Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

↬ • F O U R

Pungut Project

✧ ۪۪ F O U R ˎˊ -

Lucas x Athanasia



Entah sudah berapa minggu berlalu, Lucas tak tahu. Cukup menyakitkan mengingat tiap detik yang dihabiskannya untuk menjauh. Sudah sejauh mana perencanaan dua insan itupun, Lucas tak mau tahu. Entah sejak kapan pula Ia mulai terbiasa kembali dengan rasa sepi.

Malam tanpa bulan, serta tiupan dingin yang pelan mengelilingi. Mewakili semua rasa dari Penyihir Menara.

Gelap. Sepi. Dingin.

Mengapa Ia menjadi lemah seperti ini? Bukankah rasa tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari?

Hanya karena penolakan tak langsung dari pujaan hati, mengapa dirinya bisa merasa hancur seperti saat ini?

Maniknya kosong, tanpa cahaya. Sudut bibirnya terangkat, menampilkan senyum yang entah bagaimana mengartikannya.

Entah senyum yang menertawakan dirinya sendiri atau senyum yang berusaha mengobati sanubari.

Seandainya Athanasia melihatnya dengan keadaan seperti itu, seperti apakah reaksi sang empu dari manik permata biru?

'Mungkin malam ini aku akan menemuinya.'


*


Bahkan pada hari ini pun, Lucas tak muncul.

Mungkin memang sedikit keterlaluan jika Ia mengharapkan penyihir itu datang. Mengingat bahwa Ia telah menolaknya secara tidak langsung.

Kelereng bagaikan permata menatap langit di balik jendela. Ada sebuah rasa bersalah yang terbersit dalam hatinya ketika melihat sosok berbalut jubah hitam.

"Lucas memang tidak pernah menyatakan perasaannya secara langsung, tapi ...." gumam Athanasia, sambil menyenderkan tubuhnya pada dinding.

"Tapi ... ?"

Mendengar sebuah suara familiar yang memotong perkataannya, Athanasia berbalik. Mendapati penampakan seseorang yang tengah dipikirkannya, "Lucas?"

Sosok yang dipanggil maju, memperjelas wajahnya oleh cahaya yang memantul, "Sudah jelas, bukan?"

"Kau ... kau membuatku cemas! Sudah terhitung berapa hari kau menghilang?!" Athanasia menghampiri teman sejak kecilnya itu dengan pertanyaan yang sejujurnya sudah Ia ketahui jawabannya.

"Untuk apa kau cemas?"

"Karena kau temanku!"

Lucas menatap lawan bicaranya datar, lalu semakin mendekat. Sebelah tangannya menyentil kening Athanasia, "Aku tahu, tidak perlu diperjelas."

'Lagi-lagi, kalimatku salah. Arrgh, apa, sih, yang harus kukatakan?!' teriak wanita tersebut dalam hati, tanpa protes pada Lucas.

"Sedang apa kau malam-malam begini di perpustakaan?" tanya pria itu, membuyarkan kebingungan sang Putri. Manik merahnya tampak memperhatikan jejeran buku dalam rak besar.

"Cuci mata," jawab Athanasia yang membuat Lucas hanya ber-oh ria saja.

Hening kembali. Tidak ada yang berniat untuk berbicara lagi, untuk saat ini. Athanasia sendiri lebih tertarik untuk ikut memperhatikan rak yang juga diperhatikan Lucas.

"Pernikahanmu itu kapan?" tanya Lucas lagi. Kembali memulai obrolan.

Athanasia membulatkan matanya, "Kenapa kau membahas itu?"

Sang Penyihir menoleh ke belakang, tempat lawan bicara berada, "Tidak boleh?"

"Bukan begitu! Aku hanya menanyakan alasannya."

"Hanya ingin tahu. Jawab saja."

Athanasia menunduk, "Kalau begitu, jawab pertanyaanku terlebih dahulu."

"Apa?"

Gadis menarik nafas, guna meyakinkan dirinya akan pertanyaan yang akan dilontarkan, "Kenapa kau menyukaiku, Lucas?"

Tidak ada respon. Sampai akhirnya, Athanasia mengangkat pandangan. Menatap Lucas yang tengah menyembunyikan wajahnya di balik helaian hitam panjang kepunyaannya.

Alis gadis tersebut berkerut. Memikirkan alasan yang akan jadi jawaban.

Mengapa harus Athanasia, yang telah memilih orang lain? Mengapa harus Putri Obelia, yang akan segera bersuami? Mengapa ... pikiran Lucas terlalu sulit untuk dimengerti?

"Apa aku butuh alasan?"

Satu pertanyaan singkat itu membuat pertanyaan dalam benak Athanasia sirna seketika. Perempuan itu menatap kelereng ruby yang kini tidak ditutupi.

Apa Lucas ... benar-benar tak membutuhkan alasan untuk menyukai sang Pewaris Obelia?

Sebegitunya, kah, pria itu menyukainya?

Rasa bersalah kembali menguasai diri Athanasia. Mengetahui bahwa Lucas menyukainya tanpa alasan sejati yang jelas.

"Yang jelas, menurutku kau itu berbeda. Jadi, aku tidak tahu pasti alasannya. Kalau soal paras, banyak orang yang memiliki paras cantik juga," ujar Lucas lagi yang seketika membuat Athanasia membeku.

Sedangkan sang Penyihir Menara menghembuskan nafas. Merasa lega karena telah mengungkapkan isi hati, meskipun orang yang dicintai mustahil untuk dimiliki. Setidaknya, Athanasia mengetahui perasaannya, serta alasan mengapa Ia menyukainya.

Tidak, Lucas pikir rasa ini bukan hanya sekedar suka. Namun sudah bisa dibilang cinta.

Rasa gelisah dalam hati kini sudah sedikit hilang. Meninggalkan rasa tenang sementara walaupun sesak tak akan pernah sirna. Fakta bahwa Athanasia bisa menjadi lebih terbuka pada Izekiel tidak bisa dihindari. Fakta bahwa Athanasia lebih memilih pria lain harus diterima dengan sepenuh hati.

Memperjuangkan cinta itu diperbolehkan. Namun, tidak dengan memaksakan.

"Aku tahu ini terlambat, tapi ... maafkan aku."

Ucapan tersebut mengalihkan atensi Lucas dari pikirannya. Ditatapnya Athanasia yang sedang menunduk. Seolah sedang menyembunyikan rasa bersalah dalam manik permata.

Lucas tersenyum, kali ini senyum yang tulus. Ia mendekat pada sang gadis sambil berkacak pinggang, "Jangan memasang wajah seperti itu. Wajahmu jadi jelek."

Athanasia mengangkat pandangan, tampak jelas raut kesal terlukis di wajahnya. Sebelah tangannya terangkat, memukul lengan Lucas sekeras yang Ia bisa, "Bicaranya sesuai kondisi, dong! Kenapa kau harus merusak suasana, sih?!"

Lucas meringis, tangannya berusaha menangkis tiap serangan Athanasia, "Pukulanmu itu keras tahu!"

"Terserah!"

"Memangnya kau pikir aku selemah apa?" tanya Lucas lagi yang membuat serangan Athanasia berhenti. "Aku tidak apa-apa meskipun jawabanmu seperti itu."

Athanasia terdiam, lalu mengalihkan pandangan, 'Justru kalimatmu itu malah semakin membuatku merasa bersalah, tahu!'

"Memang manusiawi kalau kau merasa tidak enak. Namun, jangan pernah menunjukkan tatapan itu di hadapanku. Aku jadi merasa dikasihani."

Sang Putri membuang nafas, lalu mengangguk tanda mengiyakan. Meskipun rasa bersalah tidak hilang, yang penting cepat selesai.

Tangan kanan Lucas terangkat, diikuti dengan senyumannya, mengusap surai keemasan yang membingkai wajah Athanasia, "Terlalu cepat untuk mengatakan hal ini, tapi ... Selamat atas Pernikahanmu, Tuan Putri."

Mata Athanasia membelalak. Namun kemudian, tersenyum ke arah teman terbaiknya, "Terimakasih, Lucas."

Pria tersebut melepaskan tangannya, "Aku sudah menjawab pertanyaanmu, sekarang jawab aku."

"3 hari lagi. Aku akan menikah 3 hari lagi," balas sang gadis yang seketika membuat Lucas sedikit kaget. Namun, segera Ia netralkan ekspresinya.

"Oh," respon Lucas dengan singkat. Jelas sekali dia masih tidak rela. Dia kemudian berjalan melewati Athanasia, berniat meninggalkan, "Omong-omong, sentuhan tadi hanya sentuhan sebagai teman. Jangan salah paham!"

Tak lama kemudian, Lucas menghilang. Keberadaannya seolah ditelan udara serta kegelapan. Meninggalkan Athanasia yang tersenyum sembari menyentuh kepalanya.

"Aku mengerti, kok."


*


Sudah terhitung setengah jam Ia memandangi jendela kamar calon pengantin wanita. Ia maju satu langkah, lalu mundur kembali. Merasa ragu. Beberapa pelayan yang mondar-mandir tampak menatapnya dengan sorot heran.

Sekalipun Lucas mengucapkan kalimat yang menyiratkan menerima takdir yang terasa tak adil, faktanya, Ia masih tidak rela Athanasia jatuh pada pelukan orang lain. Rasa menyakitkan ketika mengetahui hati gadis itu bukan untuknya. Rasa menyesakkan ketika tahu bahwa senyum keterbukaan itu tidak tertuju padanya.

Melihat Ia berparas lebih elok lagi namun bukan untuknya akan menyakiti hati lebih jauh lagi.

Namun, hari ini adalah hari terakhir untuk menatap wajah Putri Obelia. Lucas tak yakin bahwa setelah ini, dirinya sanggup melihat Athanasia. Ia tak yakin setelah acara ini dimulai, maniknya sanggup menatap senyum bahagia Athanasia bersama pujaan hatinya.

"Tidak apa-apa jika Anda ingin masuk, Tuan Lucas. Tuan Putri sedang sendiri di kamarnya. Diam disini tidak akan merubah apa-apa, bukan?"

Lucas menoleh, menatap sosok berambut merah yang cukup dekat dengan sang Pewaris Kerajaan, Felix.

Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan atas kalimat barusan, "Kau pikir masuk ke sana juga akan mengubah sesuatu?"

"Tidak. Namun, bukankah lebih baik mengatakan sesuatu daripada menyesal pada akhirnya, iya 'kan?" Felix masih berucap dengan ramah. Pemuda itu seolah tak peduli dengan raut ketus penyihir satu ini.

Lucas memalingkan wajahnya. Untuk apa dia mengucapkan sesuatu pada Athanasia? Bukankah lebih baik dia langsung pergi saja?

"Ada beberapa hal di dunia ini yang terpaksa kita relakan, aku yakin Anda mengerti hal ini."

"Aku tahu," Lucas mengusap surainya gusar, "Lalu, untuk apa aku bertemu dengannya?"

Felix tersenyum, Ia ikut menatap jendela kamar, "Pertemuan dengan orang memiliki 2 maksud, sebagai tempat menetap atau sebagai pelajaran hidup."

Mendengar kalimat tersebut, pria bersurai hitam itu tertegun. Ia tundukkan pandangan. Seketika, kenangan tak tergantikannya dengan Athanasia berputar.

Tentang bagaimana rasanya pertama kali Ia menerima pukulan, tentang hangatnya genggaman tangan yang tak ingin Ia lepaskan, juga bagaimana rasanya Ia mendapat teman bermodalkan ketulusan.

Seandainya saja saat itu Lucas tak bertemu Athanasia, akankah dirinya merasa hancur karena cinta? Akankah dirinya menerima rasa sakit karena tak terpilih oleh sang pujaan?

Akan tetapi, bukankah lebih menyakitkan lagi apabila Ia tak bisa mengatakan sepatah kata saja ketika dirinya memutuskan untuk pergi dari hadapan sang gadis untuk selamanya?

Tak lama kemudian, Lucas tersenyum. Diikuti oleh Felix.

"Sudah memutuskan kalimat apa yang akan diucapkan?"

Tepat sebelum Lucas menghilang, Ia akhirnya buka suara, "Hn. Kurasa, iya."


*


Hembusan nafas berat terdengar, jantungnya berdegup kencang. Merasa gugup atas hari penting yang akan dikenang seumur hidupnya.

"Lumayan juga," komentar seseorang yang tengah memperhatikan Athanasia dari cermin.

Alhasil, wanita itu refleks berbalik, lalu membuang nafas lega ketika tahu bahwa yang berucap tadi adalah Lucas.

"Lucas! Kenapa kau selalu muncul tiba-tiba?!"

"Aku hanya ingin berbicara sebentar," ujar Lucas. Tampak jelas bahwa dirinya sedang serius.

Menyadari keseriusan, Athanasia bertanya, "Bicara soal apa?"

Sang Penyihir Menara mendekat, menatap setiap inci dari bagian Athanasia de Alger Obelia. Dengan balutan gaun putih yang mengekspos pundak serta leher jenjang, mahkota dari emas putih yang berdiri tegak diantara helaian rambut keemasan, dan riasan ala pernikahan umumnya, telah membuat gadis itu tampak seperti peri dari dunia lain.

Lucas sendiri sampai harus menyadarkan dirinya ke dunia nyata akibat indahnya makhluk hidup yang berposisi sebagai Pewaris Obelia ini.

"Kalimat yang kau katakan tiga hari yang lalu ... sepertinya kurang tepat," ucap Lucas, memulai pembicaraan.

Athanasia memiringkan kepalanya, tanda ingin mengajukan pertanyaan, "Kalimat yang mana?"

"Soal aku ... yang menyukaimu."

"E-eh?"

Athanasia menunjukkan ekspresi bingung. Bagian mana dari kalimatnya yang kurang tepat?

"Kata 'suka' bukanlah kata yang tepat." Lucas semakin mendekat, sebelah tangannya terulur, menyerahkan dua tangkai bunga tulip yang telah ditata, berwarna kuning serta merah, "Aku tidak hanya menyukaimu. Namun aku ... mencintaimu, Athanasia. Aku tahu, mungkin kalimatku akan mengganggumu, tapi aku harap hal ini tidak menghalangi dirimu untuk berbahagia."

Athanasia membelalak, kedua tangannya bergetar sambil meraih pemberian Lucas, "Mengapa kau baru mengatakannya kali ini?"

"Harusnya kau sudah menyadari itu, 'kan?"

Yang diberi pertanyaan menggelengkan kepala. Tidak, Athanasia tidak tahu. Gadis semata wayang dari Kaisar Obelia tak pernah tahu sebesar apa cinta untuknya. Athanasia tidak tahu, sedalam apa perasaan Lucas padanya. Athanasia tidak mengetahui, bahwa Lucas bisa menghancurkan dunia jika terjadi sesuatu terhadap dirinya.

Disisi lain, meskipun Lucas tahu bahwa Athanasia tak menyadari sebesar dan sedalam apa perasaannya, Ia tersenyum. Senyum paling tulus yang mungkin entah dari kapan tidak dia lukiskan. Senyum tulus nan indah, akan tetapi juga memiliki sisi menyedihkan.

"Sekali lagi, selamat atas pernikahanmu. Selamat berbahagia, Tuan Putri." Lucas kembali menepuk pelan kepala gadis di hadapannya, "Terimakasih, karena sudah menjadikanku temanmu, memberiku ketulusan yang entah kapan terakhir kali kudapatkan."

"Hei, boleh aku meminta satu hal?" lanjutnya. Tangan itu segera melepaskan pegangannya.

"Permintaan?" tanya Athanasia.

"Aku hanya memintamu untuk tersenyum padaku. Tersenyum seolah senyummu hanya untukku dan hanya milikku. Mudah, 'kan?"

Athanasia terdiam untuk sejenak, Ia menunduk. Permintaan Lucas ... sangat sederhana untuk orang yang telah ditolak. Bahkan, terlampau sederhana.

Gadis itu mengangkat kepalanya, mengangkat kedua sudut bibir membentuk kurva manis yang semakin mempercantik parasnya. Menghasilkan Lucas yang tertegun, membayangkan betapa menyenangkannya jika senyum itu benar-benar ditujukan pada dirinya. Membayangkan ... betapa menyenangkannya jika mimpi itu bisa menjadi nyata.

Kala dirinya dibawa kembali ke dunia nyata, Lucas kembali bersuara sambil berbalik, "Terimakasih. Mungkin, ini terakhir kalinya aku melihat senyumanmu."

Mendengar kalimat yang terdengar seperti kata perpisahan, mata Athanasia melebar, menunjukkan rasa kaget, "Kau mau kemana?"

Manik merah sang pria bergerak menuju sudut mata, Ia menghela nafas, "Pergi dari sini. Lagipula, kau sudah memiliki penjagamu sendiri. Jadi, aku tidak perlu khawatir lagi."

"Apa kau akan pergi selamanya dari hadapanku ..., Lucas?"

"Iya." Tanpa melirik lagi, laki-laki tersebut menjentikkan jarinya. Tepat sebelum Ia menghilang lagi, samar-samar suara yang begitu dikenalinya mengisi indra pendengaran Athanasia. Suara dengan nada yang lebih lembut, namun juga menyayat di saat yang sama.

"Jangan khawatir. Aku akan tetap mencintaimu. Di dimensi manapun, di waktu kapanpun, aku akan selalu mencintaimu sebagai Athanasia."

'Karena meskipun memilikimu adalah sebuah kemustahilan, mencintaimu akan tetap menjadi sebuah kebenaran.'







End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro