung, Olin berjongkok karena bingung. Harusnya Olin tidak perlu cemas karena ini hanya mimpi. Namun, terjebak dalam mimpi buruk sepanjang malam adalah kutukan. Olin harus bisa keluar dari sini. Secepatnya.

"Tapi bagaimana caranya?" gumam Olin. Matanya bergerak liar mencari jalan keluar. Bukannya pintu, Olin justru menemukan pusara bertuliskan namanya. Matanya membulat tak percaya. "Nggak mungkin gue sudah mati."

Angin kencang bertiup tanpa aba. Olin yang tidak siap, hilang keseimbangan. Gadis itu jatuh terduduk. Rambut panjangnya tersibak ke mana-mana. Dan, ketika angin berhenti mengamuk, Olin melihat seseorang berjalan ke arahnya.

Seberkas harapan muncul, setidaknya Olin tidak sendiri.

"Hei ... tolong aku! Di mana jalan keluarnya?" Olin berteriak, tidak hanya itu, dia juga berlari memangkas jarak agar bisa segera meminta pertolongan.

"Hai ...."

Olin menyesal sudah mengejar. Sekarang, dia tidak bisa menghindar. Kakinya terpatri di atas tanah, tidak bisa digerakkan saat sosok itu memamerkan senyum mengerikan.

"Tersesat di sini?"

Olin membeku saat sebelah tangan sosok itu membelai kepalanya. Teriakannya tertahan di tenggorokan. Mulut Olin hanya bisa megap-megap tanpa mengeluarkan suara.

"Kamu tidak akan bisa pulang, kecuali kembali ke tanah bersamaku." Tanpa memberi jeda waktu untuk Olin bisa memahami kalimatnya, sosok itu menekan leher Olin dan mendorongnya jauh ke belakang.

"Jangan banyak bicara atau nyawamu akan melayang sia-sia."

Olin kehilangan kuasa atas tubuhnya. Sosok itu mendorongnya hingga jatuh di atas pusara, kemudian mereka lenyap bersama kabut asap yang menghirap.

"Tidak!"

Napas Olin memburu begitu kesadarannya kembali. Mimpi barusan terlalu mengerikan hingga keringat seukuran biji jagung keluar dari pelipisnya. Olin meraup oksigen banyak-banyak untuk menghilangkan sesak yang membelenggu.

"Mimpi sialan!" Sebuah bantal menjadi korban kekesalan Olin. Bantal itu melayang dan menabrak bingkai cermin. Beberapa skin care Olin jatuh berserakan. Suara yang ditimbulkan mengundang perhatian Lastri yang tidak tidur.

"Nona Muda baik-baik saja?" teriak Lastri dari luar.

Lampu kamar dinyalakan. Olin membiarkan Lastri masuk dan membereskan kekacauan yang dia buat.

"Nona Muda kenapa? Mimpi buruk atau tidak bisa tidur?"

Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan Lastri masih terjaga. Olin juga tidak mudah untuk kembali tidur setelah mimpi mengerikan tadi. Olin butuh teman meski enggan diakui. Jadi, gadis itu menahan Lastri untuk tetap bersamanya.

"Saya nggak bisa tidur."

"Mau saya buatkan teh?"

Kalau Lastri keluar untuk membuat teh, artinya Olin sendirian di kamar. Tidak. Olin takut sosok dalam mimpi buruk tadi mengikutinya hingga ke dunia nyata.

"Nggak perlu. Mbak Lastri di sini saja. Kita sama-sama nggak bisa tidur, kan?"

Mata Lastri mengerjap dua kali. Benarkah Nona Angkuh yang menjadi majikannya ini memintanya untuk tinggal? "Biasanya Nona Muda menolak ditemani malam-malam begini," ujarnya ragu-ragu.

Olin memutar bola mata. "Jam satu itu udah masuk dini hari. Ini sudah bukan malam lagi."

Lastri tersenyum maklum. Mungkin maksud Olin adalah, dia tidak berani sendirian. Hanya saja pilihan katanya lebih istimewa.

"Kalau begitu Mbak Lastri buang sampah dulu sebentar, lalu kembali lagi."

"Nggak usah. Itu diurus besok lagi. Saya bilang tetap di sini, ya di sini saja!" Volume suara Olin mengeras tanpa diduga. Gadis itu mengacak rambutnya sebelum akhirnya kembali melunak. "Duduk di sini. Temani saya sampai pagi."

Menit-menit berlalu tanpa ada yang bersuara. Kebosanan melanda, tapi masing-masing tidak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa tidak tidur?" tanya Olin pada akhirnya. Dia lelah diam-diaman seperti dua orang yang bermusuhan.

Lastri cukup terkejut. "Saya, Non?" Wanita itu memastikan.

Olin memutar bola matanya. Olin membenci pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan--meski dia sendiri sering melakukan. "Memang saya kelihatan bisa berkomunikasi dengan makhluk astral? Siapa lagi manusia selain saya di sini kalau bukan Mbak?"

Lastri tersenyum canggung. Jemarinya bertaut di depan dada. Lastri tidak bisa tidur, adalah jawaban yang wanita itu berikan. Namun, alasan di balik itu, Lastri ragu untuk mengungkapkannya.

"Kenapa nggak bisa tidur? Gaji bulan ini belum dibayarkan?"

"Eh, anu, enggak ... maksudnya, sudah, Non," jawab Lastri gelagapan.

"Lalu?"

"Hnggg ..." Lastri menggaruk tengkuknya. Gelisah harus menjawab atau tidak. "Sebenarnya saya ragu mengatakan hal ini karena Tuan Hendery meminta saya untuk merahasiakannya, tapi ... Bu Wanda jadi salah satu korban yang terluka saat terjadi perampokan di mini market jam sebelas malam tadi."

Jawaban dari Lastri membuat Olin terguncang. Dia tahu berita perampokan yang memakan banyak korban itu, tapi tentang ibunya yang ... "Kenapa nggak ada yang ngasih tahu saya?" Olin hilang kendali. Cewek itu berteriak seperti kesetanan. Air matanya merebak. Karena meskipun jarak di antara dirinya dengan sang mama terbilang jauh, perasaan khawatir itu berhasil membuatnya gila.

"Anu ... katanya luka Bu Wanda-"

"Di mana Mama?"

"Ada di rumah sak--"

"Bawa saya ke sana sekarang juga!" titah Olin. Tidak peduli penampilannya sekacau apa, Olin tidak berniat mematut diri di depan cermin untuk sekadar memastikan tidak ada liur yang menempel di pipinya.

^^^

Olin menyesal membiarkan dirinya lepas kendali hingga meraung-raung di jok belakang mobil. Harusnya dia mendengarkan penjelasan lengkap dari Lastri terlebih dahulu. Sekarang Olin merasa malu.

"Nona Muda sudah lebih baik setelah tahu keadaan Ibu?"

Pertanyaan Lastri membuat Olin tersentak kecil. "Kenapa nggak bilang kalau Mama baik-baik saja? Pakai acara nggak bisa tidur lagi!"

"Hehe ... maklum, Non, saya orangnya mudah panik. Tadi mau bilang kalau Ibu baik-baik aja, tapi Nona Muda langsung ngajak ke sini. Kan--"

"Udah cukup!"

Jam sudah menunjukan pukul setengah dua pagi. Kondisi rumah sakit ini cukup sepi. Olin mengintip salah satu bangsal, ibunya ada di sana. Namun, bukan menjadi pasien seperti orang-orang yang berbaring di atas brankar, melainkan menjadi wartawan yang haus berita.

Wanda bukan seorang wartawan. Wanita itu berprofesi sebagai pengacara. Dan saat ini, dia sedang menjalankan tugasnya bersama sang klien yang juga menjadi salah satu korban luka saat terjadi perampokan tiga jam yang lalu.

"Klien Ibu juga jadi korban luka, Non. Lukanya lebih parah malah. Katanya terkena tusukan di bagian lengan. Kalau Bu Wanda cuma kena luka kecil di dahinya. Selebihnya saya nggak paham, tapi Bu Wanda ada di sini karena mau membantu kliennya itu," jelas Lastri yang sepenuhnya dapat dipercaya.

Olin berani yakin yang diucapkan Lastri adalah fakta. Karena, ibunya benar seorang pengacara yang moto hidupnya adalah 'kepentingan klien adalah hal yang paling utama'.

"Saya mau jalan-jalan sebentar sebelum pulang. Mbak Lastri temui Mama dan tolong katakan, jangan lupa jaga kesehatan. Penyakit nggak bakal pilih kasih antara pengacara dan orang biasa. Mama pasti belum tidur dari pagi, kan?" Olin berlalu sebelum Lastri merespons kalimatnya. Dia juga mengabaikan cengiran Abim yang entah apa maksudnya.

Hufftt ... entah mengapa Olin mengembuskan napas kasar. Tujuh belas tahun berlalu, dirinya tak pernah jadi prioritas orang tua. Papa dan Mama sibuk bekerja, Olin dibesarkan pengasuhnya. Mata Olin memburam teringat bagaimana pengusiran yang ia dapatkan beberapa menit yang lalu.

"Mama lagi kerja, Lin. Lebih baik kamu pulang saja, besok masih harus sekolah dan jadwal kamu padat, kan?"

"Tapi Mama belum pulang dari pagi. Mama juga butuh istirahat."

"Kepentingan klien lebih penting bagi Mama. Sekarang kamu pulang!"

Tiba-tiba Olin tertawa. Jenis tawa aneh yang diikuti setetes air mata. Tetesan itu diikuti tetesan lainnya. Hidung Olin tersumbat karena menangis terlalu lama, tapi dia tidak bisa menghentikannya.

"Nih, tisu."

Olin terkesiap begitu kursi di sebelahnya terisi. Apa isakannya terlalu keras sehingga pasien di bangsal sebelah terganggu?

"Gue nggak bakal nyuruh lo berhenti nangis, kok. Nangis aja sepuasnya, kalau butuh tisu, gue ada. Atau mau ibu jari gue aja buat menghapus air mata lo? Nih!"

Kerutan terbentuk di dahi Olin saat cowok itu mengulurkan tangannya yang memegang sebungkus tisu seribuan, berikut dengan ibu jari yang dibicarakannya.

Cowok itu tersenyum semringah meski wajahnya bonyok sana-sini. Bahkan luka kecil di batang hidungnya masih terbuka. Dia terus menyodorkan tisu dan ibu jarinya.

Cengo, Olin melupakan air matanya yang berhenti mengalir.

"Kayaknya bukan cuma tisu atau jempol gue yang lo butuhkan, apa lo butuh bahu juga? Selain selalu sedia tisu dan penawaran ibu jari spesial, gue juga menawarkan jasa sandaran bahu buat orang-orang yang lagi sedih. Mau?" Cowok itu berkata tanpa beban.

Olin bergidik ngeri. Yang ada di depannya ini cowok yang kelewat peka atau pasien yang terkena gangguan jiwa? Olin tidak mengenal siapa dia.

Jangan-jangan penggemar gue?

Olin beringsut, menciptakan jarak sejauh yang ia bisa. "Siapa elo berani duduk di sebelah gue?" tanya Olin, suaranya memantul pada dinding kosong lorong rumah sakit yang sepi. Tangannya terlipat defensif.

Bukannya merasa kesal karena ucapan Olin terdengar membentak, cowok itu justru tergelak. "Lo minta kenalan?"

What the ... kenalan? Lucu nih orang.

Olin mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. "Gue nggak berminat kenalan sama orang enggak jelas kayak lo!" Cewek itu kemudian beranjak. Olin tidak peduli meski cowok aneh yang menawarkan sebungkus tisu itu dengan lantang memperkenalkan diri.

"Gue Daniel kalau lo tanya siapa nama gue."

"Amit-amit, amit-amit. Gue pikir ini bukan rumah sakit jiwa, kenapa ada orang gila?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro