Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 - Neobatavia

Keadilan, seperti bias neon berkedip di jalanan tergenang, hanya memancarkan bayangan menipu. Namun bagi Sebastian Matra, dia tahu persis dari kebanyakan orang bahwa itu tak lebih dari komoditas lain, diperdagangkan dalam kesepakatan kotor dan kontrak berlumuran darah. Dan sekarang, dia duduk sendirian, terbenam dengan kegagalannya dalam damar bourbon yang bersinar.

Di ambang pintu, sejenak, dia ragu-ragu. Setiap langkah terasa seperti maklumat vonis yang tak berada dipihaknya. Haruskah dia melanjutkan? Masuk tanpa hati-hati. Haruskah dia berada di sini, memikirkan orang-orang yang tidak pantas mati? Haruskah dia?

Dari ketinggian, lanskap Kota Neobatavia seakan tak berujung. Ketika malam mulai merangkak, kehidupan menyulut jalan-jalan yang penuh dengan lalu-lintas penglaju serta manusia bermata perak. Gedung-gedung menjulang memantulkan proyeksi holografis dari lensa reklame raksasa, menakar langit seperti penjaga waktu yang bergerak.

Sebastian berdiri di tepi jendela. Suara rintik hujan mulai mengganggu keheningan meja kerjanya yang tampak usang. Alkohol, yang dahulu hanya dianggap sebagai racun, kini telah menjadi kenyamanan sementara dari ketegangan yang tidak pernah reda. Dia sudah terlalu banyak minum akhir-akhir ini.

Dia menghampiri lemari arsip biometrik dengan berjalan sempoyongan, mengeluarkan setumpuk berkas. Dia kembali duduk, tampak kehabisan tenaga, menuang kembali bourbon ke dalam gelas lalu diminum dalam sekali teguk.

Layar TV menyala. Senyum sang pembawa berita tak lepas dari wajahnya, sementara grafik cerah dengan kurva melonjak terpampang sebagai antarmuka; Sebastian menatap tanpa minat. Di sudut layar, cuplikan orang-orang dengan mata berbinar dan tawa riang, diputar bak pariwara tanpa jeda.

"Dalam satu tahun, kehidupan kami telah berubah," ucap mereka penuh antusias.

Baris-baris teks yang berjalan di bawah layar, memuntahkan janji-janji kesempurnaan: Indeks Kebahagiaan Meningkat 200% Berkat Terapi Gen Terbaru dari BT Corp. Kamera berganti, menyorot sekumpulan orang yang saling berpelukan. Wajah mereka memancarkan kelegaan, seolah dunia yang dulu penuh tekanan kini tinggal kenangan tak diinginkan, semua berkat apa yang mereka sebut-sebut sebagai revolusi masa depan.

Sebastian beranjak dari tempat duduk. Matanya tertuju pada bingkai-bingkai penghargaan yang tergantung miring di sudut ruangan: Gelar; pencapaian hidup; dahulu kesombongan, kini puing-puing kenangan. Satu per satu, bingkai-bingkai itu dia turunkan lalu dibuang ke tempat sampah. Dengungan patroli drone polisi dari kejauhan, menyegarkan ingatannya tentang hari-hari lama sebagai 'bunglon jalanan'. Namun, sekarang dia bahkan tak mampu melarikan diri dari kenyataan.

"Semua ini sia-sia," gumam Sebastian, berkomat-kamit sambil merobek semua berkas, hingga merasa hatinya merasa puas. Telepon berdering; panggilan masuk. Antarmuka holografis menampilkan deretan nomor yang tampak familiar: seorang sahabat lama. Namun, Sebastian sering kali mengabaikannya.

"Seba ...? Halo?" Pesan suara itu terus mendesak, memanggil-manggil namanya. "Aku tahu kau mendengarku, brengsek!"

Akan tetapi, Sebastian tak bergeming, menyandarkan tubuhnya sejenak. Dia mengguyurkan bourbon ke wajah dan rambutnya, mencoba membilas samar rasa frustasi yang melekat. Namun, dingin tak meresap, dia larut dalam gravitasi yang perlahan menyeretnya. Tersungkur di sisa malam. Kosong dan rendah gairah.

Seisi ruangan berubah sunyi, seakan-akan waktu telah terhenti. Apa yang terjadi? Intrusi tak diundang. Proyeksi holografis bergetar halus, siluet muncul dalam cahaya biru yang menyilaukan, wajahnya tertegun. Dunia Sebastian seolah terbalik; bingung melanda, tubuhnya terasa berat, dan suara-suara di sekelilingnya ikut menghilang. Sosok itu bergerak maju, memeriksa keadaan dengan tatapan khawatir, seolah ingin menjangkau Sebastian dari kegelapan yang menyelimutinya.

Ravael Daeng, pria tua akhir 60-an, berpakaian mantel panjang, mondar-mandir memeriksa keadaan sekitar. Dia menemukan Sebastian yang tertidur di sofa, wajahnya ditutupi sehelai jas kerja dengan kemeja kusut yang sedikit tersingkap dari otot perutnya; botol dan gelas tergeletak di lantai.

Sebastian terbangun, mengerjap beberapa kali sebelum fokus pada langit-langit yang berputar di atasnya. Kepalanya berdenyut seperti dihujani palu, membuat setiap gerakan kecil terasa sangat menyiksa. Dia bersandar sejenak, melihat sekeliling, mengayunkan kaki, turun dari sofa dan mengambil kembali botol minuman.

"Apa-apaan, Bung? Apa yang telah kau lakukan?" Suara itu memecah kesunyian, serak dengan nada tajam. Proyeksi holografis Ravael Daeng menerobos protokol firewall gedung, muncul tepat di tengah ruangan.

Sebastian, sambil menatap kosong pecahan-pecahan perabotan yang berserakan di lantai, membalas, "Hei, Rave ... apa maumu kali ini?" Suaranya serak, malas, seperti menyambut tamu di malam yang salah. "Mau ikut minum?"

"Apa mauku?" Ravael mendegus pendek. "Tidak, aku tidak mau minum. Dengar, sialan. Aku baru saja mendapat telepon dari Mira Andana."

"Mira ... siapa? Jangan bicara teka-teki lagi denganku," gumam Sebastian, menyandarkan diri ke sofa, matanya setengah terpejam. Aroma bourbon yang manis menguar dari napasnya.

"Dengar baik-baik, Seba. Kau seharusnya berada di pengadilan dalam waktu 10 hari lagi, tapi wanita itu bilang kau belum menemuinya. Kau bahkan lupa nama klienmu sendiri?"

Sebastian menenggak bourbon yang tersisa, otot-otot lehernya bergerak naik turun, seakan setiap tetes mengisi tenggorokannya tanpa rasa bersalah. "Ah, kau bicara soal surel menyedihkan itu?"

"Surel menyedihkan ... dan ini sudah sepuluh bulan." Suara Ravael mulai bergetar, campuran antara amarah dan kekhawatiran. "Sepuluh bulan, akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumahmu, membangun kepercayaan orang-orang ini untukmu. Dan kau malah sibuk merengek dengan dengan botol-botol kosongmu. Kau tahu? Besok, mereka akan kemari, ingin melihat kesiapanmu. Inikah yang akan kau tunjukkan?"

"Kau siapa? Pengasuhku?" balas Sebastian, setengah mengejek, mengangkat botol minumannya ke arah holografis Ravael.

Ravael tak bergeming. Namun, nada bicaranya berubah menjadi lebih dingin. "Dengar, Seba. Karirmu sudah di ujung tanduk, dan ini bukan hanya soal gugatan ke pengadilan atau uang sekadar tutup mulut. Ini soal masa depanmu."

"Kau terus bicara soal 'kesempatan', 'masa depan'? Lihat diriku, Rave. Aku tak punya apa-apa lagi selain ini." Sebastian beranjak sebelum melempar botol kosong ke sudut ruangan. Ada kilatan frustasi di matanya, bercampur pesona maskulin yang sulit ditolak. "Gugatan itu? Hanya akan jadi lelucon bagi mereka."

"Kau salah besar. Gugatan itu adalah satu-satunya cara kau bisa keluar dari kekacauan ini." Proyeksi Ravael mendekat. "Dan aku sudah mengorbankan banyak hal untuk memberimu kesempatan ini. Lakukanlah ini dengan benar, itu akan mengurus masalah finansialmu. Bicaralah dengan Mira dan suaminya, aku sudah meyakinkan mereka untuk memberimu waktu. Aku menemukan seorang ahli yang bersedia bersaksi untukmu—Dr. Eryas. Kau tahu apa artinya itu?"

"Dr. Eryas ...." Sebastian mendengus, mencoba mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Apa yang dia tahu tentang kasus ini?"

"Dia tahu cukup banyak untuk menyelamatkanmu." balas Ravael. Suaranya meninggi dan penuh penekanan. "Tapi semua itu tak ada artinya jika kau terus bersikap seperti ini. Aku sudah menjual terlalu banyak jiwaku untuk membuat ini terjadi. Dan kau bahkan belum membaca berkasnya? Apa kau benar-benar ingin mati dalam kekacauanmu sendiri?"

Sebastian terdiam sejenak. Kata-kata Ravael mulai menembus benteng yang selama ini dia bangun. Dia hanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya. "Apa pedulimu? Kenapa kau terus mengganggu hidupku, Rave?"

Ravael menghela napas panjang. Tatapannya melembut, tetapi tetap tegas. "Karena aku tidak akan membiarkanmu membusuk seperti ini. Aku kenal kau. Di balik semua kesulitan ini, aku tahu kau masih punya sesuatu untuk diperjuangkan. Tapi jika kau terus menolak, ini yang terakhir. Aku sudah terlalu tua, Seba. Aku tak punya waktu untuk menyelamatkan orang yang tak ingin diselamatkan."

Sebastian menatap proyeksi Ravael yang mulai memudar. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat, hanya suara lampu neon dari luar jendela yang terus berdengung. Ketika Ravael akhirnya menghilang, Sebastian tetap terpaku di tempatnya.

Kata-kata terakhir Ravael masih terngiang di kepalanya. Dia bangkit, perlahan. Langkahnya goyah,  menatap jendela. Lalu-lintas Neobatavia masih bergerak di bawah sana, tak peduli dengan drama kecilnya.

"Sialan kau, Rave," desisnya, frustasi, setengah malu. "Kau selalu saja percaya pada orang yang salah." Jari-jarinya gemetar meraih tablet yang tergeletak di meja. Bukan karena takut, tetapi karena rasa muak yang membakar, pada hidupnya, dan juga—entah kenapa—pada kenyataan bahwa Ravael masih percaya padanya.

Nama Dr. Eryas muncul di layar, bersama jejak informasi dari Ravael yang sebelumnya selalu dia abaikan. Sebastian menghela sejenak. "Baiklah," gumamnya, nyaris berjanji pada diri sendiri. "Satu kali lagi." Mungkin sudah waktunya berhenti tenggelam dalam bourbon dan kembali menghadapi kenyataan.

***

   Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro