Nusaindah
"Astaga, Daniel ... katanya ke toilet sebentar, kenapa malah gangguin cewek? Tobat lo, Buaya!"
"Aduh ... duh ... duh ... duh ...." Tak bisa menghindar, Daniel mengaduh saat cubitan Disa menyerbu lengannya. "Siapa yang gangguin cewek? Lo tuh yang gangguin gue." Daniel memasang ekspresi kecewa saat punggung cewek cantik yang tadi duduk di sampingnya menghilang ditelan belokan.
Disa, kakak tertua Daniel, memutar bola mata. "Udah ngilang ceweknya. Jadi-jadian, kali?"
"Ya ampun, Kak, berdosa banget lo. Cewek cantik begitu dibilang jadi-jadian. Lo kali yang siluman?"
Dasar Daniel tidak sopan. Sudah tahu si kakak galaknya sebelas dua belas sama Kak Ros-nya Upin dan Ipin, masih saja diusili. Akibatnya, cowok itu diseret paksa untuk kembali ke kamarnya.
"Udah modusin ceweknya. Tobat, lo udah gede," ucap Disa, matanya melotot supaya Daniel benar-benar mendengar dan menghayati kalimatnya.
Daniel masuk ke bangsal dengan wajah ditekuk. Image-nya di depan Disa memang seburuk itu, padahal aslinya tidak. "Sudah dibilang gue nggak modusin cewek. Dia itu tadi nangis, kali aja dia butuh tisu atau ibu jari gue buat ngelap air matanya." Daniel membela diri. "Atau barangkali dia butuh bahu?" imbuhnya.
"Emang lo kenal?"
Pertanyaan Disa dibalas gelengan. "Mungkin dia kena penyakit berat sampai nangis dini hari begini. Nggak salah, kan, gue berempati?"
Disa tahu adiknya teramat peka, tapi kalau yang dikasih empati adalah cewek cantik, Disa curiga Daniel sekalian melancarkan modusnya.
"Tidur deh, sana! Nggak usah sok berempati sama orang lain, berempati sama diri lo sendiri aja nggak bisa." Disa menjatuhkan diri di atas kursi, kemudian membantu Daniel mengenakan selimutnya.
Daniel terdiam, kalimat Disa tepat mengenai jantungnya. Nggak usah sok berempati sama orang lain, berempati sama diri lo sendiri aja nggak bisa. Ini pasti tentang luka-luka di wajahnya yang membuat Daniel berada di rumah sakit ini, kan?
Ya, Daniel mendapati luka-luka itu setelah berkelahi dengan seniornya siang kemarin. Namun, bukan tanpa sebab atau sekadar hobi bikin onar, Daniel rela babak belur begitu demi melindungi adiknya yang dirisak.
"Lo tidur di mana, Kak?" Daniel membelokkan pembicaraan.
"Hm?" Disa mendongak untuk menatap wajah adiknya. Saat itu, dahinya yang berkerut tertangkap mata Daniel yang memiliki kepekaan di atas rata-rata.
"Mikirin apa, sih?"
"Nggak mikirin apa-apa. Kenapa?"
Daniel bangkit, kemudian mengambil posisi duduk di atas ranjangnya. "Jangan bohong. Lo tahu adik lo ini punya kepekaan yang luar biasa. Dahi lo yang keriting ngasih tahu gue kalau lo lagi banyak pikiran, Kak," jelasnya.
Dan, Disa tidak mengelak waktu Daniel berhasil menebak isi kepalanya.
"Lo lagi mikirin biaya sekolah lama dan sekolah baru gue, ya?"
Daniel beserta ketiga saudarinya tinggal jauh dari orang tua. Disa sebagai anak tertua, mengambil alih tugas bapak sebagai pencari nafkah untuk ketiga adiknya. Mereka bukan berasal dari keluarga berada, tidak heran jika uang selalu jadi masalah terbesar mereka.
Daniel tahu, menjadi tulang punggung keluarga bukanlah tugas yang mudah. Apalagi kalau yang dinafkahi adalah tiga orang adik yang masih duduk di bangku sekolah. Beban pikiran Disa pasti bertumpuk. Biaya hidup sehari-hari saja sudah menghabiskan seperempat dari total gajinya. Belum biaya kuliah Ditya—kakak kedua Daniel, SPP Daniel, dan biaya sekolah Daisy—adik bontotnya yang masih kelas satu SMP.
Disa menggelengkan kepala untuk menanggapi pertanyaan Daniel. "Nggak, kok. Kan, yang ngusulin biar lo pindah sekolah itu gue. Udah tenang aja." Tangannya menepuk bahu Daniel yang merosot.
Raut Daniel berubah mendung. "Kalau itu jadi beban buat lo, mending gue nggak usah sekolah aja, deh."
Pelototan tajam menghunjam Daniel dalam-dalam.
"Mau jadi apa lo kalau enggak sekolah?" tantang Disa, yang jelas menolak mentah-mentah ide gila Daniel.
Daniel pura-pura berpikir, padahal otaknya kosong melompong. "Mungkin jadi karyawan ayahnya Louis?" jawab Daniel asal. Membuat Disa tergelak hingga memukul lengan Daniel yang masih membiru.
"Jadi pawang kucing maksud lo?" Daniel ikut tertawa.
Louis adalah nama salah satu kucing peliharaan tetangga Daniel. Hampir setiap hari kucing manis berbulu abu-abu itu mampir ke rumah, sampai begitu jinak saat diajak Daniel bermain.
Disa dan Daniel tertawa sampai perut mereka nyaris kram. "Lo bisa diomelin Pak Doso setiap hari karena Louis lo kasih makan ikan goreng kayak waktu itu."
Daniel menyeka air mata yang keluar karena terlalu lama tertawa. Kembali teringat peristiwa beberapa pekan lalu saat Pak Doso datang ke rumah hanya untuk marah karena Louis keselek tulang ikan. Dasar over protective!
"Ngakak banget, ampun!" Daniel nyaris berguling saking bengeknya.
Menit-menit berganti. Tawa mereka pun terhenti. Saat itu, Daniel menangkap sisa ekspresi kebingungan yang masih tertinggal di wajah Disa. Daniel sadar, tawa Disa tadi hanyalah sandiwara untuk meyakinkannya bahwa perempuan itu baik-baik saja. Iya, kan?
Sejenak, Daniel menimbang untuk mengutarakan isi kepalanya atau tidak. Setelah dirasa perlu, Daniel mengucapkannya tanpa ragu. "Gue nurut lo, deh, Kak. Tapi kalau amit-amitnya kita terkendala biaya buat sekolah gue, gue nggak masalah kalau harus putus sekolah dan jadi karyawannya Pak Doso," ungkap Daniel. Tatapannya yang tulus membuat hati Disa mencelus.
Disa meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Tidak terbiasa melihat mata Daniel yang sedang menatapnya begitu tulus karena anak itu lebih sering menatapnya dengan tatapan jail. "Lo aneh, Dan."
Alis Daniel menukik. Adakah yang salah dengannya? "Aneh?"
Disa menggangguk dalam posisi yang masih sama. "Iya, aneh. Meski ngeselin, lo selalu berhasil menebak dan memahami isi kepala gue, yang bahkan kadang ruwet banget. Gue aja nggak ngerti lagi mikirin apa. Lo beneran bisa baca pikiran, ya?"
Baca pikiran? Daniel kembali dibuat tergelak. Suara tawanya bahkan sampai membangunkan pasien lain yang berada satu bangsal dengannya. "Kalau gue beneran bisa baca pikiran, mungkin gue bisa dengan mudah tahu alasan yang bikin cewek jutek tadi nangis sendirian," ujarnya di sela kekehan yang menggila.
Disa mengangkat kepala, kemudian menggelengkannya. Dia segera menggetok kepala Daniel supaya tidak kebablasan. Disa yakin, adik laki-lakinya itu pasti keracunan obat merah sampai otaknya jadi geser begitu.
"Ya Tuhan .... Perasaan, kuda nil bukan saudaranya buaya. Kenapa Daniel suka godain cewek, ya?"
"Lagi pantun, Kak?"
"Nggak, Dan, gue lagi dakwah!" Disa melepas tangannya yang semula melingkar di depan perut. Kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Daniel. Mulutnya komat-kamit membacakan mantra. "Wahai jiwa buaya darat yang masih nongkrong di dalam tubuh Daniel. Segeralah keluar dan lekaslah pergi. Jangan biarkan Daniel modusin cewek-cewek lagi. Soalnya Daniel harus fokus sekolah. Lusa, dia udah jadi siswa Nusaindah."
"APA, KAK? NUSAINDAH?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro