II
T A N D A
T A N Y A
B E S A R
“Bagaimana kronologi kejadiannya, Bu?” tanya Damian pada seorang wanita paruh baya bernama Mahfuza. Dia telah mengumpulkan beberapa orang pejalan kaki untuk dimintai keterangan. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan secara langsung bagaimana kecelakaan itu terjadi.
“Saat itu, tiba-tiba ada seorang perempuan gila yang melompat ke jalan raya.”
“Perempuan gila?” ulang Damian memastikan.
Bu Mahfuza mengangguk. “Sepertinya perempuan itu ingin bunuh diri, Pak Polisi,” kata wanita itu, sedikit tidak yakin. Damian telah siap dengan pena dan jurnalnya saat wanita itu mulai membeberkan kesaksiannya. Dia meringkas informasi tersebut secepat yang dia bisa.
“Kemudian, truk ikan itu,” ucap Bu Mahfuza sambil menunjuk truk penyok yang masih tetap pada posisinya; mencium tiang penunjuk jalan. “Melaju lumayan kencang dari arah barat. Kami sudah berteriak, tapi perempuan itu tidak mau menyingkir juga. Terus, pengendara motor yang tewas tadi melaju terlalu kencang dari arah sebaliknya. Dia sempat membelokkan kemudi motornya saat tiba-tiba perempuan itu muncul. Tapi nahas, truk pengangkut ikan itu malah menghantamnya. Perempuan itu sudah kabur sepertinya saat orang-orang mulai berkerumun tadi.”
Damian mengangguk. Dia membentuk pola melengkung dan satu garis lurus dalam buku catatannya, yang saling terhubung hingga dia tahu di titik mana kecelakaan itu bisa terjadi.
“Apa Ibu memperhatikan bagaimana ciri-ciri perempuan gila itu?”
“Bagaimana, ya? Em ...,” Bu Mahfuza tampak berpikir keras, kemudian dia melirik orang di sebelahnya. “Kau ingat, Ti?”
Bu Yanti menjawab sembari mengorek kembali ingatannya. “Dia tinggi, putih, rambutnya pendek sebahu.”
“Berapa kira-kira usianya?”
“Sekitar dua puluhan. Sepertinya dia mahasiswi, ya, Za.”
“Oh, iya!” timpal Bu Mahfuza. “Dia pakai almamater warna kuning cerah.”
“Dari universitas mana kira-kira? Apa Ibu melihat logo atau semacam tulisan?”
“Saya tidak lihat, Pak Polisi,” sahut Bu Yanti.
Damian tak kehabisan akal. Dia kembali bertanya, “Kalau tingginya, berapa kira-kira?”
“Kurang tahu, Pak Polisi,” kali ini Bu Mahfuza yang menjawab.
“Apa ada ciri-ciri khusus dari perempuan gila itu yang bisa Ibu ingat? Bentuk matanya, mungkin?” kejar Damian yang tidak ingin kehilangan informasi sepenting ini.
Bu Mahfuza dan Bu Yanti menggeleng serempak. Ingatan mereka bisa jadi bias karena syok. Damian lalu beralih ke saksi lain dan hasilnya pun sama, mereka tak bisa banyak membantu.
“Apa maksudmu?!”
Damian refleks menoleh saat mendengar Komandan Sam berteriak di ujung sana. Pria itu menggenggam HT-nya erat-erat. Suaranya menggelegar. Wajah Komandan Sam tampak ditekuk kesal. Ada apa ini, batinnya penasaran.
Damian segera berlalu, setelah sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih kepada para saksi. Dia juga memberitahukan kepada mereka supaya bersedia dipanggil sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Damian mungkin akan membutuhkan sketsa wajah perempuan gila itu nantinya.
Tinggi.
Putih.
Rambut pendek sebahu.
Juga almamater kuning cerah.
Sembari melangkah, Damian memikirkan kira-kira di universitas mana perempuan gila itu menuntut ilmu. Benar-benar keterlaluan. Usai membuat nyawa dua orang melayang, perempuan itu malah kabur begitu saja. Dia memang seorang pejalan kaki, tetapi bukan berarti perempuan itu tidak bisa dikatakan tidak bersalah dalam kasus ini. Dia telah membahayakan nyawa orang lain dengan tindakan bodohnya itu.
Bola mata pria itu menyusuri area perempatan yang lebarnya hampir seukuran lapangan bola kaki. Keempat jalan di perempatan itu merupakan jalur dua arah yang masing-masing memiliki lima ruas. Sebagai kota industri, Batam punya kualitas jalan yang mumpuni karena dibangun dengan perencanaan matang. Tidak mudah rusak saat diinjak kendaraan bermuatan berat. Gedung-gedung tinggi berdiri. Bentang Tower menjadi yang termewah dengan tiga menara bertingkatnya yang menjulang. Bangunan belapis kaca itu seperti sedang menyombongkan diri, seolah ialah raja dari segala raja di atas perempatan itu.
Di antara kerumunan para pejalan kaki yang merasa penasaran, Damian menangkap wajah ketakutan seorang perempuan berambut pendek. Bahu orang-orang yang saling berdesakan membuat Damian tak bisa melihat dengan jelas pakaian seperti apa yang dikenakan perempuan itu.
Mereka beradu pandang dalam sepersekian detik.
Insting Damian mengatakan, “kejar dia!”, saat melihat perempuan itu melarikan diri dari jangkauan pandangnya.
Damian berteriak nyalang. “Hei, tunggu!”
***
“Apa maksudmu?!”
Nihil. Tak ada jawaban dari seberang. Komandan Sam berusaha memanggil Revano untuk kembali masuk ke jalur. Akan tetapi, di ujung sana hanya muncul suara krasak krusuk.
Komandan Sam terlompat kaget saat bunyi letusan senjata api tiba-tiba menyuara dari tempat Revano berada. Dia sontak berdecak keras.
“Lacak GPS mobil patroli mereka, kita bergerak ke sana!” titahnya pada seorang polisi berpangkat Bripka.
Komandan Sam masuk ke dalam mobil dinas diikuti oleh polisi tadi. “Posisinya saat ini ada di Kilometer 13 Jalan Murai, Komandan.”
“Kau yakin?” Bripka Fajar mengangguk di balik kemudi, kemudian memacu mobil dinas itu pergi menjauhi perempatan, sementara anggota lainnya tetap tinggal di tempat dalam pengawasan Iptu Surya.
Komandan Sam cemas bukan main. Selama perjalanan pria itu diteror oleh berbagai macam pertanyaan yang membuat otaknya pening. Suara tembakan apa tadi? Apa mereka sudah kehilangan akal dan berakhir saling membunuh?
Andreas, dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah bisa cocok dengan siapa pun.
Dulu, Andreas pernah ditempatkan di Satres Narkoba, tetapi satu tahun kemudian dia dirotasi ke Bagian Intel lantaran merasa tidak cocok dengan partner-nya. Hal yang sama kemudian terjadi lagi, dia berkelahi dengan partner-nya dan merusak properti negara. Setelah kejadian itu, dia pun di-rolling ke Unit Kecelakaan Lalu Lintas, sebab dia tak mendapat sokongan dari atasan sebelumnya.
Meskipun sikap Andreas sangat keterlaluan, Komandan Sam berpikir rasanya mustahil kalau Andreas sampai membunuh rekannya sendiri. Sejauh ini, hanya Revanolah satu-satunya orang yang paling sabar menghadapi sikap Andreas yang arogan itu.
Lagipula, kenapa mereka malah pergi ke tempat itu? Bukankah aku memerintahkan mereka untuk pergi ke rumah sakit?
Komandan Sam menghela napas panjang. Dia berupaya meyakinkan dirinya kalau Andreas takkan terlibat dalam masalah. Namun, semakin dipikirkan, perasaannya justru semakin tidak keruan saja. Situasi ini sungguh pelik. Komandan Sam terpaksa menghubungi kepolisian terdekat untuk meminta bantuan dari mereka.
***
Tak lama Komandan Sam pun tiba di lokasi. Jalan Murai mendadak ramai oleh sirene mobil patroli. Rupanya anggota kepolisian setempat sudah tiba di sana lebih dulu. Komandan Sam turun dari mobil dan menutup pintu. Seorang petugas polisi terlihat berjalan menghampirinya.
“Lapor, Komandan. Kami menemukan ambulans itu di pinggir jalan,” beritahu petugas itu.
“Bagaimana mayatnya?”
“Siap. Ada di dalam, Komandan.”
“Pindahkan ke dalam mobil,” perintahnya pada Bripka Fajar yang telah mengekornya sejak tadi.
Komandan Sam mencari wajah-wajah yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden ini. Dia menggulir tatapan ke penjuru tempat itu, lalu mendapati sosok Andreas tampak sedang berdiskusi dengan Revano di dekat semak belukar yang tumbuh liar.
Komandan Sam berjalan ke arah mereka dengan sedikit tergesa-gesa. Dia hendak meminta penjelasan dari kedua anak buahnya itu. Namun, belum juga terlontar sepatah kata dari mulutnya, Andreas sudah menyelak lebih dulu.
“Komandan, kami akan pergi ke pelabuhan.”
Komandan Sam terdiam sejenak, menahan emosinya agar tidak meledak. Tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini, dia melihat mobil ambulans—yang seharusnya dikawal oleh Andreas dan Revano—dikerubungi banyak petugas polisi. Begitu menyadari salah satu dari ban mobil pengangkut jenazah itu hancur, Komandan Sam pun terpaksa mengangguki usul Andreas. Dia yakin, pasti telah terjadi sesuatu di sini.
“Baiklah, aku ingin kalian menjelaskan ini nanti di kantor.”
***
Ada dua hal yang masih terotak dalam kepala Andreas hingga saat ini.
Pertama, mengapa pria misterius itu membawa kabur jasad si pengendara bermotor?
Lalu, kedua—
“Ke mana perginya pria misterius tadi?”
Pertanyaan Revano barusan telah mewakili dugaan yang juga ingin Andreas utarakan.
“Aku juga heran,” jawabnya parau. “Bagaimana bisa pria misterius itu lolos dari pengawasan kita dalam sepersekian detik?” Seperti hantu saja, batinnya. Begitu Andreas memeriksa ke dalam mobil ambulans itu, kursi pengemudi ternyata sudah kosong melompong tanpa sopirnya. Padahal Andreas kira, mereka telah berhasil membekuk pria misterius itu.
Maka, begitu Komandan Sam memberi izin kepada mereka untuk menyisir daerah pelabuhan, Andreas langsung tancap gas tanpa berpikir dua kali. Banyaknya truk-truk raksasa yang melintas di sisi kiri, menandakan perjalanan mereka sudah semakin dekat dengan pelabuhan.
“Kira-kira, pria itu kabur naik apa?”
“Bisa jadi dia menumpang sebuah truk,” jawab Andreas cepat. Dia paling tidak suka diajak bicara saat sedang menyetir.
Revano melirik Andreas di sebelahnya. “Sebenarnya aku tidak yakin dia akan kabur ke pelabuhan. Pelabuhan adalah tempat yang cukup sibuk.”
“Lalu, apa kau ada ide lain? Kau tahu jalan tikus di daerah sini?!” sentak Andreas.
“Tentu saja, tidak.” Revano mengempaskan punggungnya ke sandaran jok.
Sadar kalau dirinya akan selalu kalah jika sudah berdebat dengan Andreas, Revano lebih memilih menyerah dan menutup mulutnya.
Revano melempar pandangan ke luar jendela. Sebenarnya apa yang dikatakan Andreas ada benarnya juga. Memang tidak ada jalan tikus di daerah Kilometer 13. Sisi kiri dan kanan bahu jalan ditumbuhi banyak sekali semak belukar yang menjulang tinggi. Cahaya rembulan sedang penuh saat ini. Revano menyipit. Dari celah-celah semak belukar itu, dia bisa melihat permukaan air tampak berkilauan hingga ke garis horizon.
Perairan itu merupakan waduk yang dulunya cukup bersih dan menjadi sumber air minum warga Kota Batam. Waduk tersebut merupakan salah satu waduk terbesar dari enam waduk lainnya yang ada di Pulau Batam. Saking luasnya, tak sedikit orang yang kerap menyebutnya danau. Karena ulah manusialah, waduk ini menjadi kotor, keruh, dan tidak lagi layak untuk dijadikan cadangan air baku. Sejak waduk itu ditinggalkan, banyak desas-desus mengatakan bahwa waduk tersebut kerap dijadikan tempat bagi para pembunuh sinting untuk membuang jasad para korbannya.
—Dan Mia, istri Andreas, kemungkinan adalah salah satunya. Dia ditemukan tewas di waduk ini lima tahun silam.
Daerah yang sedang mereka lalui itu pasti mengingatkan Andreas pada kematian istrinya. Tidak banyak petunjuk yang didapat anggota Satuan Reskrim pada saat itu. Para penyidik terkendala oleh pihak keluarga angkat Mia yang tidak ingin anaknya diautopsi. Hanya sejauh itu yang dia tahu. Revano tidak pernah mendengar cerita aslinya dari Andreas. Dia merasa sungkan untuk bertanya. Andreas mungkin tidak akan suka jika mereka membahas kematian Mia.
“Mau sampai kapan kau terus-terusan melihatku begitu?”
Revano tersentak. Andreas tampak kecut ekspresi wajahnya; tidak ada sinar kesedihan sedikit pun di sana.
Revano bertanya-bertanya mungkinkah Andreas sudah melupakan Mia. Ah, rasanya mustahil. Mengingat Andreas masih sering mengunjungi tempat favorit mereka—sebuah restoran mewah di Bentang Tower. Revano tidak tahu banyak soal Mia Ramdhan. Dia tidak pernah sekali pun bertemu dengan Mia. Dia hanya mendengar tentangnya dari rekan sejawat di Kesatuan Lalu Lintas.
“Aku hanya memikirkan soal pria misterius tadi.”
Andreas mendesah di balik kemudi. “Kalau kau tidak ingin kehilangan buruanmu, fokuslah ke depan.”
Terserah saja. Revano memutar bola mata jengah. Tanpa sadar, kepalanya ikut bergerak saat gapura 'selamat jalan' tertangkap olehnya. Mereka memasuki daerah Patimura. Waduk itu sudah tak terlihat lagi. Pelabuhan Telaga Punggur telah menanti mereka di depan mata.
Sesampainya di pelabuhan, mereka segera turun untuk memasuki gedung utama.
“Terlalu ramai.” Revano berkomentar saat melihat banyak sekali orang berlalu lalang.
“Banyak orang yang ingin menyeberang tampaknya,” sahut Andreas sembari mengedar pandang. Pelabuhan Telaga Punggur merupakan salah satu alternatif menuju Pulau Bintan. Tidak heran kalau tempat ini ramai dikunjung oleh wisatawan yang ingin menyeberang ke pulau itu.
“Cari orang yang memakai masker.” Andreas menginstruksi.
Mereka lantas bergerak terpisah. Memutari tempat itu hingga memeriksa ke dalam toilet. Andreas melihat banyak kapal ferry bersandar di terminal dan siap untuk diberangkatkan. Banyaknya orang membuat mereka sedikit sulit bergerak. Tetapi, situasi ini pasti dimanfaatkan oleh pria misterius itu untuk membaur, begitulah pikirnya.
Dari kejauhan Andreas melihat Revano menggeleng. Mereka bertemu kembali di titik awal.
“Sial! Bagaimana ini? Kita kehilangan jejaknya.” Sudah hampir satu jam mereka beputar-putar, namun tidak membuahkan hasil.
Mungkin sejak awal pria misterius itu memang tidak ke pelabuhan. Andreas masih sibuk berpikir, ketika tiba-tiba Revano menyenggol lengannya.
“Ndre! Ndre!”
“Apa?”
“Perempuan itu!” tunjuk Revano dengan wajah terperangah. Sedetik yang lalu, dia sempat beradu pandang dengan perempuan itu. Wajahnya memang tidak tampak familier bagi Revano. Akan tetapi, dia pernah melihat foto perempuan itu di suatu tempat, di atas meja kerja Andreas.
“Itu Mia!”
Andreas refleks menyorot arah pandang Revano. Namun, sosok perempuan itu telah menghilang di balik pintu utama, menyisakan rambut ekor kudanya yang berayun untuk Andreas pandangi.
“Aku yakin ...,” Revano menggumam.
Andreas yang tidak percaya langsung berlari mengejar sosok perempuan itu. Dia persis seperti orang gila yang kehilangan kewarasannya. Matanya awas meneliti wajah-wajah perempuan yang berseliweran. Menelusuri satu per satu mobil yang berbaris di pelataran parkir, bahkan nekat mengetuk kacanya. Dia juga memeriksa mobil penjemput wisatawan, keluar-masuk bus hanya untuk menemukan wanita itu.
“Haaaahhhh! Mia!” teriaknya lelah.
Revano berlari menghampirinya. Andreas tersengal-sengal. Bola matanya terus bergulir, mencari-cari sosok perempuan tadi.
“Sudahlah, Ndre. Mungkin, tadi itu, aku salah lihat,” kata Revano simpati; terdengar agak ragu.
Andreas langsung menyambar kerah seragam Revano. “Salah lihat, katamu?!”
Revano tertunduk, enggan berkata-kata.
Andreas tertawa kering melihat ekspresi Revano yang seolah sedang mengasihaninya. Orang-orang di sekitarnya mulai berkerumun, melihatnya dengan sorot mata yang sama.
Andreas buru-buru mengempaskan cengkeramannya. Perlahan kedua kakinya tersaruk mundur, kemudian dia berjalan pergi dari tempat itu.
“Ndre!” Revano berusaha mengejar dan memanggilnya berulang kali. Namun, Andreas tidak mempedulikannya. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah memacu mobil patroli secepat mungkin dan menjauh dari sana.
***
Gadis berambut sebahu itu terus berlari. Tungkai kakinya dengan tangkas melompati genangan air yang menghalangi jalur pelariannya. Sementara jauh di belakang punggungnya, Damian berupaya mengejarnya. Jalanan becek membuat jejak gadis itu sangat mudah diikuti. Suara langkah kaki juga kecipak air semakin menjelas di belakang, menandakan polisi itu sudah semakin dekat dengannya.
Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah gelisah dan bercucuran keringat. Dia sudah melewati banyak sekali gang sempit yang memisahkan gedung-gedung pencakar langit. Napasnya pun sudah berada di pangkal tenggorokan, tetapi dia tidak punya pilihan selain terus berlari.
Sembari memegangi saku almamaternya erat-erat, gadis itu terpontang-panting menyongsong mulut gang yang menampakkan gambaran mobil-mobil berlintasan di atas jalan raya. Dua buah tong sampah terguling akibat kecerobohannya. Bunyi kaleng-kaleng saling bergelimpangan itu, membuat Damian lantas tahu arah mana yang mesti diambilnya saat dia hadapkan pada dua gang secara bersamaan. Segera dimasukinya gang di sisi kiri dan disusurinya setiap jejak yang tertinggal di atas tanah. Sayangnya, Damian terlambat. Di kejauhan, dia melihat gadis itu menyetop sebuah taksi dan bergegas menaikinya.
Damian berhenti berlari ketika mendapati sebuah benda tergeletak di atas aspal. Dia berjongkok, meraih benda itu dalam tangannya dan mencermatinya baik-baik.
Dinar Ariska
Fakultas Ekonomi
Universitas Batam
Kartu Tanda Mahasiswa milik gadis itu sepertinya tak sengaja terjatuh. Damian menyeringai. Dia telah mengantongi identitas gadis berambut sebahu itu.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro