66. Edward, Suri, dan Alto
Dibakar hidup-hidup, cara itu terdengar sangat biadab, terutama karena Azran bilang Oryziel menyaksikannya sendiri. Tapi aku tahu, kenyataannya kejadian semacam itu pernah terjadi dan pernah menjadi hal yang lumrah terjadi di berbagai desa dalam kurun waktu puluhan tahun selama masa penghukuman Penyihir. Aksi penghukuman di depan umum seperti itu pernah menjadi rutinitas hampir setiap bulan, menghantui setiap rumah di berbagai desa di seluruh daratan Eropa bertahun-tahun silam, membunuh ratusan wanita, pria, dan anak-anak yang dituduh penyihir. Sebagian memang benar, tapi sebagian lagi hanyalah sebuah fitnah keji yang berakhir tragis.
Malahan kudengar di kota hukumannya malah akan lebih parah dari sekadar dibakar.
"Dan kalau kau masih tidak mendendam pada manusia meski ibumu mati dengan cara seperti itu, artinya kau yang tolol." Aku meneruskan dengan tenang. "Meskipun sepertinya kau tidak ikut melihat kejadiannya secara langsung."
"Kau benar. Aku memang tidak melihatnya secara langsung, tapi bukan berarti kesakitan itu tidak ada." Suara Azran mengandung luka yang sangat kental.
Kesunyian merebak di antara kami selama beberapa saat. Aku membiarkannya terdiam karena aku tahu, menggali luka lama lebih sulit dari kedengarannya, terlebih luka itu mengenai keluarga. Aku tidak akan memaksa jika memang dia tidak bisa menceritakannya padaku sekarang.
"Mungkin aku memang tolol karena tidak mendendam pada kalian walaupun sudah melihat sendiri jasad ibuku yang telah jadi arang." Pegangan Azran pada roda kemudi terlihat semakin erat. Gejolak sihir yang menguar dari tubuhnya bergolak, menghangatkan udara malam yang dingin di dalam ruang kemudi. Di sekeliling kami, kaca-kaca bergetar karena gejolak sihir Azran.
Dengan tenang, aku terus berdiri di sampingnya, tak peduli jika kaca-kaca yang bergetar itu akhirnya pecah berkeping-keping dan beterbangan menggoresku sekalipun. Jika dia ingin marah, sebaiknya aku biarkan saja. Dia berhak marah dan kehilangan kendali sekali-sekali.
"Tapi aku tidak bisa." Gejolak amarahnya mendadak saja mereda. Kaca-kaca yang tadi bergetar, kini kembali diam. Suhu udara yang sempat panas, sekarang kembali turun. "Aku tidak bisa menghukum satu kaum hanya karena segelintirnya pernah berbuat salah. Memang menyenangkan rasanya, tapi sesuatu seperti itu tidak bisa kubenarkan."
Aku tertawa pahit. "Dan lihat ke mana kepercayaan tinggi pada manusia itu membawamu," sindirku. "Sekarang kau ditinggalkan awakmu dan sahabat yang kau bela mati-matian itu."
Dari sudut mata, aku melihat senyum Azran merekah. Sedikit congkak, seperti dirinya dulu. "Tidak boleh berharap lebih kalau kau berkarir sebagai perompak," ujarnya. "Tidak ada kehormatan dan kesetiaan di antara kami. Murni hanya bisnis. Setelah tidak menguntungkan, mereka boleh pergi meninggalkanku dan aku tidak akan mendendam. Janji seorang kapten."
"Benar." Aku menimpali dengan debasan keras dan nada merendahkan yang tidak ditutup-tutupi. "Jadi, apa orang tolol dengan sifat sepertimu ini bisa mengatasi penyihir secerdas dan semenyeramkan Oryziel sendirian?"
"Sendirian?" Azran mengulangi kata terakhirku dengan senyum menyindir yang terang-terangan ditunjukkannya padaku. Dia tampak pura-pura sakit hati. "Kau tidak akan ikut membantuku?"
"Hanya dalam mimpimu, Penyihir," tolakku mentah-mentah. "Aku tidak akan mengorbankan nyawaku yang berharga ini untuk masalah internal penyihir, tidak peduli dia klan Therlian sekalipun."
Azran terkekeh. "Kata-kata yang sangat melukai hati." Tapi kemudian senyumnya sirna. "Tapi, ini memang urusan keluarga. Sebaiknya aku yang menyelesaikannya sendiri."
Mataku menyipit, menatapnya tajam. Teringat perkataaan Baba soal Emas dan Hitam. Dua nyawa yang akan bertempur untuk satu takhta di setiap klan. Setiap darah daging yang terbagi.
"Risiko yang harus dihadapi setiap raja klan yang memiliki pewaris lebih dari satu." Baba menjelaskan. "Hanya boleh ada satu pemimpin. Yang lain akan dianggap pembawa bencana."
Tidak ada yang benar ataupun salah. Baik ataupun buruk. Dalam pertarungan di antara mereka, mungkin hanya ada takdir yang berputar dan mempermainkan. Sisanya, prinsip dan pilihan yang sudah membuat mereka berseberangan tanpa perlu susah payah. Entah Azran atau Oryziel tahu soal takdir mereka, tapi tahu pun tidak akan mengubah apa-apa.
"Kau yakin sanggup melakukannya? Kedengarannya kau dan dia sangat dekat."
Azran terdiam. Wajahnya tampak menerawang jauh ke depan, melintasi jendela, bahkan melewati lautan awan yang membentang di bawah kapal. "Jika aku membiarkannya hidup malah memberi kesempatan bagi penyihir untuk menguasai dunia ini sekali lagi, lebih baik aku tidak pernah memikirkan pilihan itu." Dia terdiam sejenak. "Seperti pekerjaan seorang perompak, risiko harus menjadi bagian dari napas seorang Raja. Aku yakin dia juga memahaminya sebelum menyiapkan jebakan ini untukmu."
Siapa sangka perompak sepertinya, kelompok yang seharusnya hanya thau bersenang-senang dan tak pernah peduli pada apapun selain uang, bisa mengatakan sesuatu sedalam itu. Dia sama sekali tidak berbohong ketika mengatakannya, ada sesuatu di dalam diriku yang sangat meyakini hal itu.
Tanpa sadar, kami berdua telah lama terdiam. Hanya aku yang terus mengamatinya sementara Azran terus terfokus ke depan, ke arah langit yang tampak melalui jendela besar yang mengelilingi ruang kemudi, tidak kelihatan ingin bicara apapun lagi.
"Al?"
Kami berdua menoleh ke arah yang sama. Menyaksikan Edward dan Suri berjalan ke arah kami berdua. Wajah Edward dan Suri sama sekali tidak senang saat melihatku.
"Kau tidak istirahat?" Edward bertanya padaku.
"Kenapa?" tanyaku balik. Keheranan. "Aku baik-baik saja."
"Kau ini setolol apa? Perjalanan jauh tentu saja bisa membuatmu kelelahan, Dungu!" Edward berderap dan segera memukul pelan kepalaku. Ia lantas menunjuk ke arah kabin. "Kau butuh tenagamu sempurna." Edward menggenggam tanganku. "Ini mungkin akan menjadi pertarungan terakhirmu, Al."
Ucapan itu membuatku terdiam seribu bahasa. Mulutku membungkam membisu sampai satu tangan lain bergabung bersama tangan kami berdua. Aku mendongak dan melihat Suri tersenyum, seolah mencoba menghibur.
"Kabin sudah kami bersihkan, Al. Kau bisa tidur dengan tenang sementara kami berjaga di sini," Gadis itu berujar.
Mulutku terbuka, tapi bukan aku yang selanjutnya berbicara.
"Kami?" Azran menyahut di belakangku. Nadanya terdengar tajam. "Apa maksudmu kami?"
"Maksudnya sudah jelas. Itu hanya satu kata. Apa mendadak kau jadi dungu karena gugup memikirkan Oryziel?"
Ucapan tajam Edward membungkam Azran. Tidak seperti biasanya ketika penyihir itu selalu punya balasan yang cerdas untuk setiap argumen.
"Kau juga butuh istirahat," Edward mengedikkan bahu ke arah Azran. "Walau benci mengakuinya, kau yang paling kuat di antara kami saat ini. Kau harus menjaga staminamu juga jika tidak ingin jatuh jadi pecundang melawan Raja Britania."
"Murah hati sekali." Azran terkekeh dengan suara meremehkan. "Kau yakin bisa mengemudikan Kapal Istanbul? Mereka punya beberapa tuas yang berbeda, terutama dalam mengatur pergantian mesin dan mengatur ketinggian. Karena biar bagaimana pun, kapal ini digerakkan secara manual. Bukan sihir seperti yang biasa kalian kerjakan di Britania."
Ucapan ini agaknya membuat Edward jengkel. Karena segera saja pemuda itu mendekati ruang kemudi. Matanya dengan liar memerhatikan setiap tombol, panel, layar status, dan tuas yang membuat fungsi kapal berjalan optimal. Alisnya berkerut dalam dan satu menit kemudian, Edward menatap Azran dengan yakin.
"Aku sudah paham cara kerjanya."
"Termasuk tahu kalau kemudi kapal manual lebih berat dari kapal bertenaga sihir?"
"Kau pikir aku bocah kerempeng yang tidak punya tenaga?" Edward menyahut dengan jengkel.
Azran tersenyum miring, lalu menyingkir dengan anggun dari roda kemudi. Mengizinkan Edward mengambil alihnya, seperti yang diinginkan sahabatku itu. Azran bahan tidak terlihat ragu saat pergi.
Edward mengambil alih kemudi itu dengan tekad baja. Ia mencoba mempertahankan altitude kapal. Layar penunjuk arah tidak menunjukkan perubahan berarti. Artinya kami berada di jalur yang tepat dan tidak butuh berbelok.
"Kita melewati setidaknya lima negara Eropa," ujarku. "Apa tidak ada satu pun dari mereka yang curiga pada kapal ini?"
Azran berlalu lebih dulu dari kemudi dan menjawab tanpa repot-repot. "Artinya kapal ini sudah terdaftar sebagai kapal pengangkut sebelumnya."
"Kecuali jika mendadak ada yang curiga dan memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di pos terdekat." Edward memberi peirngatan Sadar aku tegang, pemuda itu lantas memberi pengertian. "Jangan khawatir, akan aku bunyikan alarm jika itu terjadi."
Saat Suri menepuk pundakku, Azran sudah nyaris meninggalkan kokpit. "Aku akan di sini untuk membantu Edward. Meski tidak begitu mengerti navigasi, aku bisa menjadi mata ketiganya."
Meski tahu kemampuan Suri di bindang navigasi sama parahnya sepertiku, gadis itu punya sesuatu yang tidak aku miliki sejak dulu. Sebuah keberanian. Tekad untuk maju tanpa peduli keselamatan sendiri. Sesuatu yang dulu selalu kuhindari atas alasan keselamatan.
Pikiran dan jalan hidup yang tolol, jika aku bercermin sekarang. Memangnya apa yang bisa diselamatkan jika aku hidup? Apa yang akan menantiku sekalipun aku bisa hidup dengan jalan hidup seperti itu? Kurasa tidak ada.
"Kelihatannya hubungan kalian berubah menjadi sangat baik."
Aku mendongak, memergoki Edward melirikku dengan sorot penasaran. Suri sudah berlalu dari sisiku dan sibuk mengawasi jendela besar yang menjadi mata utama kemudi kapal. Tapi aku bisa melihat sedikit senyum dan semu merah dari pipi Suri ketika berpaling.
Kembali berpaling ke Edward, aku melihat wajah sahabatku itu mengatakan dengan jelas seberapa besar kesalnya dia sekarang. Baiklah, kuduga mereka sudah menguping pembicaraanku dengan Azran.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ed."
"Jangan mengelak lagi. Tentu saja yang aku maksud adalah pembicaraanmu dengan penyihir itu!" gerutunya. "Kau tahu betapa menyebalkannya melihat dia tidak sekalipun mengalihkan pandangannya darimu setiap kali kau lewat sejak kemarin malam?"
Karena tidak ada pembelaan yang bisa kuucapkan, aku hanya memalingkan wajah ke arah berlawanan, berusaha menyembunyikan pipiku yang semakin hangat.
"Kau tidak perlu pura-pura kuat, Al." Suri menimpali.
"Aku tidak pura-pura kuat." Aku berkilah dengan menyedihkan.
"Lelucon yang tidak lucu." Edward memperburuk suasana.
Di tengah ruang kemudi yang sunyi, kami bertiga berdiri. Suara langkah kaki Azran sudah lenyap. Hanya deru angin di luar dan bunyi mesin kapal yang berdenytu stabil yang mengisi ruang kosong di antara kami bertiga.
"Seperti dulu ya." Suri bersuara lagi. "Sebelum kita dikirim ke Serikat."
Aku mendengus kesal. "Kenapa kau mengingat kenangan yang tidak enak begitu?"
"Entahlah," jawab Suri. "Hanya saja ... siapa yang menyangka semuanya akan berubah seperti sekarang ya?"
Mau tidak mau, kata-kata itu membawaku pada masa-masa itu, masa-masa tepat beberapa bulan setelah para penyihir menancapkan kekuasaannya di dunia ini dalam-dalam, beberapa bulan setelah kekuasaan manusia di seluruh dunia tersingkir, digantikan oleh penyihir yang langsung memegang berbagai sendi kehidupan, termasuk energi dan sumber daya.
Kami, manusia yang selamat dan tidak bisa melawan, berakhir di perbudakan. Kami ditangkap di antara puing-puing desa kami yang berbau kematian dan dikumpulkan dalam satu barak yang disesaki ratusan orang. Bau darah, keringat, dan abu yang segar demikian kental di barak yang aku tempati. Atmosfer di udara dipenuhi keputus asaan dan kesengsaraaan yang menyesakkan. Setelah didiamkan dalam barak selama hampir berhari-hari dan diberi makan seadanya untuk menjaga kami tetap hidup, sekelompok penyihir datang dan mendata kami, menanyakan keahlian kami lalu menempatkan kami di Serikat yang berbeda sesuai kemampuan.
"Sekarang kita bebas." Aku mengenang. "Dan manusia lain pun akan bebas."
"Dan saat itu tiba, apa kau akan terus bersama dia seperti itu?" Edward bertanya. "Kau tahu kan penyihir bisa berumur ratusan bahkan ribuan tahun bagi para royalis meski Jalinan tetap utuh."
"Aku tahu."
Edward menghela napas. "Ini yang disebut cinta itu gila ya?"
"Cinta?" Aku mengerjap bingung.
Edward mendelikku jengkel. "Kau merasa yang tadi itu bukan cinta?" gerutunya. "Lalu kalau bukan cinta, yang tadi itu apa?"
Entahlah, aku ingin menjawab begitu, tapi sepertinya Edward tidak akan suka mendengarnya.
Cinta, itu kata yang terlalu berat untuk apa yang kurasakan. Kukira ini hanya sebatas perasaan suka atau sayang pada orang lain. Perasaan lemah yang timbul karena kerapuhan diriku sebagai perempuan terhadap lelaki yang begitu kuat berusaha. Terhadap lelaki yang membuktikan kesetiaannya dan berusaha menebus dosanya. Tapi setelah dipikir, aku tidak pernah merasakan perasaan ini separah siapa pun selain bersama Azran.
Jadi debaran aneh, panas yang tidak bisa dikendalikan, tubuh yang tidak bisa dihentikan, dan perasaan yang tidak bisa dibendung ini, yang namanya cinta? Benar-benar tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Maksudku, kukira akan menyenangkan rasanya, tapi alih-alih menyenangkan perasaan ini lebih sering membuatku bingung dan repot.
"Kau harus meluruskan semuanya ketika semua ini selesai, Al." Suri melirikku penuh arti. "Atau dia akan direbut wanita lain."
Wajahku semakin panas. "Tidak ada yang perlu diluruskan, Suri." Tapi bayangan Azran akan bersama wanita lain, entah kenapa terasa sangat tidak mengenakkan. Rasanya seperti ada gumpalan yang menyumbat dadaku.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa dari kedua temanku. Mendongak kaget, aku memergoki keduanya terkekeh geli selama beberapa lama, menghangatkan suasana yang sebelumnya sunyi membeku. Kemudian diam lagi selama lima detik.
"Semuanya bergantung pada kita ya?" Edward bergumam. "Kalau begitu kita tidak boleh gagal." Kemudian dia berpaling ke Suri. "Kau siap, Suri?"
Sahabatku itu mengangguk. Edward mengangguk. Kemudian mata pemuda itu mengarah ke lorong, tempat Azran menghilang sebelumnya.
"Kalau begitu, sekarang kau tinggal pastikan saja rencana penyihir itu tidak membunuh satu pun dari kita," Edward tersenyum. "Sebentar lagi kita akan berpisah, Al."
Apa? "Kalian mau ke mana?" Aku bertanya bingung.
Edward dan Suri berpandangan bingung sebelum Edward melirik ke arahku lebih dulu. Tidak sebelum ia mendengkus kesal.
"Penyihir itu meminta kami melakukan sesuatu. Dan sepertinya dia lupa bilang itu kepadamu." Edward menggaruk bagian belakang lehernya, sesuatu yang hanya akan dilakukannya ketika dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dia suka. Menyadari ketakutan di wajahku, dia buru-buru tersenyum. "Bukan sesuatu yang berbahaya, tenang saja. Well, kurasa begitu. Karena jika tidak memberitahumu, itu artinya tidak begitu penting kan?"
Tidak penting? Apa dia bercanda? Kenapa nada yang digunakan Edward seolah dia bersekongkol dengan Azran? Apa sekarang dia juga merasa mengikut sertakan aku ke dalam rencana adalah ide buruk? Aku akan ditipu lagi?
"Aku tidak percaya."
Sekarang Edward tertuju sepenuhnya ke kemudi. Mengabaikanku. Sebagai gantinya, Suri menatapku. Gadis itu menggenggam tanganku. Tindakan yang tidak akan mampu kutepis, tidak peduli seberapa frustrasinya aku kepada mereka berdua.
"Kapan rencana ini dibuat? Kenapa aku tidak diberitahu apa pun?"
"Kau sudah punya peran, Al." Edward menyahut tanpa menatapku. "Kau yang paling utama di antara kami semua."
"Kau tidak menjawab pertanyaanku!" Aku menghardik, habis sabar pada Edward. Sihir di dalam diriku bergejolak. Meletup-letup seiring emosiku. "Apa yang kalian rencanakan di belakangku, sebenarnya? Katakan sekarang! Aku sudah muak dengan permainan seperti ini!"
"Alto." Suri menghentikan amukanku sebelum berubah menjadi bencana. Senyum gadis itu menenangkan seperti biasanya. Meredam separuh dari amarahku dalam sekejap dengan kekuatan yang sampai saat ini tidak bisa kupahami. "Kami akan baik-baik saja."
Dadaku berdenyut perih. Keyakinan dalam suara Suri menyakitiku. Azran berhutang penjelasan. Dan aku akan menagihnya segera!
"Jika ada yang harus kau khawatirkan, itu adalah dirimu sendiri dan penyihir kesayanganmu itu." Edward memberikan senyum tulus yang entah kenapa terlihat seperti senyum perpisahan di mataku.
"Dia bukan—
"Jangan hiraukan mulut kurang ajar Ed." Suri memelototi pemuda itu selama beberapa lama sebelum memberikan senyum menenangkan padaku. "Kami pasti akan kembali, Al. Penyihir itu tidak kelihatan berbohong saat meminta tolong pada kami."
Kedua tanganku terkepal, terbungkus kebimbangan antara ingin melambaikan tangan kepada mereka ataukah malah menghentikan mereka detik ini juga. Namun kesungguhan dalam nada bicara Suri, kesungguhan yang jarang kulihat memancar pada diri gadis itu, membuatku bungkam seribu bahasa.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menyaksikan punggung mereka berdua menjauh dan tangan mereka yang saling bertautan seiring kepergian mereka yang semakin jauh dariku hingga menghilang dari pandangan.
Sudah terlalu banyak janji dibuat. Kalau begini, aku tidak akan bisa mati dengan tenang.
"Kalian tahu dari mana dia tidak berbohong?" sahutku. "Penyihir dan manusia sama saja kalau sudah berbohong!"
"Entahlah," Suri melirik penuh arti ke arah Edward sebelum memandangku lekat-lekat. "Mungkin karena saat meminta tolong kepada kami untuk menjalankan rencana ini, penyihir itu nyaris bersujud di kaki kami demi dirimu."
***
A/N:
Jiwa iseng saya tergelitik sehingga bab ini saya edit lumayan kenceng. Makanya bakalan banyak perubahan di bab ini. kenapa banyak perubahan? Saya cuma ingin mengutamakan strategi Azran yang sempat saya longkap di versi novel.id.
Dan, para pembaca lama, tolong jangan dibocorkan.
Kenapa saya ubah? udah saya bilang, jiwa iseng saya tergelitik.
Dan mungkin saya sedang ingin menantang batasan kebahasaan saya untuk sesuatu yang picisan so. Tunggu saja. Mungkin kalau tidak malam ini, besok akan saya up untuk chapter depan.
Bikin kepo ya? Memangnya ada apa sih chap depan? Sekali lagi, pembaca lama, jangan spoiler!
See you next chap! Jangan lupa vote dan komennya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro