Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[6] Pentas Seni

Gian tertawa kecil melihat semangat Ana. "Lo lucu ya, semangat banget orangnya," ujar Gian di sela tawanya.

Ana terlihat malu dipuji seperti itu. Ia memeletkan lidahnya sambil menampilkan senyum manisnya, diikuti oleh Gian yang juga ikut tersenyum.

"Ah, gue harus turun di depan," ujar Ana begitu menyadari jalan sekitar yang familiar.

Gian mengangguk. "Oke, hati-hati An."

Ana melangkah menuju pintu depan setelah melayangkan tangan berpamitan, kemudian memasangkan kembali earphone pada telinganya.

   

--

[6] Pentas Seni

   

LEA

SETELAH mencari berhari-hari di setiap laman internet tentang cara membuat kue cokelat enak, akhirnya hari ini aku merasakan kepuasannya. Aku senang karena telah menemukan resep kue yang bagus. Meski tata cara pembuatannya agak rumit dan aku gagal di awal-awal, tapi ternyata kali ini aku bisa berhasil juga.

Senyumku tersungging setelah mulutku selesai melumat habis cokelat di telunjuk tangan. "Enaaak," ujarku seraya tersenyum bahagia. Aku senang, meski wajah dan lenganku cemong dengan bahan-bahan kue.

Tapi tunggu dulu, ini belum selesai. Tahap yang paling penting menjadi kesan pertama itu yaitu kemasan. Aku tak berhenti tersenyum saat tanganku memindahkan kue-kue dari piring ke toples satu-persatu. Apalagi saat aku menyematkan pita kecil berwarna merah marun ke bagian atas toples itu.

Merah marun. Iya, warna kesukaan dia itu merah marun. Itu lah yang tak pernah hilang dari pikiranku. Sesederhana mengingat hal kecil yang dia suka, sesederhana itu lah dia selalu berhasil membuatku mencetak senyum pada raut muka.

"Tuhan, semoga dia suka ya sama hadiah yang udah susah-susah gue bikin ini." Aku berdoa tentang dia kepada Tuhan, seperti biasa.

Ah iya, aku harus menghubungi Ana. Teringat itu, aku langsung meraih ponselku yang ada di meja.

"Halo, Le. Kenapaaa?" Aku mendengar suara Ana di sebrang setelah panggilanku tersambung.

"An, lo jadi kan hari ini dateng ke pentas seni?" tanyaku memastikan.

"Jadi dooong!" Ana terdengar antusias. "Open gate acaranya jam tiga sore ini kan? Gue udah milih-milih baju nih yang bakal cocok buat nanti. Kayaknya gue mau pake baju yang agak anget deh. Soalnya takut kerasa dingin nanti malem. Tau sendiri kan sekarang udah mulai sering ujan."

Aku tertawa kecil mendengarkan celotehan Ana yang panjang itu. "Iya, iya. Terserah lo deh An. Nggak usah kayak minta izin gitu deh."

Terdengar kekehan Ana dari sebrang sana. "Nanti gue mau ketemu temen gue dulu ya, Le. Temen gue, Rara, mau dateng juga ke pensi sekolah kita. Nanti gue ketemu bentaran doang sih cuman buat say hi gitu. Lagian dia juga sama temennya lagi kayaknya."

Aku tertawa lagi. "Lo cerewet banget deh hari ini. Keliatan banget lagi antusiasnya. Segitu senengnya ya lo malem ini?"

"Ah, iya banget, Le! Gue seneng banget." Ana tertawa di sela ceritanya. "Lo selaluuu aja tau gerak-gerik gue."

"Oke deh An. Sampe ketemu nanti ya. Gue juga mau cerita sesuatu nih ke lo. Sekalian minta anter ngelakuin sesuatu," ujarku tersenyum lembut dengan mata diam-diam melirik ke toples kue cokelat tadi.

"Hah? Sesuatu-sesuatu apaan sih? Lo udah kayak Syahrini aja deh mainnya sesuatu-sesuatu gitu. Nggak sekalian sesu-anu aja?" Ana terkekeh.

Aku tertawa ringan. "Ah udah ah, pulsa gue abis ntar. Dah Aaan," ujarku berpamitan. "See you."

"Oke, Le. See youuu."

.

.

--

Pentas seni SMA Nusantara memang selalu menjadi momen yang spesial bagi setiap siswa-siswinya. Bukan hanya karena diadakan setiap tiga tahun sekali, namun lebih karena acaranya yang biasa megah dan meriah. Harga tiket masuk untuk orang luar bahkan bisa terbilang mahal.

Sejujurnya, aku pribadi tidak terlalu antusias dengan pentas seni. Bukan karena aku benci keramaian, tapi karena aku lebih menyukai suasana tenang. Kalau harus disebutkan apa yang aku suka dari acara ini, palingan aku akan menjawab konsep. Aku menyukai konsep pentas seni SMA ini yang selalu disertai dengan wahana-wahana taman hiburan. Terlebih rasanya menyenangkan dengan suasana acara yang diadakan di lapangan terbuka jauh dari sekolah.

"Ana mana sih?" tanyaku seraya menolehkan wajah ke kiri dan ke kanan. "Udah mau jam lima gini, tapi belum ketemu juga." Untuk kesekian puluh kalinya aku mengecek ponsel. Pesanku sebelumnya masih belum saja disertai tanda read darinya.

Hari ini aku mengenakan dress putih yang dibalut sweater warna merah marun. Rambutku kusematkan bandana dengan warna senada sweater. Aku merasa percaya diri dengan penampilanku hari ini. Tak sabar aku ingin memberikan cokelat ini pada orang itu.

"Lea!" panggil seseorang dari belakangku.

Aku menoleh. "Gian," sapaku padanya yang berjalan ke arahku.

"Sendirian?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengangguk sebagai bentuk jawabanku padanya. Kedatangannya kusambut hangat. Untung ada dia, aku jadi tidak lagi berjalan sendirian. Setidaknya aku bisa mencari Ana sambil berjalan mengobrol dengannya.

"Gue janjian sama Ana sebenernya. Tapi belum nemu juga. Gue chat juga malah belum dia read," ujarku seraya menekuk bibirku.

"Ya udah gue temenin deh nyari Ana. Gue juga lagi nyari temen-temen gue nih. Arno kayaknya lagi jalan sama orang lain. Ega juga katanya lagi nyari cewek yang dia taksir, nggak tau juga deh siapa."

Wah, jangan-jangan Ana lagi bareng Ega sekarang. Tanpa sadar aku terkekeh pelan membayangkan dua anak manusia yang jarang akur itu bersama-sama. Gimana ya kalau seandainya mereka jadian? Aku semakin tersenyum memikirkannya.

"Lo kenapa senyum sendiri? Kayak yang lagi seneng gitu deh," ujar Gian membuyarkan lamunanku. "Segitu senengnya ya lo jalan sama gue?" Gian tersenyum jahil.

"Eh. A-anu. Ng-nggak koook." Aku jadi malu sendiri dengan godaan itu. Sedangkan Gian sejak tadi sudah semakin tersenyum lebar.

"Jarang-jarang ya gue liat lo pake bandana bahan kain kayak gitu. Cocok, Le. Manis." Gian memperhatikan bandanaku sambil tersenyum.

Kata-katanya itu mengundang sipu tersendiri untukku. Aku sudah semakin tersenyum dengan bentuk perhatian sesederhana itu. Yah, setiap perempuan suka diperhatikan, bukan? Apalagi oleh lawan jenis.

"Lo mau ketemuan sama cowok?" tanya Gian ringan. "Baju lo rapi."

Deg

Aku terpaku, bingung harus memberikan jawaban seperti apa padanya. "Ng ... lo sendiri mau ketemuan sama cewek ya?" tanyaku hati-hati mengalihkan pertanyaannya.

Aku menangkap senyuman lembut pada wajahnya. Bukan senyuman biasa seperti umumnya. Dia seperti ... tersipu?

Gian terkekeh. "Anu. Sejujurnya ... ada cewek yang lagi gue suka. Anak SMA Nusantara juga. Seangkatan juga," ujar Gian seraya tangannya menggaruk bagian belakang kepala dengan malu-malu.

Aku menanggapinya dengan perasaan yang tak karuan. "Si-siapa Gi?" tanyaku pelan.

"Hmm," Gian menggigit bibirnya kecil dan membiarkanku menunggu jawabannya untuk beberapa saat. "Udah saatnya lo tau sih, Le."

Jantungku berdetak dengan cepat, penasaran dengan apa yang akan Gian ceritakan selanjutnya. "Apanya, Gi?" tanyaku ragu.

"Gue .... Hmm, gue ... suka sama sahabat lo itu, Le. Ana. Gue suka sama Ana." Lagi-lagi aku menangkap wajahnya yang tersipu. Gian tak mau melihat ke arahku. Dia seperti merasa sangat malu.

Aku hanya bisa diam, mencerna setiap hal yang kudengar ataupun kulihat sekarang.

Gian tertawa. "Ah, jadi malu kan gue. Jangan dulu bilang ke Ana ya, Le. Gue masih butuh waktu nih buat bilang sendiri ke anaknya." Gian terkekeh. "Gue suka liat Ana senyum. Gue suka semangat dia. Gue suka lesung pipi dia. Gue suka semuanya." Gian terdengar sangat antusias.

Aku tak bisa berkata-kata, hanya sanggup diam menjadi pendengar yang baik baginya.

"Eh iya, lo sendiri gimana? Ah, seorang Lea sih udah pasti banyak ya yang suka. Secara lo kan manis dan pinter. Cowok yang lo suka juga udah pasti suka sama lo." Gian tertawa.

Lagi-lagi, aku tak bisa mengeluarkan suara. Bahkan untuk sekedar ikut tertawa pun rasanya berat.

"Tapi lo pasti punya kan orang yang disuka?" tanya Gian. "Siapa Le? Kasih tau gue boleh lah."

Beberapa detik berlalu untuk Gian menunggu aku menjawab, "Elo. Gue suka sama lo." Aku berujar pelan dengan wajah datar.

Seketika, senyuman di wajah Gian kulihat hilang. Aku hanya menangkap kekagetan di sana. Gian seperti sangat shocked. Wajahnya mulai memucat.

Aku tertawa terbahak-bahak, membuat dahi Gian berkerut bingung. "Kena, lo!" seruku dengan tawa semakin keluar.

Gian menghela napas lega. Bibirnya mengerucut cemberut. "Lea! Lo ngerjain gue nggak lucu banget!"

Aku menutup mulutku menahan sisa tawa yang ada.

"Ah itu Ana!" seru Gian tiba-tiba saat perjalanan kami tiba ke dekat wahana bianglala. Aku menoleh, dan memang aku mendapati Ana sedang tertawa bersama Arno dan Ega di dekat wahana itu. Gian terlihat senang. Dia langsung melangkah ke arah sana dan lupa terhadapku.

Diam-diam, aku berjalan ke arah yang berlawanan. Cepat-cepat aku melangkah agar tidak ada yang melihatku. Aku berjalan terus, terus, dan terus. Tanpa arah dan tujuan, entah ingin ke mana. Aku hanya ingin cepat menjauh dari mereka. Tak sanggup memperlihatkan wajahku yang kacau menahan tangisan keluar.

Hingga akhirnya, aku merasakan ada tetesan dari atas sana. Hujan. Rintik gerimis yang mengundang sendu. Aku, tanpa naungan pelindung diri dari hujan itu hanya bisa terus berjalan dengan baju yang mulai kebasahan. Hingga akhirnya aku teringat satu hal.

"Yah, cokelat yang udah susah-susah gue bikin akhirnya nggak bisa Gian makan."

    

---------------

Anny's note: Yeay, udah part 6 aja :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro