70. Merebut Kembali
Satu jam sebelumnya
Asap dan debu masih beterbangan memenuhi pandangan mata, menutupi siluet tiga sosok yang berdiri di hadapanku.
Menara London sudah tidak bersisa apa-apa lagi selain reruntuhan jauh di belakang sana. Dengan tenang dan tanpa suara, aku mencabut pisau dari sarungnya di betisku. Meski tertutup debu dan pasir yang membutakan, mataku masih bisa melihat energi dalam tiga warna murni meliuk-liuk di udara tepat di hadapanku, berasal tepat dari ketiga sosok itu.
Dari jumlahnya yang sangat banyak, mereka jelas sangat kuat.
Dengan Oryziel sudah menghadapi Azran di belakang, pikiranku mulai menerka-nerka siapa yang mungkin menghalangiku di sini.
Ketika asap itu sudah menghilang seutuhnya, aku dihadapkan pada dua orang pria dan satu wanita dewasa. Ekspresi mereka bertiga tak gentar, tubuh mereka bergeming, dan di pinggang mereka masing-masing sudah ada satu iaraghi dan satu xifos yang bersiaga, siap untuk diacungkan kepadaku kapan saja.
"Persis seperti perkiraan kita sebelumnya, akan ada yang muncul ketika menara itu kita hancurkan. Tapi siapa ini? Apa dia benar Lazarus? Dia agak lebih kecil dari perkiraanku sebelumnya." Sang wanita menyapa terlebih dulu. Matanya berpendar dalam warna biru pucat yang sedikit mengingatkanku pada warna mata air yang jernih. Rambutnya yang berwarna merah membara seperti langit senja tampak bergerak dalam gelombang yang teratur.
Seiring dengan senyum pongah sang wanita yang mengembang, angin di sekitarku berubah tak tenang dan suhu menurun jauh, menjadikan napasku yang berembus dari mulut keluar menjadi gumpalan asap putih pucat di udara.
"Dia boleh kecil dan kelihatan lemah, tapi reaksinya di luar perkiraanku. Dia terlalu tenang, tidakkah kau pikir begitu, Klaid?" Salah satu pria dewasa, yang berdiri di sebelah kiri sang wanita, berbicara. Matanya yang menatapku tenang. Meski begitu, ada sesuatu yang tak mengenakkan yang mengintip keluar dari mata violetnya yang berpendar lebih terang dibanding kedua orang lain.
"Benar, Bastili. Jadi, biar kutebak, Lazarus Muda." Pandanganku berpindah ke pria lain yang berdiri di sebelah kanan sang wanita. Pria dengan mantel berbulu putih tebal yang tampak tak cocok di iklim London yang belum memasuki musim dingin. Mata kelabunya berpendar pucat dalam aura yang tak mengenakkan. "Kau sudah mengira akan disambut di sini dan mengira menara ini akan jatuh?"
Selagi memikirkan jawaban terbaik, benakku berpacu. Suhu di sekelilingku berubah tak menentu. Panas dan dingin menyatu dan menari-nari di udara. Energi sihir ketiga orang ini tidak bisa dianggap remeh. Energi sihir mereka berada jauh di atas penyihir kebanyakan yang sudah kutemui, tapi tidak jauh berbeda dari energi sihir Azran dan Oryziel.
Hanya ada satu jawaban yang bisa kupikirkan, satu jawaban yang terpancing karena ada dua nama sudah disebut oleh mulut-mulut mereka yang hobi sekali bicara itu.
"Tidak juga, aku tidak mengira menara itu akan jatuh," jawabku terus terang, tak menutup-nutupi pisau yang ada di dalam genggaman tanganku. Tapi tak sesuai bayangan, fokus ketiga orang itu tidak beralih sedikit pun pada senjataku, seakan apa yang aku genggam saat ini sama sekali bukan masalah bagi mereka.
Jika memang mereka merasa aku bukan masalah, mereka benar-benar monster. Tapi aku tidak bisa mengharapkan yang kurang daripada ini, karena mereka juga bukan lawan yang enteng sama sekali.
Sang wanita terlihat heran untuk beberapa saat. "Kalau begitu, apa kau benar Lazarus?"
Lazarus, entah kenapa aku mulai tidak suka dengan panggilan itu.
"Benar," jawabku tanpa keraguan sama sekali. Senyum mengembang di bibirku. Namun aku yakin, senyum yang ada di sana sama sekali tak mendekati kategori senyum yang indah. "Suatu kehormatan bisa disambut oleh ketiga raja sekaligus." Aku menatap pria bermata kelabu pucat itu. "Klaid." Lalu berpindah ke pria berambut pirang dengan mata violet itu. "Bastili." Dan terakhir menatap sang wanita berambut merah membara. "Dan kau, Ma'am, pastilah Eusena."
Sang wanita yang kuduga Eusena bertepuk tangan gembira satu kali. Jika saja dia bukan raja dari satu klan Makhluk Lain, aku sudah akan mengira ekspresi gembiranya itu tulus. "Astaga, dia pintar juga. Boleh aku menjadikannya peliharaan saja daripada membunuhnya di sini, Tuan-tuan?"
"Aku tidak keberatan." Klaid menjawab dengan santai, tapi kemudian menghunus iaraghi miliknya, langsung mengalirkan sihir miliknya menuju senjata itu. "Tapi kau tahu tugas kita bukan untuk membiarkannya hidup kan, Eusena?"
"Ah sayang sekali." Meski terlihat menyesal dan sedih, sang wanita raja klan Eusena tetap saja ikut menarik iaraghi miliknya. "Padahal aku ingin sekali memilikinya. Wajah Lazarus itu cukup manis."
Demi Langit, aku tidak mau tahu apa jadinya jika dia tahu aku bukan laki-laki seperti bayangannya.
"Kita tidak boleh lupa pada tugas kita." Sang raja klan Bastili ikut mencabut iaraghinya. Mulutnya membentuk seringai, memperlihatkan sederetan gigi putih yang meski bukan taring, tetap saja terlihat menyeramkan untukku. Pendar di matanya menyala semakin terang dan sihirnya melonjak tajam. "Habisi Lazarus, apapun yang terjadi."
"Kecuali...." Sang raja klan Klaid memotong. "Dia tidak ingin melawan. Nah, Lazarus, aku memberi penawaran yang murah hati padamu. Serahkan dirimu baik-baik dan akan kami buat kematianmu mudah."
Kematian yang mudah, aku tidak pernah percaya kata-kata itu jika keluar dari manusia, apalagi keluar dari mulut seorang penyihir royalis yang juga raja klan.
"Tidak, terima kasih, tapi tawaran itu kau simpan untuk yang lain saja, Your Highness. Aku masih baik-baik saja di sini."
"Kau tidak akan baik-baik saja, Manusia," raja klan Klaid kembali berujar. "Kau hanya sendirian. Butuh dua belas Lazarus lain sepertimu untuk bisa mengembalikan Jalinan seperti semula. Kalaupun kau bisa melakukannya, waktumu sudah akan sangat terlambat ketika itu semua terjadi. Kusarankan untuk terakhir kalinya, kau sebaiknya menyerah saja."
Butuh dua belas orang lain. Itu memang benar. Di kasus normal, memang akan butuh dua belas orang untuk mengembalikan Jalinan, tapi di kasusku, ada sesuatu yang berbeda terjadi.
Tanpa banyak bicara, kuacungkan ujung pedangku ke arah mereka bertiga sambil memberikan senyum percaya diri terbaik yang aku bisa. "Kuharap ini cukup sebagai jawaban."
Senyum serta merta menghilang dari wajah ketiga raja itu. Energi sihir mereka meletup dalam jumlah yang bukan main banyaknya. Tanah di bawah kakiku membeku. Rumput berubah putih dan layu oleh lapisan es yang muncul tiba-tiba dari udara kosong, berasal dari sang raja klan Bastili dan Eusena. Angin berubah tak tenang di sekitarku, menerbangkan helai dedaunan dan menggoyangkan dahan hingga menimbulkan bunyi berderak yang mengancam nyawa. Nyala sihir di iaraghi mereka masing-masing menyala terang.
Aku tahu seharusnya aku tidak membiarkan sedikit pun sihir tersisa di udara.
Raja klan Klaid terlebih dahulu mengacungkan pedang. Dengan intensitas yang sama kuatnya, kulepaskan energi sihir yang sedari tadi aku tekan. Dalam sekali sapuan, seluruh energi sihir mereka berkurang hingga lebih dari separuhnya.
Ketiga raja itu membelalak kaget. Iaraghi mereka kini tak lebih berbahaya dari sebilah pedang tajam. Aku tidak bisa membiarkan energi sihirku keluar lebih dari ini. Jika dibiarkan, mereka bisa menduga berbagai macam hal, dan prasangka yang membuat serangan mereka lebih intens adalah hal terakhir yang aku inginkan saat ini.
Mataku masih terpancang ke menara London ketika raja klan Eusena tersenyum.
Dan tahu-tahu saja dia sudah ada di hadapanku dengan iaraghi teracung. Dengan gerakan tangan yang seakan diperlambat, dia menarik iaraghinya, memperlihatkan pedang asli di bawah bilah iaraghi itu.
"Sekarang aku tidak ragu lagi kalau dia benar-benar Lazarus," gumamnya sebelum mengayunkan pedangnya kuat-kuat.
Energi sihir kami berdua beradu. Tanah melesak di bawah kakiku oleh serangannya. Lututku menekuk nyaris berlutut dan tanganku sudah gemetar hebat, hampir tak sanggup menahan tekanan serangannya.
Ini terjadi lagi. Hanya dalam satu serangan, aku sudah terdesak mundur sampai hampir menyerah. Jika aku bisa melewati semua ini hidup-hidup, aku akan mulai melatih fisikku saja daripada otak.
"Tapi seperti halnya manusia lain, dia cukup lemah." Eusena sempat berkomentar selagi kami beradu pedang. Ekspresinya masih setenang ketika dia menarik pedang tadi. Artinya, dia bahkan belum berusaha sama sekali.
Tidak bisa. Perbandingan tenaga kami terlalu jauh. Kalau terus begini, aku tidak akan bisa menang walau hanya sebentar. Tidak, aku bahkan tidak mungkin selamat.
Baru saja berpikir demikian, Klaid dan Bastili sudah ada di kedua sisi tubuhku dengan pedang asli di tangan mereka yang teracung ke udara.
"Baiklah," Bastili bicara. "Aku akan mulai dari kaki dulu."
Pandanganku kembali ke arah Eusena yang tenang-tenang saja seolah tidak terjadi apa-apa. Meski terus terfokus padanya, pikiranku disesaki oleh ketakutan akan rasa sakit. Meski di Ambruisia aku sudah berulang kali kehilangan anggota tubuh dan pulih kembali dalam keadaan utuh tanpa kurang sekerat daging pun, rasa sakit kehilangan anggota tubuh adalah rasa sakit yang paling sulit dilupakan dan tidak pernah bisa membuatku terbiasa menerimanya.
Sekarang aku akan menghadapinya lagi setelah beberapa lama lepas darinya.
Aku telah siap sepenuhnya untuk kehilangan keseimbangan dan melihat kakiku sendiri tergeletak jauh dari jangkauan ketika suara pedang berdenting itu terdengar.
***
"Kau ini ... benar-benar aset yang merepotkan."
Aku baru akan menoleh ketika panah itu melesat di hadapanku. Tekanan yang sedari tadi mendera pedangku tiba-tiba lenyap. Sosok Eusena lenyap dari hadapanku. Raja dari klan Eusena itu mundur beberapa yard jauhnya dari tempat kami tadi beradu. Matanya memicing ke arah anak panah yang menancap di tanah, yang tadi nyaris saja menembus kepalanya. Aku menatap anak panah yang sama sebelum mengikuti arah pandangan Eusena ke arah lain.
Dan melihat seorang gadis berambut pirang keriting tampak siap melepaskan satu anak panah lagi dari balik bayangan pepohonan.
"Jangan melukai temanku, Penyihir!" Suara nyaring Suri terdengar kencang.
Aku membelalak tak percaya menatap temanku itu.
"Jangan hanya melamun di sana, Al!" Suara itu sekali lagi membuatku membelalak. Kepalaku menoleh ke kiri, mendelik satu punggung lebar yang tengah melindungiku dan menahan pedang dari Klaid yang nyaris membelah kakiku jadi dua. "Aku ... agak sedikit kerepotan di sini!"
"Ed? Apa yang—
"Kau dengar dia, Alto!" Pemuda yang menahan Bastili di sebelah kanan tubuhku menggerutu dengan suara menggeram, mirip orang yang menahan amarahnya mati-matian, tapi aku tahu, dia bersuara seperti itu bukan karena sedang menahan amarahnya. "Cepatlah! Jangan diam saja di sana!"
Aku melompat mundur dan saat itu juga pedang yang berusaha ditahan tadi langsung berayun, membelah udara kosong. Kedua pemuda yang tadi melindungiku beranjak mundur, menghindari kedua raja yang sedang berdiri terdiam, tak menyangka perubahan situasi ini.
Gill mendecih tak puas sementara Edward terengah. Lengan kedua pemuda itu berkedut, mengatakan dalam diam betapa keras perjuangan mereka menahan pedang dari dua raja barusan.
Aku baru akan bersiaga lagi ketika Eusena sudah menerjang kembali dan berada di hadapanku dengan pedang teracung. Aku sudah mengangkat pedang namun bilah pedang lain sudah keburu menduluiku. Bilah keperakan itu melintang tepat di depan hidungku, menghalangi pedang Eusena yang hampir membelah wajahku jadi dua. Ujung mataku mengikuti arah bilah tajam itu berasal dan melihat Carmen berdiri di sampingku dengan ekspresinya yang biasa: keras seperti baja.
"Kau ini memang senang sekali diam dan membuang-buang waktu!" Carmen menggeram, menyadarkanku kembali ke kenyataan. Tubuhku hendak melompat mundur ketika lenganku ditarik paksa dari pertarungan itu dan langsung membentur tubuh keras seseorang.
Mendongak, aku mendapati Will sudah berdiri di belakangku dengan sebilah bow gun di tangan kanannya.
"Kau masih mulus tanpa cedera kulihat, Greenie," seringainya jahil.
"Ada apa ini?" Dengan paksa, aku melepaskan diri darinya, langsung saja mengundang keheranan dari wajah Will. Pandanganku beredar, melihat puluhan pasang mata muncul dari balik bayangan pepohonan dan kehancuran di sekeliling kami. Dan puluhan pasang mata itu, tak lain, adalah milik wajah-wajah yang tak asing bagiku.
Para awak Black Mary.
Segera saja kupelototi Will. "Kenapa kalian di sini?"
"Pertanyaan yang tidak sopan," Will berkomentar dengan kemarahan yang tentu saja tidak sungguhan. "Aku berharap akan mendapat sambutan "Hai, lama tidak bertemu, Will!" atau yang sebagainya alih-alih pertanyaan dengan wajah seperti itu."
"Kalian sendiri yang kabur! Kenapa kau malah bertingkah seakan tidak melakukan kesalahan appaun seperti itu?" Segera saja, bayangan akan kejadian yang sudah aku lewati berdua bersama Azran dan bersama kedua sahabatku, melintas dalam kecepatan tinggi di dalam pikiranku: jelas dan terlihat mengerikan.
"Kabur? Kami tidak kabur! Well, setidaknya tidak tanpa direncanakan lebih dulu." Will mengedikkan bahu.
"Apa maksudmu?"
"Tanyakah penjelasannya pada kedua sahabatmu itu." Kemudian aku teringat kejadian ketika Edward dan Suri pergi dari kapal. Mereka bilang mereka pergi atas permintaan Azran. Lalu orang-orang ini tiba-tiba saja muncul dan bilang aku harus menanyakan pada kedua sahabatku, mungkinkah kalau sebenarnya....
Pikiranku diinterupsi oleh suara dehaman seseorang. Menoleh, aku melihat dokter John yang sudah bersiap dengan pistolnya menunjuk-nunjuk sesuatu di dekatku, sesuatu yang sepertinya ada di belakangku.
Saat itu juga, aku teringat sedang berada di mana dan langsung saja berbalik, kembali terfokus pada pertarungan.
"Aku senang menjelaskannya, tapi ...." Will menyarungkan senjatanya ke bahu dan menarik pedang dari pinggangnya. "Kita punya pekerjaan lain di sini, Alto. Yang inilah yang harus kita selesaikan lebih dulu."
Aku setuju.
Dalam diam, aku menghunuskan pedangku ke arah tiga raja yang kami lawan. "Jadi kalian tidak pernah meninggalkan Azran?"
"Tidak bahkan di dalam mimpimu, Bocah!" Gillian menyahutiku tanpa menoleh sedikit pun dari lawan-lawan di hadapannya. "Selagi aku masih mengakui dia sebagai kapten, penyhir brengsek itu tidak boleh mati lebih dulu dariku."
Sementara Gill bersiap, Carmen sudah selesai beradu pedang dengan Eusena. Kelihatannya perompak wanita itu berakhir di posisi sebagai pihak yang kalah. Namun anehnya, dia tidak terlihat lelah, malah terlihat semakin antusias, seakan menikmati pertarungan ini. Diam-diam, para perompak yang berada di balik semak-semak mulai keluar dan menunjukkan berbagai senjata di tangan.
Tentu saja, ketiga raja tidak gentar meski mereka kalah jumlah hampir empat kali lipatnya.
"Bala bantuan, eh?" Klaid bicara sembari mengedarkan pandangan, melihat wajah para perompak satu per satu.
"Kelihatanya ini semakin seru." Bastili menyeringai.
Eusena menyentuh bilah pedangnya yang masih bersih mengilap. "Kalau begitu, ayo kita mulai saja."
Lalu tanpa dituda-tunda lagi, pertarungan dimulai.
***
Situasi berubah kacau. Pertarungan berlangsung sengit. Tidak ada yang tidka kebagian lawan. Semua mendapat lawan seimbang. Para raja terus menargetkan setiap serangan mereka padaku, sama sekali tak kenal lelah meski berulang kali dihalangi oleh para perompak yang tak henti menghalangi serangan para raja dari mencapai tubuhku.
Kuperhatikan di dalam pertarungan, ada beberapa perompak yang tidak kukenal yang sepertinya datang bersama Carmen dan ikut bertarung bersama kami. Sisanya adalah wajah-wajah yang kukenal, wajah dari para awak Black Mary yang secara ajaib memutuskan untuk kembali dan menolong di saat genting, persis pahlawan.
Aksi mereka norak dan benar-benar terlambat untuk ukuran penyelamatan, tapi jauh di sudut hati, aku benar-benar merasa lega. Tidak hanya memberi bantuan, mereka juga membawa dua sahabatku kembali tanpa luka sedikit pun.
Selagi kekacauan berlangsung di sekeliling, aku hanya bisa terdiam seperti orang tolol. Sambil berdiri, aku terus berusaha menangkis serangan yang terus diarahkan kepadaku, menangkis beberapa anak panah dan ayunan pedang yang tanpa sengaja dilepaskan terlalu dekat denganku.
Selagi menghindari semua serangan itu, mataku terus tertuju ke arah reruntuhan Menara London.
"Kenapa kalian berusaha sampai seperti ini?" Terdengar suara Klaid di tengah-tengah pertarungan. Gill sedang meladeni raja itu beradu senjata. "Kuil terakhir di dunia ini sudah hancur."
Untuk pertanyaan itu, Gill sekalipun tidak bisa memberikan jawaban. Pemuda itu tidak tahu apa-apa tapi terus memutuskan untuk bertarung, memutuskan untuk menumpukan harapannya pada seorang gadis biasa sepertiku.
Dia benar. Kuil terakhir memang sudah hancur.
Tapi bukan kuil yang aku cari. Sejak awal aku tidak mengincar kuil sama sekali. Jika mereka berpikir dengan kuilnya hancur saja sudah bisa menghentikanku, artinya mereka belum tahu sama sekali.
Ini pertanda bagus. Sekarang tinggal tergantung padaku. Semuanya terserah pada usahaku untuk keluar dari semua kekacauan ini.
Bagai keajaiban, baru saja aku berpikir seperti itu, satu energi sihir waktu yang sangat besar mengalir di tanah, menjalar ke seluruh penjuru dan menghentikan pertarungan saat itu juga.
Aku tertegun. Para awak Black Mary tertegun. Tiga raja pun terdiam.
Dengan keheranan yang tidak sedikit, kami semua terdiam dan menyaksikan efek dari energi sihir waktu itu yang mengalir, memulihkan seluruh kekacauan yang ada di sekeliling kami. Tidak ada yang bisa melihat warna energi sihir yang sekarang mengalir. Semua orang di sini hanya bisa melihat dampaknya, tapi cukup dengan itu, mereka semua sudah bisa tertegun.
Pepohonan yang tadi tumbang, kembali berdiri dengan dedaunan yang kembali menghijau. Dahan dan ranting yang patah, kembali menyatu dengan batang utama pohon. Bangunan yang tadi runtuh, dengan cepat pulih dan utuh, dipulihkan oleh energi sihir berwarna putih seterang cahaya.
Jika saja tidak mengenalinya, aku akan mengira ini sihir milik orang lain, tapi warna hitam yang menyelimuti cahaya yang mengalir ini, hanya bisa berarti sihir ini milik satu orang saja.
Azran.
Satu tekad terbentuk di dalam hatiku. Azran sudah berusaha sekeras ini sampai menggunakan sihir waktunya sendiri, maka aku pun juga harus berusaha keras.
Di kejauhan, Menara London kembali pulih seperti sedia kala. Kekacauan di sekitarku pun kembali seperti sedia kala. Di dekatku, Gill tampak gelisah. Will lantas mendukungnya dengan ikut menahan Klaid, sementara Bastili ditahan oleh Edward, dokter John, dan yang lain.
"Pergilah! Susul Kapten!" Will mendesis tertahan di tengah usahanya. "Yang di sini, serahkan pada kami, Tuan Gill!"
Gill tampak tak setuju, tapi kemudian berlari meninggalkan Will juga. Tentunya, dia tidak lupa melirikku dengan amarah berapi-api sebelum menghilang di semak-semak.
Dalam hati, aku tertawa. Itu jelas pandangan kalau-tidak-berhasil-kubunuh-kau.
Sambil tersenyum, aku menghunuskan pedang dan menembus kekacauan yang semakin parah di sekelilingku. Dapat kurasakan tatapan ketiga raja itu menghunjamku. Mereka ingin menerjangku sekarang juga dan membunuhku, aku tahu itu, tapi lawan mereka juga tidak bisa diabaikan.
Dengan segera, aku berlari. Tak lagi memedulikan sekitar dan hanya tertuju ke Menara London di kejauhan. Saat itulah, tanah di dekatku berguncang, menghentikan lariku. Sihir waktu Azran sudah memudar sekarang.
Dan tanpa bisa dihentikan, menara London itu kembali runtuh.
Menoleh dengan marah, aku melihat Bastili menatapku nyalang. "Tidak akan kubiarkan kau menang, Lazarus!"
Untuk kali ini, kubiarkan diriku tersenyum saat membalas ucapannya sebelum berlari. Kuabadikan di dalam pikiran, wajah horor Bastili ketika melihat senyumku. Dengan cermat, kuingat setiap guratnya untuk menyemangati diri sendiri.
Ini belum berakhir. Jalinan masih bisa diselamatkan. Aku memiliki kekuatan untuk menyelamatkannya. Tidak ada dari mereka yang tahu. Aku masih aman.
Itu hanya segelintir kata-kata penghibur dari sekian banyak penyemangat yang kusuntikkan ke dalam diriku sendiri sepanjang langkah.
Sihir milik Bastili bergerak semakin cepat dan semakin besar intensitasnya. Kukerahkan sedikit sihirku untuk memakan sihirnya. Berhasil. Guncangan di sekitarku berhenti seketika. Langkahku kembali tanpa halangan, tapi kekacauan di belakang seakan mengikutiku, tak rela melepaskanku.
Terdengar suara seseorang yang mengejar di belakang. Kupercepat laju lariku menuju Menara London yang semakin tinggi menjulang. Guncangan di tanah kembali terasa. Energi sihir yang besar dalam wujud sihir berwarna violet mengikutiku dari belakang, dengan cepat menyusul laju lariku dengan mudahnya.
Sambil mendecih, aku terus mempercepat lari. Tida butuh waktu lama, sihir lain berwarna merah muda dan sihir lain berwarna kelabu seperti asap menyusul sihir yang pertama, berhasil mengejarku.
Namun aku sudah sampai ke reruntuhan Menara London lebih dulu. Sambil melompati beberapa reruntuhan menara yang tak lagi berbentuk itu, aku terus memancarkan energi sihirku perlahan, semakin lama semakin banyak sembari terus mencari diam-diam.
Dari sudut mata, aku melihat Klaid, Bastili, dan Eusena sudah berhasil menyusulku sampai kemari. Di belakang mereka, menyusul segerombolan manusia berpakaian serba apa adanya dan memegang berbagai senjata, berlari dengan wajah marah. Senang melihat mereka semua ternyata masih baik-baik saja.
Kemudian aku merasakannya.
Di langkah terakhir, aku merasakan energi milikku sendiri berpusat dan mengalir jauh ke dalam tanah. Lalu, di salah satu puing-puing reruntuhan itu, aku berdiri. Benar, di sinilah tempatnya.
"Percuma saja, Lazarus! Apapun yang mau kau lakukan, tidak akan ada gunanya!" Klaid berseru dari kejauhan. Dia tampak menahan salah seorang awak Black Mary yang berusaha menahannya dari mencapaiku lebih dulu. "Kau hanya akan mati sia-sia! Kau yang sendirian tidak akan bisa apa-apa."
Ucapannya sama persis seperti ucapan raja klan Bastili tadi.
Sekali lagi aku tersenyum. "Jika aku sendirian, mungkin memang mustahil." Kulepaskan energi yang selama ini terkurung di dalam tubuhku, sebebas-bebasnya sampai tidak ada lagi yang ditahan. "Tapi ibuku, Andrea Serdin, tidak membiarkan aku melakukannya sendiri."
Seluruh energi itu tumpah ruah, keluar tanpa terbendung lagi dari tubuhku. Tanah tempatku berpijak berguncang. Tubuhku mengetat, seperti ada rantai yang membelenggunya dengan keras. Kepalaku mendongak ke langit, menyaksikan energi dari dalam tubuhku memancar ke angkasa, memenuhi langit. Jalinan yang tadi hampir musnah, perlahan kembali terbentuk. Benang-benang emasnya muncul dan saling terjalin satu sama lain dalam waktu cepat.
"Aku tidak pernah sendirian," bisikku lebih kepada diriku sendiri. "Karena sebelas Penjaga Gerbang yang lain, ada di dalam diriku. Kekuatan mereka, harapan mereka, semuanya dititipkan ibuku kepadaku."
Tubuhku mulai terasa berbeda. Ada yang berubah. Telingaku bisa mendengar berbagai macam hal. Dan seakan menjadi satu dengan bumi, aku bisa merasakan masih ada satu pertarungan lagi yang berlangsung tak jauh dari sini, pertarungan yang juga melibatkan dua energi sihir besar yang saling beradu berebut nyawa. Selain pertarungan itu, pertarungan yang lain berhenti. Semuanya.
Energi sihir di sekitarku lenyap dengan drastis dan dalam satu helaan napas panjang.
Ada sesuatu yang menetes dari mataku, kental dan terasa sedikit menyengat. Tanpa perlu melihat, aku sudah tahu apa yang menetes itu. Pandangan yang semakin buram dan gelap ini sudah mengatakan banyak hal.
Pertarungan kembali berlanjut di sekitarku. Telingaku sekarang dapat mendengar suara teriakan mereka yang bersemangat dan bunyi bilah pedang yang saling beradu.
"Kita mundur sekarang selagi masih sempat!" Terdengar suara Klaid di dekatku. Dua raja yang lain tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan keberadaan mereka mulai memudar sebelum akhirnya menghilang sama sekali.
Kukeluarkan energiku lebih banyak lagi agar Jalinan menjangkau daerah yang lebih luas lagi. Mataku terpejam, meresapi sensasi aneh yang merayapi sekujur kulit dan inderaku. Dapat kurasakan puluhan bahkan ratusan energi sihir memudar dan lenyap, kembali tertidur di dalam raga pemiliknya masing-masing. Rantai yang tadi membelenggu tubuhku perlahan mengendur dan lepas, meninggalkan tubuhku yang terkulai lemas. Tenagaku menguap bersama aliran udara yang entah sejak kapan berembus demikian kencang di sekelilingku.
"Alicia!"
Seketika itu juga, mataku membuka lagi dan menoleh, menatap sesosok pemuda bermata emas yang berlari dengan wajah ketakutan ke arahku. Ekspresinya sarat akan kesedihan. Dia tampak gusar dan putus asa.
Kenapa?Bukan ekspresi seperti itu yang seharusnya kau tampakkan. Tersenyumlah. Kita sudah menang, Azran. Aku mohon, tersenyumlah.
Tapi tak peduli sekeras apapun aku mencoba menyuarakan pikiran itu, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Ah, aku bahkan sudah tidak tahu apakah aku tadi bicara ataukah hanya berpikir.
Segalanya terasa pudar. Sosok puluhan orang yang tadi bertarung, kini tak lebih dari sesosok siluet gelap yang tak jelas wajahnya. Aku mendongak ke angkasa, melihat satu kapal hitam raksasa memenuhi langit sebelum sosok kapal itu pun menghilang ditelan kegelapan. Pandangan mataku lantas dipenuhi oleh wajah cemas Azran.
Sedetik kemudian, semuanya dipenuhi kegelapan total dan yang bisa kudengar hanya suara Azran yang tak henti meneriakkan namaku.
***
A/N:
Daaaan itulah pertarungan terakhir di kisah ini! Agak-agak anti-klimaks ya? Yah, namanya juga eksyen bukan genre utama di kisah ini. Wajar saja kalau tidak begitu seru, seperti di sebelah. hahaha
Setidaknya saya sudah perlihatkan tiga raja dan sejujurnya, mereka bertiga itu bisa dibikin kisahnya masing-masing. Cuma sayanya aja yang kemalesen.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa Alto benar-benar akan buta? Apa dia benar-benar bisa mempertahankan Jalinan hanya seorang diri? Benarkah ada kekuatan sebelas penjaga gerbang lain di dalam tubuhnya?
Jangan lupa vote dan komen. See you at the finale next chapter! Bye bye!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro