Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Jatuh

Aroma hijau rumput mengharum semerbak. Langit biru cerah dengan awan yang berarak pelan-pelan di langit membentang sejauh mata memandang. Angin musim panas beraroma gandum dan rumput bertiup pelan. Dengan malas kutiup helai-helai poni hitam dari depan mataku. Tanganku meraba rumput, menikmati sensasi kasar, lembut, dan empuk dari rerumputan yang tumbuh alami di tanah. Kubiarkan sensasi itu menari-nari di antara sela jemariku dengan bahagia.

"Lissy!" Bayangan seseorang menutupi pandanganku, menghalangiku dari menikmati langit yang cerah. Aku memberengut kesal pada seorang gadis kecil dengan rambut pirangnya yang selalu membuatku iri. "Ibu bilang tidak boleh tidur di rumput! Nanti laba-laba masuk ke rambutmu!"

Aku berbaring ke sisi kanan. "Bilang pada Ibu, lima menit lagi, Lizzy. Aku masih lelah."

Bunyi tuk-tuk dan ketukan kecil yang mengganggu di kepala membuatku mengayunkan tangan dengan liar ke udara, mengusir apapun yang berani mematuk-matuk kepalaku. Tanganku berhasil menyingkirkan sesuatu dari atas rambutku.

Kudengar sesuatu jatuh ke tanah dan mencicit pelan dalam bunyi serak aneh. Ayah mencoba membuatnya terdengar mirip burung asli, tapi hasilnya mengerikan. Suaranya mirip burung malang yang hampir mati. "Lizzy, jangan gunakan Perry untuk membangunkanku!" Aku menggerutu.

Lalu angin tiba-tiba saja berhenti berembus.

"Ibu tadinya ingin kau ditarik sampai rumah daripada sekadar menyuruh Perry mematukimu, Alicia."

Seketika aku bangun dan menoleh, bertemu pandang dengan ibuku yang masih mengenakan apron penuh jelaga. Dia pasti baru saja keluar dari dapur. Bau apple pie menguar dari tubuhnya, pertanda pai dari apel hasil panen kemarin sudah jadi dan siap disantap.

"Aku tidak tertidur, Bu. Hanya berbaring." Aku berbohong, tak ingin mendapat cubitan lagi di pipi.

Ibu hanya menghela napas dan menatap Lizzy yang sedang membelai automaton burung parkit kami, Perry, dengan lembutnya. Aku memutar bola mata dengan jengkel. Dia tahu Perry terbuat dari besi dan tidak bisa merasakan sentuhan tapi masih saja mengelus-elusnya seperti kuda. Lizzy menjulurkan lidah tak suka.

Aku membalas juluran lidahnya. Seolah mendukung Lizzy, Perry ikut berkoak nyaring. Dasar pengkhianat. Padahal aku yang membuatnya bersama Ayah. Lihat ke mana dia berpihak sekarang!

Ibu hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua. Ia menatap Lizzy. "Pergilah ke rumah dan bagikan apple pie itu ke tetangga."

Lizzy menggembungkan kedua pipi, yang menurutku terlihat menyebalkan tapi imut di mata semua orang. Dia baru berumur delapan tahun, aku bisa bilang apa sebagai anak tertua? "Tapi rumah tetangga kita jauh."

Adikku tidak melebih-lebihkan. Jarak rumah tetangga paling dekat dengan kami harus ditempuh sepuluh menit perjalanan dengan kuda. Kuberikan senyum mengejek atas kemalangan Lizzy.

"Bibi Victoria akan mengantarmu. Eden juga akan ikut." Rajukan adikku berhenti seketika. Wajahnya berubah cerah mendengar nama anak lelaki tetangga kami, Eden, disebut. Dengan gembira dia berlari menuruni bukit menuju rumah kecil kami di bawah sana. Sepanjang jalan ia tak henti menari hingga tubuh kecilnya masuk melalui pintu belakang rumah.

Aku menatap padang rumput dan lembah yang berubah kuning di musim panas. Di tengah kesunyian karena angin yang berhenti berembus, terdengar suara kicauan merdu dari langit. Aku mendongak, menutupi pandangan dari sinar mentari yang cerah di angkasa, menyaksikan satu kawanan burung terbang melintasi lembah kami.

Aku menunjuk sekawanan burung itu. "Kenapa burung-burung itu bisa terbang padahal tidak ada angin?"

"Karena mereka punya sayap."

"Ayah bilang burung tidak bisa terbang kalau tidak ada angin."

Tanpa bicara, Ibu menaruhku di pangkuannya. Aku duduk dengan senang hati di sana, nyaman akan perasaan ketika bersandar pada tubuh hangat Ibu dan langsung memain-mainkan rambut pirangnya yang kusut. Aku selalu ingin punya rambut pirang seperti Ibu tapi Lizzylah yang mewarisinya sementara aku mewarisi rambut hitam Ayah.

"Angin hanya tidak ada di sini, Alicia. Karena Ibu mengambilnya." Ibu menatap burung-burung yang terbang menjauh itu. "Tapi di atas sana ada."

Mataku mengerjap menatap Ibu yang tersenyum misterius. Sedetik kemudian Ibu mengayunkan jari jemarinya dan angin pun mengalir kembali. Kali ini dalam aliran aneh. Ibu mengayunkan jari lagi dan sapuan lembut angin membelai pipiku, hampir terasa seperti mengelus dan menggelitik hingga aku tergelak geli. Ibu lantas lanjut menggelitik pinggangku sampai aku berbaring di pangkuannya, lemas oleh gelak tawa sendiri.

Terdiam, kami berdua sama-sama menatap langit.

"Sulap." Aku menyimpulkan. "Tadi Ibu beratraksi sulap, seperti Tuan Armando di pasar."

Ibu tergelak. "Bukan, Sayang. Ini bukan sulap."

"Kalau begitu, keajaiban? Seperti Ibu peri Pinokio?"

Ibu mencubit pipiku. "Hampir benar." Ia menggerakkan jari lagi, kali ini memutar. Sehelai daun jatuh dari pohon dan melayang terbawa angin ke dekat kami.

Daun itu berputar dalam pusaran di sekitar jemari ibuku yang terus berputar. Bagai mengikuti kehendaknya, angin yang membawa daun itu terus berputar searah gerakan jari ibuku.

Tersenyum misterius, Ibu mengelus kepalaku. "Ini namanya sihir."

***

Mataku menghentak terbuka dengan keras.

Ingatanku mengelana ke mimpi yang baru saja kualami. Mimpi tadi terasa nyata sekali, Ibu, Lizzy, sentuhan Ibu, ekspresi merajuk Lizzy, anginnya, kasarnya rumput tempatku berbaring, hingga aroma musim panas yang biasa berembus di pedesaan Netherfield dari masa kecil yang sangat kurindukan, bahkan Ibu benar-benar memanggilku Lissy di dalam mimpi itu. Semuanya terlihat demikian sama hingga terasa nyata.

Tapi itu tidak mungkin nyata. Ibuku bukan penyihir.

Segera kuhapuskan sisa kenangan itu dari benakku, mendorongnya jauh-jauh untuk dilupakan dan segera kembali ke kenyataan. Mataku mengerjap beberapa kali, baru menyadari kegelapan pekat yang mengitariku. Tubuhku berbaring di atas permukaan yang keras dan kasar. Aroma tanah, aspal kering, arang, dan serbuk mesiu menyerbu hidungku yang baru saja berfungsi lagi. Bangun, aku segera mengedarkan pandang ke sekeliling dengan heran.

Di mana ini? Kenapa semuanya gelap sekali? Dan kenapa aku berbaring di atas aspal?

Aroma hangus yang pekat mengembalikan sedikit ingatanku.

Ada kebakaran, serangan, dan huru-hara di London. Aku bersama Suri, lalu aku menolong seorang pernyihir yang ternyata perompak.

Selagi menghirup bau asap yang menyesakkan, aku berusaha bangkit, menahan sakit yang masih berkedut di kepala dan mata. Kurasakan titik basah di sudut mata dan mengelapnya. Cairan di ujung jemariku berbau besi.

Aku mengusap mata sekali lagi, membersihkan sisa cairan di sudut-sudutnya. Setiap kali disentuh, sengatan perih langsung menyerang mataku. Perihnya masih sangat menyengat. Tak butuh waktu lama bagi anggota tubuhku yang lain untuk mulai ikut menjerit kesakitan juga.

Tanganku mengusap bahu dan betis, mendapati keduanya basah oleh cairan beraroma besi sama seperti yang keluar dari mataku. Darah. Beberapa kali aku menekan luka yang perih itu, mencoba merasakan apakah ada sesuatu yang menyangkut di dalam sana. Untungnya tidak ada.

Benar juga. Aku tergores peluru, bukan tertembak.

Sosok pangeran Oryziel muncul di kepalaku dan perintahnya untuk menangkapku bergema kencang. Segera saja tubuhku siaga dan merasa telanjang ketika menyadari tidak ada yang menutupi keberadaanku. Wajahku terpampang jelas pada apapun yang berani melintas di jalanan yang sepi. Buru-buru aku bersembunyi di samping puing-puing tempat sampah yang terbalik dan telah menumpahkan semua isinya yang berbau busuk ke jalanan. Dari kejauhan, perlahan dan semakin jelas, terdengar suara derap dan suara geraman hewan.

Aku buru-buru menahan napas dengan kedua tangan. Geraman itu semakin kencang dan derap langkah itu terdengar semakin jelas. Seiring semakin dekatnya geraman itu, terdengar semakin jelas pula desisan di sela bunyinya yang mengancam. Desisannya terdengar mirip bunyi air yang menetes di atas pipa yang panas.

Suara anjing-anjing neraka.

Berpikir cepat, aku mengamati keadaan sekitar, mencari celah terdekat berikutnya yang bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi. Puing kios berjarak tiga kaki yang masih utuh tidak terbakar menjadi pilihan terbaik saat ini. Perlahan, aku menoleh ke balik tempat sampah. Hanya menyisakan sedikit saja celah bagiku untuk sekadar mengintip tanpa mengungkapkan keberadaan. Di ujung jalan, di dekat kobaran api yang masih menyala membakar kios-kios yang malang tak tersisa akibat huru-hara, tampak sekelompok bayangan berjalan, semakin lama semakin besar. Kaki depan hewan berwarna hitam legam itu sudah menampakkan diri.

Buru-buru aku berpindah ke belakang kios itu, menjauh dari hewan pemilik kaki depan hitam dengan cakar mencuat itu. Dalam hati, aku benar-benar berharap tidak pernah berhadapan dengan binatang yang memiliki cakar itu apalagi berakhir sebagai sekerat daging di celah-celah deretan taring mereka yang berbisa.

Menoleh ke segala arah, aku mencari-cari tanda apapun yang dapat kukenali dari tempat ini.

Bangunan-bangunan di kanan dan kiri jalan masih tinggi menjulang dengan tinggi. Dari bayangan yang terlihat oleh mataku, tingginya sekitar setidaknya tiga puluh kaki. Kenyataan bahwa aku kemungkinan besar masih belum jauh dari jantung kota London mengikis separuh keyakinanku untuk dapat lolos dari binatang-binatang terkutuk itu. Daya penciuman anjing-anjing neraka jauh di atas anjing biasa, terutama pada bau darah. Buruknya, sekarang aku sedang banyak terluka. Hidung mereka akan mengendusku dengan mudah dalam hitungan detik dan kecepatan lariku tidak akan banyak membantu. Kecepatan lari binatang-binatang itu tiga kali kecepatan lari manusia.

Kuperhatikan jendela-jendela yang mati di setiap rumah dengan putus asa. Rumah-rumah ini seakan tidak berpenghuni.

Sial. Apa aku baru saja berharap mendapat pertolongan dari salah satu rumah? Dari salah satu penyihir? Setelah penguasa mereka sendiri hendak menghukum mati diriku di depan umum?

Suara desir air menarik perhatianku. Kepalaku berkeliling ke segala arah, mencari arah pasti datangnya suara air itu. Rasanya sulit sekali karena yang bisa kudengar hanya bunyi detak jantungku yang bertalu-talu hingga ke depan daun telinga.

Bunyi gonggongan itu menandakan waktuku berpikir sudah habis.

Tanpa peduli sembunyi lagi, aku langsung berlari keluar tempat persembunyian. Lari, lari, dan lari sekencang mungkin ke depan, ke arah jalan lebar yang terbuka.

"Berhenti di sana, Manusia!" Terdengar suara pria dari arah belakang, samar tertelan suara gonggongan liar anjing-anjing neraka.

Melompati berbagai halang rintang dari barang-barang yang tumpah, puing, bahkan tubuh orang-orang yang tak bergerak, aku terus berlari. Namun sakit di kaki dan masih kacaunya penglihatan hanya memperlambatku. Tergerak oleh keputus asaan yang semakin mengambil alih akal sehat, aku mendorong semua benda yang merintangi jalan ke belakang, hanya untuk mendengar suara puing-puing itu hancur. Beberapa serpihannya terbang kembali ke arahku, meyakinkanku bahwa serpihan itu bukan hancur karena membentur jalanan. Gonggongan anjing-anjing neraka itu semakin keras terdengar. Mereka semakin dekat.

Nyeri di kakiku semakin menghambat. Penglihatanku semakin lama semakin tidak bersahabat. Berkali-kali pandanganku berubah buram secara mendadak. Tubuhku berkali-kali limbung kehilangan arah dan terantuk. Melayang beberapa meter, aku mendarat setelah menyeret tubuh beberapa inci di atas bebatuan jalanan yang kasar.

Gonggongan itu semakin kencang terdengar. Hidungku mulai bisa mencium aroma busuk napas anjing-anjing terkutuk itu. Telingaku bisa mendengar derap empat kaki dan bunyi napas mereka yang halus seakan tidak kelelahan sama sekali. Bangun dengan napas tersengal dan rasa sakit yang semakin parah di tubuh, aku berlari sekali lagi dengan langkah awal terseok-seok.

Napasku sudah hampir habis ketika derap langkahku berubah kembali menjadi lari. Bisa kubayangkan betapa menyedihkannya kecepatan lariku sekarang. Degup jantungku bertalu-talu dalam bunyi tak beraturan. Setiap tarikan napas menyiksaku pelan-pelan. Pandanganku yang tidak bisa lagi fokus hanya dapat melihat semburat merah di langit. Garis awan perlahan terlihat jelas, membelah gelapnya langit malam.

Fajar sudah menyingsing.

Dan hanya itu yang kutahu sebelum berat tubuhku mendadak jadi sangat ringan.

Bukan, bukan tubuhku menjadi ringan, kata kesadaran yang mengoreksi beberapa detik kemudian.

Aku terjatuh.

Dorongan angin membalikkan tubuhku dengan cepat. Punggungku menghadap ke bawah sementara mataku menatap langit yang mulai menampakkan warnanya. Dari sisi tepian tempatku sepertinya tadi melangkah, lima kepala anjing tampak menyembul. Mereka menggonggong dan menggeram marah kepadaku. Tapi tidak mengejar. Tentu saja mereka tidak mengejar. Mereka tidak mengejar orang yang terjatuh dan akan mati. Anjing-anjing itu tidak begitu bodoh sampai rela menjemput kematian mereka sendiri.

Di antara penglihatan yang semakin memburuk, muncul sosok manusia di tepi yang sama tempat para anjing-anjing neraka itu menggonggong. Siluetnya tampak didominasi warna merah di tengah pandanganku yang semakin kabur. Tentara. Penyihir. Bawahan pangeran Oryziel yang ditugaskan untuk menangkapku. Pengendali anjing-anjing neraka itu.

Sulur-sulur berwarna biru dengan semburat merah tampak menyala di tengah kegelapan. Mereka menyala tepat ke arahku. Sebagai respon, meski tak kuperintahkan, sulur-sulur hijau zamrud keluar dari tubuhku, menghampiri sulur merah-biru itu dan segera memakannya. Luar biasa melihat sulur energi dari tubuhku masih bisa bereaksi cepat padahal pemiliknya sendiri sudah tidak punya banyak tenaga.

Sesaat setelah menutup mata, tubuhku jatuh di atas tanah dan hancur berkeping-keping.

Kukira akan begitu, tapi kenyataannya aku malah jatuh semakin dalam. Tubuhku tidak lagi membelah udara. Kini aku tenggelam dalam sesuatu yang lebih padat dan terasa dingin menusuk pada luka-lukaku yang basah.

Air.

Aku tenggelam.

Tubuhku mati rasa akibat benturan keras yang baru saja kualami. Mulutku membuka, mencoba menarik udara masuk, namun alih-alih udara, malah air yang terasa tawarlah yang memenuhi kerongkonganku. Gelembung keluar dari mulutku yang megap-megap dalam kepanikan. Mataku membuka, mencari apapun, siapapun, yang bisa kumintai bantuan, tapi tidak ada yang dapat dilihat.

Sesak. Dadaku mulai terasa sesak dan bernapas rasanya jadi semakin sulit. Kepalaku mulai terasa pening. Sakit di mataku bertambah parah. Air yang biasa terasa dingin menyegarkan kini tak lebih baik dari jilatan cambuk sihir di kulit ketika masuk tanpa ampun lewat kelopak mataku dan diserap luka-lukaku yang masih basah. Tangan dan kakiku meronta tak tentu arah, mencari apa saja yang dapat dipegang dalam kehampaan. Tapi tidak ada apapun. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat menjadi pegangan untuk tidak terus tenggelam. Buih terus mengalir dari jari jemariku, menemani perlawananku yang lemah tak berarti di tengah air yang mengepung.

Gelembung semakin banyak keluar. Air masuk menggantikan udara yang lenyap. Tekanan air menekan seluruh tubuhku, menusuknya seperti jarum menusuk bantalan busa. Gelembung udara itu melayang pergi sebelum lenyap sama sekali di kejauhan yang tak terjangkau. Cahaya tampak semakin jauh. Suara semakin senyap.

Mataku menutup. Janji Suri sempat terbayang di benakku, janjinya yang mengatakan akan mencariku jika aku tidak kembali. Mengejutkan mendapati aku masih bertanya-tanya, mungkinkah Suri menepati janjinya? Mungkinkah dia benar-benar mencariku nanti?

Suara akhirnya benar-benar sunyi. Waktu perlahan melambat tapi sebelum kegelapan menghampiri, mataku melihat semburat hijau zamrud menari di dalam kegelapan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro