Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Ciuman yang Dicuri

Aku tak bisa menangkap dengan jelas lambang yang tertera di bendera itu karena jarak yang terlalu jauh. Hanya noda putih di atas hitam sejauh mataku dapat lihat. Seumur hidup, aku tidak pernah mabuk jadi mataku tidak sedang mempermainkanku sekarang dan bendera hitam itu sudah mengatakan segalanya.

Kapal itu mendekat lagi dan sakit di mataku menguat hebat. Kilau merah berselimutkan warna hitam itu menyala terang menutupi hampir seluruh badan besi kapal yang hitam legam, tersamarkan dengan sempurna di langit malam jika saja sihir yang menyelimutinya tidak begitu mencolok.

Demi Langit, itu sihir yang sangat banyak. Kilau dari sulur-sulur merah-hitam itu semakin jelas seiring semakin pendeknya jarak antara kapal dengan tanah. Angin dari baling-baling kapal semakin kuat hingga rasanya sulit untuk tidak ikut terbang terbawa angin.

Kemudian satu fakta aneh mengusikku.

Itu kapal perompak, sementara perompak adalah manusia biasa. Kapal-kapal para perompak telah dimodifikasi sehingga tidak lagi mengandalkan sihir sebagai tenaga utamanya. Kapal-kapal itu, seperti halnya kendaraan manusia umumnya, menggunakan bahan bakar dan mesin uap untuk bisa berjalan, bukan sihir. Bagaimana bisa satu kapal berbendera perompak diselimuti begitu banyak sihir?

Pertanyaan itu teralihkan ketika mataku menangkap sosok aneh di atas kapal udara raksasa itu. Dari haluan bawah kapal, tampak seseorang melambai-lambai memberi isyarat pada siapapun yang menjadi sasaran komunikasinya.

Sesuatu di kepalaku memberi jawaban ke mana orang di atas kapal itu melambai-lambai.

Aku menoleh dan beradu mata dengan pemuda yang bergantung sepenuhnya pada kekuatanku. "Kau ... perompak, Sir?" Kutekankan kata 'perompak' pada pertanyaanku, menuntut jawaban cepat, singkat, dan tanpa berbelit-belit darinya.

Pemuda itu sontak berdiri di atas kedua kaki sendiri, tak lagi bergantung padaku. Aku hendak melepaskan dia seutuhnya, membiarkannya berdiri sendiri, tapi ia tidak berhenti merangkul tubuhku.

"Jika aku perompak ...." Dalam gerakan cepat yang terlambat kusadari, laki-laki ini menarikku hingga tubuh kami berhadapan, berimpitan tanpa jarak sama sekali. Wajahku nyaris menempel di dadanya, "apa yang akan kau lakukan? Kau mau protes?"

Suatu perasaaan asing menyesaki perut hingga kerongkonganku, memaksa untuk keluar dan membuncah menjadi kembang api. Jantungku bertalu-talu dan napas sulit keluar dari hidung maupun mulutku. Tubuhku kacau, bergolak hebat dalam kebekuan yang menyesakkan, sementara otakku panik menyadari semua kekacauan ini bukan disebabkan karena kata-kataku yang dikembalikan demikian mudahnya.

Aku berusaha tenang namun kegugupan malah semakin merajalela menguasaiku. Bibirku bergetar hebat. Ini pertama kalinya aku terjebak dalam posisi seperti ini bersama seorang laki-laki.

Kukumpulkan sisa-sisa keberanian untuk menahan dan menyentuh laki-laki ini dengan hati-hati pada bagian pundak, tempat lukanya tidak bersarang. Gerakan itu berhasil menghentikan tubuhnya yang sempat mendekat, namun di saat yang sama juga mengundang kabut kelabu ke mata emasnya yang membara dalam cahaya keemasan.

Berusaha untuk tak terlena kilau mistik dari mata itu, aku menelan ludah dengan kasar. "S-Sir, untuk ukuran dua orang laki-laki, posisi kita sangat tidak pantas." Sungguh aku sudah sekuat tenaga mengucapkannya, selantang yang aku bisa, tapi yang keluar dari mulutku malah cicitan mirip anak ayam kehilangan induknya.

Pemuda itu, tak ayal, tergelak. "Usaha yang bagus." Ia menunduk, mendekat. "Tapi butuh lebih dari penyamaran untuk bisa menipu mataku, My lady."

Sengatan manis itu masuk saat aku terkesiap.

Perasaan asing yang menyengat itu menyusup, tanpa diminta maupun diberi izin. Sentuhan yang mendadak membuat luka basah di punggungku perih, tapi kehangatan lengannya yang melingkari pinggangku melenyapkan sengatan singkat itu. Darahku bergelenyar oleh perasaan asing yang merambat dengan cepat, mengaburkan akal pikiran, meringankan bobot tubuh, dan mengecilkan semua kebisingan. Selama sesaat, aku merasa dibawa ke dunia lain, melayang dengan kehangatan yang membuai hingga membuat seluruh tubuhku kehilangan tenaga dan pasrah dalam rengkuhan pemuda ini.

Mata emas bagai batu topaz itu menatap menembus jiwaku, menguliti seluruh rahasia yang kusimpan rapi seumur hidup.

Jemarinya menelusuri garis tulang pipiku. Sinar matanya seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah ada kata terucap dari bibirnya. Alih-alih mengatakannya di depan wajahku, ia malah mendekat, berbisik dengan suara yang tidak akan pernah aku lupakan. "Lain kali kita bertemu, aku tidak akan melepaskanmu."

Begitu saja. Setelah mengatakan hal tidak masuk akal itu, dia menghilang. Sosok, keberadaan, dan lengan yang melingkari tubuhku, semua lenyap. Pandanganku naik, mengikuti hilangnya pemuda itu ke udara. Ia masih menyunggingkan senyum selagi ditarik menggunakan tali katrol mekanis menuju kapal udara raksasa di atas kepalaku. Beberapa detik kemudian, ia berhasil mendarat dengan selamat dan utuh di haluan bawah kapal, tempat orang yang melambaikan tangan itu telah menunggu dan langsung membantunya berpijak dengan benar.

Tanpa buang waktu, mereka berdua berjalan masuk ke dalam kapal dengan pemuda itu berjalan tertatih karena luka yang dideritanya. Tangan pemuda yang terluka itu melambai pelan, mengucapkan salam perpisahan. Baling-baling kapal udara berputar semakin cepat dan burung besi itu pun perlahan naik, mengudara semakin tinggi. Sihir masih terus mengelilingi kapal itu, bahkan setelah menjauh ke angkasa luas.

Dipikirkan dari sisi manapun, itu bukan hal biasa. Mengendalikan lebih dari bermeter-meter kubik satu kapal raksasa membutuhkan sihir dengan volume tinggi. Lalu kenyataan bahwa sulur berwarna sama juga menyelimuti tubuh pemuda itu membuatku memberengut heran.

Pertama, itu sihir yang banyak. Kedua, warna sihirnya tidak murni. Setelah kuperhatikan bertahun-tahun, kusimpulkan semakin murni warna sihir, semakin kuat sihir yang terkandung dalam tubuh seorang penyihir. Bagi penyihir dengan warna sihir tidak murni—dalam hal ini, pemuda yang kutolong tadi—jumlah sihir sebanyak itu bukanlah jumlah yang wajar. Tapi kurasa itulah alasan ia menggunakan batu bertuah. Sudah jadi realita umum bahwa batu bertuah digunakan untuk mengendalikan sihir yang tidak bisa dikendalikan dengan baik dan atau dalam beberapa kasus, memperkuat energi sihir seorang penyihir sampai ke batas maksimal. Ia menggunakan batu bertuah untuk mengendalikan kapal sebesar itu.

Tapi siapa laki-laki tadi? Kenapa dia bisa menjadi anggota perompak yang notabenenya hampir semuanya manusia? Penyihir yang menjadi perompak, penyihir-perompak, perompak-penyihir, hal seperti itu benar-benar ada?

Perompak. Kata itu terulang di kepalaku. Menyadarkanku. Kepalaku berputar ke sekeliling, menyadari kerusuhan yang sirna. Tidak ada lagi suara huru-hara maupun suara adu senjata. Hanya ada suara jilatan api yang masih dapat terdengar.

Ada satu kapal perompak yang pergi dan kerusuhan langsung sirna.

Kerongkonganku tiba-tiba saja kering. Artinya semua kerusuhan malam ini disebabkan oleh perompak. Kenyataan itu, anehnya, tidak membuatku bingung. Yang terjadi malah sebaliknya, ada beberapa hal yang menjadi masuk akal.

Android yang kulihat di tengah jalan tadi bukannya penyihir. Penyihir membenci android. Jadi artinya dia manusia. Pria itu perompak. Benar juga. Hanya perompak yang bisa mendanai diri untuk menjalani operasi pemasangan organ prostetik.

Aku baru saja menolong perompak, kepanikan lantas menguasaiku. Aku baru saja menolong buronan entah oleh berapa negara dan membantunya kabur.

Kehangatan asing berdenyut di bibirku. Kenangan akan rasa manis itu menyengat seluruh syaraf dan mendidihkan seluruh darahku. Dengan cepat aku menutup bibir, menggigitnya keras-keras, dan mengusapnya berkali-kali dengan punggung tangan, mencoba menghapus apapun yang tersisa di sana.

Pikiranku masih tidak bisa menerima semua kejadian tadi.

Ini tidak mungkin. Tapi semua ini bukan mimpi. Kami benar-benar berciuman. Dia menciumku dalam keadaan tahu bahwa yang diciumnya adalah perempuan, bukan laki-laki. Entah bagaimana caranya dia bisa mengetahui hal itu. Aku sudah yakin menyembunyikan diri dengan baik dan selama lima tahun tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang sadar kecuali jika aku memberitahu mereka. Suri dan Edward pun bukan pengecualian. Aku masih ingat ketika Suri menjaga jarak dariku karena dia pikir aku laki-laki. Edward pun dulu pernah mengajakku ganti baju bersama ketika tidak tahu aku ini perempuan. Intinya, penyamaranku sempurna. Tidak mungkin aku ketahuan. Seluruh wajahku sering bernoda oli dan jelaga, aku tidak pernah memakai apapun dengan rapi, dan tidak pernah wangi.

Kata terakhir itu menyentakku.

Aku langsung menggosok-gosokkan tangan ke rambutku yang sudah setengah kering dan menciumnya.

Wanginya masih ada. Masih sangat kuat.

Suri sialan. Bahan apa yang dia masukkan ke dalam sampo itu sampai baunya jadi begini kuat?

Sengatan perih kembali menyerang mataku. Ada sulur energi dari arah belakang. Aku berbalik dan seberkas sinar seperti komet kecil melesat.

Menghindar ke samping, tubuhku berguling di atas aspal. Peluru sihir itu menghilang di udara di belakang kepalaku. Positif, targetnya memang aku. Lebih banyak lagi suara tembakan terdengar. Mataku membuka selebar-lebarnya melihat puluhan peluru sihir mengarah tepat kepadaku pada saat yang sama. Bangkit dengan susah payah, aku berlari, berguling untuk mengelak dari semua peluru sihir itu.

"Berhenti di sana, Dua Puluh Tiga!"

Tidak lagi memanggil dengan nama ras, tapi dengan nomor seri. Bukan pertanda bagus. Dipanggil dengan nama ras sudah biasa. Jika sampai nomor seri yang dipanggil itu artinya kami membuat kesalahan yang sangat besar, sangat besar hingga pantas dihukum mati.

Yang mengejutkan, aku mengenal suara itu. Tidak terlalu kenal, sebenarnya, tapi suara itu sudah memberiku cukup banyak pengalaman buruk untuk mengingat siapa pemilik suara yang demikian dingin dan tidak berperasaan ini.

Sengatan perih di mataku memburuk di hadapan lebih dari dua puluh orang tentara berseragam merah kerajaan Inggris. Masing-masing moncong xifos mereka terarah hanya kepadaku. Banyak sihir menguar hingga panas akibat kebakaran tadi tergantikan oleh panas internal dari energi sihir yang mengotori udara. Rasa sakit mataku meningkat tajam setiap detik seakan ada yang sedang menghunjamkan tombak besar ke dalam kepalaku pelan-pelan.

Dalam kesakitan itu, anehnya aku masih memiliki tenaga untuk menatap penyihir yang berdiri paling depan. Penyihir bersetelan hitam dengan banyak lencana tersemat di dada kirinya, tanda pangkat di kedua pundaknya, dan sepatu bot yang kini telah kotor penuh debu dan jelaga. Wajahnya dipenuhi noda hitam pertanda dia ikut bertempur habis-habisan. Iaraghinya terhunus ke arahku. Pendar mata hijau cemerlangnya berkobar seterang api yang mengelilingi kami. Nyala sihir emas menggelegak dari tubuhnya. Dirinya yang sekarang sama sekali berbeda dengan dirinya yang aku temui siang tadi. Tidak ada lagi ketenangan dalam satu pun garis wajah itu. Amarah terlukis dalam setiap gurat wajah tampannya yang bengis. Dia benar-benar marah, nyaris kelihatan kalap.

Orang yang tidak marah atas serangan terang-terangan perompak di ibukota tempat Yang Mulia Raja tinggal adalah orang gila.

Pangeran Oryziel telah dilecehkan di depan mukanya sendiri. Sebagai pangeran pewaris takhta Inggris, mukanya pasti tercoreng atas kejadian ini. Dia punya alasan yang cukup untuk mengamuk dan mengempas seluruh London sekarang.

"Apakah rasanya menyenangkan mengkhianati negara yang sudah berbaik hati menaungimu, Dua Puluh Tiga?"

Keningku berkerut-kerut memikirkan pertanyaan itu di tengah serangan rasa sakit yang menyerang mataku akibat sihirnya yang bergejolak hebat. Aku berusaha keras berpikir, sungguh, tapi tidak peduli sekeras apapun aku berpikir, tidak ada jawaban yang muncul.

"A-Apa maksud Yang Mulia?" Namun kemudian logikaku berkhianat dengan memberikan jawaban yang jelas.

"Kau membantu bajingan itu melarikan diri!" Pangeran Oryziel membentak dengan keras, menyuarakan logika yang berdengung di kepalaku, logika yang mengkhianatiku barusan. Energi sihirnya meledak.

Aku memekik ketika kedua mataku meletup seperti baru saja pecah dalam rongganya. Cairan hangat keluar dari mataku. Kepalaku menunduk, menyembunyikan diriku yang meringis menahan sakit tak tertahankan. Di tanah, darah menetes pelan dan terus menetes karena ledakan sihir pangeran Oryziel masih belum selesai.

Suhu udara meningkat dengan tajam, merenggut sebagian besar oksigen yang kubutuhkan untuk bernapas.

"Kau membantu kapten Black Mary kabur, Manusia Rendah!"

***

5TCkW8JR��ù$

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro