Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LAZARUS CHEST: [SPECIAL CHAP 2]

Apa yang Kiera lihat di malam itu bukanlah halusinasi. Pria itu melihat tangannya sendiri, merasakan sihir waktu mengalir semakin kuat dan kencang di tubuhnya, berbeda dari saat-saat lalu. Ia merasa kuat dan sempurna-Ia merasa salah.

Sekali lagi jantungnya berdetak cepat.

"Tidak, tidak, tidak...." Gumamnya cemas. "Jangan sampai. Jangan sampai seperti mereka."

Pikiran-pikiran negatif itu telah datang semakin sering. Awalnya dalam setiap tidurnya, kini dalam setiap keadaannya saat terjaga sekalipun, Sekarang pikiran itu datang di saat ia sedang melamun. Saat pikirannya sedang rentan dan kosong. Kiera segera meneguk air dari mata air kecil di hadapannya. Mungkin ia hanya butuh sedikit air untuk meluruhkan racun itu dari pikirannya. Menetralisir pikiran beracun apa pun yang tadi hampir singgah.

Kiera menyugar rambut hitam panajngnya. Ia memejamkan mata, memijat pilipis, merasakan dentuman sihir meronta-ronta di dalam kepalanya, minta dilepaskan, tapi ia tahu detak sihir sekecil apa pun akan memancing para Eusena lain yang paling dekat.

"Ingat kau punya tugas, Kiera...." Ia mengingatkan diri sendiri. "Tahan dirimu. Bertahanlah."

Di tengah kemelut pikiran itu, Kiera merasakan seseorang mendekat. Ia menoleh dengan cepat dan melihat, di bawah bayang-bayang pepohonna dan cahaya bulan, seseorang berdiri tidak jauh darinya. Hanya tiga langkah. Energi di dalam tubuh Kiera meningkat dengan cepat, terkonsentrasi di tangannya, siap untuk meluncur ke arah sosok itu jika memang ia adalah sosok berbahaya yang-

"Di sini Anda rupanya."

Sosok itu berlari ke bawah naungan cahaya bulan, membiarkan Kiera melihat sosoknya dengan jelas.

"Maali?" Kiera mengembuskan napas yang tidak sadar ia tahan.

Maali tersenyum ramah. Gadis dengan kulit sewarna perunggu itu berdiri diam, menjaga jarak dari Kiera. Sempat heran karena itu, tapi Kiera langsung paham. Maali pun menjaga jarak darinya. Biar bagaimanapun, mereka berdua berbeda. Kiera adalah penyihir. Maali, tidak peduli dilihat dari mana pun atau seberani apa pun, dia tetaplah Manusia.

"Ada apa?" Kiera bertanya, tidak bermaksud dingin atau sejutek nada yang keluar dari mulutnya. "Kau butuh sesuatu?"

"Sebenarnya ... itu yang saya ingin tanyakan pada Anda," Maali mengaku. "Anda butuh sesuatu? Anda tampak tidak tenang dan bolak-balik ke berbagai tempat dari siang."

Kiera duduk tegap di depan perempuan Manusia yang baru saja mengungkapkan semua kesalahannya hari ini saja. Ia tidak mau dibaca begitu mudah oleh orang lain, apalagi oleh orang dari jenis yang lain. Sekalipun Manusia secara teknis, adalah tidak lain, penghuni asli dari dunia ini.

Dan ia sudah berhutang banyak kepada mereka.

"Apa aku sudah melibatkan diri dalam masalah lain dengan sengaja?" Kiera bertanya langsung.

Maali terdengar ragu sejenak sebelum menjawab. "Err...."

Kiera menghela napas. "Jadi aku memang terjebak masalah," ujarnya letih. "Karena itu, kan, kau datang ke mari? Menyeretku?"

"B-bukan begitu!" Maali menyanggah. "Keputusannya kami masih akan mengamatimu dan bertanya lebih dulu sebelum bertindak lebih jauh."

"Kau seharusnya seperti adikmu, Maali," ujar Kiera. "Tidak pernah ada istilah terlalu waspada jika sudah menyangkut musuhmu."

Tangannya menyentuh luka bekas stigma yang telah pulih di perutnya. Sihir waktunya telah terpakai beberapa tahun untuk mengangkat stigma itu. Kadang masih perih luka itu, meski tidak terlihat lagi adanya luka di luar. Mungkin ada luka di dalam, tapi Kiera lebih memilih membiarkannya. Entah berapa lama lagi waktunya tersisa. Jika sampai menggunakannya dengan ceroboho.

"Tapi ... tapi kau bukan musuh kami."

"Belum," Kiera mengoreksi dan menghela napas. "Harus berapa kali aku bilang, jangan anggap aku ini teman. Kau tidak bisa percaya sekali pun pada klan Eusena."

"Dan itu termasuk dirimu?"

Suara tajam itu menghentikan apa pun yang hendak ditanyakan oleh Kiera tadi. Pria itu berdiri dan berbalik, menghadap seorang gadis berambut ikal pendek yang datang di belakang Maali. Di kanan dan kirinya, para penduduk suku Noongar-bukan nama sebenarnya, tapi Kiera memutuskan untuk memanggil mereka begitu karena mereka menolak memberi nama suku mereka kepadanya, mumpung aksen yang mereka pakai adalaha aksen Noongar-mereka berdiri dan menjadi pagar betis yang mengelilingi Kiera. Tempat peristirahatan itu tidak lagi menjadi tempat yang tenang. Tempat itu jadi ramai dikelilingi oleh Manusia.

Aroma Manusia. Aroma yang membuat Kiera pusing bukan main.

"Mau apa kalian ke mari?" Kiera bertanya. Tidak sekalipun ia menatap ke arah Maali, tidak menuduhnya sama sekali bahkan dalam hatinya sekalipun, tapi gadis berambut panjang itu menatap ke arahnya dan ke arah kerumunan di seberang mereka berkali-kali secara bergantian. Wajahnya sarat akan kecemasan.

Tapi Kiera tahu, bukan Maali yang membawa orang-orang ini ke sini. Jelas sekali bukan Maali yang memimpin mereka sekarang ini.

"Yindi, kenapa kau membawa seluruh warga ke mari?" Maali berkata dengan cemas.

Yindi, gadis berambut pendek itu, hanya menatap kesal ke arah Maali, kakaknya, sebelum mendelik ke arah Kiera yang diam mematung di tempat.

"Kau tahu sendiri dia berkeliling desa seperti orang mencurigakan!" Yindi berujar dengan tajam. "Tidak melakukan apa-apa, tidak bertanya apa-apa, hanya melihat dan tidak melakukan apa pun? Bukankah dia tampak seperti mata-mata?"

Meski tuduhan itu tidak benar, Kiera tidak mau melawannya. Ia pernah menjadi mata-mata seperti yang Yindi tuduhkan. Ia sukses pada misi-misi penyusupan yang mengakibatkan banyak Manusia tewas. Ia merasa tidak pantas dibela.

Apalagi dengan fakta bahwa ia mewariskan ilmu terkutuk itu kepada seorang anak yang sebenarnya ... mungkin saja, jika ia mendidiknya dengan sedikit lebih benar, jauh dari mata-mata yang mengawasi dari Eusena, ia bisa menjadikan masa depan anak itu cerah.

Tapi siapa dia yang bisa bicara begitu dan apa kiranya masa depan cerah yang ia impikan?

Ia tidak pernah memikirkan itu lebih jauh.

Hanya sebuah angan yang tidak punya dasar maupun ujung. Ambisi yang hanya akan membutakannya. Mungkin akibat racun yang sudah tidak tertangani dengan baik dan menyebar sampai ke kepala sampai ia berani memimpikan hal-hal yang mustahil seperti itu.

"Tapi, Yindi, Tuan Kiera tidak melakukan apa-apa, kan?"

"Tidak melakukan apa-apa, bukan berarti tidak merencanakan apa pun."

Seorang gadis yang waspada, Kiera berpendapat untuk kesekian kali pada Yindi. Sikap kerasnya ini membuat Kiera bertanya-tanya, kiranya berapa kali Yindi pernah berhadapan dengan kaumnya. Karena bahkan Maali yang kakaknya sekalipun tidak sewaspada itu.

Seharusnya Maali belajar kewaspadaan itu dengan baik dari adiknya.

"Aku tidak akan mengelak. Aku memang mengamati orang-orang." Kiera mengaku.

"Ha! Lihat, dia benar-benar mengaku!" Yindi tampak puas sekali. Ia menyeringai penuh kemenangan. "Jadi apa yang kau rencanakan, Penyihir? Kau mau menodai tanah Dewa-dewa kami lebih jauh dari ini?!"

Di sekelilingnya, bisik-bisik dan tatapan penuh prasangka bermunculan. Menimbulkan kebisingan yang tidak begitu asing di telinga Kiera.

Tidak asing, tapi biasanya bisa ia abaikan begitu saja. Aneh, sekarang Kiera merasa terganggu dengan suara bisik-bisik dan tatapan curiga dari orang-orang itu.

"T-tolong tenang, Semuanya," Maali berusaha melerai tensi yang perlahan mulai naik. "Tolong tenang dan kira biarkan Tuan Kiera mengatakan sesuatu. Pastinya ia juga punya pendapat untuk tindakannya seharian ini, kan?"

"Maali, aku melihatmu bertanya padanya tadi dan tidak ada perubahan!" Yindi berkata dengan ketus. Kiera menatap gadis muda itu, melihat mata hitamnya yang menyorot penuh dendam kemarahan tertuju kepadanya. Kiera tahu kemarahan itu tidak spesifik tertuju untuknya.

Yindi membenci seluruh penyihir. Hanya kebetulan ia ada di tempat dan waktu yang salah, serta berurusan dengan orang yang salah.

"Dia jelas-jelas tidak ingin bekerja sama, kan?" Yindi melanjutkan. "Lagipula apa pun yang keluar dari mulutnya, aku bisa jamin itu adalah kebohongan! Penyihir tidak ada yang bisa dipercaya. Apalagi yang menghuni daratan ini! Semuanya hanya ular berbisa yang bisa mematuk kakimu sampai mati kalau kau lengah."

Mendengar ucapan tajam itu, Kiera hanya bisa tertawa. Memang wujud kaum Eusena mirip dengan ular di dunia ini, tapi dihina dan disamakan seperti ular oleh orang yang bahkan tidak mengenalnya, ketika Kiera bahkan tidak merencanakan apa pun, rasanya sedikit menyebalkan.

"Saya memang menolak untuk bicara." Dengan aksen Noongar, Kiera menjawab. Ia langsung merentangnkan tangannya ke depan Yindi dan Maali. Yindi menyipit curiga sementara Maali membelalakkan mata. Di belakang mereka, semua orang ikut kaget. "Silakan, jika kalian merasa menahan dan mengurung saya lebih aman, saya menyerahkan diri dengan sukarela."

Akhirnya, bisik-bisik yang tadi sempat mengganggu Kiera akhirnya lenyap. Pandangan-pandangan tajam penuh tuduhan itu lenyap selama sesaat.

***

Dalam mata yang tertutup, Kiera mengingat-ingat semua hal yang ia lihat tadi siang. Memorinya menangkap semua keindahan yang ia saksikan, mengabadikannya selamanya dalam memorinya yang panjang dan mungkin tidak akan pudar dalam waktu lama.

Wajah dari anak-anak yang tersenyum menikmati momen sesaat mereka yang meski seremeh mandi di mata air bersama teman-teman, mampu membangkitkan kegembiraan tiada terkira di wajah mereka. Di sisi mereka, para orang tua denagn tenang menyaksikan kegembiraan anak-anak mereka. Kelegaan dan kegembiraan yang hangat menyelimuti momen yang tampak sangat indah itu.

Kegembiraan yang tampak menyilaukan dan tidak pernah dilihat oleh Kiera sebelumnya. Baik dari penyihir maupun dari Manusia.

Kegembiraan yang sayangnya terlalu rapuh dan pecah terlalu cepat ketika mereka menyadari Kiera mengamati mereka dari jauh.

Tapi itu membuat Kiera bertanya-tanya. Seperti apa ia menatap kegembiraan itu di mata Manusia? Ia yakin tidak membuat emosi yang begitu negatif di luar. Jika pun tampak mengintimidasi, Kiera mengakui mungkin sedikit rasa irinya bocor sehingga orang-orang itu takut, tapi sisanya ... Kiera sesungguhnya penasaran.

Sekaligus ... takut.

Ia takut mendengar pendapat jujur dari para Manusia itu, mengenai dirinya, maupun mengenai klan Eusena.

"Penyihir tidak bisa dipercaya!"

Yah, sekalipun kata-kata itu sudah sering ia dengar, bahkan dari berabad-abad lalu sebelum ia dan klan-nya menginjakkan kaki ke tempat ini, mendengarnya langsung dari mulut Yindi dan orang-orang ini, memberi dampak dan rasa sakit yang berbeda. Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan di mana pun sebelum ini.

"Kiera?"

Pintu gubuk tempatnya ditahan terbuka. Dari balik jeruji kayu tempatnya ditahan, Kiera melihat siluet familier dari Maali masuk ke dalam gubuk. Sekali lagi, Maali membawa semangkuk makanan. Di balik Maali, Kiera bisa melihat langit malam berbintang. Malam sudah benar-benar turun. Kiera menghitung. Sudah tiga kali ia melihat malam.

Artinya sudah tiga hari ia ditahan di dalam jeruji rapuh ini.

"Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak perlu makanan sesering Manusia, kan?" Kiera duduk tegak, menatap Maali di luar jerujinya dengan tatapan tidak mengerti. "Kau tidak perlu sesering ini datang. Pasti Yindi memarahimu habis-habisan, kan?"

Maali tidak menjawab. Biasanya ia akan menyanggah pertanyaan itu dengan tawa yang renyah atau gurauan, tapi kali ini, hanya ada kesunyian. Kiera merasakan jantungnya mencelus. Ia tidak suka pada kemungkinan itu, tapi mau tidak mau, kesunyian Maali membuatnya hanya bisa berpikir ke arah sana.

Bahwa keberadaan dirinya telah membuat kakak beradik ini bertengkar.

"Maali?" Kiera tidak bisa menjaga nada suaranya dari tetap tenang, tidak cemas sama sekali pada nasib dua saudara yang dengan sial malah berurusan dan menolongnya. "Kau bertengkar dengan adikmu?"

Maali sekali lagi tidak menjawab.

"Aku akan taruh ini di sini." Maali meletakkan mangkuknya di lantai. "Aku tidak melihat ada tanda-tanda binatang di luar, apa ada binatang yang mengganggumu di luar saat malam?"

Kiera menghela napas. Maali memilih jalan yang sulit rupanya. "Kalian bertengkar lumayan hebat sepertinya."

Sekali lagi diam.

"Bukan...." Namun ternyata Maali angkat bicara. "Bukan masalah besar. Bukan sesatu yang harus dikhawatirkan oleh Kiera."

"Aku tidak khawatir," Kiera berkata, meraih sekepal kudapan yang diletakkan di dalam mangkuk. "Tapi jelas adikmu sangat khawatir. Khawatir yang sangat beralasan."

"Ta-tapi, Tuan Kiera-

"Sebaliknya, Maali," Kiera menukas dengan tegas. "Kekhawatiranmu padaku ini sangat tidak beralasan."

Kiera membiarkan energi yang selama ini teregulasi dengan baik di dalam tubuhnya bocor ke luar. Maali tampaknya tidak menyadari suhu udara yang sedikit menghangat ataupun udara yang bertambah sesak. Gadis itu hanya terus menunduk, tidak berani menatap Kiera secara langsung.

"Kau tentunya tahu, aku ini apa, kan?" Kiera menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dijawab. "Kau seharusnya lebih mengkhawatirkan sesama Manusia yang bisa saja mati kalau aku kehilangan kendali. Bukan monster yang bisa saja membunuhmu kalau kau terlalu mengganggunya."

Kiera membuang muka. Telinganya menangkap suara-suara binatang hutan di luar gubuk yang bersembunyi kembali ke sarang mereka masing-masing, jauh lebih sensitif daripada manusia yang duduk di hadapannya ini.

"Sejujurnya daripada hewan buas di pinggiran hutan, kau ini lebih mengganggu," Kiera menggigit kudapannya dengan kesal. "Setidaknya mereka tahu kapan harus mundur."

Ia ingat, para tetua suku menyuruhnya ditaruh di gubuk ripuh di tepi hutan ini agar ia tidak punya pertahanan apa pun saat binatang buas atau monster menyerang.

Mereka sengaja membiarkannya mati.

Itu kalau memang Kiera selemah itu dan tidak punya keinginan hidup.

Sial bagi mereka, Kiera masih memiliki keinginan untuk hidup Satu tujuannya yang tersisa.

Terdengar suara embusan napas pelan dari Maali dan Kiera pun menoleh, melihat gadis itu perlahan mendongakkan kepala dan tersenyum sedih kepadanya. Kiera mengernyit heran. Ada sedikit rasa sakit terbersit di dadanya melihat tatapan hangat itu.

"Kenapa kau melihatku begitu?" ujarnya tersinggung.

Maali menggeleng. "Aku hanya merasa Tuan Kiera sangat lucu."

Kiera mengernyit semakin dalam. "Bukankah adikmu sudah berkali-kali memperingatkan, jangan memanggilku dengan panggilan hormat-

"Kau selalu berusaha mendorong orang lain untuk menjauh tapi kau sendiri? Kau malah mengamati orang-orang seperti anak yang penasaran."

"Aku sedang mencari celah untuk mencelakai kalian!"

"Lalu?" Maali menyahut dengan berani. Nada suaranya terdengar sangat percaya diri. "Kami sedang lengah dan lemah. Kalau mau menyerang, sekaranglah saatnya."

"Kau! Kau sadar apa yang baru saja kau katakan?!" Kiera bangkit dengan marah. "Bahkan itu terlalu menjijikkan sebagai lelucon! Kau membicarakan tentang keluarga dan sukumu sendiri, bagaimana bisa-

"Dan kau sedang marah untuk suku orang lain, Tuan Kiera." Maali menukas, gantian. Dengan tenang gadis itu mendongak, menatpa tepat ke arahnya, dengan senyum dan kebijaksanaan yang membuat Kiera sekalipu, tertegun. Rasanya seolah, tembok yang ia bangun berabad-abad runtuh di depan gadis yang mungkin usianya belum seprempat abad ini. "Untuk apa, jika aku boleh tahu?"

Kiera tidak bisa menjawab. Ia tidak mau. Tapi tubuh pria itu yang melorot ke tanah sudah memberikan jawaban yang cukup dimengerti.

"Keluar kau!" Dengan segera, Kiera mendapatkan kendali tubuhnya lagi dan sekarang, langsung membentak Maali. "Keluar dari sini sekarang juga dan biarkan aku mati dengan tenang, Manusia!"

Kemudian sunyi. Kiera terperangah dan Maali pun terkejut.

Kata-kata mustahil baru saja keluar dari mulutku.

Kematian.

Kiera berharap mati.

Dia ... dia yang sepenuhnya sadar masih memiliki satu tugas tersisa yang belum selesai ... berharap mati dengan tenang? Setelah semua yang Kiera lakukan dan gagal ia lakukan ... dirinya yang seperti ini, masih berani berharap sebesar itu?

"Tuan Kiera." Mendengar suara itu, seketika seluruh energi yang tersimpan dalam tubuh Kiera meluap. Suhu naik drastis dan udara diperas keluar dari semua paru-paru yang berani bernapas. "Kiera, apa yang Anda-

"Keluar!" Bersama dengan jeritan Kiera, empasan angin dan guncangan bumi datang bersamaan. "Aku perintahkan kau keluar sekarang!"

Saking kuatnya empasan itu, mangkuk yang dibawa oleh Maali tumpah, isinya berserakan ke tanah dan kotor, tidak layak lagi dimakan. Sementara Maali, gadis itu terlonjak sampai terjungkal ke belakang saking kagetnya. Tubuhnya duduk tidak berdaya, mundur setidaknya satu langkah ke belakang karena empasan tadi. Raut wajahnya dipenuhi keterkejutan dan ketakutan.

Jantung Kiera mencelus. Ia tidak menduga akan menerima wajah ketakutan seperti itu dari Maali. Tapi ... tapi ini sudah benar. Ia sudah melakukan hal yang benar. Jadi Kiera pun tidak menarik kata-katanya ataupun melunak. Ia tetap pada pendiriannya untuk mengusir Maali.

Dan hal itu rupanya berhasil.

"Maaf-maaf sudah mengganggu Anda. Saya permisi dulu." Maali buru-buru bangkit, dengan kikuk malahan, sebelum akhirnya pergi menutup gubuk itu di belakangnya, meninggalkan Kiera sekali lagi di dalam kegelapan.

Kiera terduduk lesu. Punggungnya bersandar di jeruji kayu yang mengurungnya. Jeruji yang terlalu lemah dan longgar untuk mengurungnya, tapi ia biarkan saja, hanya agar ia merasa tenang ada sesuatu yang menahannya di sini. Menahannya untuk tidak kabur atau menghilang dengan segera.

Suara derap lari Maali terdengar menjauh di luar pondok. Langkah itu terus menjauh dan menjauh sampai tidak terdengar lagi. Meninggalkan Kiera dalam kesunyian.

Dan ketika kesunyian datang, suara-suara itu dan kenangan pahit itu kembali datang.

"Maaf ... aku bukan kandidat ... yang baik."

Tidak, Kiera membatin. Justru dirinyalah yang menjadi guru yang buruk.

"Kau sama sekali bukan kandidat yang buruk ... Marlene."

***

Kadang, ketika kenangan-kenangan buruk tidak menghampirinya dalam tidur dan terjaga, kenangan-kenangan baik datang menghampiri Kiera. Saat-saat yang meski tidak banyak berbeda dari sekarang-ia masih saja tidak memiliki banyak orang yang bisa ia percaya-setidaknya ada seseorang yang terus mendampinginya. Terus berada di sisinya.

"Guru, lihat, lihat!" Seorang anak lelaki berpotongan rambut cepak melambaikan tangan. Lalu ia menunjuk ke satu arah. "Aku menemukan semut yang aneh!"

Kiera tidak merespons panggilan itu selain membalas lambaian tangannya. Kiera lantas duduk di bawah batu yang tidak begitu panas. Memutuskan untuk istirahat sekali lagi. Sementara partner perjalannya, seorang anak yang baru menginjak usia dua belas tahun bulan lalu, malah berjalan-jalan seolah perjalanan ini adalah tamasya.

Padahal dilihat dari mana pun, mereka melakukan perjalanan sembunyi-sembunyi ini dengan modal terbatas dan jauh dari kategori tamasya yang membahagiakan.

Tidak ada kuda. Tidak ada kendaraan. Tidak ada automaton. Hanya ada peta dan perbekalan makanan selama tiga hari perjalanan. Mereka sepenuhnya hanya berjalan kaki ke sana. Kiera menatap bocah lelaki yang sedang berjalan di tengah bebatuan tandus nan kering itu. Tubuh kecilnya bersemangat sekali melihat segala hal di sekeliling. Hal-hal yang sepertinya tidak bisa dilihat oleh Kiera karena yang pria itu lihat sejauh mata memandang hanya batu kemerahan yang membosankan. Dan langit.

Ah, ya, langit memang tampak sangat biru hari ini, Kiera membatin.

Kiera mencoba mengakses kekuatannya, menyalakan percik energi di dalam tubuhnya dan gagal. Ia tidak bisa mengaksesnya. Seperti ada tembok tebal yang menghalangi.

Itu bagus.

Artinya Jalinan berfungsi dengan baik. Masih aman.

"Guru, lihat ke sini!" Sekali lagi pemuda berambut platinum itu memanggil. Kiera menghela napas kali ini. "Ada bunga yang sedang mekar!"

Sepertinya ia tidak bisa selamanya melarikan diri dari murid kecilnya itu. Jadi ia pun bangkit berdiri dan menyusul sang murid yang sedang berjongkok di sebelah batu besar.

Kiera berlutut di sebelah Marlene dan melihat apa yang sedang ia amati.

Sebatang dandelion.

Namun berbeda dari dandelion pada umumnya, dandelion ini berwarna biru sepeti warna air yang dalam.

"Ah, dandelion ini berubah."

Marlene mendongak kepadanya. "Karena mutase sihir?"

Kiera mengangguk muram. "Benar."

Tapi Marlene tidak semuram itu. "Menurutku yang ini lebih indah dari dandelion yang biasa," keluhnya, tapi kemudian ia kembali bersemangat. Ia menarik-narik jubah Kiera. "Ah, ya, tadi aku juga menemukan ini!"

Marlene lantas menyentil dandelion itu. Kiera agak kaget melihat tindakan tiba-tiba itu, tapi ia justru lebih kaget saat melihat dandelion itu sama sekali tidak rontok bibit-bibitnya. Padahal sentilan Marlene tadi cukup kencang.

"Dandelion ini kuat sekali! Padahal aku sudah menyentilnya berkali-kali, tapi bibit-bibitnya tidak ada satu pun yang berguguran terbawa angin!" Marlene berkata. Lantas suaranya sedikit teredam deru angin. "Guru, guru, mungkinkah karena mutasi sihir ini, bibit dandelion ini jadi lebih tangguh? Karena itu juga mereka bisa hidup di ketinggian ini?"

Kiera menepuk pelan kepala Marlene saat mendengar berbagai pertanyaan itu. Ia tersenyum pada muridnya.

"Mungkin saja." Kiera lantas menyentuh pucuk dandelion itu. "Tapi mungkin saja tanaman ini juga menderita, kan?"

"Menderita?" Marlene mengerjap tidak paham. "Tanaman ini? Kenapa? Ia tampak sehat, berbunga, dan tidak layu."

Kiera menarik salah satu bibir dandelion itu. Benar-benar lebih keras dari bibit dandelion biasa. Mutasi seperti ini bukan keanehan sejak invasi sihir gelombang pertama. Sejak kedatangan energi baru yang tidak kompatibel dengan aturan dunia ini, banyak sekali makhluk di sini yang terpengaruh dan berubah, mengikuti para penginvasi dunia ini alih-alih tetap pada aturan. Seperti dandelion ini.

"Bibit dandelion itu ringan. Agar angin mudah menerbangkan mereka," Kiera menarik sedikit kekuatannya, membiarkannya menyebar, menarik angin di sekeliling mereka. Kemudian ia menerbangkan bibit itu. "Tapi apa jadinya jika bibitnya lebih kuat dan lebih berat dari biasa?"

Marlene berdiri di samping sang guru, menyaksikan bibit dandelion itu jatuh lebih cepat dari biasa, alih-alih terus terbang menjauh seperti bibit dandelion lainnya.

"Ia ... jatuh dan tidak akan tumbuh?"

Kiera tertawa. "Kalau ia tidak bisa tumbuh, bagaimana kita bisa menemukan dandelion di sini, Marlene?"

"Ah, benar juga...." Marlene mendongak. "Jadi ... perubahan dandelion ini buruk, Guru?"

"Buruk atau tidaknya tergantung kemampuan bunga itu dan lingkungan sekelilingnya untuk beradaptasi. Seperti yang aku lakukan tadi. Alih-alih hanya bergantung pada angin, dandelion yang bermutasi itu harus bergantung pada kekuatan yang lebih besar. Seperti hewan atau ... Manusia sepertimu." Di akhir kalimat, Kiera menatap Marlene dengan hangat.

Mata Marlene berbinar mendengar penjelasan itu. "Aku ... membantu bunga ini....?"

Ia pun berlutut, memetik dandelion itu dan dengan sekepal tangannya, Marlene menerbangkan seluruh bibit, meniupnya kencang. Kiera membantunya dengan memberikan aliran angin ke seluruh bibit itu.

"Apa ... apa dengan ini, aku sudah mempermudah bunga itu, Guru? Aku sudah membantunya?"

Kiera tersenyum dan mengelus kepala Marlene. "Kita akan lihat saat ada dandelion lain yang mekar di gunung ini."

"Kita akan ke sini lagi suatu hari nanti?" Marlene tersenyum senang. Kiera mengangguk. Sontak Marlene bersorak kegirangan. "Yeah, janji, ya, Guru? Kita akan ke sini lagi bersama dan melihat lebih banyak bunga lagi di atas gunung!"

Kiera tertawa. "Aku rasa melihat banyak bunga itu agak mustahil, Marlene."

"Eh? Kenapa?"

"Tidak banyak bunga yang bisa hidup di pergunungan yang tandus seperti ini," Kiera berkata dengan lembut, menjelaskan dengan sabar kepada muridnya itu. Ia berlutut di sebelah Marlene, ikut memandang langit bersamanya. "Hanya bunga paling tangguh yang bisa berdiri dan mekar di tanah setinggi dan penuh bebatuan seperti ini."

"Oh," Marlene membentuk huruf O dengan mulutnya. Matanya berbinar penuh kekaguman. Lalu ia tersenyum girang. "Kalau begitu, Guru Kiera adalah dandelion, ya?"

Mendengarnya, Kiera ikut tertawa. "Kenapa aku jadi dandelion?" tanyanya. "Menurutmu aku sekecil itu?"

Tapi Marlene menggeleng. Ia mengangkat dua lengannya ke atas. Membentuk uruf U. "Karena Guru Kiera kuat sekali! Guru adalah orang paling kuat yang pernah aku temui!"

Kata-kata itu seketika membuat Kiera tertegun. Ia sudah biasa dipuji sebagai orang kuat atau orang yang bisa dipercaya. Tapi semua itu dikatakan untuk memenangkan hatinya. Agar ia menurut saja jika dimintai bantuan, dimanfaatkan, atau dimanipulasi.

Tapi dari mulut Marlene, ucapan itu terdengar seperti sebuah ucapan kekaguman yang tulus. Kepolosan khas anak-anak yang tidak akan mungkin bisa kembali. Kiera tersenyum dan kembali mengelus rambut muridnya.

"Terima kasih, Marlene." Meski aku tidak sekuat yang kau bayangkan itu, Kiera menambahkan dalam hati.

"Karena kalau aku kuat, aku-kau-tidak akan....."

Pemandangan seketika berubah.

Gunung batu dan langit biru berganti menjadi kegelapan yang diterangi oleh api yang membara seperti tornado. Dunia luas mereka berubah terkotak-kotak oleh tembok dan pilar yang mengancam hendak runtuh kapan pun mereka lengah.

Di tengah kobaran api itu, seorang pemuda memutuskan untuk tinggal. Berdiam di bawah pilar dan langit-langit dan berkubik-kubik material kuil yang hendak menimpanya. Darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya yang penuh luka sudah limbung dan tidak bisa berdiri tegap. Napasnya hampir habis dan cahaya redup dari matanya.

Dilihat sekilas, pemuda itu tidak akan bisa berbuat apa-apa selain jatuh pingsan kapan pun fisik dan harapannya tidak lagi menopang.

Namun pada kenyataannya, pemuda itu justru masih punya kekuatan untuk mendorong tubuh Kiera keluar dari kobaran api.

"Maaf ... aku hanya bisa menemani perjuangan Guru ... sampai di sini...." Marlene mencoba tersenyum meski bibirnya berlumuran darah dan tampak sangat kesakitan. Pemuda itu memegangi perutnya yang tertikam dan terus mengeluarkan darah. "Aku kelihatannya ... bukan Kandidat yang tepat...."

Itu adalah sebuah penyergapan yang keji. Sebuah operasi yang dilancarkan tidak hanya di Australia, tapi juga di seluruh dunia. Peperangan melawan para kandidat yang akan dijadikan Penjaga Gerbang selanjutnya. Seluruh kandidat Penjaga Gerbang, kandidat Lazarus dan donornya, dibunuh di satu malam yang sama. Di sebuah penyergapan keji. Di kasus Kiera, Marlene dan dirinya disergap di kuil mereka sendiri, tepat ketika Kiera akan melakukan upacara pewarisan kepada muridnya.

Tepat saat itu, jenderal kesayangan Eusena datang menyergap dan menikam Marlene sampai sekarat.

Kiera datang terlambat. Ia terlalu lemah untuk melepaskan diri detik itu juga dari cengkaman para penyergap. Akibatnya, sekarang Marlene hampir terbunuh oleh tangan sang jenderal beradarah dingin. Dan anak yang masih terlalu muda itu, bahkan, berpikir untuk mengakhiri hidupnya di sini bersama sang jenderal.

Tidak, Kiera mengelak. Seharusnya upacara itu masih bisa berlangsung

Ia masih bisa memindahkan kekuatannya ke tubuh Marlene dan-

Tiba-tiba kuil di sekelilingnya kembali berguncang.

***

Kiera terbangun ketika sadar, guncangan itu tidak hanya ada di bayang-bayangnya. Guncangan itu nyata dan mengguncang gubuk di sekelilingnya. Kiera membelalak dan bangkit berdiri. Tepat di saat itu, api menyerbu masuk membakar seluruh pondok yang semi permanen.

Dan dari pintu masuk, sesosok prajurit masuk.

Kiera membelalakkan mata. Prajurit berpakaian hitam itu memakai emblem Garda Serikat.

Pasukan itu sudah sampai sini mengejarnya?

Sementara Kiera kaget, pria di depannya menyeringai. Ia menarik pedang yang mengundang alarm bahaya dari insting Kiera. Jelas itu bukan pedang biasa. Ada energi yang tercium dari sana. Eneergi serupa dengan miliknya. Seolah pedan itu dialiri ... sihir.

Ah, Kiera mengingatnya. Beberapa saat sebelum ia kabur, ia melihat sebuah produk senjata baru yang dikembangkan dan diimpor dari Eropa,

Kiera mencoba mengingat nama senjata itu: Xifos.

"Akhirnya kami menemukan Anda, Jenderal Kiera." Pria itu berkata. Ia menghubunskan pedang pada Kiera. "Ikut kami dengan damai malam ini, Jenderal. Yang Mulia menanti Anda."

"Yang Mulia...." Kiera hampir meludah saat panggilan itu keluar dari namanya. Raja yang telah membunuh tanpa pandang bulu. Yang otaknya sudah tercemar racunnya sendiri. Kiera mengumpulkan energinya di seluruh anggota tubuh, mengalirkannya kuat-kuat. Bekas luka stigma di perutnya terasa sakit, tapi ia tidak peduli. "Katakan pada Yang Mulia-mu yang terhormat itu...."

Kiera mengepalkan tangan.

"Pergi sana ke selokan!"

Ledakan pun terdengar.

***

Kiera sekali lagi mendapati dirinya berlari di tengah kegelapan hutan dalam keadaan terluka. Tapi kali ini ia tidak semata-mata berlari. Kali ini ia mencari seseorang di dalam hutan.

Perkemahan suku Noongar itu terbakar habis. Tidak banyak orang yang terlihat tersisa di sana. Entah karena mereka kabur atau tewas terbunuh dalam kekacauan itu. Yang mana pun, Kiera tidak berani memikirkannya dalam-dalam.

Ia hanya fokus pada satu hal sekarang.

Satu hal yang menjadi sumber masalahnya.

"Bagaimana cara kami menemukanmu secepat ini? Jawabannya mudah sekali." Kiera mengingat jawaban sipir itu ketika ia bertanya bagaimana mereka bisa menemukan Kiera secepat ini, di wilayah seterpencil ini.

Kiera memegangi perutnya, merasakan denyut sihir kecil yang nyaris tidak terasa di sana.

Sunber masalahnya.

Pelacak yang ditanamkan oleh Yang Mulia Eusena untuk dilacak oleh seluruh bawahannya di sini maupun di Garda Serikat sana!

"Itu sihir spesial Yang Mulia." Kiera benar-benar ingin menghajar dirinya sendiri akibat kebodohan itu! "Tidak ada yang pernah lolos dari sihir itu dan kami selalu mendapat mangsa yang kami mau berkat berkah Yang Mulia itu!"

Kiera benar-benar merasa muak sekarang.

"Anda seharusnya juga bisa mendapatkannya jika tetap ada di pasukan, Jenderal!" Pria itu mengumumkan dengan bangga. "Kenapa Anda malah mengkhianati Yang Mulia?!"

"Diam, kau Tikus Got yang tidak tahu apa-apa." Kiera menyumpah serapah dalam pelariannya.

"Anda tidak sadar juga kalau ini adalah akibat perbuatan Anda?!" Namun kata-kata itu masih bergema di telinga Kiera. Bahkan saat ia berlari. "Ini semua akibat perbuatan Anda. Kalau saja Anda tidak berlari, hidup Anda tidak perlu dalam persembunyian dan pelarian seperti dikus tanah seperti ini! Dan pastinya Manusia-Manusia menyedihkan tempat ini akan sedikit lebih banyak yang masih bisa bernapas."

Bernapas dalam apa, itulah pertanyaannya.

Jika mereka dibiarkan hidup sebagai budak atau sebagai alat di Perserikata, Kiera tidak akan ragu para Manusia ini akan memilih mati dengan senapan terarah ke mulut mereka.

"Maali!" Suara jeritan itu menghentikan langkah Kiera seketika. Ia mengedarkan pandang ke segala arah. "Kakak!"

Ketika ia menemukan arah suara itu berasal, Kiera segera berlari ke sana. Menembus berbagai halang rintang di dalam hutan yang menggores tubuh dan wajahnya. Kiera tidak ambil pusing. Semua luka itu dengan cepat pulih tanpa sisa. Yang mungkin sedang bermasalah adalah orang yang sedang digemakan namanya ke sepenjuru hutan itu.

Suara Yindi.

Dan jika Yindi yang penuh kewaspadaan saja sampai melakukan kesalahan seceroboh ini, artinya keadaan sudah benar-benar....

Belum sempat Kiera menyelesaikan dugaan itu, pria itu menghentikan langkahnya seketika.

Di hadapannya, Maali tergeletak di tanah. Terbaring dengan tubuh terluka bersimbah darah.

Seketika itu juga, Kiera ditarik ke dalam gelombang déjà vu yang menyapunya dahsyat bagai gulungan tornado. Kenangan saat Marlene mati, kenangan pembicaraan terakhir dirinya dan Maali yang tidak indah sama sekali. Malahan, dia bertengkar dan tidak sempat meminta maaf kepada Maali. Atau kepada siapa pun. Atas semua yang ia telah lakukan.

Kiera belum melakukan apa pun, ia menyadari. Ia belum menyelesaikan apa pun yang telah dimulai bahkan jauh di atas generasinya sekarang.

"Maali! Sadar, Kak! Tolong jangan sampai kau tertidur, kau dengar aku?" Di dekat tubuh Maali yang tidak bergerak, Yindi mencoba menekan pendarahan yang paling besar di tubuh Maali: tepat di dadanya. "Kalau kau tidur, aku akan menghajarmu sekuat tenaga! Maali, kau dengar aku, kan?!"

Namun Maali tidak merespons. Gadis itu malahan, perlahan mulai memejamkan matanya. Maali sekarat. Melihat dari luka terbuka di dadanya, Maali tidak akan selamat.

Pemandangan yang penuh déjà vu itu tanpa sadar membuat Kiera bergerak, jauh lebih cepat dari yang bisa ia pikirkan.

Yindi berbalik tepat waktu saat Kiera hampir berdiri di sebelah Maali yang mulai tidak sadarkan diri.

"Mau apa kau?!" Di saat seperti ini, Yindi masih saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Kiera hampir memuji Yindi dan keteguhannya dalam hati. Sayang, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memuji seseorang. "Menjauh dari Maali!"

Yindi mencoba mendorong Kiera, tapi tanpa hasil berarti. Tubuh Kiera sekeras batu.

"Semua ini gara-gara kau! Gara-gara kedatanganmu desa kami-semua ini salahmu! Waktu itu kau mengamati benar-benar untuk mencari kelemahan kami-

"Ya!" Kiera memotong semua tuduhan itu. Ia meraih tangan Yindi dan berlutut di sebelah anak itu. Menghentikan pergerakannya segera. "Karena itu, aku ingin menebus semuanya."

"Kau-dasar gila!" Yindi rupanya tidak semudah itu dibujuk. "Kau yang menyebabkan semua ini! Kau kira semudah itu meminta maaf?!"

Kiera tidak menyerah. Ini satu-satunya kesempatan. Tapi ia tidak bisa melakukannya sendirian. Ia butuh persetujuan. Karena Maali bukan orang terlatih. Ini bukan upacara pewarisan yang resmi. Ini adalah tindakan darurat dan tidak ada jaminan berhasil. Ia pun belum meninggalkan ilmu apa pun keapda Maali dan Yindi.

Tapi jika ia bisa mengundur takdir itu ... jika saja ia bisa membuat dirinya tidak mati setelah menjadi donor ... hanya cukup untuk memberi mereka ilmu dan waktu yang cukup untuk menjadi kuat dan melawan semua takdir menyedihkan ini....

"Kembalikan semuanya!" Yindi masih histeris. Gadis itu menangis kencang. Di tengah kegelapan hutan, mata Kiera bisa melihat air mata bercucuran di mata gadis yang biasanya keras dan teguh pendirian itu. Ia hancur luar dalam dan mungkin tidak akan bisa kembali utuh dalam waktu dekat.

Tapi Kiera mungkin punya solusi sementara untuk memulihkan hati gadis ini.

Memulihkan sedikit apa yang telah rusak, sekaligus menenangkan dirinya.

"Kembalikan pemukiman kami! Kembalikan kedamaian kami!" Yindi terus menjerit. Tangannya mencoba lepas dari pegangan Kiera. Tubuhnya meronta. "Kembalikan Maali padaku!"

"Tentu!"

Tangisan Yindi seketika berhenti. Waktu, kebakaran, kebisingan, dan kekacauan saat itu seolah berhenti mendadak, menyisakan hanya mereka berdua di ruang nirwaktu. Tidak ada apa pun di sekeliling mereka berdua selain kegelapan.

"A-pa ... maksudmu?" Yindi masih terbata, tampak masih tidak memercayai apa yang baru saja ia dengar.

"Aku bisa menyelamatkan Maali," Kiera menoleh ke arah Maali yang sudah memejamkan mata sekarang. Ia segera menatap Yindi. Urgensi tampak jelas di wajah dan matanya. "Waktu Maali semakin tipis. Jika kau memang ingin di kembali, tolong izinkan aku membantunya."

"Apa ... memangnya apa yang bisa kau lakukan?" Menakjubkannya, Yindi masih menyimpan keraguan di saat seperti ini.

"Aku bisa mengembalikan Maali kembali hidup. Utuh, tanpa ada tipuan apa pun," Kiera menjelaskan. "Aku akan menyembuhkan lukanya, jika kau memang mengizinkan."

Yindi menoleh ke arah Maali yang sudah kehilangan kesadaran. Kiera pun melirik ke arah Maali. Sebagian dari dirinya merasa akan menyesali keputusan ini. Baik itu karena Maali maupun karena dirinya sendiri. Maali akan dibebani takdir yang jauh lebih berat untuk ditanggung. Benar ia akan hidup, tapi segalanya tidak akan pernah sama. Hidupnya tidak akan lagi sama.

"Baiklah," Kiera menoleh ke arah Yindi, tidak menyangka akhirnya mendapat persetujuan dari gadis itu. Tapi saat melihat kondisi Yindi yang benar-benar mengenaskan: kepala tertunduk dalam, air mata yang tidak henti menetes, dan suara yang terisak, Kiera tidak berani berpikir apa-apa lagi selain menyelamatkan Maali. "Tolong ... tolong selamatkan kakakku ... Penyhir ... Kiera....."

Kiera menatap Maali untuk kali terakhir. Tekadnya masih bimbang, tapi ia tidak punya pilihan lain. Tidak ada jalan lain selain menguatkan dirinya dan tekadnya.

Kiera segera melukai pergelangan tangannya, lalu menandai tanah.

"Baik, aku akan segera menolong kakakmu."

Maaf, Kiera berkata dalam hati. Maaf setelah semua ini, kehidupan kalian tidak akan sama lagi.

Malam itu, takdir seseorang berubah. Nasib satu suku hampir saja musnah di tangan para penjajah. Dan hampir saja, satu benua kehilangan pilar penjaga mereka yang penting.

Namun semua bencana itu bisa dihindari. Dan sebagai gantinya, Penjaga Gerbang yang baru telah lahir.

***

A/N:

AKHIRNYAAAA

special chap yang saya janjikan bisa saya selesaikan!!! AAAAA LEGA BANGETTTT

Akhirnya saya bisa sampaikan ke kalian sedikit cuplikan dari apa yang akan menjadi sekuel Lazarus Chest jika saja saya tidak termakan kerjaan yang menumpuk tidak henti!

Karena chap ini sampai 5k lebih, silakan dicicil jika tidak kuat baca ya, jangan dipaksakan. Ah, dan saya tambahkan lagu yang selalu menemani saya mapping Lazarus Chest kedua ini. Awalnya karena lagunya ear-catching, tapi setelah saya cari liriknya ... wow, ini mewakili banget Lazarus Chest kedua. Liriknya itu buat saya udah spoiler, tapi mungkin buat yang lain nggak akan begitu paham, jadi saya aman lah ya seharusnya hahaha

Sebenarnya kalau soal konsep, Lazarus Chest itu berakhir di trilogi dengan benua terakhir akan jadi benua paling gila pertarungan dan konfliknya, tapi saya nggak yakin punya kemampuan untuk nulis adegan segila itu dan serumit itu. Jadi lihat nanti saja ya.

Seperti yang sudah-sudah, jangan lupa komen dan vote.

See you di cerita selanjutnya!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro