Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nona Muda

"Apa rumah ini ditinggali makhluk astral?"

Gelegar suara yang berasal dari lantai dua itu terdengar sampai dapur. Lastri, perempuan dua puluh delapan tahun yang tengah mengaduk segelas susu, buru-buru melepas celemek dan berlari ke arah sumber suara. Gawat, Nona Muda murka!

Di ruang tengah, Lastri menyenggol siku Abim yang sudah rapi dengan seragam sopirnya. "Kenapa nggak nyamperin Nona Muda?"

Perempuan yang sudah dua tahun bekerja di rumah mewah itu tentu sudah paham dengan abnormal morning routin seperti ini, tapi Abim yang baru bekerja dua bulan kurang seminggu? "Aduh, Mbak, gue mana berani nyelonong ke kamar Nona Muda? Gue belum mau ketemu malaikat maut, Mbak," ucap Abim dengan mimik muka yang dibuat-buat.

"MBAK LASTRI ...."

Teriakan kembali terdengar. Kali ini tidak hanya terdengar, tetapi juga terlihat karena pemilik kamar keluar dari tempatnya. Lastri dan Abim saling sikut tatkala kedua mata milik Nona Muda yang mereka layani menatap dengan tatapan lasernya.

"Kenapa masih di situ? Tidak mendengar teriakan saya? Cepat ke sini!"

Kalimat itu bagaikan ultimatum yang dijatuhkan penjajah. Sama sekali tak terbantah. Baik Lastri maupun Abim bergegas menaiki tangga untuk mencapai lantai dua.

Berhadapan dengan Nona Muda memang bisa membuat telinga mereka terluka, tapi Lastri dan Abim masih membutuhkan pekerjaan mereka.

"Jepit rambut yang dua minggu lalu saya beli dari Paris, apa ada yang melihatnya?" Tangan Olin bergerak memindahkan beberapa barang yang ada di meja riasnya. Sementara laci tempat tidurnya sudah kacau diacak-acak. Namun, tidak ada hasilnya. "Masa iya dicuri tuyul? Kan, tidak punya rambut?"

Abim dan Lastri mencoba untuk tidak tertawa.

"Biar saya coba cari, Non." Lastri mulai mencari benda yang Olin butuhkan. Matanya berbinar ketika menemukan sesuatu yang berkilau di kolong ranjang. "Ketemu, Non."

Olin yang masih berjibaku di meja riasnya kontan berbalik. Wajahnya berubah cerah sepersekian detik sebelum kemudian berganti dengan dengkusan. "Apa Mbak Lastri nggak bisa bedain jepit rambut sama anting?"

Lastri tersenyum canggung. Tangannya bergerak mengusap tengkuk. Mungkin benar kata Olin alias Nona Muda di hadapannya, rumah ini banyak makhluk astralnya. Bulu kuduk Lastri sampai meremang hanya karena tatapan mata.

"Arghh ... bisa nggak jadi berangkat ke sekolah kalau begini caranya."

"Kan, bisa pakai jepit yang la--ups!" Abim menutup mulutnya cepat-cepat sebelum dijepit Nona Muda menggunakan jepit rambut mahalnya. Lancang sekali Abim ini, memang dia siapa?

Mati aku! Abim memejam takut untuk beberapa saat ketika Olin mengubah gesturnya. Bersedekap di depan dada adalah gestur khas Olin yang, entah mengapa, terlihat sangat menyeramkan. Setidaknya bagi Abim dan Lastri yang berada di sekeliling gadis itu hampir setiap hari.

Buru-buru Lastri menyenggol bahu Abim. "Ma-maaf, Non. Biar saya cari lagi." Lastri segera mengingatkan Abim untuk tidak sembarangan bicara lagi. Sudah tau Nona Muda kalau marah lebih mengerikan dari pada singa!

Olin masih berdiri dengan gesturnya. Matanya bergerak mengikuti Lastri dan Abim yang sedang sibuk mencari. "Cari sampai ketemu, kalau enggak, saya malas ke sekolah."

Dan, sekali lagi, kalimat itu tidak terbantah.

Setengah perjalanan menuju ke SMA Nusaindah dilalui dengan damai. Emosi Olin sudah lebih terkontrol setelah jepit rambut yang diinginkannya ketemu-Abim yang akhirnya menemukan benda itu di atas lemari, entah siapa yang menaruh benda semewah itu di sana.

Biasanya, setelah perempatan, Abim akan membawa mobil yang dikendarainya ke arah kanan. Dahi Olin berkerut saat mobil yang dinaikinya justru berbelok ke arah yang berlawanan.

"Apa Nusaindah berpindah tempat?"

Abim menyengir dalam hati mendengar kalimat bernada sinis itu. Abim tau, kalimat itu sama artinya dengan 'Mas Abim, kita mau ke mana?' hanya saja Olin memilih diksi yang lebih istimewa.

"Tuan Hendry meminta saya untuk mengantar berkasnya yang tertinggal sebelum mengantar Nona Muda ke sekolah."

"Papa saya?" Ada yang salah dengan lidahnya saat Olin mengucap kata 'papa'.

Abim mengangguk. Ya, masa Papa saya? balasnya dalam hati.

Dapat Abim lihat dari kaca, Olin mendengkus di tempatnya. "Antar saya dulu, baru antar berkas Papa."

"Saya nggak berani melanggar perintah Tuan, Non." Abim berucap dengan ragu.

Olin menimbang, benar juga, tapi ... "Saya nggak peduli. Saya malas harus berbagi tempat dengan banyak orang di tangga nanti." Olin menggigit bibir, sebenarnya bukan itu alasannya. "Cepat putar balik!"

Olin sempat melihat raut Abim yang meragu, pria akhir dua puluhan itu hampir berhenti untuk berputar balik mengikuti keinginannya, jika saja tidak pernah ada panggilan telepon dari Papa.

"Baik, Tuan. Saya segera sampai di kantor Tuan."

Olin mendesah kecewa saat mobil melaju menuju kantor papanya. Ternyata, dalam hal apa pun, Olin memang tidak pernah menang dari orang tuanya, terutama Papa. Sampai kapan pun.

Kepalanya disandarkan ke jendela. Olin menatap jalanan kota yang mulai padat dengan pandangan tidak suka. Paginya yang ceria rusak hanya karena satu kata: 'papa'.

^^^

Nusaindah punya kantin yang bisa dibilang mewah. Terdiri dari dua bagian yang dibangun terpisah. Kantin lantai satu dikuasai oleh kelas X dan XI, sedangkan lantai dua lebih sering digunakan oleh anak-anak kelas XII yang mager turun ke lantai dasar. Luas masing-masing kantin bisa untuk menampung setengah populasi siswa Nusaindah.

Menu andalan di sini adalah bakso legendaris Mbak Nurul. Selain rasanya yang nggak perlu lagi ditanya, aksen bule yang masih melekat di lidah Mbak Nurul saat berbicara menjadi daya tarik tersendiri. Siapa coba yang belum pernah mencicipi bakso racikan Mbak Nurul? Jika pertanyaan itu diajukan kepada seluruh siswa Nusaindah, kebanyakan pasti akan menjawab sudah pernah, kecuali satu orang ini. Gadis yang sedang berjalan seorang diri di antara banyaknya manusia yang bisa diajak ngantin bareng.

"Morning, Dear. Ada yang bisa saya bantu?"

Sapaan Mbak Nurul yang sedang melayani salah satu meja hanya dibalas Olin dengan senyum tak ikhlas. Bagi Olin, membalas sapaan orang yang tidak akrab dengannya adalah hal yang sia-sia. Buang-buang waktu dan tenaga.

Cewek itu melenggang santai menuju stan makanan berbahan dasar buah-buahan segar. Lebih memilih salad buah dan sekotak susu rendah kalori sebagai menu istirahatnya daripada bakso, mi ayam, atau nasi uduk yang stannya dipenuhi pembeli.

Olin duduk di kursi pojok dekat dengan jendela. Menikmati salad buah, yang sebenarnya membosankan, sembari memainkan ponsel seharga puluhan juta miliknya. Olin berusaha terlihat sibuk supaya tidak ada yang mengajaknya bicara, atau mungkin beberapa orang yang datang untuk meminta tanda tangannya.

Bukan kepedean, Olin memang seterkenal itu.

"Gaes, tahu, nggak? Katanya kelas XI IPS bakal kedatangan siswa baru. Anak SMA Akasia yang dipindah karena terlibat perkelahian sama kakak kelasnya. Gila, nggak, sih? Cowok Akasia, kan, keren-keren banget. Jangan-jangan dia anggota geng yang terkenal itu? Aaaa ... semoga sekelas sama gue."

Kasak-kusuk terdengar dari beberapa cewek yang berkumpul mengelilingi satu meja. Obrolan mereka terlalu keras sehingga membuat ketenangan Olin terganggu.

"Dengar dari mana lo?" tanya seorang cewek di meja itu.

"Pas tadi pagi gue ke ruang guru buat ambil tugas, guru-guru lagi pada ngomongin itu. Kepo, nggak, siapa yang bakal jadi murid baru di sini?" Cewek yang membawa bahan gosip bertanya antusias.

"Kepo, sih, tapi gue nggak berharap banyak. Kalau anak pindahan itu tampangnya standar-standar aja, lo pasti nggak bakal heboh. Kalau dianya cakep, paling kita yang nggak di-notice," balas cewek di sebelahnya.

"Bener banget. Belajar dari pengalaman, cowok-cowok cakep di sini nggak kepincut sama cewek kayak kita yang standar ke bawah. Contohnya Alfin, deh. Pas kelas sepuluh kita sampai bikin fanbase buat doi, kan, tapi apa hasilnya? Yang di-notice si Olin yang model itu," sahut yang lain.

Cewek yang membawa berita menekuk wajahnya. "Jangan gitu, dong. Kan, nggak semua cowok ganteng naksir sama Olin. Alfin cuma sempat khilaf aja. Toh, sekarang mereka sudah putus."

Gigi Olin bergemeletuk. Di antara banyaknya bahan gosip, kenapa namanya harus ikut disebut? Olin yang semula abai dengan obrolan sampah kumpulan cewek itu, jadi memasang telinga supaya bisa langsung mengambil tindakan jika namanya dijadikan bahan gosip lagi.

Mereka beneran nggak tahu gue ada di sini? Atau pura-pura nggak lihat?

"Nggak peduli sudah putus atau belum, faktanya cowok ganteng selalu suka sama cewek cantik. Nggak mau munafik, Olin itu cantik. Nggak heran banyak yang suka, termasuk Alfin yang pernah bikin lo jatuh cinta sampai nyaris gila."

Cewek itu menekuk wajahnya lebih dalam. "Udah, lah, jangan bahas hal-hal yang bikin kita insecure dan nggak bersyukur. Intinya gue sama lo, lo pada pasti seneng, kan, kalau stok cowok ganteng di Nusaindah bertambah?"

Gerombolan cewek itu beranjak dari kursinya. Berjalan bersama melewati meja Olin tanpa sadar yang mereka bicarakan ada di sana.

"Bagus! Akhirnya ada yang sadar juga kalau gue cantik." Senyum sinis tercetak di wajah Olin. Di antara dua bibirnya tersemat sedotan plastik yang digunakan untuk menyedot susu rendah kalori yang dibelinya sampai tandas.

Salad yang Olin beli masih tersisa seperempat, tapi Olin tidak berniat menghabiskannya. Cewek itu sudah akan meninggalkan kantin, sebelum sebuah panggilan menahan gerakannya.

Seseorang yang Olin tebak adalah adik kelas menghampirinya dengan selembar kertas di tangan.

"Maaf, Kak. Saya ke sini mau mengumpulkan formulir ekskul," ungkapnya. Karina Mulia-begitu nama yang tertera di nametag-nya, menatap Olin tepat di manik matanya yang berkilau. "Enggg ... boleh, nggak, saya minta foto bareng sama ... Kakak?" ucapnya malu-malu.

Olin masih diam di tempatnya ketika Karin senyum-senyum tidak jelas menunggu kesepakatan darinya. Namun, sepertinya anak kecil itu belum mengenal siapa yang sedang ia hadapi. Olin memamerkan senyum remeh. Diterimanya dengan terpaksa lembaran kertas berisikan data diri itu. Kemudian ...

"Apa gue kelihatan punya waktu untuk meladeni keinginan lo?"

Air muka Karin berubah seketika. Tidak ada lagi binar antusias yang menghiasi matanya. Dia justru merinding ketika Olin berlalu dari hadapannya, setelah berkata, "Apa motivasi lo gabung di ekskul gue? Gue lihat lo belum punya modal apa-apa selain nekat."

Jadi rumor yang mengatakan bahwa seorang Evalina Olin Diana adalah pribadi yang angkuh itu ... benar?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro