[8] Wajah Baru
Aku membulatkan kedua bola mataku, kemudian terkekeh mengerti. "Jadi, bener kan dugaan gue? Lo sukanya sama Ega kan?"
Ana tertawa kecil. "Hmm, sebenernya gue mau cerita ini dari kemarin ke lo tapi baru sempet diceritain sekarang. Bukan Le. Bukan Ega yang gue suka. Anu ... gue suka sama ... Arno. Gue emang udah deket lama sama dia, sering chat gitu. Terus pas pentas seni kemarin ... kita jadian. Ah lo masa gak bisa nebak sih Le? Padahal kan gue suka bola juga karena Arno."
Aku hanya bisa menganga, merasa tak percaya dengan semuanya. Sedangkan Ana, kulihat sudah tersenyum malu sambil menunduk.
--
[8] Wajah Baru
Beberapa bulan kemudian.
PAGI hari yang berbeda dari biasanya. Hari pertama tahun ajaran baru dimulai. Wajah-wajah baru yang terlihat berkeliaran di SMA Nusantara menampakan raut cerianya. Wajah lama juga tak kalah ceria dari mereka, menikmati momen bertemu kembali dengan teman-teman setelah sekian lama liburan.
"Ih, lo jangan ngikut-ngikut gue mulu deh. Masih pagi tau nggak?!" Gadis dengan rambut sebahu itu mengerucutkan bibirnya kesal.
Seorang laki-laki yang sejak tadi berjalan mengiringi langkah gadis itu hanya bisa terkekeh. "Kok gitu? Gue kan kangen. Liburan bikin gue nggak bisa ketemu elo di sekolah, tauuu." Laki-laki tersebut terdengar cukup manja.
Nabilah—gadis dengan rambut sebahu itu—melangkah semakin cepat menelusuri koridor. Saat dia berjalan di sisi kanan, laki-laki tadi mengikutinya ke sisi kanan. Saat dia berjalan ke sisi kiri, laki-laki itu kembali mengikutinya ke sisi kiri. Terus saja begitu. Hingga Nabilah merasa sebal sendiri.
"Ega!" teriak Nabilah saat sudah tak bisa lagi menahan kesalnya. "Bisa nggak sih nggak ngekor-ngekor gue kayak anak bebek?"
"Nggak bisa." Ega menjawab enteng dengan wajah polosnya.
"Ih! Ega nyebelin! Betein! Rese! Gue bilangin nih sama Sista Ana!" Nabilah berteriak kesal sambil mengepal kedua tangannya sendiri.
Tak begitu jauh dari sana, di dekat mading sekolah, Ana dan Lea sedang tertawa bersama melihat adegan mereka. Ada hal yang menarik tersendiri bagi Ana, maupun Lea, melihat kebiasaan kejar-kejaran antara Nabilah dan Ega itu.
"Sepupu gue masih aja ngejar-ngejar adik lo An?" tanya Lea di sela tawanya.
Ana mengangguk. "Masih banget Le. Apalagi pas liburan kemarin. Itu anak hampir tiap hari tuh dateng ke rumah bawa martabak."
Lea menggeleng-geleng tak percaya. "Gue sampe sekarang masih nggak percaya loh kalo sejak pertama Ega dateng ke rumah lo itu karena ngincer adik lo."
Ana berdecak kesal. "Dih, Ega kan anaknya modus abis. Dateng ke rumah gue, baik-baikin gue, sok banget bilang mau ketemu gue, eh ujung-ujungnya minta dikenalin sama si Nabs."
Lea tertawa sedikit keras. "Sepupu gue emang ajaib. Sumpah, gue nggak nyangka! Gue aja ngira dia sukanya sama lo."
"Mana ada dia suka sama gue, Le! Gue sama dia mah berantem mulu." Ana membantah.
"Tapi, adik lo itu sebenernya suka nggak sih sama sepupu gue?" tanya Lea.
"Nah itu dia. Gue tau banget nih. Nabs itu sebenernya suka sama Ega. Masa dia diem-diem suka senyam-senyum sendiri gitu tiap chat sama Ega? Cuman ya gitu deh. Adik gue mah malu-malu bebek. Eh atau malu-malu rusa apa ya."
Mendengar itu, Lea hanya meneruskan tawanya.
"Oh iya, sayang banget ya Le kita nggak sekelas lagi nih kelas tiga sekarang." Ana menyandarkan punggungnya pada mading, kemudian menekuk bibirnya sendiri.
Seketika Lea terlihat sedih. "Iya, bete yah. Pake acara diacak segala deh kelasnya."
Ana mengangguk. Beberapa detik kemudian dia tersenyum dengan kekehannya. "Eh, tapi lo sekarang sekelas tuh sama Gian. Cieee."
Lea melirik pengumuman pembagian kelas yang ada di mading, kemudian menghela napas berat. "Iya nih. Duh." Lea menampakkan wajah sedihnya.
Diam-diam, Ana masih merasa tak enak pada Lea perihal Gian. Beberapa bulan terakhir ini hubungan Ana dan Lea memang tetap tidak berubah. Hanya saja, Lea masih terlihat canggung saat topik Gian disebut di antara mereka, meskipun Ana sering berusaha menyelingi obrolan dengan canda.
"Eh tapi lo seneng dong ya sekarang sekelas sama si pacar?" Lea mengalihkan topik pembicaraan.
Ana yang terpancing kini mulai tersenyum berbunga-bunga. "Iya nih, senengnya. Gue bakal sekelas sama Arno setahun ke depan."
.
.
--
Lea menduga, dunia ini mulai terasa ketidak adilannya. Saat dia mati-matian berusaha move on dari Gian, mereka malah harus masuk di kelas yang sama untuk satu tahun ke depan. Lalu, di saat dia berniat duduk sejauh-jauhnya dari tempat Gian duduk, pak Subaya--wali kelas mereka--malah mengatur tempat duduknya. Kemudian dengan ajaibnya Lea ditempatkan di satu meja yang sama dengan Gian.
"Gimana gue bisa move on dari dia coba?" tanya Lea kepada dirinya sendiri.
"Lo ngomong apa Le?" tanya Gian di samping Lea.
Lea langsung salah tingkah takut Gian mendengar ucapannya. "Ah. Ng. A-anu. Ah, nggak kok. Nggak ada."
Meski dahi Gian mengerut karena heran, dia tetap berusaha tersenyum. "Dasar Lea. Nggak usah kayak yang gugup gitu deh duduk sebangku sama gue." Gian terkekeh.
Lea hanya mengerucutkan bibirnya sebal.
Beberapa menit berlalu dengan suasana awkward. Gian hanya mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, lalu Lea hanya memilin-milin ujung roknya tanpa alasan. Keduanya terus saling diam seperti sibuk dengan pikirannya masing-masing. Atau bisa jadi keduanya sama-sama menunggu lawan bicaranya memulai percakapan.
"Hmm." Lea memecah hening di antara keduanya dengan ragu. "Anu Gi ...," ujar Lea hati-hati. "Lo pasti udah tau kan ya kalau Ana jadian sama Arno?"
Gian menghentikan ketukan jarinya tiba-tiba, lalu diam untuk beberapa detik. "Hmm, iya. Gue udah tau kok begitu malemnya mereka jadian."
Deg
Ada degup tersendiri untuk Lea mendengar jawaban Gian. Lea merasa hatinya sakit. Di saat ada dia yang benar-benar menyukai Gian, Gian malah harus patah hati karena melihat orang yang dia sayang bersama temannya sendiri. Rasanya nyeri. Bukan hanya karena bertepuk sebelah tangan, tapi juga karena melihat orang yang disayang patah hati oleh orang lain.
Gian tersenyum saat menyadari suasana tak enak pada raut Lea. "Tenang aja, Le. Gue udah move on kok. Gue percaya lah kalau Ana bisa bahagia sama Arno. Arno orangnya baik."
Lea tampak mengangguk dengan ragu. "Tapi lo harus tetep semangat ya Gi. Gue yakin deh, cowok pinter dan bertalenta kayak lo pasti banyak aja yang suka. Gue yakin di luar sana cewek-cewek banyak yang mau sama lo."
Mendengar itu Gian hanya diam mengangguk. "Tapi gue udah ada cewek lain kok yang sering gue perhatiin." Gian terdengar serius. "Entah sejak kapan rasanya gue jadi sering merhatiin dia gitu."
Lea menoleh tak percaya. Baru saja dirinya merasa lega karena Gian kini tak lagi menunggu Ana, namun sekarang Lea harus berlapang dada lagi karena ternyata kenyataannya Gian telah berpaling pada orang yang berbeda.
Lea membenarkan posisi duduknya lebih tegak. "Siapa Gi? Gue tau anaknya gak?" tanya Lea pelan memberanikan diri. Padahal, hatinya sudah berdetak tak karuan dan masih ragu untuk mengetahui satu nama yang baru itu.
Gian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Elo. Gue jadi merhatiin elo." Gian nampak serius.
Lea menoleh dengan rasa tak percaya. Matanya membulat, pikirannya berusaha mencerna perkataan Gian. Bahkan, jantung Lea sudah berdetak lebih cepat dari biasanya.
Tiba-tiba Gian tertawa terbahak-bahak, membuat Lea diam beberapa detik untuk menangkap kejahilan Gian. Kemudian saat menyadarinya, Lea mendengus kesal. "Sial, lo ngerjain gue. Bales dendam banget lah."
Mendengar itu, Gian semakin tertawa.
.
.
--
Sekolah berakhir bahkan sebelum bel berbunyi. Itu wajar, mengingat ini hari pertama sekolah setelah liburan. Riuh sudah terasa di dalam kelas XII IPA 4—yang ditempati oleh Gian dan Lea itu. Beberapa siswa maupun siswi banyak yang sudah berhamburan ke luar, lekas pergi menuju tujuannya masing-masing.
Gian berdiri setelah selesai mengemas seluruh barangnya, bersiap memikul tas ransel di bahunya.
"Nanti sore jam tiga yah," ujar Gian tiba-tiba kemudian berjalan mengitari meja, berniat berlalu meninggalkan Lea yang masih duduk.
Sreeet
Lea menarik resleting tas ranselnya. "Jam tiga? Ada apa ya jam tiga?" tanya Lea bingung.
Gian berhenti kemudian menoleh. "Gue jemput jam tiga."
Lea mengumpulkan ingatannya. Beberapa kali dia meyakinkan dirinya bahwa dia memang tidak lupa. Tidak ada janji apapun jam tiga sore nanti. "Jemput mau ngapain ya Gi? Emang kita pernah bikin janji? Kok gue bingung gini."
Gian menghela napas pelan. "Gue mau ngajak lo jalan. Tapi gue masih bingung sih sebenernya mau ngajak ke mana. Yah, mentok-mentok ke Cafe Aroma." Gian mengangkat bahunya.
Lea menautkan dahinya semakin tidak mengerti. "Dalam rangka apa ya, Gi?"
"Hmm," Gian diam untuk beberapa detik. "Dalam rangka gue ngajak jalan cewek yang lagi gue perhatiin."
Lea berusaha mencerna kalimat Gian. Butuh waktu yang cukup lama untuk Lea akhirnya mendapati Gian yang kini sedang salah tingkah. Gian kemudian tersenyum sipu. Menggaruk bagian belakang kepalanya malu-malu. Persis sekali dengan tersipunya Gian yang pernah Lea lihat untuk Ana tempo lalu.
Lea menyadari satu hal, senyuman yang dulu untuk orang lain, kini mencuat dari raut Gian untuk dirinya.
"Mau nggak?" tanya Gian salah tingkah.
Lea mengangguk dengan tersipu, serta detak jantung yang tak karuan. Kini, keduanya saling tersenyum.
END
---------------
Anny's note: Cerita ini selesai ditulis dalam waktu delapan hari :') Gimana? Seru nggak?
Makasih udah baca LeAna sampe sejauh ini. See you~
September 2015,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro