[2] Senyuman
"Iya!" Ana bersemangat hingga mengepalkan tangan kanannya. "Kita kan panitia dekorasi yang kerjanya sebelum hari H. Hari H kita udah pasti kosong dong ya? Nah, nanti kita sama-sama ngaku deh di sana. Kasih tau masing-masing dari kita siapa yang lagi kita suka. Gimana?" tanya Ana.
"Hmm." Lea nampak berpikir. "Oke deh. Gue setuju An. Janji ya, lo harus kasih tau gue siapa cowok yang lagi lo suka!" seru Lea menyodorkan jari kelingkingnya.
Ana mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Ana. "Janji."
Kemudian, keduanya saling tersenyum.
--
[2] Senyuman
BEBERAPA menit telah berlalu untuk siswa-siswi SMA Nusantara mendapati bel istirahatnya berbunyi. Ingar-bingar di beberapa kelas masih terasa, meski kebanyakan dari mereka sudah keluar berhamburan menuju tempat istirahatnya masing-masing-yang biasanya kebanyakan hanya menuju kantin karena lapar.
Plak
Seorang laki-laki dengan seragam SMA Nusantara yang dibalut jaket tipis berwarna merah marun membungkuk mengambil benda yang baru saja terjatuh ke lantai. "Ini punya lo?" tanya laki-laki itu begitu berdiri lagi.
Seorang perempuan yang sedang duduk menikmati obrolan bersama teman sebangkunya terkaget begitu ia menyadari bukunya ternyata baru saja terdorong siku. "Ah, Gian. Buku gue jatoh ya? Makasih ya udah ngambilin. Baik bener deh temen gue yang satu ini," ujar perempuan itu.
Laki-laki yang dipanggil Gian tadi mengangguk sambil tersenyum.
"Gian! Sini, Gi!" Terdengar suara laki-laki memanggil.
Gian yang sedang memunggungi pemanggilnya itu menoleh. Gian mengangguk tersenyum kemudian berjalan ke arah Ega--laki-laki yang memanggilnya tadi.
"Lagi ngapain lo barusan?" tanya Ega menyelidik.
Gian duduk di kursi sebelah jendela, tepat di hadapan Ega yang sedang duduk di bangku depan dengan posisi terbalik. "Kagak ada," jawab Gian sederhana.
"Eh Gi, hari sabtu tanding bola lawan kelas sebelah mau nggak?" tanya Ega kemudian.
"Wah, tanding bola?" tanya Gian bersemangat. "Yah nggak bisa gue kalo sabtu," jawab Gian kemudian lesu sembari mengedarkan pandangannya ke luar jendela kelasnya yang ada di lantai dua itu.
"Lah, lo mau ngapain emang? Sabtu kan waktunya buat ekskul. Lo kok tumben nggak mau main?" tanya Ega lagi.
"Sabtu ini gue harus ngerjain dekor bareng anak-anak divisi dekorasi pentas seni," jawab Gian yang kini tersenyum saat dirinya melihat ke luar jendela.
"Oh iya! Lupa gue kalo lo juga anak dekor pensi." Ega menepuk dahinya sendiri. "Gimana dong ntar sabtu kalo nggak ada lo? Bisa kalah main kita lawan mereka."
"Ajakin Arno aja, udah. Arno kan jago main juga," ucap Gian dengan matanya yang masih sibuk menangkap hal lain di luar jendela. Beberapa detik kemudian, Gian tersenyum lagi. Senyuman lembut yang berbeda dengan senyuman biasa pada umumnya.
Ega mengerutkan dahinya--curiga. "Lo liat apaan sih di luar?" tanya Ega yang kemudian ikut melihat ke luar jendela.
Gian yang tersadar dengan bentuk penasaran Ega langsung salah tingkah. "Hah? Ah. Umm, nggak ada apa-apa kok."
Ega masih sibuk mencari-cari hal menarik yang sedari tadi mengusik fokus Gian di luar jendela. "Perasaan nggak ada apa-apa deh. Lo liatin anak-anak cewek yang lagi latihan voli itu yah?"
"Mana ada," celetuk Gian
Ega tersenyum jahil. "Kok lo mesum sih merhatiin cewek pake baju voli?"
Gian merengut. "Gue nggak merhatiin cewek-cewek pake baju voli, elaaah!"
Ega tertawa terbahak-bahak disusul dengan dengusan ringan dari Gian.
"Ah, itu ada Lea!" seru Ega setelah berhenti tertawa dan menyadari ada orang yang dia kenal di luar jendela sana.
Gian kembali menjadi sedikit salah tingkah. "Ah, a-ada Lea yah?"
Ega fokus ke luar jendela. "Iya tuh. Biasa lah berduaan sama Ana. Mereka lagi ngapain ya sampe Lea naik-naik kursi gitu?"
"Oh, mereka lagi mau masangin spanduk pentas seni. Lagi bikin pensuasanaan pensi di sekitar sekolah kita. Biasa lah kerjaan anak dekor," jawab Gian seolah tahu banyak.
"Lah, lo bukannya anak dekor juga? Kok nggak bantuin mereka? Lo gabut yah?" tanya Ega dengan senyuman jahilnya.
"Gue kagak gabut, elah! Kita emang udah dibagi tugas masing-masing."
"Oh gitu, hmm." Ega mengangguk-angguk tanda mengerti. "Oh iya, lo udah ngerjain PR Matematika pak Subaya belum?"
"Belum, ntar maleman kayaknya gue baru bisa ngerjain."
"Lah, gue pengen ikut ngerjain sambil diajarin lo. Ntar sore aja yuk abis bel bubaran sekolah kita ngerjain PR dulu sebelum pulang."
Gian tertawa kecil. "Lo tumben amat. Bukannya biasanya ngebet pengen cepet balik yah? Rajin bener ngerjain PR dulu."
Ega menekuk bibirnya. "Gue tau gue tuh bego kalo matematika. Ulangan harian gue jelek mulu dah. Gimana gue bisa ngerjain semesteran ntar coba kalau ngadepin PR matematika aja gue cupu? Yah, pengennya sih minimal lulus pake usaha sendiri lah. Kagak jeblok-jeblok amat gitu. Malu lah gue sama lo yang juara kelas."
Gian tersenyum menghadapi pernyataan temannya itu kemudian bertepuk tangan perlahan. "Gila, gila! Mantap. Ega kini mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, Bung! Lanjutkan!" Gian kemudian tertawa kecil.
"Ejek aja terus temennya," celetuk Ega menyindir. "Jadi, mau nggak bantuin gue ngerjain PR?" tanya Ega yang kemudian serius.
Gian menghela napas menyesal. "Duh, sore ini gue mau ke Cafe Aroma. Gue harus ngajar adik gue yang bentar lagi mau UN SMP. Sori banget."
"Yah, cewa." Ega menekuk bibirnya, kemudian kembali mengedarkan pandangannya ke arah Lea dan Ana yang kini sedang mengamati spanduk hasil tempelan mereka di tembok. "Ah! Gue tau!" seru Ega yang tiba-tiba menjadi antusias. "Gue minta ajarin sepupu gue aja lah ntar."
Gian menampakkan wajah kebingungan. "Sepupu?"
"Iya. Lea itu sepupu gue. Lea juga kan pinter tuh, juara kelas sebelah. Nggak kayak gue, sepupunya yang cuman tau cara ngegiring bola masuk gawang atau menang berturut-turut main COC lawan anak berprestasi bernama Gian."
Mendengar kekonyolan temannya, Gian hanya tertawa kecil.
.
.
--
Gian berjalan sendiri di koridor sekolah yang cukup hening. Suasana sepulang sekolah yang sepi begini tak mengherankan, mengingat bel tanda berakhirnya sekolah sudah berdering sekitar satu jam yang lalu.
"Kalau telat kayak gini, si adek bisa ngamuk-ngamuk sama gue nih. Hape gue pake acara abis batre pula," ucap Gian lebih kepada dirinya sendiri.
Kreeek
Gian mendorong pintu ruang guru dengan badannya yang terbilang kurus, mengingat tangannya kini penuh dengan tumpukan buku.
"Ini Pak PR Bahasa Indonesia yang kemarin," ucap Gian dengan nada sopan.
Pak Budi menoleh. "Wah Gian. Simpan saja itu di meja," ujarnya sambil menunjuk meja dengan dagunya. "Terima kasih ya, Gian. Kamu selain berprestasi juga ketua kelas yang baik."
"Sama-sama, Pak." Gian menunduk sedikit sebelum kemudian berpamitan dan berjalan kembali ke pintu keluar.
Setelah selesai membuka pintu, Gian berniat berjalan cepat-cepat mengingat dirinya yang sudah terlambat. Namun niatan itu tiba-tiba terhenti begitu Gian mendapati dua perempuan sedang berjalan sambil tertawa di tengah lapangan-yang berada tak jauh dari tempat Gian berdiri.
Di sana ada Lea dan Ana sedang menikmati canda di antara keduanya. Gian seketika berdiri mematung seraya menarik bibirnya tersenyum lembut dengan matanya tertuju ke arah mereka berdua.
Lea yang matanya tak sengaja menoleh ke arah Gian langsung menyadari keberadaan laki-laki berambut agak kecokelatan itu. Beberapa detik kemudian Lea tersenyum ramah menyapa Gian yang langsung terlihat gelisah. Jangankan membalas senyuman Lea, Gian malah salah tingkah dan refleks membuang muka.
"Sial, kenapa harus kepergok sih?" tanya Gian pada dirinya sendiri saat meneruskan perjalanannya dengan wajah malu.
---------------
Anny's note: Aih, nulis kayak gini aja aku seneng sendiri :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro