Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[7] Teman(?)

Diam-diam, aku berjalan ke arah yang berlawanan. Cepat-cepat aku melangkah agar tidak ada yang melihatku. Aku berjalan terus, terus, dan terus. Tanpa arah dan tujuan, entah ingin kemana. Aku hanya ingin cepat menjauh dari mereka. Tak sanggup memperlihatkan wajahku yang kacau menahan tangisan keluar.

Hingga akhirnya, aku merasakan ada tetesan dari atas sana. Hujan. Rintik gerimis yang mengundang sendu. Aku, tanpa naungan pelindung diri dari hujan itu hanya bisa terus berjalan dengan baju yang mulai kebasahan. Hingga akhirnya aku teringat satu hal.

"Yah, cokelat yang udah susah-susah gue bikin akhirnya nggak bisa Gian makan."

--

[7] Teman(?)

LEA

AKU menghirup napas seraya menengadahkan wajahku ke langit. Silau, alasan yang cukup untuk aku kemudian menutup mata dan kembali menunduk. Pagi-pagi begini matahari sudah giat menyapaku di langit sana. Cerah. Berbeda dengan perasaan hatiku saat ini.

Aku tahu, mataku sayu. Bukan karena tidak bisa berhenti menangis, tapi karena aku semalaman tidak bisa tidur. Iya, iya. Aku bohong kalau bilang tidak menangis sama sekali. Tapi dibandingkan dengan bersedih, aku lebih sulit untuk tidur karena terus berpikir. Pikiranku merayap ke sana ke mari.

Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk aku diam-diam tertarik dengan seorang laki-laki 'kan? Bodohnya aku, aku yang selalu memperhatikannya justru tidak tahu apapun. Aku tidak pernah tahu kalau dia menyukai temanku, orang yang justru selalu bersamaku.

Hhh. Bahkan, untuk mengingatnya saja hatiku sudah sakit.

"Lea!" seru seseorang membuyarkan pikiranku. Aku pun menoleh.

Deg

Aku hanya bisa diam terpaku dengan apa yang aku lihat. Ana sedang berlari kecil ke arahku sambil tersenyum. Satu hal yang aku tahu, Ana tidak salah. Ana tidak pernah salah. Tapi, kenapa untuk menyambutnya dengan hangat pun rasanya sulit?

"Tumben lo baru dateng jam segini, Le? Biasanya kan lebih pagian lagi." Ana menyenggol lenganku dengan lengannya.

Aku masih saja diam seraya berjalan dengannya yang mengikuti langkahku menuju kelas.

"Oh iya!" Ana menepuk dahinya sendiri seperti mengingat sesuatu. "Lea! Lo kemana pas pentas seni? Katanya mau ketemuan?! Kok lo malah nggak ada sih? Segala telpon sama chat gue aja nggak lo respon!" Ana menggerutu.

Aku tak memberikan jawaban apapun. Bingung. Rasanya semua hal yang seharusnya bisa aku jawab dengan mudah, tiba-tiba menjadi sulit untuk keluar. Aku hanya bisa duduk di bangkuku kemudian pura-pura sibuk menyiapkan buku.

"Lea jawab ih pertanyaan gueee," rengek Ana.

"Selamat pagi, anak-anak." Suara pak Subaya terdengar dari arah pintu. Aku bahkan tak menyadari kalau bel tanda masuk sepertinya sudah berbunyi.

Ana mendengus kesal dengan kedatangan guru matematika itu. Berbanding terbalik denganku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa senang dengan kehadiran pak Subaya saat aku sedang mengobrol dengan Ana.

.

.

--

Beruntung sekali hari ini ada praktek biologi setelah pelajaran matematika. Kebetulan aku berbeda kelompok dengan Ana sehingga bisa dengan mudah menghindarinya. Begitu lah pikirku. Tapi ada satu hal yang aku lupa.

Praktek biologi sama dengan kami harus berjalan menuju laboratorium. Berjalan menuju laboratorium sama dengan harus melewati lapangan basket. Dan setiap hari senin, satu hari dalam satu minggu, momen ini lah yang biasa aku tunggu. Aku melihat Gian sedang mengikuti pelajaran olahraga di sana. Biasa aku tunggu, tapi tidak berlaku untuk hari ini.

"Ana," panggil Gian yang sedari tadi aku lihat sedang pemanasan sendirian. "Mau praktikum ya?" tanyanya dengan senyum.

Ana yang berjalan sedikit lebih jauh di depanku menghampiri Gian. Lalu sekarang, di antara kerumunan teman-teman yang sedang berjalan denganku ini, aku melihat mereka mengobrol di tepi lapangan.

Seketika wajahku berpaling. Mereka tidak salah. Ana, bahkan Gian sekali pun tidak salah. Tapi jika aku harus membayangkan mereka berdua lebih dekat lagi ke depannya, aku takut tak akan sanggup. Iya, aku tak mau berbohong kalau hatiku berat menerima itu.

.

.

--

Ini sudah kali kelima aku menghindari Ana. Segala macam alasan untuk menjauh darinya sudah aku keluarkan. Pura-pura ke ruangan guru, pura-pura ada urusan dengan anak-anak olimpiade, bahkan pura-pura ke toliet seperti sekarang pun sudah aku lakukan. Aku tidak ada bayangan harus berbohong macam apalagi ke depannya.

Aku menduga, Ana sudah mulai curiga. Berkali-kali dia mengajakku berbicara namun sering kuhindar. Kalau logikaku berjalan dengan baik, aku juga tahu, seharusnya aku tidak menghindar. Tapi, apa yang harus aku lakukan kalau hatiku dan egoku sendiri rasanya sulit untuk tidak melakukan itu?

Aku menghindar karena aku tak mau diri sendiri terluka. Aku sayang Gian. Aku sayang Ana. Bagaimana caranya aku bisa ikhlas dan menerima keduanya? Aku mau mengalah, aku mau merelakan. Tapi sekali lagi, terkadang logika dan keinginan memang tak sejalan dengan hati dan egoku sendiri.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu dibalik bilik membuyarkan pikiranku. "Maaf, ada orang." Aku berteriak. Bertahan diam di toilet duduk ini bahkan kulakukan hanya demi menghindari Ana.

"Ini gue, Le." Suara itu pelan, bahkan sangat pelan. Namun bukan berarti aku tidak bisa tahu kalau itu merupakan suara Ana.

"Lo ... kenapa sih Le?" tanyanya di balik sana.

Aku hanya bisa diam, dengan jantungku yang kini sudah mulai tak karuan.

"Gue tau lo ngehindarin gue. Kenapa sebenernya? Apa gue ada salah sama lo?" Suara Ana terdengar lemah. Sedangkan aku, sudah menahan bulir mata agar tidak keluar.

"Kalo lo mau terus ngehindarin gue, ya udah gak pa-pa. Gak pernah ada yang maksa kita buat deket. Jangan karena embel-embel 'teman', kita bertahan padahal ada yang diem-diem nggak nyaman. Jangan karena embel-embel 'sahabat', kita maksain buat bareng padahal hati ada yang ngeganjel."

Air mata yang aku bendung tadi sudah keluar. Seketika kilasan-kilasan memori tentang kedekatan aku dan Ana selama ini muncul dalam ingatan. Apa jadinya kalau aku nanti tak bisa tersenyum riang lagi bersama Ana?

"Tapi ...," Ana melanjutkan bicaranya. "Bukannya kalau diomongin itu akan jauh lebih baik dari pada dipendem? Kalau benci, bilang benci. Kalau gue salah, bilang salah apa. Bukannya menjauh."

Hening. Aku masih belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa mengusap air mataku dengan punggung tangan. Sedangkan Ana tiba-tiba diam untuk beberapa menit.

"Le," panggil Ana lagi. "Gue bukan Tuhan yang selalu tahu salahnya gue apa sama temen gue. Gue sadar, gue nggak selalu bisa ngertiin lo. Gue nggak selalu tahu lo lagi kenapa dan mau lo apa. Tapi lo tahu nggak kenapa gue sedih sekarang?"

Aku berusaha mencerna apa yang diucapkan Ana. Ana ... sedih?

"Gue sedih karena ternyata temen gue sendiri nggak mau nyalahin gue saat gue salah. Gue sedih karena temen gue sendiri nggak mau ngasih tahu dan benerin gue, seharusnya gue itu seperti apa. Dibanding susah-susah pengen gue jadi bener, temen gue malah pergi saat gue salah. Ngejauhin gue sendirian dengan kesalahan yang bahkan nggak gue sadari."

Air mataku sudah sangat jatuh. Aku menutup mulutku sendiri demi menjaga suara isakanku agar tidak keluar. Bagaimana bisa aku tidak berpikir sejauh itu? Bagaimana bisa aku hanya memikirkan diriku sendiri?

"Le," panggil Ana lagi. "Gue cuman mau bilang itu. Gue pergi yah. Lo baik-baik jangan diem di toilet mulu. Bau."

Tanpa berpikir lagi, aku membuka pintu kamar mandi tempatku berada. Aku mendapati Ana yang matanya sudah basah. Kami saling diam beberapa detik, hingga kemudian dia tersenyum padaku. "Akhirnya lo mau keluar," ujarnya lemah.

Aku terisak dengan tanganku sibuk mengelap air mata. "Lo nggak usah sok so sweet gitu deh, An." Aku tersenyum.

Ana tertawa kecil. "Lo mau cerita?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk pelan.

.

.

--

Semilir angin aku rasakan menerbangkan pelan rambutku, membuat wajahku sedikit tertutup helaian rambut itu. Hatiku kini setenang angin, dengan beban yang rasanya sudah terangkat sebagian. Aku tadi menceritakannya pada Ana. Aku bilang, aku suka Gian. Sedangkan Gian malam itu bilang padaku tentang siapa yang dia suka.

"Ya ampun Lea. Kenapa sih lo pake acara ngehidarin gue segala? Lo harusnya bilang sejak awal." Ana menghela napas pasrah.

Aku berusaha tersenyum. "Nggak tau kenapa, An. Rasanya hati gue sakit aja."

Ana yang duduk di sampingku di bawah pohon rindang ini menyandarkan punggungnya ke batang pohon. "Gue nggak tau kalo lo suka sama Gian. Kalau gue tau, gue bakalan ngehargain perasaan lo lah. Selaper-lapernya gue, gue gak akan makan temen sendiri. Lagian ... gue sukanya sama orang lain, Le." Ana tersenyum sipu.

Aku membulatkan kedua bola mataku, kemudian terkekeh mengerti. "Jadi, bener kan dugaan gue? Lo sukanya sama Ega kan?"

Ana tertawa kecil. "Hmm, sebenrnya gue mau cerita ini dari kemarin ke lo tapi baru sempet diceritain sekarang. Bukan Le. Bukan Ega yang gue suka. Anu ... gue suka sama ... Arno. Gue emang udah deket lama sama dia, sering chat gitu. Terus pas pentas seni kemarin ... kita jadian. Ah lo masa gak bisa nebak sih Le? Padahal kan gue suka bola juga karena Arno."

Aku hanya bisa menganga, merasa tak percaya dengan semuanya. Sedangkan Ana, kulihat sudah tersenyum malu sambil menunduk.

---------------

Anny's note: Kemarin aku (sok)sibuk, jadi baru sempet publish hari ini :') Eh, satu part lagi tamat masa XD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro