Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 ⚘ The King Came Again



"Mademoiselle Violet. Dia datang lagi."

Fioletta mengikuti arah pandang Mlle Mauve yang terpaku pada sosok Frost Verriz yang baru saja memasuki La Satire Cadence. Pakaiannya lebih santai dari pada kemarin. Kaos cokelat tua dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Di bahu kanan Frost tersampir scraf berwarna cokelat susu. Berikut dengan sepatu hitam yang membalut kaki sang raja.

Mau dilihat dari sisi manapun, Frost Verriz memanglah tampan. Terlebih di usianya yang semakin matang seperti sekarang. Beberapa bekas luka sayatan yang tersebar di lengan terbuka sang raja menandakan bahwa beliau adalah orang yang gemar berlatih pedang. Rahang yang tegas, dan otot-otot lengan yang terbentuk sempurna pasti membuat siapa saja rela berhenti hanya sekadar untuk menatap sosok sang raja dari Kerajaan Veroxz tersebut.

Manik aquamarine Fioletta yang tersembunyi dibalik topeng rubahnya terus mengikuti ke mana arah Frost melangkah. Hingga pria 27 tahun itu berhenti di sudut ruangan dan duduk di kursi bar. Mata birunya tampak berpendar dan mencari-cari ke segala arah.

"Ayo temui dia, Mademoiselle Violet. Jangan buat seorang raja terhormat seperti dia menunggu," tutur Mlle Ivory yang entah datang dari mana. Fioletta saja tidak sadar akan keberadaan Mlle Ivory selain Mlle Mauve yang memang sudah bersama dengannya sejak tadi.

Mlle Mauve tersenyum mengejek. "Memangnya kenapa, Mlle Ivory? Biarkan saja dia menunggu di sini sepanjang hari. Pria sepertinya memang pantas mendapatkan semua itu setelah apa yang dia lakukan pada Mademoiselle Violet kita di masa lalu," tutur Mlle Mauve dengan ucapan pedasnya.

Fioletta menghela napas. Kenapa kedua mademoiselle ini jadi adu argumen tentang keberadaan Frost seperti ini, sih? "Sudah. Jangan berdebat. Masih ada banyak pekerjaan yang harus kita lakukan sebelum pertunjukan tari besok malam. Anda sebagai Penari Utama juga harus berlatih 'kan, Mlle Ivory?"

Mlle Ivory mengangguk membenarkan. "Aku masih harus menyempurnakan tarianku dengan iringan flute dari Mlle Daisy."

"Nah. Ada baiknya kalau kamu bergegas latihan sekarang. Tadi aku melihat Mlle Fuchsia, Mlle Celeste, dan Mlle Scarlet sudah menunggu di halaman belakang penginapan untuk latihan bersama. Sementara Mlle Daisy, tadi aku melihatnya masih berdandan di dalam kamar." Fioletta memberikan informasi terkini tentang keberadaan para mademoiselle itu pada Mlle Ivory. Kebetulan saja ia tadi sempat mampir ke penginapan belakang sebelum datang kemari. Jadi ia tahu.

"Ahh, begitukah? Pantas saja aku tidak melihat mereka sedari tadi." Mlle Ivory menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. Lalu beralih menatap Fioletta dan Mlle Mauve kemudian. "Kalau begitu, aku susul mereka dulu. Sampai jumpa!" seru mademoiselle bergaun putih itu sembari melambaikan tangannya dan bergegas pergi ke penginapan belakang.

"Aku juga izin pamit, Mademoiselle Violet. Aku dan Mlle Fern masih harus mencari bunga dan membeli pernak-pernik untuk membuat dekorasinya nanti." Mlle Mauve turut berpamitan sembari mengumpulkan gelas-gelas bekas anggur milik seorang pelanggan dan meletakkannya di bak cuci. "Ahh! Tentunya aku akan berangkat setelah mencuci semua gelas-gelas ini," lanjut Mlle Mauve saat menyadari arah tatapan Fioletta pada nampan yang dipegangnya.

Senyum kecil beserta kekehan geli terdengar setelahnya dari bibir merah sang muncikari. Padahal arti tatapan matanya tidak seperti spekulasi yang dikatakan oleh Mlle Mauve tentang mencuci gelas. Ia hanya merasa heran dengan jumlah gelas yang berada di meja tersebut. Padahal ia yakin kalau meja itu hanya diduduki seorang pria paruh baya dengan cerutu di bibirnya. Akan tetapi, jumlah gelas yang diambil Mlle Mauve pada meja tersebut berjumlah lima buah.

Apakah mungkin, pria paruh baya tadi memesan lima jenis anggur yang berbeda dalam satu waktu?

Itulah yang dipikirkan oleh Fioletta sebenarnya.

Dasar Mlle Mauve. Ada-ada saja.

Tanpa sadar, manik aquamarine Fioletta kembali mengarah ke tempat sang raja. Frost masih berada di sana. Dengan segelas anggur yang entah apa jenisnya. Diam-diam, Fioletta memerhatikan bagaimana bibir tebal itu mengembuskan napas. Gurat lelah yang terpampang jelas pada tatapan Frost juga tidak luput dari pandangannya. Melihat pemandangan itu, hati Fioletta jadi tergerak dan ia pun menghampiri posisi Frost dengan topeng rubah yang masih terpasang apik di wajah cantiknya.

Drett!

Suara derit nyaring dari kursi yang ditarik membuat Frost Verriz spontan menoleh ke samping kanannya. Sudut bibir sang raja seketika terangkat saat melihat Fioletta di sana. Gurat lelah yang semula terlihat jelas dalam manik sebiru kristalnya, kini tergantikan oleh binar-binar senang.

"Sudah lama?" tanya Fioletta memulai percakapan.

Frost bertopang dagu dengan tatapan yang tak lepas dari sosok wanita dengan surai pendek di sampingnya. Meskipun tertutup oleh topeng, tapi Frost yakin kalau Fioletta tengah tersenyum ramah padanya sekarang.

"Belum." Frost menjawab sembari menahan senyum. "Aku baru saja sampai."

Bohong sekali.

Tentu saja Fioletta tidak bisa mengatakannya secara blak-blakan. Sudah cukup lama sejak Frost datang dan duduk di meja bar paling sudut tersebut. Lihat saja anggur yang sudah tersisa sedikit itu di gelasnya itu.

"Anda tidak pulang, Yang Mulia? Ah! Ma-maksud saya, bukankah ini sudah cukup lama sejak Anda berada di Moran?" Fioletta meringis dan merutuki dirinya sendiri dalam hati. Untuk apa juga ia bertanya perihal itu? Bukankah ia tidak perlu tahu tentang kegiatan yang dilakukan oleh Frost?

Frost terkekeh kecil saat mendengar kalimat pertanyaan yang dilontarkan oleh Fioletta. "Aku memiliki beberapa urusan kerja sama dengan Raja Moran IV. Nanti sore aku akan pergi ke istana untuk menemui beliau. Kenapa? Apakah kamu mau ikut?" tanya Frost dengan kerlingan jahilnya.

Fioletta buru-buru menggeleng dan menyilangkan kedua tangannya. "Bukan seperti itu, Yang Mulia! Saya hanya-"

"Fioletta ..."

Fioletta tersentak saat mendapatkan genggaman lembut tapi terkesan posesif pada tangan kanannya yang berada di atas meja.

"Maukah kamu menemaniku untuk pergi ke Istana Moran?" tanya Frost dengan senyum teduh penuh harap. "Hanya sebentar," lanjut sang raja saat melihat gestur penolakan yang hampir ditunjukkan oleh Fioletta.

"Baiklah. Saya akan menemani Anda ke sana hari ini," tutur Fioletta saat melihat tatapan penuh harap dari pria di sampingnya. Ingin menolak juga tidak tega.

Yahh ... sesekali menurunkan ego demi rasa kemanusiaan juga tidak apa-apa, 'kan?



Tolong kasih tahu aku kalau semisal ada typo dan sebagainya di part ini, ya. Terima kasih banyak yang sudah mau bantu koreksi😊🙏🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro