Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

69. Azran: Urusan Antara Kakak dan Adik

 Iaraghi kami berdua beradu dalam kekuatan yang seimbang.

Meski kekuatan sihir Oryziel lebih kuat dariku, kekuatan fisik kami hampir bisa dibilang seimbang, bahkan mungkin aku yang lebih kuat.

"Sepertinya mengasingkanmu ke kalangan perompak ada gunanya, ya, Azran?" Oryziel bicara di tengah adu iaraghi kami yang beradu. Dia memberi tekanan yang lumayan besar. Dua bilah iaraghi kami yang berlapiskan sihir jiwa, yang saling beradu berebut dominansi terlihat memercikkan setitik bunga api ketika kami semakin mengadu keduanya. "Tenagamu jadi jauh lebih kuat dari terakhir kita mengadu kekuatan seperti ini."

"Ya." Aku mengakui. "Bisa dibilang begitu, Ziel."

Aku menekan lebih keras, mementalkan Oryziel dari jangkauan senjataku. Kami berhenti beradu senjata, hanya saling menatap dan berusaha mencari kelemahan masing-masing, yang seperti biasa, tidak terlihat dari satu pun dari kami. Seperti dulu, Oryziel tidak memiliki cela dalam kuda-kuda. Dia sempurna. Selagi menganalisis, yang bisa kubayangkan hanya kami akan saling seimbang sejak detik pertama saling serang.

"Kelihatannya kau cukup yakin dengan Lazarus itu, hm?" Oryziel bertanya dengan nada santai. Tapi tidak ada yang bisa disikapi dengan santai ketika lawanmu mengeluarkan sihir sebanyak itu.

"Ya, aku cukup percaya dia bisa mengakhiri semua ini," jawabku dengan keyakinan yang tidak sedikit. Kalaupun ada keraguan di dalam diriku, itu adalah keraguan untuk memenangkan pertarungan dengan adikku ini.

Mengherankan, sungguh. Kekuatan sihir yang dikeluarkan Alto bukannya sedikit. Dia sudah mengeluarkan cukup banyak sihir sampai bisa mengembalikan seluruh dari kami ke wujud manusia kami, tapi kelihatannya, selain kembali ke wujud manusia, energi sihir Oryziel sama sekali tidak terpengaruh.

Tapi biarlah. Setidaknya rintangan terbesar bisa kuhadapi di sini dan bukan Alicia yang menghadapinya.

Demi Langit, bagaimana bisa aku mengkhawatirkan keselamatan orang lain di atas keselamatanku sendiri, padahal jelas-jelas aku yang tidak diuntungkan? Gadis itu benar-benar bencana!

"Hanya karena aku muncul di sini, bukan berarti tidak ada rintangan lain, Azran," Oryziel berujar, seakan baru saja membaca pikiranku. "Justru yang menunggu Lazarus itu di sana jauh lebih parah daripada yang bisa kau duga."

Jika Oryziel sampai berkata demikian, hanya ada satu kemungkinan yang tersisa di benakku. "Tiga raja yang tersisa ... semuanya ada di sana, ya, kan?"

"Jika kau kira aku akan membiarkan Manusia menguasai dunia ini lagi, kau salah, Azran." Energi sihir Oryziel keluar semakin banyak. "Akan kukerahkan semua yang aku bisa untuk mencegah semua itu terjadi."

Sesuai kata-katanya, guncangan hebat terjadi di sekeliling kami. Tanah bergetar. Insting menyuruhku untuk menengok ke arah lain dan benar saja, reruntuhan yang kukenal sebagai Menara London, roboh dengan cepat.

Dengan marah, aku mendelik Oryziel. Dia jelas sudah mempersiapkan semua ini dan dengan sengaja memisahkan aku dan Alicia. Dia berniat untuk menghabisi Alicia tanpa aku bisa mencegahnya.

"Jadi, Azran, sejak kapan kau tahu Lazarus itu perempuan?" Oryziel berjalan selangkah mendekat. Energi sihirnya terasa meledak-ledak, memanaskan udara dengan energi sihir yang tidak bisa kulihat. "Aku baru tahu ketika menjebloskannya ke Ambruisia."

Aku tidak perlu menjawabnya. Mendengarnya tahu Alicia perempuan tapi tetap menjebloskannya ke penjara mengerikan itu saja sudah membuat amarahku meledak.

"Ada apa?" tanyanya, semakin cerewet setiap detik. "Kau tidak mau menyerang lebih dulu? Aku tidak yakin tiga raja bisa dihadapi oleh Lazarus itu sendirian, Kak."

Tidak ada alasan bagiku untuk terburu-buru. Tidak ada, walaupun nyawa Alicia menjadi taruhan utama di sini. Aku tidak bisa membiarkannya menang melawan emosiku lebih dulu dari iaraghi milikku.

Tapi membiarkannya terus bermulut besar juga bukan bagian dari rencanaku.

Kali ini aku menerjangnya lebih dulu. Oryziel mengayunkan iaraghi-nya, bermaksud untuk membelahku, tapi daya refleks membuatku bisa menghindari serangannya dan menahan serangan kedua darinya dengan sempurna. Baru dua serangan bisa kuhindari dengan sukses, tapi Oryziel sudah mulai tegang. Aku semakin dekat dan akhirnya kedua senjata kami sekali lagi beradu.

Aku menyeringai. "Kekuatan sihirmu masih sama kuatnya ya, Ziel."

Alih-alih balas menyeringai dengan senang, seringai Oryziel terlihat seperti menahan amarah yang luar biasa di dalam dirinya. "Apa maksud ucapanmu itu, Azran? Kau sedang mengejekku? Kau mau menghinaku yang tidak punya sihir waktu seperti dirimu?"

Dia masih saja mempersoalkan itu. Setelah bertahun-tahun lamanya, dia masih saja marah terhadap masalah ini.

Energi Oryziel meningkat. Dengan garangnya, dia menyerangku bertubi-tubi, mencoba menyudutkan dan membuat senjataku lepas dari genggaman. Dalam usahaku mempertahankan diri, dengan kedua mata ini, aku melihat seluruh tembok ketenangan Oryziel runtuh, menampakkan dirinya yang sebenarnya: seseorang yang ada di ambang kewarasan dan kesabarannya. Amarah terlihat di setiap gurat wajahnya, mengakar dengan kuat di dalam matanya hingga ke dasar yang tidak bisa kutembus sama sekali. Giginya terkatup rapat, bergemeretak menahan amarahnya yang sudah tidak bisa ditahan, amarah seorang pemuda yang kehilangan segalanya di depan matanya sendiri.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kau yang berkhianat, Azran! Kau yang membela manusia-manusia itu! Ayah tahu itu! Tapi kenapa? Kenapa dia masih saja sedih karena kehilangan dirimu?"

Oryziel mengempasku kuat-kuat, membalas seranganku tadi. Tidak berhenti sampai di situ, dia sekali lagi mengayunkan iaraghinya, hendak menebasku. Aku buru-buru menghindar, membiarkan sekali lagi tanah terbelah karena satu serangan adikku itu.

Adikku bergerak cepat. Dia mengayunkan pedangnya dalam ayunan horizontal. Aku memasang pelindung, tapi sihir Oryziel juga sama cepatnya. Dengan mudah, Oryziel menghancurkan sihir pelindungku. Iaraghi miliknya terus meneas tanpa henti, menyasar leherku. Dnegan cepat, iaraghiku ikut mengayun, menghentikan ayunan pedang Oryziel tepat beberapa inci sebelum bilah yang sudah dipertajam dengan sihir itu menebas kulit leherku.

Di tengah tekanan luar biasa dari saudaraku sendiri, aku masih bisa terkekeh. Sejujurnya, aku kaget dengan reaksiku sendiri ini, tak menyangka diriku masih bisa setenang ini di tengah gempuran serangannya, tapi apa boleh buat. Ada satu hal yang harus aku luruskan di sini.

"Aku tidak melihat keraguan ketika dia memenjarakanku di Ambruisia dan menyegel seluruh kekuatan sihirku!" balasku.

"Kau bahkan tidak pernah berterima kasih untuk itu!Kau tahu betul hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman mati, tapi Ayah tidak pernah menghukum mati dirimu! Kau mengerti apa artinya itu kan? Kau tidak tahu betapa dia sangat kehilangan dirimu! Kau juga tidak tahu betapa dia tidak pernah melihatku sebagai pewaris sah bahkan hingga ajal menjemputnya!" Tekanan dari Oryziel meningkat. "Hanya karena aku tidak memiliki sihir waktu dalam darahku! Hanya karena itu, Azran! Aku lebih kuat darimu, tapi hanya karena sihirku tidak selengkap dirimu, aku dianggap tidak sekuat dirimu! Kau tahu betapa menjengkelkannya itu?"

Oryziel lantas menyeringai. Dalam ayunan berikutnya, dia berhasil mengempasku sekali lagi, memberi jarak pada kami berdua untuk sesaat sebelum sekali lagi dia menyerangku tanpa ampun. Dendam dan amarah memenuhi seluruh gurat di iris matanya yang berwarna hijau pucat.

"Karena itu perlihatkanlah sekarang, Azran! Perlihatkan sihir yang selalu dielu-elukan Ayah itu!" Oryziel berseru lantang seperti orang gila. "Perlihatkan sihir yang membuatmu menjadi kebanggaan keluarga itu!"

Sekali lagi dia menekanku. Meski aku tidak bisa melihat sihir Oryziel, tidak ada keraguan dalam diriku bahwa dia sekarang ini sedang menggunakan sihir hitam untuk melapisi pedangnya. Aroma darah dari sihir hitam tercium samar di antara aroma sihir yang beradu saling memakan di udara. Jika dia menggunakan sihir hitam, kemungkinan besar sihir yang akan digunakannya adalah sihir yang sama dengan yang hampir membunuhku tiga tahun lalu: stigma.

Aku berhasil menghindari serangan pertamanya, tapi aku tidak pernah menduga serangan pertama itu hanya sebagai pengecoh dari serangan kedua. Tak pelak, ayunan kedua dari pedang Oryziel mengenai tubuhku, menyayat pakaian dan badanku dengan sayatan dalam yang menyayat daging. Darah berwarna hitam kental memancar dari tubuhku. Dengan cepat, aku menjauh dari Oryziel, mengambil jarak beberapa kaki darinya, mencoba untuk memulihkan diri.

Ternyata dugaanku benar. Lukaku tidak pulih sama sekali. Dia benar-benar menggunakan stigma.

"Ada apa, Azran?" Oryziel mencebik. "TIdak mamulihkan diri? Lalu bagaimana kau bisa lolos dari stigma tiga tahun lalu?"

Dengan cara yang hampir sama, kondisi yang hampir sama, aku dilukai sekali lagi oleh orang yang sama. Ini benar-benar konyol, baik bagiku juga bagi Oryziel yang berusaha membunuhku dengan cara yang sama.

"Mungkinkah...." Oryziel terdiam sejenak. Matanya tertuju ke arah pedanngya sendiri untuk sedetik, sebelum kembali memandangku dengan sorot mata yang selalu ia tunjukkan setiap kali berhasil membongkar seluruh rencanaku. "Saat itu kau bertemu dengan Lazarus kecil itu?"

Lazarus. Alicia. Benar juga. Kali ini yang membedakan pertarungan kami adalah Alicia. Sekilas dilihat, sama saja. Aku bertarung sendirian. Alicia tidak ada di sini.

Tapi pertarungan kami kali ini jelas berbeda.

Ttiga tahun lalu aku tidak punya harapan. Aku menghampirinya dengan pikiran siap mati.

Sekarang, tidak sama sekali.

"Lazarus itu sebenarnya punya nama."

Apa yang aku pikirkan tadi? Justru karena kekonyolan itu, kami bisa bertarung di sini sekarang. Jika dia ingin kami mengakhirinya di sini, jika dia memang berniat untuk membunuhku, aku tidak akan melawan.

"Tapi namanya..." Aku menghunuskan pedang. "Bukan nama yang akan kubiarkan keluar dari mulutmu, Adik Kecil."

Ya, dulu. Sekarang, aku tidak akan membairkannya menang. Tidak akan.

"Tadi kau bilang, kau ingin aku menggunakan sihir waktuku, Ziel?" Sihir yang telah lama kukurung di dalam raga ini, perlahan bocor keluar, seperti air yang keluar dari kuali yang berlubang. "Kau yakin mau menerima risikonya?"

"Kenapa? Kau takut akan melukaiku? Selemah itu aku di matamu, Kak?" Oryziel tak memberiku waktu untuk memulihkan diri. Entah sejak kapan, dia sudah ada di hadapanku lagi dan tanpa ampun, dia menghunuskan iaraghi miliknya tepat ke dadaku, menembus jantungku yang masih berdetak. Dengan jelas, aku merasakan bilah dingin itu menembus jantung, tulang rusuk, hingga kelur lagi dari punggungku. "Karena itulah kau tamat di sini, Azran."

Sihirku keluar semakin banyak, semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Tanpa keraguan, aku menggenggam bilah dingin iaraghi milik Oryziel. Bilah iaraghi itu awalnya menggores tanganku, tapi kemudian setelah menjadi tumpul, tanganku tak lagi merasakan sakit.

"Kau tahu betul sihir waktu adalah sihir yang paling tidak stabil, Ziel. Semua itu karena waktu adalah elemen yang paling riskan untuk dikendalikan. Mengacaukannya bisa mengacaukan aliran sihir lain dan di antara para penyihir waktu, sihirkulah yang paling tidak stabil. Ayah bahkan melarangku menggunakannya, kau tahu kenapa?"

Lingkungan di sekitarku berubah. Pepohonan yang hancur kembali utuh, sama cepatnya dengan pemulihan yang dilakukan oleh tubuhku. Oryziel, yang tadi kelihatan begitu percaya diri dan memandangku dengan pandangan merendahkan, kini berubah tercengang. Itu wajar. Hanya Ayah yang pernah melihatku mengeluarkan sihir waktu sebanyak ini ketika kami latihan jauh di pedalaman hutan. Oryziel dan Ibu hanya tahu aku dan Ayah pergi ke hutan untuk mencari makanan dan kayu bakar setia hari. Baik aku maupun Ayah tidak pernah memberitahu mereka berdua kalau sebenarnya aku berlatih mengendalikan sihir waktuku yang tidak stabil jauh di pedalaman hutan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga mata manusia yang sangat takut pada penyihir.

"Dampaknya tidak bisa kukendalikan, Ziel." Aku menatap sekelilingku yang kembali pulih. Pohon yang tadi tumbang telah kembali tumbuh, tanah yang tadi terkikis berubah rata kembali, dan bangunan yang tadi runtuh, kini kembali utuh seakan tak pernah ada kerusakan yang menimpa mereka. Tak ada kerusakan apapun tersisa di sekelilingku. "Tidak hanya sasaran, kekuatanku juga bisa memengaruhi seluruh lingkungan di sekelilingku."

Aku menarik diri dari iaraghi Oryziel. Dengan cepat, luka tikam di dadaku menutup, tak menyisakan setitik darah pun. Sekali lagi kuacungkan iaraghi milikku ke arah Oryziel.

Pandangan di sekitarku berubah, berganti dengan cepat, menunjukan kemungkinan yang bisa aku ambil, segala risiko, dampak, termasuk pilihan terbaik yang ada di antara ribuan pilihan yang terbentang di depan mata. Semua denah itu terpeta dengan jelas di depan mataku, berputar seiring waktu yang melaju tanpa henti.

Sungguh, aku tidak ingin berakhir seperti ini, tapi jika tujuanku dan nyawa Alicia yang dipertaruhkan di sini, aku tidak akan menahan diri lagi.

"Menyerahlah, Ziel." Aku menatap kemurkaan Oryziel yang menjadi-jadi. "Kau tahu melawan seseorang dengan sihir waktu hanya akan membuang-buang waktu."

Oryziel menyeringai. "Tapi kau juga tahu risiko dari sihir waktu yang tidak stabil kan?"

"Usia yang termakan, bukan?" Aku menjawab dengan malas. Risiko ini sudah kutahu dari dulu sekali. "Tapi kau juga tidak lupa sihir waktu bisa dipadukan dengan sihir hitam kan? Aku bisa saja mencuri usiamu jika aku mau." Oryziel terlihat waspada ketika aku mengatakan hal ini. "Sayangnya aku tidak akan melakukannya. Ini sudah cukup untuk mengalahkanmu."

"Kau memang benar-benar meremehkanku, Kakak!" Oryziel menerjangku dan sekali lagi kami beradu senjata dan sihir.

Iaraghi milik Oryziel yang diperkuat sihir menerjangku dari arah depan. Kukerahkan sedikit sihir waktuku. Visi mataku berubah. Memori saat diriku ada di hadapan Oryziel menjadi satu dari ribuan kepingan gambar yang mengalir dalam ratusan arus waktu.

Aku memilih salah satunya dan sedetik kemudian, aku sudah berada jauh di belakang Oryziel. Adikku itu terbelalak ketike menoleh dan bertemu muka denganku, tapi keterkejutan itu hanya bertahan sesaat. Dengan kedua alis yang hampir bertemu, dia mendelik ke arahku.

"Manipulasi waktu ya, Azran?" Ia mendecih. "Kau sebegitu inginnya membuang nyawamu demi manusia?"

Demi manusia, terkadang aku sendiri jijik mendengarnya. Sebagian dari diriku masih belum menerima jalan ini, jalan yang mengakibatkan aku dibuang dan harus hidup sebagai perompak dan jauh dari takhta yang seharusnya jatuh ke tanganku ini. Tapi sekali lagi, aku selalu mengingatkan diri akan kenapa aku memilih jalan ini meski sudah tahu risikonya.

Aku hanya ingin melihat tawa polos para manusia ini dan juga tawa serta senyum dari gadis itu, tawa yang tidak pernah kulihat hingga detik ini.

Ketika mengingat hal itu, segala keraguan dan rasa jijik itu terkikis.

"Ya," jawabku tanpa ragu. "Ini jawabanku, Ziel."

Sekali lagi kami beradu, sihir dan senjata. Kali ini tempo pertarungan kami lebih cepat. Dampak sihir Ziel terasa di sekitar kami: tanah hancur, angin yang berubah kencang, dan suhu panas yang meningkat seakan atmosfer sedang mendidih di sekeliling kami. Tidak hanya alam, kutukan yang ia lemparkan dan alirkan lewat senjata juga terasa sangat menyesakkan. Tapi nyaris bersamaan ketika sihir miliknya dilepaskan dan merusak segalanya, sihir waktuku melenyapkan semua dampak energi sihirnya, persis seperti sihir Alicia. Hanya saja, aku tidak menghilangkan sihir Oryziel, aku hanya bisa menghilangkan dampak dari sihirnya. Rasanya memang konyol, ketika aku bisa melihat serangannya jauh sebelum serangan itu dimulai tapi malah memilih menghadapinya. Meski aku punya waktu dan punya kemungkinan untuk melakukan serangan balasan, aku hanya menerima serangan adikku begitu saja.

Oryziel, sejujurnya, aku tidak yakin apakah aku bisa menghentikannya. Bukan dari segi kemampuan yang aku ragukan. Aku hanya tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika seandainya aku benar menang.

Memangnya kalau menang, apa yang ingin aku lakukan? Pertanyaan itu bergema di dalam kepalaku, lagi dan lagi, membangkitkan perasaan bersalah yang menusuk-nusuk dan terasa tak nyaman.

Malam itu, malam ketika Ibu terbunuh itu, adalah malam aku melakukan kecelakaan sampai pulang terlambat. Andaikan aku tidak ceroboh, andaikan aku bisa pulang tepat waktu, mungkin jantung Ibu masih akan berdetak dan aku masih bisa menyelamatkannya.

Merasakan begitu banyak sihir mengalir keluar dari tubuhku, rasa bersalah itu kembali muncul, sekali lagi menggerogotiku dari dalam perlahan-lahan. Bayangan akan Ibu yang tidak pernah bisa kuselamatkan, bayangan akan kebodohanku di malam itu, semuanya diputar kembali setiap kali aku menggunakan sihir ini. Benar-benar menjengkelkan. Rasanya semua dosa dan masa lalu itu tidak mau pergi dariku.

Sekali lagi, iaraghi kami berhenti di satu pertarungan yang membuat jarak di antara kami menipis. Kedua senjata kami mencoba berebut dominansi yang saat ini bagai telur di ujung tanduk, dapat berpindah arah tergantung siapa yang punya kekuatan untuk menggiringnya.

Mata hijau Oryziel mendelikku marah. Dendam, amarah, dan kekecewaan terlihat sekali dari sana.

"Aku ditolong manusia, Ziel," ujarku di tengah pertarungan kami. "Mereka tidak semuanya jahat."

Oryziel terkekeh. "Itu tidak membuat mereka menjadi makhluk baik, Kak."

"Tidak," Aku mengakui. "Tapi itu membuktikan, aku masih bisa memercayai mereka."

"Percaya?" Sekali lagi Oryziel tertawa mengejek. "Tapi mereka tidak akan pernah percaya padamu, Azran. Liat dirimu! Kau Monster sama sepertiku! Tidak mungkin mereka percaya padamu! Meski mereka bilang percaya, semua hanya akan berakhir seperti Gillian kecilmu itu!"

Tanpa bisa kuhentikan, sungutan kesal muncul di antara kedua mataku. "Apa kau tidak punya bahasan lain selain Gill?"

"Ada," sahutnya. "Tapi dia adalah contoh terbaik untukmu. Atau kau lebih suka aku menggunakan Lazarus kecilmu sebagai contoh baru?"

Segera saja amarah berkumpul di dasar hatiku.

Sepertinya Oryziel sadar akan perubahan suasana hatiku, karena dia segera menyeringai. "Apa kau ingin tahu, Kak? Kau ingin tahu dengan cara apa dia mati berkali-kali setiap harinya? Kau mau tahu berapa kali dia harus merasakan sekarat dalam satu hari?" Menyadari amarah yang pastinya sudah muncul ke wajahku, Azran hanya semakin menyeringai. "Kau benar-benar terlalu naif untuk menjadi seorang raja, Azran!"

Baru saja Oryziel hendak mengayunkan pedang ketika sihir waktu itu muncul dan meniup kami dengan terjangan angin yang cukup keras. Langit di atas kami bercahaya dan sihir kami berdua lenyap sampai tidak tersisa sama sekali. Tanpa aku mendongak sekalipun, aku tahu Jalinan telah pulih kembali. Alicia telah berhasil menjalankan tugasnya. Dan jika melihat Jalinan yang tidak segera hilang ini, dia masih hidup.

Sang Penjaga Gerbang masih hidup. Dia menepati janjinya.

"Kau tadi bertanya, apa aku tidak ingin terburu-buru dan kau bilang kau tidak yakin Lazarusku bisa menghentikan tiga raja." Aku tersenyum bangga. "Kau sudah lihat buktinya sekarang. Lagipula, aku tidak pernah bilang bekerja seorang diri kan, Ziel?"

Oryziel malah terkekeh. "Black Mary, eh?"

"Dan sedikit bantuan kecil." Dengan bangga, aku mengimbuhkan. "Aku perompak, Ziel. Aku tidak pernah bekerja seorang diri."

Seringai Oryziel berubah, terlihat sangat menyakitkan dan terhina, seakan aku baru saja merendahkan martabatnya atau yang semacamnya. "Kenapa kau kelihatan lega, Azran? Kau dibelenggu sekali lagi di dalam tubuh manusia ini! Di dalam tubuh hina ini! Apa kau senang?!"

Pedang kami berdua berhenti beradu, saling menolak dan menjauhkan diri. Tidak ada lagi sihir di antara kami. Di tengah hutan yang telah pulih tanpa kerusakan, aku dan Oryziel berdiri dengan dua senjata yang tidak berbahaya di tangan.

"Ini bukan masalah senang atau tidak, Ziel." Aku merasakan yang aneh pada bilahnya dan segera menarik ujung pedang sihir itu, menemukan ada bilah manual di baliknya, seperti senjata Oryziel yang sudah-sudah. Senyum merekah di bibirku, tak menyangka Alicia menyiapkannya sejauh ini. "Sama seperti dirimu, aku memilih menyeberang ketika Tabir Dunia terbuka. Kita memilih jalan ini tanpa ada yang memaksa. Sudah sewajarnya kita menerima konsekuensi dari keputusan itu, bukan? Ini bukan masalah kita senang atau tidak dengan konsekuensi yang kita tuai."

Saudara kandungku itu juga sudah melakukan langkah yang sama. "Kalau begitu ini masalah apa?" Kemarahan dalam wajah Oryziel semakin tinggi. Di keadaan biasa, sudah akan ada sihir yang meledak di tubuhnya. Sayangnya tidak ada lagi energi sihir yang bebas keluar dari tubuhnya saat ini. "Kau mau bilang, ini masalah kita sendiri? Salah kaum kita yang hanya ingin bertahan hidup keluar dari Dunia beracun itu?"

Dia benar. Oryziel tidak bisa sepenuhnya disalahkan untuk itu. Tapi hidup sambil menginjak-injak satu dunia lain sampai musnah, apa itu memang jalan yang terbaik?

"Ini bukan masalah apa atau siapa." Sekali lagi, aku menghunuskan pedang padanya. "Ini masalah apa yang menurutmu benar dan berani kau bela, Ziel."

Di keadaan normal, mungkin kami tidak akan mati dengan tikaman pedang biasa seperti ini. Tapi ketika Jalinan sudah kembali utuh seperti sekarang, kami akan mudah semati manusia, tidak peduli meskipun penuaan dan umur alami kami jauh lebih banyak dari mereka sekalipun.

"Apa yang menurutmu benar?" Oryziel mengulangi kata-kataku, tampak frustrasi. "Kalau begitu, menurutmu ini benar? Membiarkan mereka menguasai dunia ini lagi, menjajah kita, membunuhi kita satu per satu seperti membunuhi hewan ternak? Itu yang menurutmu benar?"

"Bukan," jawabku teguh. Tanpa ragu, aku menerjang dan seperti biasanya, Oryziel bereaksi cepat dengan memblokir ayunan pedangku. "Aku tidak berniat membiarkan era itu terjadi untuk kedua kalinya. Tapi semua kekuasaan yang dipaksakan ini, semua kondisi ketika manusia harus tunduk di bawah kaki kita ini, ini tidak benar! Mereka lebih lemah dari kita dan apa kuasa seorang raja untuk menginjak ras yang jelas-jelas tidak bisa berkutik di bawah kaki kita?"

"Justru karena mereka lemahlah, kita harus menyadarkan mereka!" Energi Oryziel mendominasiku. Sebelum pedangku berayun keluar dari pegangan, aku memutar pedang, menghindari serangan telak Oryziel. Kami berdua memberi jarak, bersiap untuk serangan berikutnya. "Kita harus menyadarkan mereka, Kak. Mereka tidak berhak menghakimi orang lain, mereka tidak berhak menghina karena mereka sendiri rendah! Kita harus taklukkan dan buat mereka sadar posisi mereka sebenarnya!"

"Di dunia yang menjadi rumah mereka sendiri sejak dulu?" balasku dengan nada tinggi yang sama. "Kitalah yang harus menyingkir, Ziel!"

"Kata-katamu memuakkan, Azran!" Sekali lagi Oryziel menyerangku, kali ini betubi-tubi. "Kenapa kau lebih membela mereka? Kau mau kita kembali ke tempat terkutuk itu lagi? Ke tempat di mana kita tidak akan bisa bernapas dengan bebas?"

"Kalau memang ada caraya, aku akan cari tahu!" Aku memutar pedangku hingga pedang milik Oryziel terpental dari tangannya, terlepas begitu saja.

Adikku masih berdiri namun tanpa senjata, sementara pedangku terhunus tepat ke lehernya, mematikan pergerakannya. Dengan tajam, aku menatapnya, tanpa pernah sekalipu ragu, tanpa pernah sekalipun menarik mundur apa yang menjadi tekadku.

"Ini sudah berakhir, Ziel." Aku berkata dengan nada paling dingin yang pernah kutujukan kepada adikku. "Menyerahlah. Aku tidak mau membunuh adikku sendiri."

"Azran, apa kau menyukai dunia ini?"

Oryziel malah menyeringai. "Menyerah? Tidak akan mau membunuh?" Sepasang manik hijau itu menatapku rendah, seperti sedang menghinaku. "Kau ini kelihatannya sampai akhir pun akan terus saja naif, Azran."

Ya, aku suka dunia ini, Ziel. Kalau kau sendiri?

Kemudian warna merah itu memenuhi pandangan mataku.

"Kalau begitu kita sama. Aku juga menyukai dunia ini, Azran."

***

Tubuh Oryziel terjatuh begitu saja ke tanah, dengan pedangku menikam dadanya.

Otakku berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Oryziel tadi menyerangku. Selama beebrapa saat, aku lengah. Dia berhasil merebut pedang dari tanganku. Tubuhku yang kehilangan keseimbangan, limbung sebelum akhirnya jatuh. Dia mengayunkan pedang itu tepat ke di atas kepalaku, kelihatan siap sekali membelah tubuhku jadi dua.

Tapi yang aku lihat sekarang, pada kenyataannya, Oryziel menikam dadanya sendiri. Dengan pedangku, dia menikam jantungnya sendiri, sesuatu di dalam diriku yakin demikian adanya.

Ada sesuatu yang berdetak di dalam telingaku, terdengar lemah dan semakin lemah setiap detiknya.

"Detak jantungmu kencang sekali di telingaku, Azran." Oryziel berkata sebelum memuntahkan banyak sekali darah dari mulutnya. "Apa kau juga mendengar detak jantungku?"

Detak jantung yang terdengar di telingaku semakin lemah. Seiring dengan detak yang lemah itu, sihir di dalam tubuhku bergejolak, tapi bukan bergejolak marah seperti yang biasa kurasakan. Rasanya lebih seperti bergembira akan sesuatu.

"Jadi ini ... yang terjadi ketika salah satu dari kita akan mati?" Suara tawa yang parau dan lemah keluar dari mulut Oryziel. "Kita ternyata ... memang ditakdirkan untuk saling bunuh ya ... Kakak?"

Aku hanya bisa terduduk dengan tolol di hadapan Oryziel yang kemudian jatuh berlutut. Kedua tangannya terlepas dari pegangan pedang, jatuh dan menggantung tak berdaya di kedua sisi tubuhnya.

Luka di dadanya tidak pulih sama sekali dan darahnya pun tidk berhenti mengalir, justru semakin banyak. Tandanya kami memang sudah sangat tidak berdaya sekarang ini, sama tidak berdayanya dengan satu manusia menyedihkan.

"Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku tanpa bisa dihentikan.

Oryziel tersenyum. "Sekali-kali, kau juga ... harus merasakan bagaimana rasanya ... melihat keluargamu mati ... di depan matamu sendiri," ucapnya pelan. "Lagipula ... aku yakin kau tidak akan bisa ... kau terlalu naif, Azran."

Pendar di sepasang manik hijau itu meredup seiring nyawa yang dengan cepat pergi dari tubuhnya, menuju tempat entah ke mana yang tidak aku ketahui sama sekali. Matanya menatapku, dengan senyum kesakitan yang terakhir kali kulihat dulu, di hari kematian ibu kami di tangan para manusia.

"Ini pilihanmu ...." Dia berbisik, masih tersenyum, tapi entah kenaap senyumnya tampak getir. "Jika kau salah ... aku akan menertawakanmu dari ... sana."

Pendar di matanya hilang. Tak ada lagi cahaya serupa tornado api yang tampak di sana. Bagai mata manusia yang kosong, mata adikku pun menutup.

***

Ketika semua sudah terlambat, kita baru akan bereaksi.

Awalnya kukira itu hukum konyol yang berlaku hanya untuk makhluk berotak lemah seperti manusia. Tidak disangka, hukum itu ternyata juga berlaku padaku.

Setelah pendar di mata adikku meredup dan detak yang tadi bergema di telingaku lenyap, aku baru bisa bergerak. Dengan cepat, aku bangkit dan meraih tubuh adikku yang oleng nyaris ambruk ke tanah.

Kucabut pedang yang menancap di dadanya. Darah sudah berhenti mengalir dari tubuhnya, tapi lukanya tidak menutup sama sekali. Tidak ada kehidupan terasa dari tubuhnya.

Adikku sudah benar-benar tiada. Cukup dengan satu pikiran itu, seluruh tubuhku bergerak. Tanganku merangkul tubuhnya yang lemah, tak seperti Oryziel yang kukenal seumur hidup, dan kepalaku berada di samping telinganya. Seharusnya di saat-saat seperti ini, aku membisikkan sesuatu, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku.

Tidak ada lagi yang bisa aku katakan padanya.

Terlalu sakit, rasanya terlalu sakit bagiku untuk memikirkan barang satu kata saja.

Jadi sedalam ini rasa sakit yang ditanggung Oryziel ketika Ibu meninggal di depan matanya sendiri ... tanpa dia bisa berbuat apa-apa? Kejam sekali.

Rasa sakit ini benar-benar kejam, rasanya aku mual sampai benar-benar ingin memuntahkan semua isi perut, kepalaku pusing, dan tenagaku menguap dengan cepat entah ke mana.

Aku sekarang punya mental seorang pria dewasa, kondisi mental yang membuatku bisa mengendalikan emosi lebih baik walaupun masih saja meras sakit, entah apa yang dirasakan Oryziel yang waktu itu masih memiliki mental anak-anak, entah sepedih apa rasanya.

Kepalaku mendongak ke langit, menatap Jalinan yang masih memulihkan diri dan sekarang nyaris sempurna seperti sedia kala. Aku tidak bisa menangis sekarang. Masih ada yang harus aku lakukan.

"Terima kasih karena kau tidak terlibat dalam pertarungan ini ...." Aku mengangkat kepala dan menoleh ke arah pepohonan. "Gillian."

Sosok itu keluar dari bayang-bayang sambil menatapku serius. Selama sedetik, matanya menatap tubuh Oryziel yang tak lagi bergerak dalam rangkulanku sebelum kembali menatapku.

"Kau berterima kasih padaku? Apa tak salah, Azran?" Gill tidak terdengar bahagia sama sekali. Kebalikannya, dia justru terdengar pahit. Aku tahu ini bukan sesuatu yang membuatnya berduka—tidak ada kesan duka sama sekali di wajahnya—tapi ini juga tidak membuatnya bahagia. Biar bagaimanapun, dialah yang paling mengerti bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga. "Aku sama sekali tidak menolongmu tadi."

"Justru karena kau tidak ikut campurlah, semuanya bisa selesai secepat ini." Perlahan, aku melepaskan tubuh Oryziel dan meletakkannya di tanah. "Sekali lagi terima kasih, Gil."

"Ini urusanmu, kau sendiri yang harus menyelesaikannya, jadi tidak perlu berterima kasih." Gill mendongak ke langit yang masih bercahaya. "Lagipula, keberadaanku di sini hanya karena Alto yang menyuruhku."

"Tetap saja, aku berterima kasih karena kau mau datang."

"Aku hanya tidak mau punya hutang apapun padamu, Penyihir," dengusnya. "Jika bukan karena hutang itu, sudah akan kutinggalkan kau membusuk selamanya dan tidak repot-repot kembali seperti sekarang!"

Aku ikut mendongak ke langit, melihat keberhasilan Alto memperbaiki Jalinan. Sekali lagi, aku mencoba menggerakkan sedikit energi sihirku. Masih ada sedikit energi yang tersisa, tapi tidak terlalu banyak.

Benang-benang berwarna emas itu saling merajut, meliuk-liuk di langit, dan menutupi seluruh angkasa dengan warna emasnya sebelum selanjutnya pudar. Energi Jalinan yang memenuhi langit perlahan terasa turun, menghujani bumi dengan energi hangt yang diam-diam merenggut semua kemampuan kami sebagai kaum yang berada di atas manusia, memaksa kami hidup seperti mereka dan berdampingan dengan mereka jika memang mau tinggal di sini.

"Gil?"

"Apa?"

"Bisa aku titip adikku padamu?"

Gill menghela napas. "Dia tidak akan ke mana-mana."

"Terima kasih sekali lagi." Aku pun bangkit dan segera berlari meninggalkan Gill jauh di belakang, menuju ke tempat asal semua cahaya berkilauan ini berasal.

***

-

A/N:

Dua bab lagi kelarrrrrr!!!

Pertarungan Azran selesai dalam satu chapter panjang, menyisakan hanya chapter soal Alto saja yang tersisa! Kira-kira seperti apa pertarungan Alto? Dan bagaimana kru kapal Black Mary bisa datang? Hm ... mencurigakan. 

Ada yang bertanya-tanya, apakah endingnya akan sama seperti di versi NN. Saya hanya bisa menjawab, silakan lihat saja sendiri. Saya hanya bisa menjanjikan, ada 2 special chap yang saya simpan untuk kisah ini. 

Satu akan saya taruh setelah bab terakhir, dan satu lagi akan saya taruh di antara bab 36 dan 37 alias di antara Lazarus Part 1 dan 2. Yeps, awalnya saya rencanain itu buat special chap di paruh awal, tapi karena waktu yang semakin menipis waktu itu, saya jadi nggak sempet samsek deh. 

Doakan saja semoga kali ini saya sempat menulis dan saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya di tempat sekarang tanpa kendala apa pun. 

See you next chap. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro