Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LAZARUS CHEST : [SPECIAL CHAP 1]


Sekelebat bayangan bersembunyi di antara semak. Berusaha untuk tidak bergerak, tidak bernapas, tidak mengeluarkan energi macam apa pun yang bisa dideteksi. Di belakangnya, sekelompok bayangan mengejar. Mereka laksana rupa tak berwujud yang memecah ke dalam bayangan dan menyusup, mengintai dalam gelap dengan entah berapa ratus pasang mata yang mengawasi.

Sadar dirinya tidak bisa bersembunyi terlalu lama, pria itu pun berlari kembali.

Tapi kali ini salah satu mata itu berhasil melihatnya.

Suara desisan terdengar di belakang. Diikuti suara raungan dan sekelompok bayangan pun berlari mengejarnya.

"Dia lari ke arah sini!"

"Jangan sampai kita kehilangan jejaknya!"

Suara-suara gema yang diliputi kemarahan mengekor di belakangnya, membuat jalan satu-satunya bagi pria itu adalah terus berlari ke depan, menembus semak, pepohonan, dan berakhir di sebuah rawa. Dia menoleh dengan gelisah ke belakang. Sekelompok bayangan itu masih cepat mengikuti. Ia tidak punya pilihan lain.

Pria itu pun mengeluarkan energi yang sedari tadi ditahannya. Aroma pohon pinus dan energi yang pekat tercium di udara. Kemudian ia melompat, tinggi ke arah pepohonan, tepat mendarat di salah satu rantingnya, lalu melompat lagi ke arah pohon beringin dan bergelantungan di akar hawanya, sebelum jatuh kembali ke salah satu akar bakau.

Makhluk-makhluk penghuni rawa terbangun karena ulahnya. Bunyip yang terusik segera bangun dan mengejarnya. Mulut raksasa makhluk itu membuka lebar, dengan cakarnya langsung teracung ke arah akar bakau tempatnya berada. Ia bisa menghindar, tapi raungan makhluk itu membuat bayangan di belakangnya bisa mendeteksinya lagi.

Ia melompat lebih jauh melintasi rawa. Bayangan pengejar itu telah sampai di belakangnya. Energi keluar semakin pekat dari tubuhnya. Suhu udara meningkat. Panas internal dalam tubuhnya semakin meningkat seiring energi yang berputar dalam aliran yang ia kendalikan di sekelilingnya. Air-air rawa bergejolak. Tanah bergetar.

Di seberang rawa, deretan pisau melesat. Ia menghindari semua hunjaman itu dengan ketangkasan yang tidak bisa ditiru Manusia.

"Tidak menggunakan sihir untuk melelehkannya?" Salah satu bayangan itu mencela. "Kau sepertinya mulai melemah."

"Dan kau sepertinya enggan sekali menggunakan sihir."

Mata violet berpendar dari sosok bayangan itu muncul, mendelik tepat ke arahnya. Kekuatan meledak di sekeliling mereka, memengaruhi bentuk rawa dan mengubahnya. Pepohonan tumbuh semakin lebat, air bergolak seperti mendidih dan tanah melunak di sekeliling mereka, beurbah menjadi lumpur seketika. Pria itu membelalak.

Terlebih saat merasakan energi yang beresonansi ikut bergetar di dalam tubuhnya, seperti dua getaran yang saling memanggil dan memengaruhi.

Mereka telah sanggup memengaruhi bentuk dunia.

Tidak mungkin, pria itu mendongak dengan kaget. Dalam pandangannya, langit malam yang berbintang di atas sana tampak polos. Tidak ada yang salah.

Tapi apa yang terjadi malam ini membuktikan bahwa sesuatu di atas sana, tidak sedang baik-baik saja.

Ada sesuatu yang terjadi pada Jalinan Dunia.

"Kau terkejut?"

Bayangan yang mengejarnya, melesat dengan cepat melintasi rawa. Sulur-sulur cahaya keemasan menyelimuti tubuh pria itu. Air bergerak membentuk ombak yang langsung menerjang ke arah sekelompok bayangan yang langsung memecah di tengah rawa. Para bunyip meraung marah. Kepala-kepala sebesar drum minyak mereka berputar ke arah para penyerang yang seenaknya memasuki teritori mereka.

"Kita sudah bisa berbuat sejauh ini dan kau belum mengetahunya?" Suara lembut itu mengalun lagi. "Sepertinya aku sudah terlalu baik sekali lagi dengan menunjukkannya kepada rakyatku."

Namun bayangan itu, sosoknya tampak berubah. Sesuatu melesat dari balik bayangan hitam yang menyelimuti tubuhnya.

Tubuh para Bunyip segera tercerai berai. Darah-darah hijau kental membanjiri sekeliling mereka. Suara-suara bunyip yang tadinya marah, berubah memelan dan ketakutan. Mereka bersmebunyi di balik akar bakau atau lari dari rawa dengan empat kaki mereka yang melengkung seperti kait. Bahkan kulit mereka yang tebal dan berminyak tidak bisa melindungi nyawa mereka dari air rawa yang semakin berbuih selayaknya lumpur panas dari perut bumi.

"Kau sudah melanggar batas, Yang Mulia!" Pria itu menjerit. "Ini tidak bisa dibiarkan! Keseimbangan dunia ini bisa hancur dan kau masih ingin membahayakan nyawa banyak orang?"

"Nyawa siapa yang kau bicarakan, Kiera?" Sosok bayangan itu jatuh di antar pohon dan berdiri di sana. Sosok hitam yang menutupi dirinya lenyap, memperlihatkan wujud yang sedari tadi mengejarnya.

Sosok itu pakaian biru-putih yang tampak kontras di tengah kegelapan. Gaun putihnya yang pas membungkus tubuh tampak berkilau. Dari balik cahaya bulan yang pucat mengintip dari balik kekacauan yang terjadi di sepetak tanah ini, sosok itu berdiri angkuh di atas kedua sepatu hak-nya, seolah tidak ada yang salah sedang terjadi di sini. Seolah Jalinan di atas mereka yang melonggar dan terancam tercerai berai bukanlah masalah baginya.

Yah, memang, mungkin bukan masalah baginya sejak awal.

"Apa kau sedang membicarakan nyawa klan kita?" Rambut merah membara pendek wanita itu tertiup angin dengan lembut. "Atau kau membicarakan nyawa sekelompok belatung dan serangga yang tidak berarti di luar sana sekali lagi?"

Kiera bungkam. Kuasa dari seorang raja masih mengikatnya. Tidak bisa mulutnya bicara menentang. Tidak bisa ia tangannya mencabut jantung dan melakukan pengakhiran mematikan. Meski dirinya royalis sekalipun.

"Kau tahu ini salah, Yang Mulia Eusena." Kiera berkata teguh. "Merebut dunia, menghancurkannya di saat kita terperangkap di sini, aku tahu kau lebih bijaksana dari ini."

"Kenapa harus risau?" Wanita itu menjawab. "Ketika kita tidak perlu sekadar menghancurkan?"

Kiera mengernyit. "Apa maksudmu?"

Eusena, sang raja klan Eusena, merentangkan tangannya di tengah kegelapan. Kedua mata violetnya membuka lebar, membara oleh ambisi sakit jiwa yang beresonansi dengan suhu di sekeliling mereka yang bergejolak. Aroma abu pekat di udara. Aroma sihir yang jauh lebih kuat dari miliknya.

Itu salah. Jelas tidak benar.

Tidak mungkin mereka bisa mengeluarkan sihir sebesar itu sebelumnya. Kiera melihat bangkai bunyip di sekelilingnya dan menyadari, Kiera sudah bisa menggunakan sihir jiwa dalam skala besar tanpa perlu banyak perantara.

"Kau ingin menghancurkan hukum yang melindungi dunia ini dari dalam," Kiera menyatakan.

"Mumpung ada kesempatan. Kuanjurkan kau juga menggunakannya, penasihatku yang bijak." Eusena mengajak, mengulurkan tangan. "Sedikit lagi, kita bisa menguasai dunia ini. Tanpa ada pengekang. Tanpa perlu ketakutan."

Kiera menatap tangan pucat yang terulur itu dengan kerutan dalam di dahi. Kemudian ia terkekeh.

"Kau tidak pernah merasakan ketakutan, Rajaku," ujar Kiera. "Kau menanamkan ketakutan."

Tapi tidak pernah merasakan ketakutan.

Tidak sampai hari ini.

Senyum Eusena memudar. Aroma pohon pinus, aroma sihir miliknya, pekat di udara. Pria itu menyumpah dalam hati ketika tubuhnya begitu lega menerima begitu banyak energi yang mengalir. Sudah berabad-abad lamanya, ia tidak merasakan sebegitu hidup seperti sekarang.

Berada dalam Jalinan membuatnya merasa begitu kecil dan ia sekarang merasa begitu kuat.

Sebuah perasaan yang memabukkan.

"Aku tahu kau juga merasakannya. Kau menginginkannya, Kiera." Eusena membujuk lagi, selayaknya ular yang membisikkan kata-kata manis. "Bergabunglah denganku sekali lagi. Kami membutuhkanmu."

Kata-kata itu meresap sedikit terlalu banyak ke benak Eusena. Merasa dibutuhkan, merasakan bahwa dirinya bisa berguna bagi orang-orang yang berharga, perasaan itu benar-benar tidak tergantikan. Ia pun bukannya membenci seluruh klannya. Ada orang-orang yang ia sayangi dan jelas, ia tidak membenci rajanya, walaupun selalu bersilang pendapat dengannya.

"Orang-orang sepertimu adalah aset berharga bagi klan ini." Namun Kiera sudah membulatkan tekad sejak lama. "Kami tidak akan mengkhianatimu, kau tahu itu."

Kiera terdiam. Kedua tangannya berhenti mengepal. Di sekelillingnya, terasa kebradaan lain. Dalam jumlah banyak. Semuanya menyembunyikan sihir dengan sangat baik hingga ia tidak melihat jejak sihir menyala di udara.

Ia sebaiknya jangan berlama-lama terlarut dalam perasaaan itu.

"Kau benar," Kiera tidak mengelak. "Dianggap berharga dan tidak dikhianati, jelas itu janji yang tidak bisa diabaikan, jika datang dari mulutmu, Yang Mulia."

Namun kedua tangan Kiera kembali terkepal.

"Tapi kau hanya ingin memilikiku, Yang Mulia."

Sekarang senyum Eusena membeku.

"Kau hanya ingin memiliki semua pengguna sihir waktu."

Pria itu menyentuh salah satu pohon bakau.

"Sejak awal kita memang tidak pernah sependapat, bukan begitu, Yang Mulia Eusena?" Tanah di kakinya bergolak, lalu pohon-pohon bakau itu ikut terangkat dan terempas dari tanah tempatnya berpijak. "Kita membela prinsip yang berbeda dan itu tidak akan pernah berubah, Yang Mulia!"

Sihir Kiera meledak. Bentuk rawa-rawa kembali berubah. Air-air yang menggelegak mendidih itu muncrat ke segala arah. Rawa-rawa lenyap di sekeliling mereka. Ledakan air menghujani hutan dengan air keruh dan lumpur. Tanah-tanah yang telah berubah lembek, memuncrati wajah semua orang yang hadir, mengungkapkan keberadaan mereka yang bersembunyi di balik bayang-bayang.

Di tengah udara yang berubah panas dan aroma sihirnya yang bergejolak di udara, Kiera berlari menjauh dari sana. Memutuskan untuk memalingkan muka lebih dulu dari rajanya.

"Kiera!" Suara raungan yang memanggil namanya terdengar. Dari wanita yang ada di hadapannya dan seseorang lain di balik kegelapan, tapi pria itu tidak mengindahkannya.

Sebuah keputusan yang salah.

Karena tepat saat ia berbalik, salah satu bayangan itu berhasil menghunjamnya. Keira menengok ke belakang, melihat mata ungu mendelik dari balik bayangan. Sulur-sulur sihir meledak di sekelilingnya. Tanah-tanah yang tadi bergolak, kini terangkat semua ke tanah, berikut dengan air yang jadi berombak.

"Kau berani menyerangku, rajamu sendiri?" Suara desisan itu mematikan, seperti sihirnya yang menyebar dengan cepat. "Kau akan lebih dari sekadar mati, Pengkhianat Lancang!"

Kiera menunduk ketika rasa sakit menghunjamnya dan membelalak menyaksikan noda hitam mulai menjalar dari tombak hitam yang menusuk perutnya. Darah hitam keluar dari mulut Kiera ketika ia menunduk, mencelus saat menyadari tombak hitam yang menusuknya bukanlah senjata atau sekadar besi yang diselimuti sihir jiwa.

Itu Stigma.

Dengan siku, Keira memusatkan energi sihir sekali lagi ke tubuhnya. Sihir jiwanya mengalir dengan cepat, lalu dengan satu sentakan siku, tombak hitam itu patah. Kiera selamat, untuk saat ini.

Jeritan wanita bergema di belakangnya. Jeritan yang dengan cepat berubah menjadi raungan serupa raungan binatang buas. Keira kembali berlari, kali ini tertatih-tatih melewati hutan yang semakin lama semakin gelap.

"Tidak ... tidak boleh berakhir ... di sini....." ujarnya terbata.

Namun jalan di hadapannya berubah semakin gelap. Semkain tidak terbaca di tengah gelapnya malam. Suara binatang-binatang malam yang menemaninya tadi, sekarang pergi dan sirna sudah.

"Tidak boleh...." Ia berkata pada dirinya sendiri ketika dirasakannya sihir waktu dalam tubuhnya mulai bekerja untuk mengusir stigma itu.

Ia tidak boleh menyia-nyiakan sisa usianya. Tidak boleh ketika ia belum menemukan Kandidat Penjaga Gerbang yang baru.

"Guru ... hiduplah....." Kiera menggertakkan gigi saat bayangan penuh darah itu kembali ke benaknya yang memburam. "Maaf ... aku bukan kandidat ... yang baik."

Dia benar-benar orang yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya hidup setelah muridnya mati mengenaskan, setelah orang yang ia bina susah payah dan ia ajari semua hal yang ia tahu, mati sia-sia di hadapannya. Di depan sebuah rencana yang telah tergodok dengan baik di luar pengetahuannya.

Jalan yang ada di hadapannya semakin lama semakin gelap. Langit yang ada di atasnya tidak lagi tampak jelas. Langkahnya tidak lagi berpijak pada tanah yang benar.

Kiera tidak lagi bisa mempertahankan tubuhnya untuk berdiri, apalagi berjalan. Kemudian ia pun jatuh, tubuhnya melayang turun ke jurang yang tidak memiliki dasar.

***

Suara seseorang berbisik di dekatnya. Kiera membuka mata dengan berat. Untuk sesaat, ia mengira kegelapan yang ada di sekelilingnya adalah dunia setelah kematian. Dimensi tempat jiwanya akan musnah, tapi saar sadar perutnya sakit luar biasa dan seluruh tubuhnya pegal, sadarlah ia, pasti ini bukan akhirat.

Tangannya meraba tempatnya tidur, lalu mengecek kelengkapan tubuh. Dua tangan dan kakinya masih utuh. Dan ia terbaring di atas setumpuk jerani yang terasa sangat gatal.

Kiera perlahan menoleh, lalu melihat dua siluet yang duduk di dekatnya.

"Maali, kalau kau....." Sosok pertama bersedekap, lalu berkacak pinggang. Dia tidak terdengar senang.

Dan bahasa yang mereka gunakan, sama sekali bukan bahasa Inggris. Itu bahasa Noongar, salah satu cabang bahasa Aborigin, ia mengenali.

"Dia tidak tampak berbahaya...." Sosok kedua mengedikkan bahu.

Keduanya sama-sama terlalu gelap untuk dikenali dalam kegelapan. Dalam ketiadaan cahaya, biasanya Kiera tetap bisa melihat dengan jelas.

Namun sekarang penglihatannya tidak bisa digunakan dengan baik.

Kiera berusaha mengeluarkan energinya, tapi kemudian perutnya menghantamnya dengan rasa sakit bertubi-tubi. Ia mengernyit dan merintih tanpa sadar, saking sakitnya perutnya menghantam tubuhnya sendiri.

Setelah bertanya-tanya sesaat, ia barulah ingat, tubuhnya memang tidak sehat.

Stigma, ia dihantam stigma sebelum kehilangan kesadaran.

Ia buru-buru bangun dan mengecek ke dalam jubahnya, tidak repot bertanya atau heran bagaimana bisa pakaiannya berganti dan bahkan ada jubah tambahan yang menutupi tubuhnya sekarang.

"Oi, oi, tolong jangan bergerak lebih dulu!" Bahasa Noongar itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat dengannya. Kiera mendongak, melihat salah satu sosok itu sudah duduk bersimpuh di dekatnya.

Siluet bayangannya tampak semakin gelap. Kiera yang defensif langsung menghindari sentuhan orang itu dan menjauh. Tapi tubuhnya menjerit dan ia tidak berdaya. Ia hanya bisa meringkuk kembali seperti anak kecil tidak berguna di atas lapisan jerami.

"Lihat itu, tipikal orang kulit putih! Diselamatkan dan langsung seperti melihat hantu!"

"Yindi, tolong jangan terlalu keras kepadanya." Sosok di dekatnya menasihati dengan kelembutan yang mengingatkan Kiera pada kenangan-kenangan pahit. Kiera semakin ingin menjauh. "Sekarang beri aku sedikit cahaya dengan kristal api dan jangan buat suara terlalu keras."

Perempuan. Suara mereka berdua suara perempuan.

"Kristal api? Kau gila? Mereka bisa melihat kita dari jarak segini, Maali!"

"Hanya sebentar, Yindi," Gadis yang sepertinya bernama Maali itu berkata dengan sabar. "Hanya untuk meyakinkan tuan ini, bahwa kita tidak bermaksud buruk."

"Kenapa kau mau dia melihat wajah kita? Lebih baik dia tidak mengenali kita, kan?"

"Yindi!" Sekarang Maali memperingatkan. "Tolong."

Kiera mendengar suara mendecih tidak jauh dari mereka.

"Kalau terjadi sesuatu, semua ini salahmu." Sosok yang sepertinya bernama Yindi itu memprotes. "Menolong orang kulit putih lagi. Aku sudah pernah bilang, tidak boleh menolong orang kulit putih lagi dan kau malah mengulanginya tidak sampai seminggu!"

Yindi terus menggerutu sembari bayangannya bergerak menjauh. Terdengar bunyi grasak-grusuk di dekat Kiera. Meninggalkan dirinya dengan Maali.

"Maafkan kelakuan adikku. Dia memang keras pada orang dari luar suku kami." Maali berkata. "Tolong jangan khawatir. Kami tidak bermaksud jahat, Tuan, jika itu yang Tuan khawatirkan."

Kiera hanya diam. Tidak mau menyahuti ucapan yang terdengar terlalu manis itu.

Cahaya kemudian menyala di sekeliling mereka. Kiera mengernyit, membiasakan matanya dengan cahaya redup kristal api yang menerangi sekeliling. Mengedip beberapa saat, matanya tidak lagi merasa sakit di tengah cahaya.

Namun ia langsung tertegun.

Di hadapannya, dua sosok gadis muda indigenous duduk bersimpuh. Pakaian khas suku aborigin menempel di tubuh mereka, dengan sedikit kain yang sepertinya dicampurkan di sana demi kesopanan di hadapan orang asing seperti dirinya. Usia gadis-gadis ini mungkin baru menginjak remaja, sekitar empat sampai lima belas tahun ukuran manusia. Mata keduanya hitam pekat dan kulit mereka yang semerah madu tampak seperti api yang membawa di bawah cahaya kristal api.

Gadis berambut panjang di dekatnya yang ia yakini adalah Maali, tersenyum kepadanya. Gadis itu lantas mengangkat tangan.

"Lihat? Kami tidak bersenjata." Maali berkata.

Sikap defensif Kiera tidak hilang begitu saja. "Siapa—kenapa kalian—bagaimana...."

"Kau jatuh di dekat sini." Yindi menjawab dengan ketus. Dia melirik gadis di dekat Kiera. "Dan kakakku bersikeras untuk membawa orang kulit putih lagi ke dalam kediaman kami."

"Yindi—ah, aku lupa." Maali menoleh ke arah Kiera lagi dengan senyum ramah terlukis di wajahnya yang muda. "Kami belum memperkenalkan diri." Ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku Maali."

Kemudian gadis itu melirik gadis di dekatnya.

"Dan dia Yindi, adikku." Maali tersenyum. "Dan kKami hanya ingin merawat luka Anda jika Anda tidak keberatan, Tuan."

Kiera saat itu hanya menganggap itu adalah pertemuan sederhana. Sebuah persimpangan di tengah jalan yang bercabang banyak dan panjang. Sebuah perhentian sejenak sebelum ia melanjutkan perjalanan dan tidak pernah lagi menoleh ke belakang.

Namun takdir bekerja dengan cara misterius. Begitu pun takdir yang merajut di antara mereka bertiga. Semua berjalan dengan keterkaitan yang tidak bisa dilepaskan sejak malam itu; malam pertama mereka bertemu dan dirinya diselamatkan oleh dua saudara ini.

***

A/N :

Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya berkutat dengan riset kecil untuk special chap ini dan jungkir balik kesehatan mental yang naik turun, saya dapat waktu untuk mempublikasikan ide yang memang sudah sejak lama ada di kepala saya untuk ide benua Eusena ini.

Kenapa saya taro di akhir part 1? 

Karena emang waktu kejadian ini ada di akhir part 1 Lazarus Chest, sekitar bab 34-36. 

Nah, ada 1 chapter lagi untuk special chap ini dan letaknya akan ada di akhir kisah Lazarus Chest

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro