68. Dimulai dari Awal
Guncangan menggetarkan kapal demikian hebat hingga tubuhku tidak bisa bergerak di tempat.
"Kita diserang," ujarku, seolah semua guncangan ini bisa mengartikan hal lain.
Azran mengangguk singkat. Ketenangannya hampir membuatku bergidik. "Benar-benar tidak sabaran."
Aneh sekali kami berdua bisa begitu tenang seolah sudah menduga semua serangan ini akan datang. Di saat yang tenang, aku mungkin akan mempertanyakan kondisi tidak normal ini, tapi otak kami berputar lebih cepat untuk mencari solusi di tengah waktu yang semakin menipis.
Serangan sudah dimulai, bahkan sebelum aku sempat mempersiapkan diri.
Pundakku membentur dinding besi lorong dengan keras dan lututku dipaksa menempel ke lantai, tak sanggup berdiri maupun berpindah dari tempatku berada di lorong sekarang. Azran segera meraih lenganku, membantu kedua kakiku tetap stabil sementara guncangan semakin hebat di sekeliling kami.
Di sekitarku, dinding dan atap lorong berubah ringsek, penyok di berbagai sisi akibat tekanan dari luar.
Kapal ini sedang dihancurkan.
"Ada ide?" tanyaku dengan suara keras, sengaja agar Azran mendengar di tengah semua kekacauan ini.
"Mungkin."
Aku menoleh ke arahnya. "Jawaban macam apa itu?!"
Sekumpulan tombak raksasa tiba-tiba muncul dari berbagai arah. Warnanya putih gading, menyobek dan menembus badan besi kapal dengan mudah seakan badan kapal hanya dibuat dari kertas tipis. Energi sihir mengaliri tombak-tombak putih itu dalam jumlah melimpah, lebih banyak dari yang bisa dialirkan pada iaraghi dan xifos. Aku tercengang menatap tombak-tombak putih raksasa yang menancap ke berbagai sisi kapal. Jika saja tadi aku salah berdiri, tombak-tombak putih ini sudah pasti menembus tubuhku.
Mataku terpaku pada tombak-tombak putih itu selama beberapa saat, mengamatinya, sebelum tersadar bahwa tombak yang menembus badan kapal ini bukanlah tombak dari besi. Tidak, bahkan benda-benda ini bukanlah tombak sama sekal.
Tombak-tombak putih itu adalah taring. Dan jika melihat dari ukurannya masing-masing yang lebih besar dari dua kakiku dijadikan satu, apapun pemilik taring ini berukuran sangat besar. Aroma darah dan sesuatu yang berbau seperti lautan dan uap air menyembul di tengah semua kekacauan.
Suara raungan terdengar dari luar kapal, menggetarkan kapal dan memekakkan telingaku dengan suaranya yang nyaring. Getaran semakin hebat mengguncang kapal dan raungan itu semakin terdengar marah setiap detiknya. Buruknya, raungan yang kencangnya luar biasa itu tidak hanya terdengar satu.
Awalnya hanya satu, hanya berasal dari tombak-tombak putih ini, namun kemudian energi sihir lain datang menginvasi kapal. Warna-warna energi sihir itu muncul dan beradu di sekelilingku. Kapal yang tadi tidak mengandung setetes pun energi sihir kini disesaki oleh energi yang terbakar dan memanas di udara.
Mereka memang benar-benar tidak sabaran.
Dan tidak sabaran seolah sudah mendarah daging di klan Therlian.
Ya, kami pasti sudah tiba di langit Eropa. Dan dalam situasi yang tidak menyenangkan pula. Taring-taring sebesar ini hanya berarti sesuatu.
"Waktunya semakin singkat," gumamku. "Jika mereka bisa berubah semudah ini, jalinan artinya sudah—
Asap berwarna hitam pekat perwujudan sihir hitam itu tiba-tiba muncul di sekelilingku. Taring-taring yang tadi menembus badan kapal dalam satu kedipan mata berubah hitam, membusuk dan meleleh. Taring-taring itu keluar dengan cepat, tak lagi menancap di kapal. Raungan yang tadi marah itu berubah menjadi jeritan makhluk yang kesakitan. Kapal berguncang sekali lagi dengan guncangan hebat ke sisi lain. Tubuhku oleng ke sisi seberang dan jatuh membentur sisi lain lorong.
Inginnya aku bilang begitu, tapi pada kenyataannya, tubuhku tidak pernah membentur dinding lorong untuk kedua kalinya. Kali ini bahuku tidak merasakan dingin dan kerasnya dinding besi kapal. Ada satu tangan putih yang menahan pundakku, mencegah tubuhku membentur dinding lorong lagi. Mataku melirik ke belakang, menyaksikan Azran berada di belakangku dengan ekspresi gelap. Warna putih matanya lenyap, berganti warna emas yang kelihatan lebih cemerlang dari biasanya.
[Apa dua temanmu sudah pergi?] Sekali lagi kepalaku berdengung. Azran membuka mulutnya, tapi tidak ada suara dari sana. Mulut itu sudah dipenuhi taring alih-alih gigi normal, membuatnya kelihatan mustahil untuk bicara lewat mulut itu.
"Ya. Mereka sudah pergi." Aku menjawab sebelum berusaha berdiri dengan kedua kaki sendiri. "Memangnya ke mana kau suruh mereka pergi?"
[Hanya tindakan berjaga-jaga.]
"Apa lagi itu?"
Senyum muncul di sudut bibir Azran. [Kau akan lihat nanti.]
Aku tidak suka jawaban menggantung yang tak jelas maknanya seperti itu, tapi aku tidak punya pilihan. Orang yang sudah memberi jawaban seperti itu, tidak akan memberi jawaban yang kita mau dan berusaha untuk mengorek jawaban itu hanya akan membuat kita kelelahan sendiri.
Azran tidak henti memegangiku meski aku sudah berdiri sendiri. Di sekeliling kami, sulur energi sihir hitam mengalir perlahan, membungkus udara di sekeliling kami agar lebih tenang. [Jalinan semakin sekarat.]
Aku mengangguk. "Benar." Aku langsung memikirkan apa yang harus kami lakukan sekarang, tapi tatapan tajam itu menggangguku. Menoleh, aku mendapati Azran tersenyum. "Apa?"
[Kau kelihatan tenang sekali untuk seorang gadis yang tadi hampir terbunuh ... dan mungkin akan terbunuh nanti.]
"Ini bukan kali pertama nyawaku ada di ujung tanduk, sekadar informasi kalau kau belum tahu, Azran," dengusku kesal. Aku sudah bisa berdiri tegap dan guncangan di sekitar kapal mulai berkurang meski sihir malah meningkat pesat, tapi Azran masih belum juga melepaskan tubuhku. "Dan kau pun terlihat sama tenangnya, Kapten, kalau-kalau kau tidak sadar kondisimu sendiri."
[Kau tahu? Aku ingin sekali menciummu sekarang ini.] Aku membelalak dan senyum Azran semakin lebar. [Tapi sekarang aku sedang benar-benar marah. Jadi akan kusimpan itu untuk nanti, setelah kita selamat dari sini.]
"Benar," Aku menggenggam tangannya. Mengucap sumpah yang rapuh itu sekali lagi. "Setelah semua ini."
Konsentrasi sihir hitam Azran meningkat pesat dalam intensitas melebihi yang selama ini ia pernah keluarkan, maupun penyihir-penyihir lain keluarkan. Raungan semakin kencang terdengar di luar, semakin terdengar kesakitan, namun di saat yang sama juga terdengar semakin banyak.
Sementara terkagum pada sihir hitamnya, suhu di sekitar kami berubah dingin menusuk tulang, seakan sihir telah lenyap. Tapi aku tahu itu tidak benar. Ketika sihir lenyap, suhu hanya akan berubah normal, bukan dingin menusuk seperti ini.
Napas yang keluar dari mulutku berubah menjadi asap putih ketika terlepas di udara. Kristal-kristal es berwarna putih mulai memenuhi belasan sudut dinding kapal, menjalar dengan cepat seperti karat besi, memenuhi seluruh lorong dalam waktu singkat. Di antara raungan yang membahana di luar, aku mendengar rintik hujan yang sangat deras sementara suhu semakin turun dan semakin terasa menyakitkan.
Sihir hitam dan putihnya sudah sangat banyak dan aku merasa ini bahkan belum separuh kekuatan Azran.
Genggaman Azran pada tubuhku terasa semakin erat. [Kau percaya padaku?]
Aku menghela napas. "Aku tidak akan suka apapun yang akan kau lakukan ini kan?"
Azran melirikku dan tersenyum penuh penyesalan yang terlihat sangat tulus. [Tidak akan.]
Dengan berat hati, aku mendesah dan mencoba berdiri tegak di lorong yang tak henti berguncang. "Asalkan aku bisa sampai tepat ke tujuan."
[Kau tahu kita sudah sampai di Inggris kan?] Setetes darah keluar dari mataku ketika sihir Azran lepas di udara dalam jumlah yang lebih banyak lagi. [Klan Bastili tidak akan repot-repot memberi sambutan seperti ini jika kita belum sampai di wilayah adikku.]
***
Api sekali lagi menyelimuti seluruh pandangan mataku. Tapi seperti sebelumnya, api ini tidak pernah menyentuh, membuatku kepanasan, apalagi membakarku. Bunyinya bahkan sedikit pun tidak terdengar.
Gelombang energi sihir berwarna hitam pekat itu melindungiku dengan perlindungan tebal yang membuat tubuhku lolos dari api, tapi di saat yang sama juga membuat darah keluar dari mataku semakin banyak. Sayang sekali aku tidak bisa mengeluh. Perlindungan ketat memang diperlukan jika ingin selamat dari ledakan sebesar ini saat aku berada tepat di pusat ledakan. Panas internal membakar tubuhku dari dalam karena harus menahan energiku sendiri dari memakan energi sihir yang melindungiku ini sampai habis.
Perlahan warna api yang membara dan mengerikan itu lenyap, berganti warna kelabu pekat dari asap yang tebal hasil dari sisa-sisa pembakaran. Beberapa kali pelindung Azran berdenyut terkena serpihan kapal yang menghampiri, tapi jangankan retak, serpihan-serpihan besi itu malah terlempar balik saat berbenturan dengan pelindung di sekitarku.
Setelah asap tebal itu berlalu, barulah aku sadar tengah dalam perjalanan cepat mulut buaya yang menganga lebar.
Tubuhku sedang meluncur bebas dari ketinggian dan tidak ada yang bisa menghalangiku dari jatuh ke atas tanah di bawah sana, yang kelihatan masih sangat jauh. Angin memang tidak terasa bertiup di sekitar tubuhku, tapi permukaan tanah yang terlihat semakin dekat dengan cepat sudah memberiku lebih dari cukup sirine bahaya.
Satu sihir lain datang mengelilingi sihir jiwa yang melindungi tubuhku. Saat itu juga, tubuhku melayang dengan lembut, jatuh dengan perlahan ke tanah, seperti mengenakan parasut, tak lagi jatuh dengan cepat. Angin di bawah tubuhku mendorong ke atas, beradu dengan angin yang mendorongku ke bawah, menghambat kecepatan jatuhku menjadi benar-benar minimal. Tapi berkat sihir yang melindungiku, angin di sekitarku tidak terasa terlalu keras, hanya seperti buaian lembut angin di musim semi.
Aku berusaha menggerakkan tubuh, tapi mustahil. Bergerak di kondisi tanpa pijakan sama sekali benar-benar sangat sulit.
Sementara aku berpikir, permukaan tanah tampak semakin dekat.
Sial.
Aku sempat berpikir akan mendarat di atap bangunan atau di daerah hutan jika memang kami belum sampai London, tapi pada kenyataannya, aku malah mendarat di sekumpulan reruntuhan dengan banyak batu tajam dan palang besi yang mencuat.
Energi sihir yang mengelilingiku berangsur semakin tebal. Ada sihir lain yang bergabung dengan dua energi sihir yang sudah meliputiku selama berada di udara. Energi sihir yang baru ini tampak meliuk sebelum menghilang di udara lepas. Tak memakan waktu lama, embusan angin yang berasal dari bawah tubuhku bertiup semakin kencang, menghalangiku dari jatuh ke reruntuhan tajam di bawah sana. Sejurus kemudian, satu cakar raksasa yang membuka lebar berhenti tepat di bawah tubuhku. Arus angin yang tadi mendorongku ke atas sirna secara tiba-tiba ketika tubuhku hanya berjarak beberapa kaki dari telapak tangan yang membuka lebar itu, menjatuhkanku dengan perlahan ke sisik yang ternyata sekeras badan kapal udara itu.
[Kau terluka?]
"Tidak juga." Hanya energi sihir yang sangat besar ini yang membuatku jengkel luar biasa, tapi tentu saja aku tidak akan mengatakannya. Aku tidak mungkin berharap sesuatu yang lebih baik dari ini.
Jika Jalinan memang sudah hampir runtuh, wajar saja sihir menyesaki setiap inci udar seperti ini, memenhuhinya seperti air yang membanjiri pipa yang tertutup katupnya, membuatnya membengkak dan tinggal tunggu waktu meledak. Itu perumpamaan yang bagus, tapi aku tidak akan membiarkan pipa itu—dunia ini—meledak.
Aku mendongak, hanya untuk mendapati ukuran wujud asli Azran yang kelihatan semakin besar hingga menutupi langit, sisiknya semakin gelap, jumlah ekor cambuknya semakin banyak dan ada sesuatu seperti sayap berjumlah tiga pasang di punggungnya.
"Kau ... bertambah besar dan tinggi." Aku menelan ludah, entah kenapa merasa ini belumlah ukuran Azran yang sebenarnya.
Azran mengembuskan napas panjang dan aku bisa melihat kabut mengepul hanya dari embusan napasnya.
[Aku memang merasa lebih kuat, terutama karena kau melepaskan seluruh segelku.] Mata emas raksasa itu mendelikku dari atas. [Ah, kurasa itu bukan berita yang terlalu baik bagimu.]
Lapisan sihir menyelimutiku. Sulur-sulur hitamnya membungkusku seperti kepompong tipis semi transparan. Aku bisa bernapas. Aku bisa bergerak, meski aku yakin ketinggian kami saat ini sanggup membekukan paru-paru manusiaku sampai pecah berkeping-keping. Azran sama sekali tidak lengah.
"Jangan bilang kau benar-benar sebesar benua." Aku mengamati leher hingga kepalanya yang ditutupi sisik hitam legam, warna hitam yang mengingatkanku pada pakaian yang biasa dikenakan Azran.
[Kalau aku bilang pun kau tidak akan percaya—dan lagi ... wujudku yang sekarang bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.]
"Wujudmu yang mana pun tidak akan membuatku kagum, Penyihir!" ketusku, kesal padanya yang sempat sekali membanggakan diri di saat seperti ini. "Ngomong-ngomong ... kau yakin kita mendarat di Inggris?"
Mata Azran jatuh ke kejauhan. [Ya. Ini Inggris.]
Kepalaku menatap ke depan, ke bentangan daratan kosong yang tadi sempat kulihat selagi jatuh dari langit.
"Kalau begitu, situasi saat ini kelihatannya lebih kacau dari sekadar Jalinan yang sekarat." Dan aku tidak main-main ketika mengatakannya karena saat ini saja, sihir sudah sangat mendominasi setiap inci tempatku berpijak, bahkan itu belum termasuk sihir Azran yang sangat besar di belakangku.
Apa yang disebut Azran sebagai Inggris, di mataku hanyalah sebuah padang kosong. Aku ingin bertanya lagi pada Azran apa aku sedang bermimpi, tapi rasa sakit di mataku tidak mungkin senyata ini di mimpi, jadi ini adalah kenyataan.
Tidak ada lagi Inggris dengan berbagai bangunan megah peninggalan masa lalu, istana yang menjulang, maupun bandar-bandar udara yang melayang puluhan kaki di atas tanah. Yang ada hanya padang penuh reruntuhan dari apa yang kusebut sebagai bangunan dan peradaban manusia. Reruntuhan, puing, dan apa yang lebih mirip sebagai potret kehancuran sebuah peradaban oleh bencana besar menjadi satu-satunya gambaran yang sesuai bagi apa yang disaksikan oleh mataku kini.
Ratusan, mungkin ribuan hektar tanah terisi penuh oleh puing dari apa yang aku kenal sebagai Inggris. Tidak jauh dari kami aku bisa melihat Sungai Thames dan puing sisa Jembatan London. Katedral St. John tampak seperti kap lampu rusak yang menyedihkan di tenggara. Bandar udara London hanya tersisa landasan pacunya, meninggalkan hangarnya ke dalam catatan sejarah.
Seluruh kerja keras Serikat Pembangun sia-sia. Sekarang, yang ada hanya sebuah padang luas berisi berbagai reruntuhan bangunan yang seakan habis luluh lantak diterjang topan.
Tapi siapapun tahu bukan topan penyebab semua ini. Topan wujudnya angin, bukan segerombolan makhluk-makhluk raksasa yang terbang atau berlari ke arah kami sambil menghancurkan semuanya yang menghalangi jalan mereka, bukan ratusan naga yang jumlahnya memenuhi daratan dengan banyak sekali energi sihir melimpah di sekitar tubuh mereka, dan jelas bukan monster-monster yang menggeram, kelihatan sekali ingin membunuh kami berdua.
[Akhirnya sang pangeran yang diasingkan kembali.] Therlian berwujud naga bersisik putih angkat bicara. Ia menggeram dan menatap ke arahku. [Kau mau menjadi pahlawan dengan menyerahkan Lazarus itu pada adikmu?]
[Atau kabar yang kami dengar dari Sigmon benar adanya?] Seekor naga dengan sisik sewarna laut dalam menjulurkan lehernya ke arah kami. Bisa kulihat taringnya muncul menyerupai seringai di wajahnya yang besar. [Kau bersekongkol dengan manusia untuk menggulingkan kekuasaan kita dari dunia ini?]
Seekor naga bersisik merah seperti api mengaum pelan ke arah kami. [Bicaralah, Azran. Mumpung kami masih mau mendengarkan.]
Mereka semua berisik sekali. "Azran, kau bisa membuka jalan untukku?"
[Kau ingin pergi sekarang?]
Mendongak, aku melihat langit di atas kepalaku gelap hampir terlihat seperti malam. Tak ada lagi kapal-kapal udara yang melintas. Burung-burung pun tidak terlihat. Hanya ada awan gelap berselimutkan banyak energi sihir datang menutupi seluruh langit yang belum tertutup sosok Azran dan petir yang muncul secara tiba-tiba dan langsung menyambar ke berbagai titik di tanah dengan cepat. Akibt penuhnya energi sihir, hawa dingin dan panas bercampur baur hingga tidak jelas lagi suhu mana yang mendominasi. Jemariku menghapus cairan yang menetes sedari tadi dari mataku, melihat tetesan berwarna merah mengotori ujung jari jemariku.
Angin tak pernah berembus dengan tenang. Seakan semua monster yang menghalangi kami di depan sana belum cukup buruk, puluhan bahkan ratusan burung raksasa ikut muncul. Sigmon memang bilang hanya satu kota dan bukan seluruh klannya yang aku hilangkan kekuatannya, tapi aku tidak menyangka masih tersisa sebanyak ini. Selain naga-naga raksasa, muncul makhluk-makhluk lain di balik jarak jauh yang memisahkan. Aku melihat sesuatu bergerak seperti binatang yang mengendap-endap di balik kabut. Kemudian sesuatu mendesis, menjulurkan leher panjangnya ke arah kami dan memperlihatkan taring tanpa takut.
Serigala. Salah satu Klain Klaid.
Ular. Klan Eusena.
Sepertinya Inggris jadi lebih bervariasi dari kali terakhir aku mampir ke mari.
Aku kembali memandang ke depan, ke arah monster-monster itu. "Ya, aku akan pergi sekarang."
[Ingat janjimu.]
"Bersihkan saja jalanku," sahutku tak sabar. Dengan sihirnya, Azran mengangkat tubuhku hingga melayang, terangkat dari cakarnya.
Tak diam saja, makhluk-makhluk itu langsung melancarkan sihir ke arahku, yang langsung ditepis Azran dengan mudah menggunakan sihirnya. Ia melapisi pelindung milikku dengan sihir hita, meredam dan mementalkan seluruh sihir yang berusaha menyerangku untuk kembali ke pemiliknya. Tentu saja monster-monster itu juga sudah membentengi diri mereka sendiri dengan sihir sehingga sihir Azran tidak mengenai mereka dan hanya terlempar ke sekitar, menambah tingkat kehancuran Inggris yang sudah sangat memprihatinkan ini.
Ketika aku mendarat dengan lembut ke tanah, kulepaskan semua energi sihir yang sedari tadi tergelitik ingin ikut serta dalam pertempuran ini juga. Sihir Azran yang melindungiku sirna seketika. Gelombang angin yang kuat berembus ke sekitar, menerbangkan debu dan puing-puing kecil hingga tak bersisa, meredakan sihir yang bergejolak di bumi dan angkasa.
[Apa yang kau lakukan?] Geraman belasan monster lain bergema di angkasa yang masih bergemuruh oleh banyaknya petir.
"Maaf saja." Di tengah semua terpaan energi sihirku yang membuat suhu berangsur-angsur normal dan langit kembali tenang tak bergemuruh, aku bicara. "Aku tidak bisa membiarkan kalian melakukan kerusakan lebih dari ini."
Tidak ada yang lolos dari jangkauan sihirku. Aku menentang batas kekuatan yang selama ini kutahan. Saat itu, di Constantinopel, aku mengeluarkannya tanpa sengaja. Efeknya tidak pernah kuduga sebelumnya, tapi bukan berarti aku tidak tahu bisa melakukannya. Aku tahu aku bisa dan aku tahu aku mampu. Apa yang dikatakan ibuku sudah menjelaskan semuanya.
Dan sekarang aku hanya berusaha menantang diriku sendiri untuk mencapai batas yang tidak pernah kucapai itu dan mengeluarkan semua energi sihir yang ada di dalam tubuhku.
Kepalaku mendongak, melihat langit yang masih mendung tak lagi berlapiskan ratusan guntur. Energi sihirku yang berwujud sulur berwarna hijau zamrud memenuhi angkasa, memakan sampai tak bersisa energi sihir lain selain energi milik Azran.
"Kau benar-benar memaksakan diri." Satu elusan lembut mendarat di kepalaku. Melirik, aku melihat Azran berdiri di belakangku dalam wujud manusianya. Matanya kembali normal dengan iris emas yang berpendar.
Aku kembali menatap ke depan, ke arah daratan luas yang tak lagi dipenuhi monster. Kini daratan ini benar-benar kosong. Kalaupun ada hal lain yang aku lihat, itu adalah energi sihirku yang menyebar ke segala arah, seperti riak pada permukaan air. Ada energi sihir besar lain yang terasa, tapi tidak sebesar satu menit lalu. Kurasa ini sudah cukup.
"Aku tidak memaksakan diri," jawabku, mengambil langkah pertama menuju reruntuhan paling tinggi yang bisa kulihat di kejauhan. Bangunan itu memang tidak lagi berwujud sama dengan kali terakhir aku kemari, tapi mataku masih bisa mengenalinya. Itu menara London. "Ini masih belum ada apa-apanya."
"Aku punya banyak sekali alasan untuk tidak percaya pada ucapanmu yang kelewat percaya diri itu." Azran melangkah, berdiri di sisiku dengan energi sihir yang menggelegak. Di kejauhan, terasa energi sihir yang besar dalam jumlah banyak, mendekati kami.
"Sudah kubilang kan aku akan hidup?" sahutku, bersiap untuk berlari. "Harapan dan kekuatan dua belas Penjaga Gerbang ada di dalam diriku, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya!"
Tanpa perlu disuruh lagi, aku pun pergi dari tempat itu dengan Azran memimpin jalanku, menyingkirkan para penyihir yang berniat untuk merintangi jalanku. Mataku hanya tertuju ke satu arah yang pasti, satu tempat yang tersisa untuk menyelesaikan semua ini. Menara London, tempat kuil di Eropa tersisa.
Di tempat itu juga, kemungkinan Oryziel akan menghalangiku.
Tapi gelombang sihir berwarna emas yang menerjang secara tiba-tiba itu membuatku terkejut bukan main.
***
Hal yang paling lucu dari sebuah takdir adalah ketika pertemuan dan perpisahan terjadi tanpa bisa diduga sama sekali.
Di saat aku mengira akan bertemu Oryziel di Menara London, aku malah menemuinya secepat ini. Entah sejak kapan, pemuda bermata hijau pucat dengan pendar menyala itu muncul. Raja muda itu mendelik penuh dendam ke arahku atau mungkin tepatnya ke arah kami berdua. Seperti dulu, dia pandai menyembunyikan semua dendamnya, melapisinya dengan wajah tenang dan senyum ramah. Namun siapapun aku yakin dapat melihat tidak adanya nyawa dalam setiap senyum sang raja muda, termasuk aku saat ini. Hanya saja, sekarang kengerian dalam senyum dan wajah ramah Oryziel meningkat berkali-kali lipat searah dengan energi sihirnya yang meledak-ledak.
Berbeda dengan Azran, seluruh tubuh Oryziel ditutupi pakaian serba putih mulai dari mantel panjang, kemeja, dan celana. Satu-satunya yang hitam dari pakaian Oryziel hanya kedua sepatunya yang sedari tadi tidak menimbulkan suara sama sekali sejak dia datang. Dari seluruh bajunya, tak ada satu pun yang bernoda meski dia baru saja berjalan dari arah kekacauan, seakan debu tidak mau menempel di tubuhnya.
"Tidak kusangka kita akan bertemu di sini, Lazarus dan Azran," sambutnya ramah, yang kutahu pastilah omong kosong. Raja itu tidak kelihatan terkejut sama sekali.
Mataku terfokus ke tangan Oryziel karena di tanganitu, sebilah iaraghi menyala dengan energi sihir dalam jumlah menakutkan, terhunus dan terdiam menunggu reaksi dari Oryziel.
Berbeda denganku, sepertinya Oryziel sudah siap untuk menghadapiku, bahkan siap untuk membunuhku di sini sekarang juga. Tanpa ampun, raja benua Eropa itu mengayunkan iaraghi-nya ke arahku, membelah tanah dengan ayunannya yang bahkan tanpa harus menyentuh tanah.
Lengan Azran dengan cepat melingkari tubuhku, bersamaan dengan energi sihirnya yang memberi perlindungan tebal di sekeliling kami. Setetes darah kembali keluar dari kedua mataku.
Kekacauan sudah berhenti di sekeliling kami, tapi sisanya terlihat dengan jelas. Dan itu bukan hal yang menyenangkan untuk dilihat.
Tanah terbelah dalam lebar dan kedalaman yang tidak main-main, memanjang dari tempat kaki Oryziel berpijak sampai tepat ke depan kakiku, tepat di depan pelindung Azran aktif. Akibat pelindung milik Azran, sihir Oryziel terbelah, tak jadi membelah kami. Sebagai gantinya, energi sihir iaraghinya membelah menjadi dua di kanan dan kiri kami, membuat kami dibatasi dua jurang sempit yang menganga lebar di tanah, seakan baru saja ada gempa bumi yang terjadi.
"Hei." Aku menyentuh lengan yang melingkari pundakku. "Kau tidak perlu sampai melingkarkan lenganmu begini juga kan? Cukup pakai pelindung saja."
"Bukan aku yang mau, tapi refleksku yang bekerja," sahut Azran, sama kesalnya.
"Sayang sekali lolos." Oryziel berkata, mengalihkan perhatian kami sepenuhnya kepada sang raja dari klan Therlian itu. "Kulihat energi sihirmu sudah kembali, Azran. Kurasa batu bertuah sudah tak lagi dibutuhkan ya?"
Azran semakin merapatkan tubuh kami berdua. "Seperti yang kau lihat, Adikku. Aku tidak lagi membutuhkan alat bantu untuk mengeluarkan sihirku."
"Dan itu pasti karena Lazarus kecilmu yang berharga itu." Mata Oryziel tertuju padaku, membangkitkan belasan ingatan tak menyenangkan yang tersimpan dalam kepalaku tentang raja satu ini. Sudah kuduga, ternyata tidak peduli sudah berapa lama atau apa yang sudah menimpanya, aku tetap saja tidak bisa berhenti membencinya. "Kau bisa keluar dari Ambruisia dengan selamat. Aku harus memberimu selamat, kalau begitu."
"Tidak perlu repot-repot," ketusku, membalas seringai Oryziel dengan senang hati.
"Kulihat kau melakukan sesuatu dengan sihir ayahku." Oryziel berkata lagi, namun mataku tertuju pada pedangnya yang masih saja dalam posisi menyerang. Kelihatannya dia ingin memberi serangan kejutan pada kami. "Berapa usia yang kira-kira kau habiskan untuk melepaskan kakakku?"
Kurasa pertanyan itu tidak perlu dijawab lagi.
Mata hijau pucat Oryziel yang berpendar, tak henti menatap langsung ke mataku. "Kulihat kau berubah sedikit. Ambruisia memberimu pelajaran yang sangat berharga, kurasa." Senyumnya lantas berubah menjadi seringai. "Dan aku tidak keberatan jika harus mengirimmu ke sana lagi untuk kedua kalinya."
"Hanya dalam mimpimu, Adikku." Lengan Azran mengurungku semakin ketat.
"Ah, maaf, aku hampir lupa keberadaanmu, Azran. Apa kabarmu, Kak?" Tentu saja Azran juga tidak menanggapi pertanyaan basa-basi ini. "Kelihatannya kau sudah sedikit akrab dengan Lazarus itu." Oryziel tertawa mengejek. "Kenapa aku tidak terkejut ya?"
"Aku juga tidak terkejut," sahut Azran. "Jika memang semua kekacauan ini berawal dari idemu." Kurasakan tangan Azran yang lain bergerak turun perlahan, meraih gagang iaraghi yang sengaja kubawa untuknya. Dia sedang menyuruhku untuk pergi dalam diam.
Andaikan kondisinya mudah, sudah tentu aku akan dengan senang hati pergi dari sini. Tapi Oryziel bukan penyihir yang akan melepaskanku dengan mudah. Belum lagi, energi Oryziel terlampau kuat untuk kunetralkan sekarang tanpa menghabiskan energiku.
"Matamu sudah berdarah, Lazarus." Oryziel berkata lagi. "Bagaimana kalau kau menyerah di sini sebelum semuanya bertambah buruk bagimu?"
Segera kuhapus air mata darah yang keluar dari mataku, meski usaha itu sia-sia karena darah itu terus menerus keluar tanpa henti.
"Kau berusaha menetralkan energi sihirku, eh?" Raja klan Therlian itu menyeringai. "Silakan saja. Dan kau Azran?" Dia menatap Azran. "Kau mau melawanku? Untuk manusia? Kau yakin? Masih belum terlambat untuk berubah pikiran, Kak. Aku bisa saja mengampunimu jika kau bisa membunuh Lazarus kecil itu sekarang juga."
"Kalau kau berbicara kepada orang bernama Azran kakakmu, lupakan saja." Azran mencabut iaraghi di pinggangku dan langsung menghunuskannya ke arah Oryziel. Energi sihir milik Azran langsung menyelimuti iaraghi di tangannya dengan jumlah yang sama mengerikan dengan Oryziel. "Sekarang aku bukan bertarung sebagai bagian klan Therlian. Aku bertarung sebagai Xerlindar, kapten dari Black Mary."
"Xerlindar? Halilintar yang membelah angkasa? Julukan yang terlalu berat untuk kapten satu kelompok perompak yang hanya bisa menggonggong di bawah kekuasaan penyihir, bukan begitu, Kak?" Energi sihir Oryziel meledak-ledak di sekitar tubuhnya.
"Ini saatnya kau pergi, Alicia," bisik Azran.
"Bagaimana bisa kau kelihatan yakin sekali mengarahkan pedangmu padaku, Azran?" Oryziel bertanya. Keramahan di wajahnya, semua kepalsuan itu retak, berganti wajah sebenarnya dari Oryziel, wajah seseorang yang tak lagi waras dan haus darah. "Apa kau lupa? Dalam Therlian, semakin muda keturunannya, maka akan semakin kuat pula dia!"
Oryziel menerjang. Azran melepaskanku. Dengann cepat, aku menghindar ke samping, menghindari beradunya dua bilah iaraghi yang langsung menimbulkan gelombang kejut kuat yang mengempasku dari arena pertarungan dua raja itu.
Tubuhku terdorong beberapa kaki jauhnya dan sempat terseret beberapa inci di tanah. Dengan cepat, aku bangkit berdiri dan kembali berlari ke arah Menara London yang terlihat semakin dekat.
Oryziel memang benar. Ibuku pernah mengatakannya. Dalam klan Therlian, semakin muda keturunannya, akan semakin kuat dia. Artinya, Oryziel memang lebih kuat dari Azran dari segi kekuatan. Aku seharusnya membantu Azran dengan paling tidak menghilangkan sedikit kekuatan Oryziel tadi, tapi tidak ada waktu untuk itu.
Sekalipun aku bisa melemahkan Oryziel, aku yakin itulah tujuannya menghalangi kami langsung di sana. Dia ingin menghambatku dari memperbaiki Jalinan, menghalangiku dari tujuan utamaku. Jika aku memenangkan keinginannya, kami akan kalah dalam pertempuran, meski kami menang dalam duel.
Kami berdua sudah saling mengikat janji untuk selamat dari semua ini. Ini aneh. Aku tidak biasanya bisa percaya pada penyihir, tapi kali ini, bahkan tidak ada setitik pun keraguan timbul dari dalam diriku akan janjinya.
Azran akan hidup. Aku yakin itu.
Aku termasuk orang yang percaya pada pepatah "Ketakutan akan memberimusayap" karena sudah beberapa kali mengalaminya sendiri. Termasuk kali ini. Meski merasa belum lama berlari, kenyataan mengatakan, aku sudah berada di depan Menara London ... atau apapun yang tersisa dari bangunan itu.
Menelan ludah dengan gugup, aku terus berlari tanpa henti menuju reruntuhan yang menjulang tinggi itu, gembira karena sebentar lagi akan sampai di kuil dan dapat menjalankan tugasku.
Namun kemudian Menara London runtuh lagi, seolah hendak menyatu dengan tanah di bawahnya. Bumi berguncang dan harapanku yang sudah membumbung tinggi tadi pun sirna.
***
-
A/N:
Gaspol dari awalllll
Karena pertarungan akhir dimulai di sini permisaaa! Persiapkan diri Anda untuk klimaks cerita ini! Baru sampe langsung dihadang Oryziel! Baru sampe, kuilnya runtuh! Gimana nasib Alto dan Azran selanjutnya?
Silakan vote dan komentar. Silakan berteori. Silakan mencak-mencak di kolom komentar. See you next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro