Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03 ⚘ A Boy with Crystal Blue Eyes



"Anda siapa?"

Frost terpaku pada manik sebiru kristal milik bocah tersebut yang sama seperti miliknya. Ia tidak mungkin salah. Warna mata bocah laki-laki ini memang persis seperti miliknya. Jika dilihat-lihat lagi, tidak hanya warna mata, tapi juga wajah tampan dan surai hitam bocah itu berhasil mengingatkan Frost akan dirinya saat masih kecil.

Bocah ini benar-benar seperti duplikatnya.

"Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan tengah beristirahat. Lihat, kudaku juga sedang terluka." Frost menunjuk Davy yang masih meringkik kesakitan di sampingnya. "Kamu sendiri? Bukankah berbahaya bermain di hutan sendirian untuk bocah kecil sepertimu?"

"Ah, begitu rupanya. Aku kira Paman adalah warga asli sini, ternyata pengembara." Bocah laki-laki itu mengangguk kecil. Masih dengan sang kelinci di gendongannya, bocah itu berjalan mendekat ke arah Frost yang masih memerhatikannya dalam posisi duduk. "Dia terlihat sangat kesakitan," ujarnya kemudian sembari menunjuk ke arah sang kuda hitam, Davy.

Frost tersenyum simpul dan mengangguk. "Teman-temanku sedang mencari penginapan sekaligus membeli obat untuk mengobati kuda ini. Ohh ya, ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya Frost dengan nada ramah. Dalam hati, ia sedikit kagum dengan bocah laki-laki di depannya ini. Padahal ia adalah orang asing, tapi bocah ini tidak terlihat takut sama sekali ketika berinteraksi dengan orang asing.

"Frasco. Panggil saja begitu."

Satu alis Frost terangkat. "Hanya Frasco?"

"Ya."

"Marga?"

"Tidak punya. Ibu bilang namaku hanya Frasco."

"Ohh, kamu tinggal bersama Ibumu?"

"Iya. Bersama Nenek juga."

Frost mengangguk-angguk. "Kalau Ayah?"

Frasco menggeleng kecil. "Aku tidak punya Ayah."

Jawaban bocah laki-laki itu membuat Frost terdiam. "Ah, begitu. Jadi kamu hanya tinggal bersama Nenek dan Ibumu?"

Bocah laki-laki itu mengangguk lagi. Membuat Frost gemas sendiri hingga mendaratkan beberapa tepukan ringan pada kepala bocah tersebut. "Frasco, ya. Nama yang indah. Pasti Nenek dan Ibumu sangat menyayangimu."

Frasco menggeleng cepat. "Tidak!" serunya. "Ibu lebih sering memarahiku kalau aku pergi bermain terlalu jauh dari rumah. Sementara Nenek selalu memaksaku makan semua hidangan yang dia masak, padahal aku sudah kenyang."

Tawa Frost seketika menyembur ketika mendengar pengakuan jujur dari bocah 6 tahun di depannya. Masih dengan tawa yang kini sudah berubah menjadi kekehan kecil, Frost menggelengkan kepalanya. Entah kenapa, berbicara dengan bocah laki-laki ini terasa menyenangkan. Ia jadi bisa sedikit merilekskan pikirannya dari segala hal-hal yang berhubungan dengan Fioletta.

"Kenapa Paman tertawa? Itu sungguh tidak lucu."

Perkataan bernada protes itu membuat Frost Verriz kembali memfokuskan pandangannya pada Frasco. Seulas senyum kembali terbit di bibir sang raja. "Tidak. Hanya saja, kamu jangan salah paham. Mungkin itu adalah cara mereka menyayangimu. Kamu tidak tahu kenapa Ibumu selalu melarangmu bermain terlalu jauh dari rumah, bukan?"

Frasco mengangguk kecil.

"Ibumu hanya khawatir. Karena dunia luar sangatlah kejam, Frasco. Percayalah pada Paman." Frost kembali tersenyum, dan melanjutkan perkataannya. "Lalu Nenekmu ... beliau selalu memaksamu memakan semua hidangan yang beliau masak, bukan?"

Lagi-lagi, Frasco hanya mengangguk. Sepertinya bocah laki-laki itu tengah menyimak dan berusaha memahami dengan baik perkataan pria dewasa di depannya.

"Itu tandanya, beliau hanya ingin kamu makan dengan cukup. Di luar sana, masih banyak anak seusiamu yang tidak bisa makan dengan layak karena berbagai faktor. Contohnya seperti kemiskinan."

Frost menyampaikan opininya dengan baik. Lihat saja ekspresi Frasco sekarang. Bocah kecil itu tampak merenung sembari mengelus-elus kelinci putih yang masih berada dalam gendongannya.

"Paman benar. Seharusnya aku bersyukur karena masih memiliki Ibu dan Nenek yang sangat menyayangiku." Seulas senyum kecil langsung terbit di bibir mungil Frasco. "Terima kasih, Paman."

Frost menggeleng. "Jangan berterima kasih padaku. Pada dasarnya kamu memang anak yang baik, Frasco."

Keduanya sama-sama melempar senyum. Hati Frost menghangat saat melihat bagaimana senyum tulus itu berubah menjadi tawa ceria ketika ia mengangkat kepalan tangannya ke udara dan mendapat balasan yang sama dari bocah laki-laki tersebut.

Kedua laki-laki berbeda usia itu tertawa lepas. Setidaknya sampai ...

"Paman! Kudanya pingsan!"

... teriakan bocah tersebut membuat Frost kelabakan karena melihat kuda kesayangannya sudah tidak sadarkan diri.

• • ⚘ • •

"Kenapa kalian lama sekali?" Frost bertanya dengan nada sinis pada sang juru bicara, Morris. "Lihat! Davy sampai pingsan karena kalian terlalu lama. Untung saja dia tidak mati."

Morris membungkukkan badannya. "Maaf, Yang Mulia. Cukup sulit menemukan penginapan dengan fasilitas terbaik untuk Anda."

Frost berdecak. "Aku tidak pernah meminta penginapan dengan kualitas terbaik, Morris." Frost berdiri dari posisi duduknya dan menghampiri kuda hitam kesayangannya yang sudah mendapat penanganan, tepat setelah Morris dan keempat prajuritnya kembali membawa obat-obatan untuk sang kuda. "Jadi bagaimana? Kita akan menginap di mana malam ini?"

"La Satire Cadence."

"Bukankah itu rumah bordil?" Frost spontan bertanya keheranan saat nama rumah bordil yang cukup sering didengarnya ketika melewati wilayah Moran disebut oleh Morris.

"Ya, tapi mereka juga memiliki penginapan di belakangnya. Bangunan utamanya berada di depan. Ada juga pemandian air panas di sana. Jadi saya pikir, itu tempat yang kita butuhkan saat ini, Yang Mulia." Morris menjelaskan dengan penuh keantusiasan.

Terlihat jelas kalau memang sang juru bicaralah yang merekomendasikan tempat tersebut. Karena setiap melewati wilayah perbatasan Moran dan Amer, Morris selalu merengek pada Frost supaya diizinkan berkunjung ke sana. Padahal itu hanyalah rumah bordil berlantai dua yang kebetulan dibuat menyatu dengan area bar di lantai dasarnya. Ia bahkan baru tahu kalau rumah bordil tersebut juga menyediakan penginapan dan pemandian air panas seperti kata Morris.

"Bagaimana, Yang Mulia? La Satire Cadence adalah pilihan yang tepat, bukan?" Morris, masih dengan binar antusiasnya kembali bertanya pada sang raja.

Melihat binar antusias itu, Frost menghela napas dan mengangguk setelahnya. Keputusan Frost itu membuat sorak-sorakan dari kelima teman perjalanannya seketika terdengar di hutan tersebut. Ternyata Frost salah. Tidak hanya Morris saja yang ingin berkunjung ke rumah bordil tersebut, tapi keempat prajuritnya juga memiliki keinginan yang sama.

Sungguh, meskipun ia sering melewati rumah bordil tersebut ketika dalam perjalanan menuju Amer, ia benar-benar tidak tahu apa keistimewaan La Satire Cadence sehingga membuat Morris begitu ingin pergi ke sana walau sebentar.

"Ayo kita langsung ke sana, Yang Mulia!"

"Ya. Baiklah."

Frost pasrah.

Yang penting ia bisa mendapatkan tempat untuk beristirahat sekarang.



Awokawok, si Morris aja penasaran loh sama keistimewaan La Satire Cadence :>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro