Pertemuan Kedua
"Jelek."
"Berantakan."
"Ini ekskul modelling bukan lenong."
"Pipinya merah banget, habis ditampar?"
Kepalanya ditelengkan. Matanya menyipit. Ia terdiam, khusyuk meneliti satu wajah yang paling menarik perhatian. Satu detik. Dua. Tiga. Orang-orang menahan napas menanti komentar pedas selanjutnya.
"Menarik," ucapnya. Membuat seluruh pasang mata di ruangan itu membulat dengan mulut menganga. Sulit dipercaya, baru kali ini model andalan sekolah mereka memuji orang lain. Apa bumi masih berputar pada porosnya?
Karin, gadis yang dipuji menarik itu tersenyum. Pipinya merah tersipu, mungkin ia juga bangga. Dibandingkan dengan yang lain, hanya dirinya yang mendapat komentar bagus dari sang model utama. Namun, baru saja diterbangkan, secepat kilat ia dijatuhkan. Karena kalimat yang ia dengar selanjutnya adalah ...
"Konsepnya zombie, ya? Itu maskara luntur ke mana-mana. Kenapa nggak dibenerin sebelum penilaian? Ini kelas make up untuk model, bukan untuk karakter hantu!"
Lengan Olin dilipat di depan dada. Satu jam yang lalu, ia sempat dibuat takjub karena yang mendaftarkan diri untuk bergabung dengan ekstrakulikuler modelling benar-benar melebihi target. Namun, rasa takjubnya menguap begitu seleksi dimulai. Hampir setengah dari jumlah pendaftar tidak memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Entah itu tinggi, maupun berat badan.
"Setengah dari jumlah pendaftar gugur karena tinggi dan berat badan mereka tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan. Saya pikir sisanya sudah langsung bisa bergabung di ekskul ini, tapi nyatanya ..." dagu Olin diangkat tinggi-tinggi, memperlihatkan keangkuhannya kepada semua orang. Kemudian dia melanjutkan, "SAMA AJA! SAMA-SAMA HARUS GUGUR DI TITIK INI KARENA SKILL MAKE UP KALIAN KACAU!"
Teriakan Olin yang menggema membuat nyali pendaftar berubah kerdil. Semua menunduk tanpa terkecuali. Tidak sedikit dari mereka yang menyesal telah mendaftar di ekskul yang diketuai oleh Evalina Olin Diana—gadis cantik yang wajahnya pernah menghiasi cover majalah remaja, tetapi buruk perangainya.
"Ini baru kelas make up, kepercayaan diri kalian bahkan belum diuji. Dibentak saya kayak gini saja mental kalian langsung down? Kalian bercanda?" Olin berseru, yang hanya dijawab oleh angin lalu.
Seisi ruangan diam membisu. Bukan hanya pendaftar, beberapa anggota ekskul modelling yang bisa disebut senior juga sama sekali tidak membuka suara. Bagi mereka, membantah Olin sama artinya dengan mencari gara-gara. Siapa yang berani cari masalah dengan anak tunggal kaya raya yang terlahir dari pasangan jaksa-pengacara itu? Orang-orang jelas memilih menghindar daripada harus membayar denda, apalagi sampai dipenjara. Amit-amit!
Kesal diabaikan seisi ruangan, Olin mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam setengah sepuluh pagi. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Senyum picik terulas.
"Oke, berhubung ini masih pagi dan riasan kalian yang 'cantik' itu belum hilang, untuk efisiensi waktu, pelatihan kepercayaan diri kita laksanakan sekarang," ucap Olin, final.
Semua mata membelalak tak percaya. Pelatihan kepercayaan diri di waktu istirahat? Yang benar saja?
Abel, salah satu anggota ekskul modelling yang satu angkatan dengan Olin, mencoba bernegosiasi. "Pelatihan kepercayaan diri tidak dijadwalkan hari ini, lagi pula kata lo riasan mereka kacau. Kita patuhi jadwal saja, ya?" ucapnya.
Satu tahun berada di ekskul yang sama, sepertinya Abel belum juga mengenal Olin. Yang titahnya bagai ultimatum penjajah yang tak terbantah. Yang keinginannya harus dituruti meski tak jarang menyakiti.
"Jadwal gue padat. Terlalu padat sampai gue harus mangkir dari acara pemotretan demi seleksi hari ini. Gue nggak yakin bakal datang pas pelaksanaan pelatihan kepercayaan diri kalau dilaksanakan sesuai jadwal, tapi ... seperti yang lo tahu, gue nggak akan lepas tangan dari ekskul ini." Seolah tidak pernah kehabisan stok kata-kata tajamnya, Olin berdesis tepat di sebelah Abel, hingga cewek berwajah oval itu merinding. "Kalau mau junior kita lebih baik dari elo, ikuti aturan main gue."
"Lo ngatain kualitas gue jelek?" Entah mendapat keberanian dari mana, Abel menentang mata Olin.
Olin menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Senyum miring tercetak di bibir. "Gue nggak ngomong gitu, tapi kalau lo merasa, ya bagus."
Olin menepuk tangannya singkat untuk mengambil alih atensi semua orang. Di belakangnya, Abel mengepalkan tangan menahan geram. Di saat Olin mulai menyampaikan 'aturan main' yang ia katakan pada Abel sebelumnya, ketukan pintu menginterupsi.
"Permisi ...."
Olin memutar bola matanya malas. Ia benci kegiatannya diganggu.
"Siapa?"
Pintu dibuka dari luar. Sesosok manusia yang berdiri membelakangi arah cahaya tampak bersinar melebihi cerahnya mentari. Seisi ruangan berebut tempat heboh memperhatikan sosok asing itu. Mulut mereka terbuka, tapi seolah lupa caranya berbicara. Seperti ada yang menekan tombol slow motion, langkah sosok yang bergerak masuk itu tampak melambat. Dan senyumnya yang semanis nektar, menawan hati para gadis yang melongo di tempatnya. Kecuali satu orang. Lagi-lagi Olin orangnya.
Cewek itu melipat lengannya di depan dada. Sama sekali tidak terkena pesona seorang cowok asing, yang tidak terlalu asing lagi di matanya. Tidak seperti cewek-cewek lain yang tersihir karena kedatangan cowok itu, Olin justru mendesis sebal.
Apa pertemuan tidak menyenangkan di rumah sakit waktu itu tidak cukup hingga semesta kembali mempertemukan mereka di sekolah? Cowok aneh dengan tisu dan ibu jarinya. Olin membuang muka saat mengingat tingkah absurd cowok itu.
"Maaf sebelumnya, apa benar ini ruang OSIS?"
^^^
Lusa yang dikatakan Disa telah tiba. Mulai hari ini, Daniel sudah resmi menjadi siswa Nusaindah meski masih memakai seragam sekolah lama yang dibalut coat panjang seperti yang dikenakan cowok-cowok di drama Korea. Kedatangan Daniel disambut ramah oleh warga sekolah. Setelah memasuki gerbang, dia langsung digiring menuju ruang kesiswaan. Setelah mendapatkan pengarahan, Daniel, ditemani seorang anggota OSIS berkeliling Nusaindah sebagai kegiatan MPLS untuk siswa baru.
"Setelah berkeliling Nusaindah yang luasnya bikin kaki gempor, gue harap lo nggak akan tersesat di sini."
Daniel terkekeh saat Jiyo—nama anggota OSIS yang ditugaskan untuk menemaninya berkeliling itu—berkata demikian.
"Tenang aja, gue bukan penghafal rute jalan yang buruk. Kalau urusan jalan dari kelas menuju gerbang pulang, gue, sih, kayaknya nggak mungkin keder. Hehehe ...," ucap Daniel sambil mengingat-ingat ruang apa saja yang baru dilewati.
Mulai dari ruang kesiswaan, ruang guru, ruang BK, ruang kelas, TU, UKS, auditorium, kantin, laboratorium, perpustakaan, deretan ruang ekskul, lapangan basket, lapangan bola, parkiran .... "Sama apa lagi, ya, tadi?"
"Masih banyak lagi, yang kalau disebutin semuanya bakal bikin kita telat masuk kelas," ucap Jiyo. "Oh, iya, lo pasti udah tahu, kan, kalau Nusaindah mewajibkan setiap siswa mengikuti ekstrakurikuler? Berhubung masih awal semester, semua ekskul masih dibuka pendaftarannya. OSIS juga belum serah terima jabatan. Jadi, kalau mau gabung silakan isi formulirnya."
Daniel menerima selembar kertas yang Jiyo berikan. "Harus banget OSIS? Gue nggak punya pengalaman berorganisasi sebelumnya."
"Enggak, lah. Kalau mau gabung di ekskul yang lain, lo tinggal centang ekskul mana yang lo mau. Itu, kan, ada banyak pilihannya."
Daniel memperhatikan dengan saksama penjelasan Jiyo saat mulai mempromosikan berbagai ekskul yang ada di Nusaindah. Seperti basket, sepak bola, futsal, voli, dan beberapa ekskul olahraga lainnya.
"Lo juga bisa gabung ke ekskul fotografi, sinematografi, modelling, jurnalistik, PMR, robotik, Paskibra, sains, matematika, atau bahasa. Terus ada juga organisasi OSIS, pramuka, dan rohis. Atau lo mungkin tertarik dengan musik, band, dan paduan suara. Ada juga ekskul menjahit, komputer, drawing club, dan radio. Lo bebas pilih sesuai minat dan bakat lo."
Daniel berdehem. Tenggorokannya terasa kering padahal Jiyo yang dari tadi berbicara. Kalau boleh jujur, Daniel tidak menaruh minat di ekskul apa pun meski ia tahu Nusaindah mewajibkan siswanya untuk mengikuti minimal satu ekstrakurikuler. Ini yang membuat Daniel ragu ketika Disa mendaftarkannya di sekolah ini, selain perkara biaya.
"Itu boleh diisi nanti, kok, Dan. Sekarang lo bisa langsung ke kelas. Yuk!"
Daniel patuh saat Jiyo mengantarnya ke dalam kelas.
11 IPS 3.
Untuk satu tahun ke depan, kelas ini akan menjadi rumahnya, dan seisi kelas, Daniel anggap sebagai keluarga.
Tiga jam pelajaran berlalu, formulir ekstrakurikuler yang Jiyo berikan belum juga Daniel sentuh. "Jun, hukuman buat yang nggak ikut ekstrakurikuler apa?" tanya Daniel kepada Juna, teman sekelasnya yang baru.
Cowok cungkring berkacamata tebal itu menoleh ke arah Daniel. Wajahnya begitu santai ketika menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya.
"Enggak ada, kok, paling nggak naik kelas aja."
Senyum yang sepersekian detik terbit di bibir Daniel menguap tak tersisa. Jawaban Juna sama sekali tidak membantu. Diburu waktu karena jam istirahat formulir itu harus sudah berada di ruang OSIS, Daniel mencentang ekskul komputer setelah melewati cukup banyak pertimbangan. Satu di antaranya adalah, Daniel tidak perlu mengeluarkan banyak keringat jika bergabung di ekskul itu.
"Mau ditemenin, nggak, ke ruang OSIS-nya?" tawar Juna.
Daniel menggeleng. Dia terbiasa melakukan sesuatu sendiri. "Nggak usah, gue tahu, kok, letak ruangannya," yakin Daniel, yang disesalinya beberapa menit kemudian.
"Ruang OSIS di mana, sih, tadi? Perasaan ada di sebelah ruang musik ... eh?" Daniel kebingungan sendiri, harusnya dia menerima tawaran baik Juna. "Halah, paling cuma malu kalau salah ruangan. Daniel, kan, nggak punya malu? Gas, ajalah masuk ke ruang ini," Daniel bermonolog. Dia kemudian mengetuk pintu berbahan dasar kayu yang ada di sebelah kanan ruang musik, sebuah ruangan yang tampak lebih luas dari ruang ekskul lainnya.
"Permisi ...."
Sepuluh detik berlalu. Jawaban tak kunjung Daniel dapat, padahal ruangan tersebut tampak ramai.
Daniel mengetuk sekali lagi. "Permisi ...."
"Siapa?" teriak seseorang dari dalam.
Berbekal keyakinan yang tidak sepenuhnya, Daniel membuka pintu ruangan yang dia duga sebagai ruang OSIS itu. Mengangguk kecil, Daniel tersenyum ramah sebelum menyampaikan tujuannya.
"Maaf sebelumnya, apa benar ini ruang OSIS?" tanyanya.
Pandangan Daniel menyisir, ada kejanggalan bila ruang ini memang betulan ruang OSIS. Satu pertanyaan timbul di benaknya, apa anggota OSIS di sini semuanya perempuan, dan diwajibkan memakai make up?
"Lo anak TK yang nyasar ke SMA, ya?"
Daniel mengerjap saat suara lantang itu menelusup ke dalam telinga. Anak TK? Bukannya tersinggung, Daniel justru tersanjung karena mengira wajahnya semenggemaskan anak TK.
"Muka gue emang menggemaskan, tapi gue beneran anak SMA, kok." Daniel sedikit tersipu waktu mengatakan kalimatnya. Sayang, pada detik selanjutnya, kepercayaan diri Daniel seperti diempaskan dari luar angkasa.
"Menggemaskan? Bukan itu yang bikin lo kelihatan kayak anak TK, tapi apa lo nggak bisa baca tulisan segede papan cucian di atas pintu itu sampai mengira ini adalah ruang OSIS?"
Glek! Daniel menelan ludahnya susah payah. Dia kira urat malunya sudah putus, tapi ternyata belum karena sekarang Daniel merasa dipermalukan. Apalagi ruangan itu dipenuhi dengan makhluk Tuhan bernama perempuan.
Mau ditaruh mana muka cakep gue?
"Keluar dari sini. Mengganggu saja!"
Daniel terdiam menatap punggung cewek bermulut pedas yang berjalan menjauhinya. Rasa-rasanya wajah cewek itu tidak terlalu asing. Dan kalimatnya yang pedas binti sarkas mengingatkan Daniel pada ... eh, bukannya dia itu cewek yang nangis di rumah sakit, ya? Kebetulan macam apa yang membawa mereka bertemu lagi?
Bukannya sebal setelah dijutekin, senyum Daniel justru terkembang. Entah mengapa Daniel tertarik dengan cewek itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro