Bab 4 - Suryaputra
Aku merasakan perasaan manusiawi kedua saat aku melihat seorang wanita sedang berdiri di tepi sungai. Dia memegang sebuah keranjang. Seorang bayi tidur dalam keranjang itu, siap untuk dihanyutkan.
Dari pakaian dan perhiasannya yang mewah, aku menduga wanita itu berasal dari kaum bangsawan. Air mata mengalir di pelupuk mata wanita itu. Dia berkali-kali menghapus air mata. Namun, ketidak berdayaan membuat wanita itu meletakkan keranjang itu ke atas air, memasrahkan nasib sang bayi pada aliran sungai.
Secercah cahaya kecil melintas di sebelahku. Aku menyusul cahaya itu, cahaya yang kini mengikuti perjalanan si bayi kecil. Cahaya itu baru berhenti saat keranjang itu tersangkut pada tepi sungai di wilayah Champanagari. Efek tumbukan membuat bayi itu tersentak lalu menangis keras-keras. Lama sekali dia menangis, tanpa ada yang menghiraukan. Hingga kemudian, seorang wanita desa sederhana datang ke tepi sungai. Terkejut oleh suara tangisan bayi, Sang Wanita Desa meletakkan keranjang cuciannya, lalu menghampiri keranjang berisi bayi itu.
Aku masih bertanya-tanya, mengapa ada seorang ibu yang tega membuang bayinya ke sungai. Beberapa saat aku termenung di atas sungai. Memandang kepergian bayi yang kini dipungut seorang wanita desa.
"Semoga hidupnya berbahagia."
Suara itu menyadarkanku kalau aku tidak sendirian. Cahaya yang mendampingi bayi tadi kini mewujud di sebelahku. Sama sepertiku, Dewa Surya memandang kepergian Sang Wanita Desa. Dewa Surya mengertakkan gigi. Berusaha menahan kekuatan sinar dan panasnya hingga tak menyakitiku.
"Kau yang dikatakan Gangga sebagai Putri Saraswati?"
Mendengar ucapan itu, aku segera memberi salam dengan menyentuh kaki Dewa Surya. Aku segera mengeluarkan alat-alat tulisku untuk menuliskan kalimat:
Anda turun untuk menolong anak itu?
Dewa Surya berkali-kali menghela napas. Kilat luka terlihat di matanya. Dia masih memandang tempat terakhir di mana wanita desa itu terlihat.
"Bayi itu... adalah putraku." Dia berkata dengan nada sedih. Dewa Surya kemudian menceritakan pertemuannya dengan Kunti, wanita yang memiliki anugerah mantra pemanggil Dewa. Dengan mantra itu, Kunti dapat memperoleh anugerah dewa, dengan kata lain... dia bisa mendapatkan seorang putra dewa.
"Kunti adalah putri dari kerajaan Kuntiboja. Kewajibannya menjaga kehormatan kerajaan membuatnya tak mungkin melahirkan anak saat masih belum menikah."
Wajah Dewa Surya yang terlihat murung, tanpa kusadari memengaruhiku sedemikian rupa. Kemarahan yang sebelumnya pernah kurasakan kepada Satyawati kini muncul kembali. Kemarahan hilang, perasaan lain timbul menyesakkan. Rupanya, inilah kesedihan.
"Aku membantu mengeluarkan anaknya lewat telinga. Karena itu, putraku kunamakan Karna. Putraku akan menjadi pahlawan yang tangguh."
Kalau begitu, mengapa Anda bersedih? tanyaku.
Dewa Surya memejamkan mata. Dia memandangku sejenak, dan kali ini pertanyaannya membuatku merenung.
"Sungguh sulit tidak melibatkan perasaan untuk sebuah perang sekejam ini," dia berkata, "Aku bertaruh, kau tidak akan sanggup melakukannya."
Mulutku membuka, tapi peringatan Gangga kembali terngiang. Dewa Surya yang mengetahui hal itu, tertawa lalu berkata dengan nada lebih gembira.
"Apa yang kau tahu tentang masa depan?"
Aku menggaruk kepala, bingung dengan apa yang dia katakan. Saat itu, Dewa Surya memandangku sejenak, lalu mengangkat tangannya ke kepalaku, memberikan sebuah berkat.
"Diberkatilah kau, Nak. Kapan pun kau memanggilku, aku akan datang," Dewa Surya tersenyum kepadaku, "Kau adalah putri Saraswati. Kau pasti menyukai kisah-kisah yang menarik. Jadilah teman dari putraku. Aku percaya, kau akan mendapatkan apa yang kau cari."
***
Aku sempat meragukan perkataan Dewa Surya. Namun diam-diam, aku memang mengawasi Karna dari kejauhan. Mulanya, aku hanya menjaganya tanpa memerlihatkan wujud. Kulihat Karna tumbuh. Dari bayi kecil, dia menjadi anak laki-laki bandel yang sering membantah. Ketidak tahuan akan asal usulnya membuat Karna berlaku seperti anak-anak lainnya. Namun sayang, darah kesatria dalam dirinya membuat Karna tak mampu menghindari takdir.
Meski Karna hanya putra seorang kusir, kemampuannya memanah setara dengan para prajurit yang telah berlatih bertahun-tahun. Busur pertamanya berhasil dia buat saat dirinya baru melewati usia balita. Di usia sepuluh tahun, dia telah berhasil menggerakkan aliran sungai lewat anak panahnya. Aku tidak tahu emosi apa yang membuatku senang tiap kali aku memerhatikannya. Namun, ada satu hari di mana aku benar-benar penasaran.
Aku menampakkan diri sebagai seorang anak perempuan sebaya. Aku berjalan mengendap-endap, menghampiri Karna yang sedang berlatih panah.
Karna kecil meniup busurnya, lalu mengambil anak panah, dan mulai mengukur. Satu tarikan pada tali busurnya menerbangkan anak panah menuju sebuah pohon.
Saat itu, aku berdiri dekat sekali dengan pohon itu. Mengetahui kehadiranku, anak panah Karna segera berbelok. Karna tampak terkejut. Dia memejamkan mata, mencegah anak panah itu mengenaiku. Dan benar saja... anak panah itu bergeser sedikit sebelum menancap satu senti di bawah telingaku.
"Aih, maafkan aku..." gerutu Karna. Konsentrasinya membuat Kawach—baju besi pemberian Dewa Surya muncul. Dia terpaksa mengerahkan kekuatan untuk mengembalikan baju itu ke dalam lapisan kulitnya.
Karna menghela napas. Wajahnya terlihat cemberut ketika dia mencabut anak panah. Dengan riang, aku menghampiri Karna. Bahkan dari usia sekecil itu, dia sudah sangat gagah menampakkan sosok kesatria. Pusaka Kundal di telinga kirinya semakin menambahkan pesona sebagai seorang laki-laki belia.
Aku mengeluarkan alat-alat tulisku, lalu segera menulis, Kau hebat sekali.
Karna menjawabnya dengan sebuah seringaian, lalu dia kembali cemberut. Ah, aku lupa dia mungkin tidak bisa membaca.
"Kau bermaksud mengejekku?" dia mengomel, "'Hei! Ini Radheya, Si Tukang Mimpi itu!', 'Ini Radheya, Sutaputra—Si Anak Kusir yang berkhayal bisa melampaui batas sebagai Wangsa Sudra!' Katakanlah! Ejek saja! Aku sudah biasa mendengar semua itu!"
Aku terdiam mendengar ucapan Karna. Aku tahu, teman-temannya kerap mengejeknya bermimpi terlalu tinggi. Ayahnya sering memukulnya dengan balok kayu, memarahinya habis-habisan jika dia diketahui tengah belajar memanah.
Aku mengernyit bingung, tapi, aku segera menaruh tangan di leher dan mulut, lalu menggeleng-geleng sebagai isyarat aku ini bisu, tidak bisa bicara. Karna tampak terkejut. Dia menggeleng jengkel dan memandangku dengan sorot sesal.
"Maafkan aku."
Karna membaringkan dirinya di rumput. Sinar senja bermain-main di wajahnya saat itu, terlihat begitu indah. Apakah ini karena dia putra sang penguasa sinar? Aku tak tahu. Yang jelas, aku merasa gembira saat itu. Saat duduk di dekat Karna, memerhatikan setiap hal yang dia lakukan.
"Kelihatannya, kita sama-sama berdosa," Karna mendesah, "Kau juga dijauhi? Karena tunawicara?"
Karna tidak memintaku menjawab. Aku merasakan kesedihan Karna. Bertumpuk-tumpuk hingga buncah. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi, tak tahu apa kata yang tepat untuk menghibur sobat kecil ini.
"Mulai besok, aku akan pergi dari rumah," katanya muram, "Aku akan mencari Resi Drona untuk berguru.
Tapi Resi Drona telah bersumpah hanya akan mengajarkan ilmunya kepada pangeran dinasti Kuru, aku menahan ucapan itu dalam pikiranku. Gangga pernah menceritakan tentang putra-putra Pandu dan putra-putra Drestarasta yang kini tengah bersaing untuk memperebutkan takhta. Mereka-mereka ini punya harta dan kekuasaan. Namun, tetap saja, itu tetap kurang.
"Mati di tengah peperangan adalah kehormatan bagi seorang kesatria," pernyataan Karna saat itu terdengar tegas, "Aku ingin menjadi seorang kesatria. Aku ingin menunjukkan orang dinilai dari kemampuan, bukan wangsa atau kedudukan."
Saat itu, sesuatu menyambar di dalam kepalaku. Kekuatan Saraswati dalam diriku memerlihatkan sebuah ramalan akan masa depan.
Aku melihat seorang Begawan (Begawan yang dimaksud adalah Begawan Parasurama) membaringkan kepala di pangkuan Karna. Matanya tertutup, tertidur amat lelap. Karna juga memejamkan mata. Namun, dia terjaga, berusaha menjaga ketenangan tidur Begawan itu.
Lalu, datang seekor kalajengking dengan capit-capit dan ekor bercahaya mendekati mereka. Aku tidak sempat memerhatikan keanehan kalajengking itu, atau bagaimana Karna berusaha menahan sengatan si kalajengking. Kilasan berikutnya terlalu menyakitkan untuk diingat. Dalam visiku, Begawan itu menjatuhkan kutukan agar semua ajaran-ajarannya tidak akan berguna bagi Karna di saat-saat paling kritis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro